Pov Teuku ArasyaKebas langkah kaki ini saat memasuki ruang UGD. Telinga serupa tuli. Bahkan mulut tetiba mengering. Aisha hamil, bagaimana bisa? Padahal dia sedang dalam masa pengobatan. Apa tidak mungkin obat-obat yang dia konsumsi akan mengganggu janinnya?Aku berusaha memperlakukan dua istri dengan cara berbeda. Alina dengan keinginan hamilnya, sementara Aisha sebisa mungkin untuk tidak hamil dulu. Tentu ini bukan perkara mudah, kadang aku tiba di satu malam yang menuntut berjuang keras, namun di malam lain aku harus ekstra menahan. Mungkin ada satu malam, saat mendatangi Aisha, aku kebablasan juga.Aku mendekati bed Aisha. Berdiri di sampingnya dengan tubuh membeku. Apa yang harus kukatakan. Masih teringat malam pertama kami, setelah bertahun-tahun berpisah. “Aku takut hamil,” katanya dengan raut takut.Aisha langsung berpaling saat menyadari kehadiranku. Gorden di sisi sana sepertinya lebih menarik dia pandangi. Itu cara terbaik untuk mengalihkan pandangan dari orang yang tak in
Aku berjalan cepat menyusuri tangga. Sejenak menarik diri dari mengurus Aisha. Kutitipkan istri pertama itu pada Devina dan Azka, sementara aku harus melihat dulu keadaan Alina.Pintu kamar kubuka dengan perlahan. Terlihatlah dia di sana. Duduk memeluk lutut di atas bed. Memakai kaus dan celana selutut. Alina tak menangis tapi rautnya kacau."Sayang." Aku mendekat. Duduk di depannya."Apa ada perlakuan berbeda pada saya dan pada Aisha?""Maksudnya?""Kenapa Aisha cepat hamil dan saya tidak?"Aku menghela napas. "Perlakuan berbeda...? ya ... ada. Dengan awak abang selalu berusaha agar cepat hamil. Dengan Aisha abang usahakan agar tak hamil. Itu berbeda kan?""Oh, iya. Aisha tetap hamil dan saya tetap tak hamil karena saya tak subur kan?""Bukan begitu maksud Abang, Sayang. Hamil itu kehendak--""Saya sudah sabar, Bang." Dia memotong. "Saya terima kalau saya memang tak subur. Tapi usaha kita untuk program bayi tabung kenapa selalu dipending? Dulu tunggu usia 35, tapi Aisha kembali. Sete
Pov Alina“Alin, banyak wanita yang tak dapat punya anak, seperti Aisyah Radhiyallahu Anha. Beliau ibu umat muslim, dan beliau tak punya anak. Umma paham, awak ingin sangat punya anak. Tapi jika Tuhan tidak berkehendak. Nak kata apa?” Umma menjeda. Beliau mendaratkan pandangan pada sisi tembok kamar ini.“Manusia tidak akan dibiarkan merasa telah beriman padahal belum ada ujian padanya.” Umma mengutip satu ayat dalam Al-Quran.“Ikhlas Alin, pasrah.”“Saya sudah pasrah Umma, saya sudah sabar. Tapi yang sulit saya terima rencana bayi tabung selalu gagal. Apa saya kurang sabar? Saya terima Aisha, saya terima anak-anak Abang.”Umma diam menjeda. Menghela napas dengan sangat tenang. “Begitu ikhlas…? Tak… awak belum ikhlas. Awak masih terobsesi tuk hamil. Hidup ni tak da yang berat bila ikhlas. Pandai-pandailah Alin melihat hal positif dalam satu perkara. Ketika awak gagal untuk program bayi, oh mungkin bukan sekarang waktu yang Allah kehendaki, siapa tahu bila dipaksa malah gagal. Saat Ais
Aisha mengernyit. Dia yang tidak memakai penutup wajahnya terlihat heran. “Siapa yang mau menggugurkan? Aku memang tidak mau hamil, tapi bukan mau menggugurkan.” “Ha? Bukankah tadi Abang bilang dia mau menggugurkan kandunganmu?” “Tidak. Atau aku lupa?” Dia malah kebingungan. Aku menengok pada Bang Rasya yang sekarang sudah berdiri di pintu. Dia mengangkat alis dan mengernyit seperti bertanya, ‘kenapa?’. “Sudah kubilang jangan ke sini!” Teriak Aisha pada Abang. “Azka tolong suruh papamu pergi, umi tak mau melihat dia.” Azka yang duduk di kursi berdiri. Bang Rasya menutup pintu lagi. Dan Azka pun kembali duduk. “Ka, apa bayi umimu mau digugurkan?” Aku bertanya pada Azka untuk lebih jelasnya. “Saat tahu hamil umi memang ngamuk. Tapi tidak ada rencana untuk digugurkan. Papa juga marah kemarin, tapi hanya menggertak umi saja. Tidak ko, tidak akan digugurkan.” “Menggugurkan bayi itu sama dengan membunuh. Aku memang sakit, tapi tidak mungkin membunuhnya,” timpal Aisha. Lenggang. Aku
Pov Alina Esok harinya, aku kembali ke rumah sakit untuk menemani Aisha. Seperti yang Abang minta, aku harus memberinya dukungan. Wanita itu berbaring lemah dengan rautnya yang datar. Dia masih tidak mau melihat Bang Rasya. Entah karena bawaan hamil atau memang sebal. “Bagaimana sekarang, Aisha?” Aku duduk di samping wanita yang hanya memandangi plafon ini. Aisha sedikit melirik. “Agak mendingan,” katanya datar. Lalu kembali melihat plafon. “Umma tak bisa ke sini karena di luar rumah masih banyak virus,” jelasku, takut dia merasa tidak diperhatikan. “Aku tahu,” jawabnya pendek lagi. Aku diam, membiarkan keheningan menyelimuti kami. Bingung juga harus memberi dukungan mulai dari kalimat mana. Aisha terlihat malas bicara. Di kamar harum ini, aku menyalakan TV, lalu menonton bersama Azka di sofa. “Alin.” Aisha memanggil setelah diam lebih dari setengah jam. Aku kembali mendekat. “Ya.” Wanita berkerudung hitam ini menghela napas panjang. Seperti mengisi rongga dadanya agar lebi
Setelah seminggu di rumah sakit, Aisha diijinkan untuk pulang. Kami mempersiapkan kamar di bawah karena di atas terlalu bahaya untuk naik turun tangga. Dia akan menempati ruang di dekat kamar umma. Aisha dan Azka tiba di depan rumah. Devina sebagai sopirnya. Seorang suster ikut serta menemani. Abang merekrutnya untuk menjaga Aisha selama hamil. Bang Rasya datang dengan mobil yang berbeda. Dia tampak lemas dan kelelahan. Langsung jalan naik ke tangga. Aisha masih tidak mau melihat Abang. Dia bahkan selalu mual-mual setiap kali melihatnya. Jadi Abang terus menjaga jarak. Padahal, suamiku itu bisa saja memilih pulang. Tidur nyaman di rumah. Tapi tidak, Abang tetap saja siaga menunggu. Aku mengikuti Abang ke kamar, setelah memastikan semua bisa beristirahat dengan tenang. Saat aku membuka kamar, beliau terlihat berbaring tengkurap di atas kasur. Aku hanya menggeleng melihat karakternya. Semakin banyak berkorban semakin tak punya alasan aku untuk meninggalkannya. Dia memang bukan ber
POV Teuku ArasyaAisha dan Alina memasuki ruang kerja. Mereka memilih-milih buku sambil mengobrol. Aisha mengambil salah satu buku, mendiskusikannya dengan Alina. Mereka saling melempar senyum lalu meninggalkan ruangan. Setidaknya begitu yang terlihat dari kamera CCTV.Aku segera mengalihkan rekaman CCTV pada titik yang lain. Titik-titik yang mungkin akan mereka lewati. Dua wanitaku itu berhenti di sofa bawah tangga. Mereka duduk berdekatan sambil membaca kitab. Aisha terlihat mendominasi bicara, sepertinya dia sedang mengajarkan Alina.Aku menyatukan punggung dengan sandaran kursi. Mata tidak beranjak dari layar monitor. Saat terlalu penat dengan pekerjaan, aku sering melihat ini. Membuka tampilan CCTV untuk melihat aktivitas orang-orang rumah.Ada hal yang menggelikan juga terhadap rutinitasku ini. Dulu, saat aku belum menikah dengan Alina. Diam-diam aku sering mengamatinya dari CCTV. Namun, suuttt! Ini cukup kita saja yang tahu.Aku menyimpan tangan di belakang kepala. Bersandar pa
Saat aku kembali, Alina sudah memakai perhiasannya. Dia sedang berkaca sambil lenggak-lenggok memerhatikan dress berwarna merah muda itu. Dia hanya menempelkan di pundak lalu serong kanan serong kiri. Padahal bisa langsung dicoba. Ck! Wanita. Aku segera ke ruang pakaian, lalu mengenakan piama. Saat ke luar, Alina masih saja begitu. Istriku itu mendekat dengan langkah manja. "Makasih, ya." Dia memeluk lengan. "Ya." "Kalau begini saya jadi ingin meluk terus." Alin mengecup pipiku dengan sedikit meloncat. Kami bukan pasangan romantis yang sering mendaratkan kecupan, tapi hal yang jarang ini terasa sangat berharga jika dia melakukannya duluan. Aku duduk di kasur. Mengusap pipi. Membersihkan jejak bibirnya. "Abaaang...," katanya gemas dengan nada manja. Lalu melanjutkan lagi kecupan di hampir seluruh wajahku. "Dah. Antarkan dulu punya Aisha." "Oke. Diam di sini jangan ke mana-mana!" Alina memakai penutup auratnya dengan gerakan cepat. Lalu pergi meninggalkan kamar. Aku segera me
Di usianya yang tak muda lagi, terlalu berisiko untuk melahirkan kembar dengan normal. Maka caesar sudah dijadwalkan sejak awal kehamilannya. . Di sana mereka sekarang. Di ruang operasi. Arasya duduk di samping Alina dan menggenggam tangannya sambil bercerita. Sementara di bagian perut, dokter sedang membedahnya. "Anak kita sudah terlihat belum?" tanya Alina. "Tak, Abang tak nak lihat," ujarnya dengan menggeleng. Namun, usahanya untuk tidak melihat kondisi perut sang istri goyah saat terdengar jeritan bayi. Satu laki-laki, satu perempuan. Alina mendapatkan dua sekaligus. Arasya memandang dua keturunannya lagi dengan tatapan haru. Lalu dengan bantuan dokter, dua bayi itu didekatkan dengan ibunya. "Akhirnya aku bisa punya anak dari rahim sendiri." Tahapan-tahapan memiliki keturunan itu selalu membuatnya menangis. "Adik langsung dapat dua." "Ya," katanya dengan berlinang air mata. Arasya kemudian mengusap basah di pipi Alina. "Nak Abang beri nama apa?" "Dia, nak Abang beri nam
Dua tahun kemudian. Kursi-kursi berpita kuning berbaris rapi. Menghadap ke panggung kayu setinggi satu meter. Karpet merah terhampar. Dua sofa dan bunga-bunga hiasan mengisi mimbar. Ada layar putih dan baliho besar di belakangnya. Orang-orang mulai mengisi kursi. Mengapit buku yang konon meledak di tahun ini. Mereka mengobrol sambil sesekali membahas isi buku itu. Pembawa acara mengisi sofa, diikuti oleh seorang wanita bercadar dengan pakaian hitam-hitam. Lalu acara pun dimulai. “Terima kasih hadirin semua yang sudah berkumpul di tempat ini. Sebagai mana kita ketahui, bahwa hari ini kita kedatangan tamu istimewa. Seorang penulis yang novelnya meledak di tahun ini. Luar biasanya, novelnya lebih dulu dikenal di negeri tetangga. Padahal beliau ini asli warga Indonesia. Kita patut berbangga.” Pembawa Acara bertepuk tangan dan para pengunjung pun ikut memberi aplus. Perempuan berkerudung lebar itu melanjutkan bicara, memberi sambutan-sambutan, lalu memperkenalkan siapa tamu istimewa it
Abang melirik dan tersenyum. "Semakin pintar awak." Dia memainkan rambut di pucuk kepalaku. "Tentu." Aku memicing. "Sekarang coba sebutkan, apa yang harus saya lakukan agar kesedihan Abang bisa terobati." Aku tengkurap dan mengangkat wajah. Memandang dia dengan serius. Tangan kanannya yang masih ada di kepala langsung pindah ke pipi. "Berjanji lah tuk tak tinggalkan Abang. Abang hanya punya separuh napas. Abang tak bisa kehilangan separuhnya lagi. Bila Allah meridhoi, Abang berharap Abang je yang mati duluan, jangan awak. Abang tak kan bisa." Aku menautkan jari-jari tangan kami. "Kita kan menua bersama. Melihat anak-anak tumbuh sehat dan jadi orang-orang yang besar. Kita kan saling menjaga sampai tua. Hmmm...?" Aku mengubah posisi lagi menjadi berbaring di lengannya. "Saya akan berdoa, Abang menghadap Illahi sehari lebih cepat dari pada saya. Biar saya bisa melakukan apa yang Abang lakukan pada Aisha. Begitu adil bukan?" "Tu terdengar baik." "Tugas kita sekarang adalah mengumpul
POV Alina. Kadang memang masih ada rasa cemburu ketika melihat Aisha bersama Bang Rasya. Namun, tak sedikit pun berharap hal buruk terjadi padanya. Dia telah memberi kehangatan yang berbeda. Rumah ini jadi lebih ramai dan berwarna. Hati ikut miris ketika abang pulang dari rumah sakit dengan membawa Aisha yang sudah tak berdaya. Dia duduk di kursi roda dan tak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa bicara. Rasa cemburu yang kadang masih ada itu hilang begitu saja, malah berganti iba. Dengan mata kepala sendiri, aku melihat Bang Rasya mengurus Aisha dengan begitu telaten. Dari memandikan, menyuapi, bahkan membersihkan kotorannya. Di sana dia terlihat begitu penyayang dan bertanggung jawab. Hingga aku merasa tak ada alasan untuk menjauh darinya lagi. 'Abang... jika lelah datang saja padaku. Saya di sini akan membuang kelelahanmu. Kasih sayangmu pada Aisha biarlah saya yang membalasnya.' Hanya tiga hari, Aisha bertahan di rumah. Lalu pergi untuk selamanya di malam itu. Malam yang paling ba
Sore, di hari Kamis. Aku membawa Aisha ke kamar mandi. Mendudukkannya di atas bathtub. Lalu memandikannya. Mengisi bathtub dengan banyak air hangat dan sabun. Aku membersihkan tubuhnya dari kepala sampai kaki. Tiga hari di rumah sakit dan tiga hari di rumah, aku yang selalu merawatnya."Ingat tak, kita suka mandi bersama?" kataku sambil menggosok tangannya."Kapan?""Dulu.""Lupa.""Biar Abang ingatkan." Aku membersihkan badannya sambil bercerita juga berurai air mata. Tubuh Aisha masih dalam pemulihan pasca melahirkan. Napasku sakit lagi saat menyentuh area-area sensitifnya yang belum sembuh benar. Dadanya masih keluar asi untuk buah hati kami.Alina masuk kamar mandi, menghampiri. Dia mengusap rambut dan pundak Aisha, lalu telapak tangannya yang sudah keriput karena terlalu lama di air."Sudah, Abang, terlalu lama," kata Alina. Lalu dengan dibantu Alina, aku membersihkan tubuhnya.Kubaringkan dia di tempat tidur lalu memakaikan pakaian dengan hati-hati. Setidaknya itu pelayanan tera
Pov Teuku ArasyaDalam waktu dua minggu, sudah dua kali aku singgah di rumah sakit ini. Pertama, untuk menyambut kehidupan, setiap sudut ruang rawat seakan indah sampai suhu terasa hangat.Kedua, untuk kesakitan. Rasa keputusasaan membuat tempat ini serupa gelap, kelam, dan dingin.Aisha berbaring tak sadarkan diri. Alat-alat medis mengelilinginya. Tiang infus menggantung. Mesin pendeteksi detak jantung berjalan dan mengeluarkan suara “Tit! Tit! Tit!” Dengan teratur.Dadaku serupa dihantam godam, saat melihat tubuh Aisha bergetar hebat. Napasku jadi sakit dan sesak, rasanya persis dengan dulu, saat aku berdiri di antara puing-puing gempa dan memanggil-manggil namanya. “Aisha… Aisha… Aisha….”Kemarin, aku masih yakin, dia yang kadang bersikap menyebalkan dan menguji emosi akan menemaniku sampai tua. Namun… hari ini… saat dokter memvonis usianya, aku baru menyadari satu hal, ternyata sesakit ini rasa kehilangan. Sama persis dengan bertahun-tahun yang pernah kulalui. Bahkan helaan napas
Hari itu, Alina mengajak bicara. Tepat sehari setelah aku memeriksakan kondisi kesehatan ke dokter. Alina menyayangkan sikapku yang angkuh ini, dia juga menyayangkan karena aku memilih bersembunyi selama dua tahun.Aku terdiam dan memikirkan semuanya. Andai saat itu kami bertemu pun, hal baik apa yang akan terjadi? Apa dia akan meninggalkan istrinya demi aku? Itu dholim. Dan tentu aku tidak akan mengijinkannya. Ini memang buah simalakama. Bagaimana pun jalannya pasti pahit.Lalu tentang sikap angkuhku ini. Memangnya aku harus bagaimana? Menerima semua kepahitan ini begitu saja?Kupikir, sosok istri Bang Rasya itu wanita yang amat takut kehilangan suaminya. Tapi anggapanku berubah di pertemuan pertama, karena dia malah menceritakan betapa Bang Rasya terluka gara-gara kehilanganku. Alina memberi buku catatan hati Bang Rasya selama kami terpisahkan. Dari pertemuan itu kupikir jika Alina mungkin perempuan bercadar yang taat dan patuh pada syariat Nabi, termasuk tentang poligami. Sementara
Pov AishaAku adalah seorang anak dari ustadz kondang di Aceh. Saat usiaku dua puluh tahun, usia Abi sudah lebih dari 60 tahun. Beliau memang telat memiliki anak karena semangatnya mencari ilmu. Di antara Ustadz Firman dan Aba Umar, abiku paling tua, dan paling dihormati. Abiku termasuk orang yang disegani di Aceh karena keilmuannya. Terlebih bagaimana nama besarnya di khalayak umum, bagiku beliau tetap saja seorang ayah. Ayah yang sangat lembut dan penyayang.Sementara Umi, bunda tercintaku itu keturunan timur tengah. Beliau hanya ibu rumah tangga biasa. Ia sangat cantik, tapi kecantikannya hanya bisa dilihat olehku dan Abi. Umiku selayaknya wanita timur tengah yang kuat, kokoh, dan tidak mudah terpengaruh pendapat orang.Kami menempati sebuah rumah sederhana dengan halaman yang luas. Bukan tak mampu untuk bergaya hidup mewah. Rezeki kami melimpah meski hanya dari ceramah. Tapi hidup Abi sudah didedikasikan untuk umat. Jadi kami bergaya sederhana saja. Sodakoh sebanyak-banyaknya.Dar
Selama Abang berbicara dengan Aisha aku menutup mata dan telinga. Berusaha tak mendengar dan melihat. Panasnya rasa cemburu ini tetap ada. Ukurannya kadang naik kadang turun. Sekarang ini sedang naik. Karena mereka seperti keluarga yang sempurna. Tapi aku sudah memutuskan untuk kuat menahannya. Ini komitmen dari sebuah pilihan. Baby Aisha dibawa kembali ke ruangan. Dokter mengatakan semuanya baik. Bayi itu pun berpindah dari tangan dokter padaku. Abang melihatnya dengan pandangan yang sulit dijabarkan. Berkaca-kaca karena haru, bahagia, dan suka, mungkin. “Benar dia laki-laki?” tanyanya. Pada Awalnya Abang berharap dia anak perempuan. Setelah beberapa kali USG, hasilnya laki-laki. Meski begitu, dia masih berharap kalau anak ini perempuan. Harapan itu musnah hari ini. “Kalau ingin perempuan nanti dari Alin,” kata Aisha. “Mungkin tidak.” Aku menggeleng. “Jangan cakap macam tu, Insya Allah,” timpal Abang. “Nak gendong?” Aku menawarkan. “Abang tak berani.” “Adzankan saja.” Aku