Lampu menyala di semua ruang. Terang benderang seperti siang. Bapak dan Bang Rasya mengobrol di ruang tengah sambil ngopi. Aku menyetrika pakaian di ruang belakang. Suara mereka lumayan terdengar jelas. Kali ini Bang Rasya meminta bapak untuk tidak kerja di sawah lagi. Lebih baik menyerahkan sawah pada orang lain dan bapak melakukan apa yang disukai saja. Urusan nafkah, Bang Rasya akan menjamin semuanya. Bapak sangat berterima kasih pada menantunya itu. Meski begitu bapak tetap tidak mau meninggalkan sawah. Karena sawah sudah menjadi detak nadinya. "Bapak tak sah tinggalkan. Kasih ja rang lain. Bapak tinggal kontrol. Saya nak lihat bapak sehat. Tak lelah. Bapak tinggal diam di rumah. Pakai baju bagus. Makan enak. Bapak suka apa? Tembak burung, atau mancing? Nanti saya belikan. Saya nak, uang yang saya hasilkan bisa bahagiakan orang tua." Kalimat bernada lembut itu berhasil membuatku merasa tertampar. Aku sebagai anaknya saja belum ada yang kuperbuat untuk membalas budi baik orang t
Kehadiran Bang Rasya berhasil mengubah semuanya. Orang tuaku diberikan pakaian-pakaian yang cukup mahal bagi standar kami. Kami tidak boleh lagi memakai baju compang-camping. Kulkas penuh dengan makanan. Alat-alat elektronik keluaran terbaru mengisi rumah. Aku semakin menjadi sorotan dimata para tetangga. Beruntung ibu masih menjaga rahasia latar belakang suamiku. Kalau orang lain tahu suamiku sultan Malaysia. Bisa rame, bukan hanya sekampung tapi mungkin sekabupaten. Waktu berlalu cepat. Tempat wisata sudah menyentuh tahap finishing. Pak Rahmat dan pemuda desa merancang akan seperti apa opening dilakukan. Di waktu yang bersamaan. WO di-booking. Undangan pernikahan dibagikan. Mungkin juga ada yang sudah curiga atau malah tahu kalau tempat wisata itu milikku, karena nama tempat dan namaku di kartu undangan jelas sama. * Aku membaca. Menutup kertas. Lalu melafalkan tulisan yang sesungguhnya kubuat sendiri. Opening tempat acara adalah besok. Aku harus berdiri di panggung. Berbicara
Pov Author Teuku Arasya menggenggam tangan Alina yang dingin. Wanita berbibir tipis itu mencoba mengulas senyum meski dadanya terus berdebar tak karuan. Ibu dan bapak yang duduk di kursi belakang juga sama tegangnya. Tidak semua orang siap dengan ketenaran, seperti mereka misalnya. Kendaraan Teuku Arasya disambut para pemuda desa yang sudah stand by sejak subuh. Pada bodyguard dadakan itu bertugas mengamankan keberlangsungan acara. Mereka memakai seragam hitam-hitam layaknya bodyguard sungguhan. Pak Rahmat menyambut ketika pasangan tua dan muda itu turun dari mobil. Langsung berjabatan dan mempersilakan ke tempat yang sudah disediakan. Beberapa sofa panjang di simpan di depan panggung. Aneka kudapan tersaji di meja. Alina dan Teuku Arasya berjabatan tangan dengan Pak Kades serta para stafnya yang sudah datang lebih dulu. Mereka basa-basi bertegur sapa. Alina lebih banyak senyum daripada bicara. Setelahnya mereka duduk. Pak Bupati dan Pak Camat datang beserta beberapa stafnya juga
Selanjutnya giliran Teuku Arasya yang naik panggung. Jangan ditanya bagaimana percaya dirinya pria itu. Pria yang begitu mudah memenangkan berbagai tender. Dia berdiri di atas panggung sambil memegang mikrofon. Memakai kaus polos warna biru langit yang berkerah V. Dibalut blazer yang senada dengan istrinya. Celana jeans dan sepatu kulit. Dari atas sampai bawah, penampilannya sudah mencerminkan pengusaha muda yang sukses. Teuku Arasya sedikit menaikkan lengan blazernya. Berbicara relaks dengan nada yang enak didengar. Muka yang good looking membuat semua mata terpana. Ibu-ibu kampung sampai ternganga. Mereka sering melihat pria itu ke masjid tapi tidak pernah bertegur sapa. Dan lihatlah! Itu sih maco betulan. Mana mungkin dia lelaki sakit yang tak suka wanita. Tubuhnya berisi bak model-model. Jangankan ibu-ibu anak muda saja terpana melihat Teuku Arasya. Kemampuan berbicaranya sungguh terekspose di atas panggung itu. Gayanya seperti motivator-motivator muda yang sering muncul di TV.
Pov Alina Di hotel, aku diperkenalkan pada semua keluarga dari Malaysia. Beberapa sudah tahu, tapi banyak juga yang belum. Mereka adalah adik-adiknya Umma beserta keluarga mereka masing-masing. Umma merupakan anak tertua yang memiliki tiga adik. Dua laki-laki dan satu perempuan. Aku bersalaman dengan semuanya. Sungkan tentu saja. Apa pandangan orang lain bila seorang Teuku Arasya menikah dengan pengasuh anaknya. Beruntung dari mereka tidak ada yang bersikap tidak mengenakan. Malah ramah semua. Kami sempat mengobrol sebentar, lalu para tamu masuk kamar masing-masing untuk beristirahat. Aku menggendong Zikri sampai ke kamarnya. Memeluk anak menggemaskan ini dengan penuh cinta. Sungguh rindu rasanya. Aku seperti bertemu dengan anak sendiri meski tidak tahu rasanya punya anak. Kupeluk dan kuciumi dia di mana-mana. Zikri hanya diam sambil melingkarkan tangan di leherku. "Mama Alin, Iki punya robot, Mama Alin nak tengok?" katanya saat kami memasuki kamar. "Mana Mama nak tengok." Kusim
Esoknya rumah sibuk dari sejak subuh. Tukang rias datang, mendandani dan memakaikan gaun yang beberapa hari lalu kami beli dari kota. Aku memakai hak tinggi dan membawa seikat bunga. Di dalam kamar, aku mematut diri. Berputar menyamping. Di dalam cermin sana, aku bak putri raja. Cantik sekali. Bang Rasya mendekat. Pria yang sudah memakai jas ini melingkarkan tangannya di pinggang. Sama-sama melihat cermin. Seperti sedang memamerkan kalau kita pasangan serasi. Tak malunya Bang Rasya mencium pipiku di depan tukang rias. Aku menepis pipinya penuh sayang. Beberapa menit sebelum acara, kami naik mobil, kali ini bukan jeep, melainkan mini bus biasa. Mungkin karena ribet dengan pakaian aku kurang menunduk dan imbasnya kepala jadi kejedot. "Aduh." Aku memekik sambil duduk. Bang Rasya melihat khawatir. "Sakit?" Dia mengusap kepala. "Tidak ... tapi ... ini lumayan." Aku menertawakan kebodohan sendiri. Sesampainya di tempat resepsi, Bang Rasya memintaku untuk tidak langsung turun. Dia kel
"Diam!" Bang Rasya menunjukkan lima jarinya pada aku dan bapak-bapak yang baru saja melihat pemandangan itu. "Diam!" katanya dengan nada lebih tinggi. Bang Rasya mengacungkan pena dengan tangan kanannya. Lalu suara rekaman itu terdengar. "Kenapa kau ke sini?" ucap suara Bang Rasya. "Apa kau tak ingin bersenang-senang denganku?" Suara Shena. "Biadab kau. Keluar!" "Baiklah. Aku yakin kau memang akan menolaknya. Orang yang sok suci memang pantas dengan orang yang sok suci." "Heh. Kenapa kau malah buka baju?" "Mau tahu. Kau lihat ini!" "Tolong ... tolong ... tolong saya mau diperk*sa." Lalu suara dobrakkan pintu pun terdengar. Shena yang sedang menangis di sudut ruang, langsung kaget mendengar suaranya sendiri diperdengarkan. Dia berkedip cepat dan berdiri dengan perlahan. Bapak-bapak saling melirik. "Apa itu?" kata si bapak yang berada di sebelah kananku. "Itu suara rekaman." Aku menjelaskan. Shena langsung gelagapan, melirik ke sana kemari. Seperti kucing yang ketahuan men
Kami memesan kamar hotel untuk bermalam. Penerbangan ke Aceh besok jam satu siang. Jadi kami istirahat dulu di sini sampai waktu penerbangan tiba. "Abang. Apa yang Abang rasakan saat melihat Shena buka baju?" Aku memeluk lengan berototnya dengan erat. Bang Rasya sedang fokus pada laptopnya. Dia sudah mulai disibukkan dengan pekerjaan. Bang Rasya menghentikan gerak tangan di atas keyboard. Dia melirik sedikit. "Kaget. Lumayan panik juga. Tapi ya ... berusaha santai." "Tergoda tak?" "Astagfirullah." Dia langsung berpaling. Melanjutkan gerakan tangannya di keyboard. Seolah pertanyaanku tidak penting atau malah menyebalkan. Aku berdiri. Berjalan menjauhinya dan duduk di kasur. Tumpang kaki sambil melihat dia yang duduk di sofa hitam. "Kalau begini tergoda tak?" Aku membuka ikat rambut dan sedikit memainkan kepala. Kedua iris Bang Rasya berpindah dari layar laptop ke sini. "Kalau begini tergoda tak?" Aku membuka kancing atas, menarik kerah baju ke samping--memperlihatkan pundak. "K
Di usianya yang tak muda lagi, terlalu berisiko untuk melahirkan kembar dengan normal. Maka caesar sudah dijadwalkan sejak awal kehamilannya. . Di sana mereka sekarang. Di ruang operasi. Arasya duduk di samping Alina dan menggenggam tangannya sambil bercerita. Sementara di bagian perut, dokter sedang membedahnya. "Anak kita sudah terlihat belum?" tanya Alina. "Tak, Abang tak nak lihat," ujarnya dengan menggeleng. Namun, usahanya untuk tidak melihat kondisi perut sang istri goyah saat terdengar jeritan bayi. Satu laki-laki, satu perempuan. Alina mendapatkan dua sekaligus. Arasya memandang dua keturunannya lagi dengan tatapan haru. Lalu dengan bantuan dokter, dua bayi itu didekatkan dengan ibunya. "Akhirnya aku bisa punya anak dari rahim sendiri." Tahapan-tahapan memiliki keturunan itu selalu membuatnya menangis. "Adik langsung dapat dua." "Ya," katanya dengan berlinang air mata. Arasya kemudian mengusap basah di pipi Alina. "Nak Abang beri nama apa?" "Dia, nak Abang beri nam
Dua tahun kemudian. Kursi-kursi berpita kuning berbaris rapi. Menghadap ke panggung kayu setinggi satu meter. Karpet merah terhampar. Dua sofa dan bunga-bunga hiasan mengisi mimbar. Ada layar putih dan baliho besar di belakangnya. Orang-orang mulai mengisi kursi. Mengapit buku yang konon meledak di tahun ini. Mereka mengobrol sambil sesekali membahas isi buku itu. Pembawa acara mengisi sofa, diikuti oleh seorang wanita bercadar dengan pakaian hitam-hitam. Lalu acara pun dimulai. “Terima kasih hadirin semua yang sudah berkumpul di tempat ini. Sebagai mana kita ketahui, bahwa hari ini kita kedatangan tamu istimewa. Seorang penulis yang novelnya meledak di tahun ini. Luar biasanya, novelnya lebih dulu dikenal di negeri tetangga. Padahal beliau ini asli warga Indonesia. Kita patut berbangga.” Pembawa Acara bertepuk tangan dan para pengunjung pun ikut memberi aplus. Perempuan berkerudung lebar itu melanjutkan bicara, memberi sambutan-sambutan, lalu memperkenalkan siapa tamu istimewa it
Abang melirik dan tersenyum. "Semakin pintar awak." Dia memainkan rambut di pucuk kepalaku. "Tentu." Aku memicing. "Sekarang coba sebutkan, apa yang harus saya lakukan agar kesedihan Abang bisa terobati." Aku tengkurap dan mengangkat wajah. Memandang dia dengan serius. Tangan kanannya yang masih ada di kepala langsung pindah ke pipi. "Berjanji lah tuk tak tinggalkan Abang. Abang hanya punya separuh napas. Abang tak bisa kehilangan separuhnya lagi. Bila Allah meridhoi, Abang berharap Abang je yang mati duluan, jangan awak. Abang tak kan bisa." Aku menautkan jari-jari tangan kami. "Kita kan menua bersama. Melihat anak-anak tumbuh sehat dan jadi orang-orang yang besar. Kita kan saling menjaga sampai tua. Hmmm...?" Aku mengubah posisi lagi menjadi berbaring di lengannya. "Saya akan berdoa, Abang menghadap Illahi sehari lebih cepat dari pada saya. Biar saya bisa melakukan apa yang Abang lakukan pada Aisha. Begitu adil bukan?" "Tu terdengar baik." "Tugas kita sekarang adalah mengumpul
POV Alina. Kadang memang masih ada rasa cemburu ketika melihat Aisha bersama Bang Rasya. Namun, tak sedikit pun berharap hal buruk terjadi padanya. Dia telah memberi kehangatan yang berbeda. Rumah ini jadi lebih ramai dan berwarna. Hati ikut miris ketika abang pulang dari rumah sakit dengan membawa Aisha yang sudah tak berdaya. Dia duduk di kursi roda dan tak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa bicara. Rasa cemburu yang kadang masih ada itu hilang begitu saja, malah berganti iba. Dengan mata kepala sendiri, aku melihat Bang Rasya mengurus Aisha dengan begitu telaten. Dari memandikan, menyuapi, bahkan membersihkan kotorannya. Di sana dia terlihat begitu penyayang dan bertanggung jawab. Hingga aku merasa tak ada alasan untuk menjauh darinya lagi. 'Abang... jika lelah datang saja padaku. Saya di sini akan membuang kelelahanmu. Kasih sayangmu pada Aisha biarlah saya yang membalasnya.' Hanya tiga hari, Aisha bertahan di rumah. Lalu pergi untuk selamanya di malam itu. Malam yang paling ba
Sore, di hari Kamis. Aku membawa Aisha ke kamar mandi. Mendudukkannya di atas bathtub. Lalu memandikannya. Mengisi bathtub dengan banyak air hangat dan sabun. Aku membersihkan tubuhnya dari kepala sampai kaki. Tiga hari di rumah sakit dan tiga hari di rumah, aku yang selalu merawatnya."Ingat tak, kita suka mandi bersama?" kataku sambil menggosok tangannya."Kapan?""Dulu.""Lupa.""Biar Abang ingatkan." Aku membersihkan badannya sambil bercerita juga berurai air mata. Tubuh Aisha masih dalam pemulihan pasca melahirkan. Napasku sakit lagi saat menyentuh area-area sensitifnya yang belum sembuh benar. Dadanya masih keluar asi untuk buah hati kami.Alina masuk kamar mandi, menghampiri. Dia mengusap rambut dan pundak Aisha, lalu telapak tangannya yang sudah keriput karena terlalu lama di air."Sudah, Abang, terlalu lama," kata Alina. Lalu dengan dibantu Alina, aku membersihkan tubuhnya.Kubaringkan dia di tempat tidur lalu memakaikan pakaian dengan hati-hati. Setidaknya itu pelayanan tera
Pov Teuku ArasyaDalam waktu dua minggu, sudah dua kali aku singgah di rumah sakit ini. Pertama, untuk menyambut kehidupan, setiap sudut ruang rawat seakan indah sampai suhu terasa hangat.Kedua, untuk kesakitan. Rasa keputusasaan membuat tempat ini serupa gelap, kelam, dan dingin.Aisha berbaring tak sadarkan diri. Alat-alat medis mengelilinginya. Tiang infus menggantung. Mesin pendeteksi detak jantung berjalan dan mengeluarkan suara “Tit! Tit! Tit!” Dengan teratur.Dadaku serupa dihantam godam, saat melihat tubuh Aisha bergetar hebat. Napasku jadi sakit dan sesak, rasanya persis dengan dulu, saat aku berdiri di antara puing-puing gempa dan memanggil-manggil namanya. “Aisha… Aisha… Aisha….”Kemarin, aku masih yakin, dia yang kadang bersikap menyebalkan dan menguji emosi akan menemaniku sampai tua. Namun… hari ini… saat dokter memvonis usianya, aku baru menyadari satu hal, ternyata sesakit ini rasa kehilangan. Sama persis dengan bertahun-tahun yang pernah kulalui. Bahkan helaan napas
Hari itu, Alina mengajak bicara. Tepat sehari setelah aku memeriksakan kondisi kesehatan ke dokter. Alina menyayangkan sikapku yang angkuh ini, dia juga menyayangkan karena aku memilih bersembunyi selama dua tahun.Aku terdiam dan memikirkan semuanya. Andai saat itu kami bertemu pun, hal baik apa yang akan terjadi? Apa dia akan meninggalkan istrinya demi aku? Itu dholim. Dan tentu aku tidak akan mengijinkannya. Ini memang buah simalakama. Bagaimana pun jalannya pasti pahit.Lalu tentang sikap angkuhku ini. Memangnya aku harus bagaimana? Menerima semua kepahitan ini begitu saja?Kupikir, sosok istri Bang Rasya itu wanita yang amat takut kehilangan suaminya. Tapi anggapanku berubah di pertemuan pertama, karena dia malah menceritakan betapa Bang Rasya terluka gara-gara kehilanganku. Alina memberi buku catatan hati Bang Rasya selama kami terpisahkan. Dari pertemuan itu kupikir jika Alina mungkin perempuan bercadar yang taat dan patuh pada syariat Nabi, termasuk tentang poligami. Sementara
Pov AishaAku adalah seorang anak dari ustadz kondang di Aceh. Saat usiaku dua puluh tahun, usia Abi sudah lebih dari 60 tahun. Beliau memang telat memiliki anak karena semangatnya mencari ilmu. Di antara Ustadz Firman dan Aba Umar, abiku paling tua, dan paling dihormati. Abiku termasuk orang yang disegani di Aceh karena keilmuannya. Terlebih bagaimana nama besarnya di khalayak umum, bagiku beliau tetap saja seorang ayah. Ayah yang sangat lembut dan penyayang.Sementara Umi, bunda tercintaku itu keturunan timur tengah. Beliau hanya ibu rumah tangga biasa. Ia sangat cantik, tapi kecantikannya hanya bisa dilihat olehku dan Abi. Umiku selayaknya wanita timur tengah yang kuat, kokoh, dan tidak mudah terpengaruh pendapat orang.Kami menempati sebuah rumah sederhana dengan halaman yang luas. Bukan tak mampu untuk bergaya hidup mewah. Rezeki kami melimpah meski hanya dari ceramah. Tapi hidup Abi sudah didedikasikan untuk umat. Jadi kami bergaya sederhana saja. Sodakoh sebanyak-banyaknya.Dar
Selama Abang berbicara dengan Aisha aku menutup mata dan telinga. Berusaha tak mendengar dan melihat. Panasnya rasa cemburu ini tetap ada. Ukurannya kadang naik kadang turun. Sekarang ini sedang naik. Karena mereka seperti keluarga yang sempurna. Tapi aku sudah memutuskan untuk kuat menahannya. Ini komitmen dari sebuah pilihan. Baby Aisha dibawa kembali ke ruangan. Dokter mengatakan semuanya baik. Bayi itu pun berpindah dari tangan dokter padaku. Abang melihatnya dengan pandangan yang sulit dijabarkan. Berkaca-kaca karena haru, bahagia, dan suka, mungkin. “Benar dia laki-laki?” tanyanya. Pada Awalnya Abang berharap dia anak perempuan. Setelah beberapa kali USG, hasilnya laki-laki. Meski begitu, dia masih berharap kalau anak ini perempuan. Harapan itu musnah hari ini. “Kalau ingin perempuan nanti dari Alin,” kata Aisha. “Mungkin tidak.” Aku menggeleng. “Jangan cakap macam tu, Insya Allah,” timpal Abang. “Nak gendong?” Aku menawarkan. “Abang tak berani.” “Adzankan saja.” Aku