Pov Author. Malam hari di kamar hotel. Teuku Arasya menyimpan tas. Melonggarkan dasi, lalu duduk di kursi. Selain mengurus dokumen untuk pernikahan, pekerjaan bisnisnya di Jakarta ini cukup banyak dan menyita waktu. Pria berkemeja biru itu ingin ketika menikah, pekerjaannya sudah berkurang agar bisa sedikit bersantai dengan Alina. Lusa rencananya dia akan berangkat ke kampung Alina. Mematangkan acara akad dan resepsi. Baru tiga langkah kakinya terayun ke kamar mandi, ponsel sudah bersuara nyaring. Pria itu balik badan, kemudian mengambil ponsel yang masih ada di dalam tas. “Ya.” Dia menyatukan ponsel ke telinga. “Bang. Malam ini Wisnu menyelinap ke rumah Mbak Alina.” “Lalu?” “Tapi langsung keluar lagi.” Lapor pemuda kampung yang dia suruh untuk menjaga Alina. Sebagai laki-laki Teuku Arasya mengerti bagaimana perangai Wisnu. Boleh jadi dia guru. Boleh jadi dia terlihat ramah dan baik. Tapi di dalam dirinya, mana ada yang tahu. Berani menyelinap ke kamar perempuan yang notabenen
Alina berjalan ke depan Wisnu lalu melanjutkan kalimatnya, “Tapi itu dulu sebelum kamu berkhianat. Sekarang perasaan itu sudah berubah benci dan jijik.” Alina menjeda. “Maka sekarang dengarlah ini. Saya sudah tidak punya perasaan apa pun padamu. Cinta saya sudah bukan untukmu tapi untuk yang lain. Jika saya tidak bisa tidur malam-malam, itu bukan karena saya masih memendam kecewa. Tapi karena saya sedang merindu. Merindukan Bang Rasya ... Paham!” Tengku Arasya yang sempat tegang jadi tersenyum. Lalu dadanya menghangat. Sempat-sempatnya dia berbunga-bunga dalam kondisi riuh begitu. “Baiklah. Itu cukup. Kalau begitu saya akan pergi. Dari kamu dan dari keluarga ini.” Wisnu berjalan meninggalkan tempat keributan. Warga yang melihat ber-huh-ria. “Heh! Tunggu-tunggu-tunggu. Ini maksudnya apa?” Shena melebarkan langkah. Berjalan ke tengah kerumunan. “Ada apa ini Pak?” Shena mendongak menuntut jawab. “Suamimu baru saja menyelinap masuk kamar Lina,” jelas bapak yang posisinya jauh lebih
Pov Alina. "Awak mesti ingat, Alina. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Bersama kesulitan ada kemudahan." Umma menyiram tanaman bunga. Aku menemaninya sambil mendorong Zikri di atas roda. "Hidup awak tak akan selamanya sempit. Kan da waktunya lapang nanti," sambung Umma lagi. Aku membetulkan botol susu sambil terus menyimak. Panjang lebar Umma memberikan kata-kata motivasi. Aku hanya diam karena segan. Sekarang apa yang Umma bilang sudah terbukti. Ujian berganti kebahagiaan. Langit hitam berubah cerah. Aku tak henti-hentinya mengucap syukur atas semua ini. Kubawa Bang Rasya keliling rumah. Menunjukkan hasil bangunan dari kamar sampai dapur. "Ini awak yang beli, Dik?" Pria yang memakai kaus warna biru ini menatap lemari. Kausnya ketat sampai menampakkan otot-otot dadanya yang berisi. "Iya, Bang. Tak jelek kan?" Meski miskin, aku sudah belajar bagaimana cara Umma menata rumah. Jadi sedikitnya sudah tahu bagaimana standar Bang Rasya. "Nanti uangnya Abang ganti." Dia te
Semua tamu pulang. Tinggallah rumah yang lengang. Aku beres-beres dulu sementara Bang Rasya masuk kamar. "Shena tak ke sini, Bu?" tanyaku sambil menyimpan gelas-gelas bekas. "Sudah jangan pikirkan dia. Cepat temui suamimu. Ini biar ibu yang bereskan." "Gak apa-apa, Bu?" Bukannya ingin kerja, tapi grogi mau sekamar dengan Bang Rasya. Kalau dia lelaki biasa mungkin tidak akan setegang ini. Tapi dia adalah tuan mudaku di Malaysia sana. "Sudah sana naik!" Terpaksa aku melangkah ke tangga. Aduh ini serasa akan tidur dengan raja. Beruntung sekali kamu Alina. Punya suami ganteng. Tinggi. Seksi. Kaya. Soleh pula. Sepanjang menaiki tangga aku memuji keberuntungan diri sendiri. Lampu lantai dua temaram. Pencahayaan hanya dari balkon saja. Aku menghela napas lalu membuang napas. "Huh! Bismillah." Aku membuka pintu kamar. Allahu Akbar. Mata ini serupa loncat ke lantai. Aku terkejut dan langsung menutup pintu lagi. Bang Rasya sedang bertelanjang dada. Pinggangnya dililit handuk mungkin
Selayaknya pengantin baru. Kami tidur, bangun, makan. Tidur lagi, bangun lagi, makan. Seharian menyibukkan diri di kamar. Bang Rasya ke luar rumah hanya di jam-jam shalat. Aku menyiapkan makan siang sambil menunggu Bang Rasya pulang dari masjid. Ibu masuk dengan langkah rusuh sambil menggendong Chacha. "Duh. Si Shena tuh ada-ada saja." Ibu mengambil sesuatu dari kotak obat. "Shena kenapa, Bu?" Kepanikan ibu berhasil merembet padaku. "Sakit." "Sakit apa?" Aku mendekati ibu yang sedang mengambil obat penurun demam. "Panas." Ibu melihatku dengan mimik khawatir. "Ibu takut kejadian seperti dulu terulang lagi." Aku terdiam dan berpikir. Lumayan mengkhawatirkan juga bila sampai terjadi. Dulu saat Shena ditinggalkan Arman, dia sakit juga. Mungkin sekarang juga sakit karena ditinggalkan Wisnu. Masalahnya Shena kalau hidup sendiri begitu bahaya. Dulu yang jadi sasarannya Wisnu. Sekarang ... aku menggeleng membuang pikiran jelek. Insya Allah Bang Rasya pria yang taat beragama dan tidak a
"AW!" Aku menjerit diiringi suara dentuman pintu yang menabrak tembok. Posisi pintu memang sedang terbuka. "SHENA!" Aku teriak kesal. Diri langsung dibakar emosi. Tidak tahu diri sekali dia. Sudah kondisi sakit, mau aku bantu malah begitu kelakuannya. Shena tersenyum menjijikkan. "Sudah tak perlu sok suci. Aku gak butuh bantuanmu." "Oh. Oke ... kau sakit saja sendiri bila perlu sampai mati. Kalau bukan karena Bang Rasya aku pun tak sudi membantumu." "Aku juga tidak perlu bantuanmu. Kalau bukan karenamu hidupku gak bakal hancur." Aku ternganga. "Kamu yang menghancurkan hidupku. Lupa!" Ibu dan Bang Rasya datang bersamaan. Mereka langsung menatap kami dengan keheranan. "Ada apa?" tanya ibu. "Dia mau kupapah malah ngedorong, Bu. Gila memang kamu." Aku jadi mengumpat sambil keluar kamar. Terasa sekali pundakku sakit karena menabrak hendel yang runcing. Aku menghempaskan tangan berkali-kali untuk menghilangkan rasa ngilu dan sakit. "Tak apa, Dik?" Bang Rasya melihat tanganku. "Pu
Aku mempercepat langkah. Iya, benar. Itu kali-nya. Aku mendekat. "Dik. Awas!" "AWAAASS!" Bang Rasya teriak-teriak. Dia memberi kode tangan agar aku minggir. Lalu dia terjungkal jatuh ke belakang. Aku mengernyit heran. Awas apa? Tidak ada apa-apa kok. Kuamati sekitar dan tidak ada masalah. Aku balik lagi menghampiri Bang Rasya. Pria tinggi kekar ini tampak sangat panik. Dia terpejam dengan telapak tangan menutup mata. Duduk di rerumputan sambil bergumam "Awas ... awas ...." "Abang. Ada apa, Bang?" Aku mengguncangnya. Bang Rasya langsung menarikku ke pelukannya. "Air, Dik ... air ... ada air." Dia melihat tubuhku dengan kepanikan. Lantas memeluk lagi. "Iya, air. Itu kan kali. Memangnya kenapa?" Bang Rasya bernapas cepat. Lalu napasnya agak melambat dan panjang-panjang. Dia mengusap wajah. "Astagfirullah ... Astagfirullah ...." Membuka mata lebih lebar dan melihat sekeliling. "Astagfirullah ...." Dia mengusap wajah lagi. Keningku menegang, sungguh sangat heran melihat raut waja
Aku berpikir lama. Hati nurani terus bersahutan. Kuambil pena yang tergeletak di meja, lalu memainkan benda itu sambil melamun. Menyangga dagu dengan telapak tangan. Ada yang membuat lamunanku buyar. Pena yang kupegang ternyata tidak sama dengan yang lainnya. Pena ini ada tombol on off dan panah naik turun. Aku memutar dan mengamati benda di tangan ini. "Eh, Abang. Ini pen atau apa?" "Ya, tu pen." "Ini apa?" Aku menekan tombol on off. "I love you," kata Bang Rasya. Aku mengernyit, orang ditanya malah bilang i love you. "Jawab!" titahnya setelah aku diam saja. "I love you too," seruku dengan agak heran. Bang Rasya mengambil pena di tanganku. Dia menekan salah satu tombol. Lalu terdengar lah suara aku dan dia. "Bisa merekam?" Aku mengambil benda itu dari tangannya dan mendengarkan baik-baik. "Abang kadang tak selalu fokus saat meeting. Jadi harus punya ni supaya bisa simak next time." "Wah ... canggih ...." Aku terpana. Kemudian aku sibuk memainkan benda keren ini. Merekam.