Selayaknya pengantin baru. Kami tidur, bangun, makan. Tidur lagi, bangun lagi, makan. Seharian menyibukkan diri di kamar. Bang Rasya ke luar rumah hanya di jam-jam shalat. Aku menyiapkan makan siang sambil menunggu Bang Rasya pulang dari masjid. Ibu masuk dengan langkah rusuh sambil menggendong Chacha. "Duh. Si Shena tuh ada-ada saja." Ibu mengambil sesuatu dari kotak obat. "Shena kenapa, Bu?" Kepanikan ibu berhasil merembet padaku. "Sakit." "Sakit apa?" Aku mendekati ibu yang sedang mengambil obat penurun demam. "Panas." Ibu melihatku dengan mimik khawatir. "Ibu takut kejadian seperti dulu terulang lagi." Aku terdiam dan berpikir. Lumayan mengkhawatirkan juga bila sampai terjadi. Dulu saat Shena ditinggalkan Arman, dia sakit juga. Mungkin sekarang juga sakit karena ditinggalkan Wisnu. Masalahnya Shena kalau hidup sendiri begitu bahaya. Dulu yang jadi sasarannya Wisnu. Sekarang ... aku menggeleng membuang pikiran jelek. Insya Allah Bang Rasya pria yang taat beragama dan tidak a
"AW!" Aku menjerit diiringi suara dentuman pintu yang menabrak tembok. Posisi pintu memang sedang terbuka. "SHENA!" Aku teriak kesal. Diri langsung dibakar emosi. Tidak tahu diri sekali dia. Sudah kondisi sakit, mau aku bantu malah begitu kelakuannya. Shena tersenyum menjijikkan. "Sudah tak perlu sok suci. Aku gak butuh bantuanmu." "Oh. Oke ... kau sakit saja sendiri bila perlu sampai mati. Kalau bukan karena Bang Rasya aku pun tak sudi membantumu." "Aku juga tidak perlu bantuanmu. Kalau bukan karenamu hidupku gak bakal hancur." Aku ternganga. "Kamu yang menghancurkan hidupku. Lupa!" Ibu dan Bang Rasya datang bersamaan. Mereka langsung menatap kami dengan keheranan. "Ada apa?" tanya ibu. "Dia mau kupapah malah ngedorong, Bu. Gila memang kamu." Aku jadi mengumpat sambil keluar kamar. Terasa sekali pundakku sakit karena menabrak hendel yang runcing. Aku menghempaskan tangan berkali-kali untuk menghilangkan rasa ngilu dan sakit. "Tak apa, Dik?" Bang Rasya melihat tanganku. "Pu
Aku mempercepat langkah. Iya, benar. Itu kali-nya. Aku mendekat. "Dik. Awas!" "AWAAASS!" Bang Rasya teriak-teriak. Dia memberi kode tangan agar aku minggir. Lalu dia terjungkal jatuh ke belakang. Aku mengernyit heran. Awas apa? Tidak ada apa-apa kok. Kuamati sekitar dan tidak ada masalah. Aku balik lagi menghampiri Bang Rasya. Pria tinggi kekar ini tampak sangat panik. Dia terpejam dengan telapak tangan menutup mata. Duduk di rerumputan sambil bergumam "Awas ... awas ...." "Abang. Ada apa, Bang?" Aku mengguncangnya. Bang Rasya langsung menarikku ke pelukannya. "Air, Dik ... air ... ada air." Dia melihat tubuhku dengan kepanikan. Lantas memeluk lagi. "Iya, air. Itu kan kali. Memangnya kenapa?" Bang Rasya bernapas cepat. Lalu napasnya agak melambat dan panjang-panjang. Dia mengusap wajah. "Astagfirullah ... Astagfirullah ...." Membuka mata lebih lebar dan melihat sekeliling. "Astagfirullah ...." Dia mengusap wajah lagi. Keningku menegang, sungguh sangat heran melihat raut waja
Aku berpikir lama. Hati nurani terus bersahutan. Kuambil pena yang tergeletak di meja, lalu memainkan benda itu sambil melamun. Menyangga dagu dengan telapak tangan. Ada yang membuat lamunanku buyar. Pena yang kupegang ternyata tidak sama dengan yang lainnya. Pena ini ada tombol on off dan panah naik turun. Aku memutar dan mengamati benda di tangan ini. "Eh, Abang. Ini pen atau apa?" "Ya, tu pen." "Ini apa?" Aku menekan tombol on off. "I love you," kata Bang Rasya. Aku mengernyit, orang ditanya malah bilang i love you. "Jawab!" titahnya setelah aku diam saja. "I love you too," seruku dengan agak heran. Bang Rasya mengambil pena di tanganku. Dia menekan salah satu tombol. Lalu terdengar lah suara aku dan dia. "Bisa merekam?" Aku mengambil benda itu dari tangannya dan mendengarkan baik-baik. "Abang kadang tak selalu fokus saat meeting. Jadi harus punya ni supaya bisa simak next time." "Wah ... canggih ...." Aku terpana. Kemudian aku sibuk memainkan benda keren ini. Merekam.
Lampu menyala di semua ruang. Terang benderang seperti siang. Bapak dan Bang Rasya mengobrol di ruang tengah sambil ngopi. Aku menyetrika pakaian di ruang belakang. Suara mereka lumayan terdengar jelas. Kali ini Bang Rasya meminta bapak untuk tidak kerja di sawah lagi. Lebih baik menyerahkan sawah pada orang lain dan bapak melakukan apa yang disukai saja. Urusan nafkah, Bang Rasya akan menjamin semuanya. Bapak sangat berterima kasih pada menantunya itu. Meski begitu bapak tetap tidak mau meninggalkan sawah. Karena sawah sudah menjadi detak nadinya. "Bapak tak sah tinggalkan. Kasih ja rang lain. Bapak tinggal kontrol. Saya nak lihat bapak sehat. Tak lelah. Bapak tinggal diam di rumah. Pakai baju bagus. Makan enak. Bapak suka apa? Tembak burung, atau mancing? Nanti saya belikan. Saya nak, uang yang saya hasilkan bisa bahagiakan orang tua." Kalimat bernada lembut itu berhasil membuatku merasa tertampar. Aku sebagai anaknya saja belum ada yang kuperbuat untuk membalas budi baik orang t
Kehadiran Bang Rasya berhasil mengubah semuanya. Orang tuaku diberikan pakaian-pakaian yang cukup mahal bagi standar kami. Kami tidak boleh lagi memakai baju compang-camping. Kulkas penuh dengan makanan. Alat-alat elektronik keluaran terbaru mengisi rumah. Aku semakin menjadi sorotan dimata para tetangga. Beruntung ibu masih menjaga rahasia latar belakang suamiku. Kalau orang lain tahu suamiku sultan Malaysia. Bisa rame, bukan hanya sekampung tapi mungkin sekabupaten. Waktu berlalu cepat. Tempat wisata sudah menyentuh tahap finishing. Pak Rahmat dan pemuda desa merancang akan seperti apa opening dilakukan. Di waktu yang bersamaan. WO di-booking. Undangan pernikahan dibagikan. Mungkin juga ada yang sudah curiga atau malah tahu kalau tempat wisata itu milikku, karena nama tempat dan namaku di kartu undangan jelas sama. * Aku membaca. Menutup kertas. Lalu melafalkan tulisan yang sesungguhnya kubuat sendiri. Opening tempat acara adalah besok. Aku harus berdiri di panggung. Berbicara
Pov Author Teuku Arasya menggenggam tangan Alina yang dingin. Wanita berbibir tipis itu mencoba mengulas senyum meski dadanya terus berdebar tak karuan. Ibu dan bapak yang duduk di kursi belakang juga sama tegangnya. Tidak semua orang siap dengan ketenaran, seperti mereka misalnya. Kendaraan Teuku Arasya disambut para pemuda desa yang sudah stand by sejak subuh. Pada bodyguard dadakan itu bertugas mengamankan keberlangsungan acara. Mereka memakai seragam hitam-hitam layaknya bodyguard sungguhan. Pak Rahmat menyambut ketika pasangan tua dan muda itu turun dari mobil. Langsung berjabatan dan mempersilakan ke tempat yang sudah disediakan. Beberapa sofa panjang di simpan di depan panggung. Aneka kudapan tersaji di meja. Alina dan Teuku Arasya berjabatan tangan dengan Pak Kades serta para stafnya yang sudah datang lebih dulu. Mereka basa-basi bertegur sapa. Alina lebih banyak senyum daripada bicara. Setelahnya mereka duduk. Pak Bupati dan Pak Camat datang beserta beberapa stafnya juga
Selanjutnya giliran Teuku Arasya yang naik panggung. Jangan ditanya bagaimana percaya dirinya pria itu. Pria yang begitu mudah memenangkan berbagai tender. Dia berdiri di atas panggung sambil memegang mikrofon. Memakai kaus polos warna biru langit yang berkerah V. Dibalut blazer yang senada dengan istrinya. Celana jeans dan sepatu kulit. Dari atas sampai bawah, penampilannya sudah mencerminkan pengusaha muda yang sukses. Teuku Arasya sedikit menaikkan lengan blazernya. Berbicara relaks dengan nada yang enak didengar. Muka yang good looking membuat semua mata terpana. Ibu-ibu kampung sampai ternganga. Mereka sering melihat pria itu ke masjid tapi tidak pernah bertegur sapa. Dan lihatlah! Itu sih maco betulan. Mana mungkin dia lelaki sakit yang tak suka wanita. Tubuhnya berisi bak model-model. Jangankan ibu-ibu anak muda saja terpana melihat Teuku Arasya. Kemampuan berbicaranya sungguh terekspose di atas panggung itu. Gayanya seperti motivator-motivator muda yang sering muncul di TV.