Tubuh ringkih Liana bersandar pada dinding, tatap matanya datar, tersembunyi di balik rambut pendek lusuh yang hampir menutup sebagian wajah. Sudah lebih dari satu jam ia duduk tanpa mempedulikan tegur sapa dari penghuni sel sebelah, sengaja memekakkan kedua telinga. Sesekali bibirnya mengukir senyum dan sering kali juga berubah desis kekesalan.
Pernyataan Raksi dan Pandu pada media tentang kejiwaan Liana, imbas dari buruknya kehidupan keluarga, telah menarik awak media berlomba-lomba menyusuri benang hitam kisah kelam sang nenek, bahkan Lusiana yang telah sepuh tak luput dari incaran wartawan.
Awal yang buruk untuk memulai hari. kesunyian pagi, terusik teriakan seorang warga yang mengemparkan seluruh penduduk desa. Penemuan mayat di dalam sebuah koper dengan tubuh terpotong-potong menjadi beberapa bagian kecil, berhasil membangunkan ketenangan warga pinggir kota yang terkenal damai.Sebuah koper berwarna biru dengan ukuran besar tergeletak begitu saja di pinggir danau, memancing rasa ingin tahu seorang laki-laki tua yang melintas. Menggoda pria tua itu, untuk membuka paksa koper yang ia temukan, berharap bisa mendapatkan sesuatu yang berharga, tetapi isinya sangat mengejutkan, membuat pria tua itu
"Aku pulang!" teriak Liana dari muka pintu rumah, sambil membuka sepatu dan menyimpannya di rak kecil, yang berada di samping pintu.
Liana tercenung memandang bungkusan yang diberikan Pandu, satu persatu ia mengeluarkan isinya dengan tangan gemetar. Sebuah ikat pinggang, dua buah dompet, dan sebuah bandana yang berlumuran darah.Gadis yang menggunakan kaca mata tebal itu tertawa frustrasi, kenapa polisi tidak memeriksa bandana yang berlumuran
Pandu mempelajari hasil autopsi yang baru saja tiba di meja kerjanya. Beberapa kali, mata tajam pemuda itu mengerenyit tanpa ia sadari. Ada beberapa hal yang membuat dirinya berada dalam zona merah menentukan arah perkembangan kasus mutilasi ini.Sahabat dan kerabat mengetahui korban sebagai pribadi yang baik, t
Sekelompok remaja terlihat berkumpul di cafedengan latar pinggiran sungai yang indah. Kelap kelip lampu yang berasal dari rumah penduduk di seberang sungai terlihat seperti kerlip bintang yang hampir menjejak bumi.Kelompok remaja yang berjumlah tak kurang dari enam orang itu, tampak asyik berbicara
Langkah Liana terhenti, melihat Pandu dan Gama sepagi ini sudah berada di depan pintu rumahnya, gadis itu membetulkan letak kaca matanya yang retak, tersenyum dan memberi salam kepada kedua polisi muda tersebut.“Apakah tidak terlalu pagi untuk datang bertamu, Inspektur!” sapa Liana, ia membuka pintu rumah yang
Suara sirine mobil Polisi terdengar saling bersahutan di tambah dengan kehadiran dua mobil yangterparkir di pinggir jalan tepat di depan rumah mendiang Ahkam, memancing rasa keingintahuan warga. Hampir sebagian besar warga keluar untuk melihat ada kejadian apa yang bisa menggemparkan komplek pemukiman mereka yang selama ini sangat tenang.
“Bagian mana yang paling ingin Kau ketahui? Bagaimana aku membunuh mereka, atau bagaimana aku bisa berubah menjadi seorang pembunuh?”Senyum Liana terkembang, kedua matanya tetap terpejam saat
Tubuh ringkih Liana bersandar pada dinding, tatap matanya datar, tersembunyi di balik rambut pendek lusuh yang hampir menutup sebagian wajah. Sudah lebih dari satu jam ia duduk tanpa mempedulikan tegur sapa dari penghuni sel sebelah, sengaja memekakkan kedua telinga. Sesekali bibirnya mengukir senyum dan sering kali juga berubah desis kekesalan.Pernyataan Raksi dan Pandu pada media tentang kejiwaan Liana, imbas dari buruknya kehidupan keluarga, telah menarik awak media berlomba-lomba menyusuri benang hitam kisah kelam sang nenek, bahkan Lusiana yang telah sepuh tak luput dari incaran wartawan.
Ruang tahanan berukuran dua kali tiga meter yang dihuni Liana, di penuhi kertas berserakan, bekas coretan gadis itu. Entah apa tujuannya menyobek semua gambar yang ia buat walaupun ada beberapa yang masih utuh dan sengaja di tempelkan pada dinding ruang tahanan.Rambut pendeknya menutupi sebagian wajah yang tampak kusam, meski pun ia terlihat lebih cantik tanpa kacamata. Gadis remaja itu berbaring telentang dengan mengangkat kedua kakinya ke dinding, menatap tiap gambar yang ia lekatkan.Sipir penjara memanggil namanya, menyampaikan bahwa ada seseorang yang ingin bertemu. Dengan sedik
Pandu dan Raksi menyusuri lorong rumah sakit jiwa yang tampak suram, mereka berdua telah mendapatkan izin untuk mengunjungi seseorang yang telah lama berada di sana. Keduanya masuk ke dalam sebuah kamar yang kecil, di huni oleh seorang wanita sepuh berambut putih, sedang duduk di kursi roda menghadap jendela, memandangi tanaman bunga dalam vas kecil.“Aku sudah menduga, akan ada orang lain yang mengunjungiku selain Ahkam dan Namla,” ucap wanita sepuh itu tanpa memutar kursi rodanya untuk melihat siapa yang telah datang berkunjung.Pandu dan Raksi hanya saling pandang sesaat, menutup pintu kamar perlahan sebelum mendekati wanita tua tersebut. Raksi meletakkan bungkusan kecil yang i
Rumah Ahkam kembali menjadi sorotan, kerumunan warga yang ingin tahu, serta hadir para pencari berita halaman rumah tersebut, garis polisi di pasang sekeliling rumah, nyaris saja karena desak-desakkan warga yang ingin masuk.Warga sekitar tidak pernah menyangka jika Ahkam dan Namla yang terkenal introvert tetapi ramah, ternyata seorang pembunuh kejam. Lima kasus orang hilang yang tidak terpecahkan selama ini, ternyata korban pembunuhan yang dilakukan kedua orang tersebut.Liana diam terpaku, melihat polisi dibantu beberapa warga membongkar lantai gudang tepat di bawah tumpukan kayu yang ia tunjukkan. Mereka saling bahu membahu melakukan penggalian, hingga kedalaman lebih dari setengah m
Mata Bob membuka perlahan, bibirnya pucatnya terlihat kering, darah yang mengalir tak henti keluar membuat wajah Bob kian putih bagai mayat. Anak laki-laki itu menatap Liana sayu, bibirnya bergerak perlahan seolah ingin mengucapkan sesuatu. Namun, suaranya tak kunjung keluar, hanya tubuh kecilnya yang tersentak-sentak mengejang lalu tenang.Remaja laki-laki itu meninggal tepat di depan mata Liana, yang menangis memanggil namanya berulang kali. gadis remaja itu menangisi seorang anak laki-laki yang tanpa sadar telah mengorbankan nyawa, untuk melindungi tubuh Liana dari siksaan orang tua kandungnya sendiri.Kematian pertama anak laki-laki yang akhirnya memupuk rasa antipati, mencipt
Liana menatap Bob dengan perasaan campur aduk. Marah, khawatir, dan kasihan, menjadi satu. Ia marah karena pemuda itu tidak mengindahkan peringatannya sejak awal, yang membuat mereka harus berakhir di dalam sebuah gudang pengap yang kedap udara.Jika terjadi sesuatu pada mereka berdua, tidak akan ada yang tahu. Sekali pun mereka menjerit hingga pengawasan suara, tidak akan ada yang bisa mendengar karena gudang itu merupakan tempat Ahkam dan Namla menyiksa Liana.“Seharusnya kau dengarkan kata-kataku. Aku sudah menghindarimu, tetapi kau mencari masalah, mendekatiku seperti orang yang tidak punya pek
Hampir setiap hari Liana menjadi bulan-bulanan orang kedua orang tuanya, tumbuh menjadi sosok remaja pendiam dan kaku. Sahabat satu-satunya hanya Mahia, tidak pernah bertanya tentang apa pun yang berhubungan kehidupan tetapi sangat mengerti dengan keadaan Liana.Pernah satu ketika, Liana tidak bisa mengikutistudy toursekolah, dan kedua orangtuanya melarang, padahal itu di wajibkan, tetapi karena kejamnya orang tua Liana menolak, menolak memilih diam di rumah. Hanya Mahia yang memutuskan tidak ikut, menemani sahabatnya dari jauh, dengan berchatting melalui media sosial.Ketakutan
Duapaper bagberukuran sedang, berisi buku tulis, buku gambar, bolpoint, dan pensil, serta beberapa makanan ringan juga minuman dingin, bertengger manis di atas meja menunggu kedatangan pemiliknya, yang sudah tidak sabar ingin Raksi temui. Liana, gadis remaja yang harus mendekam di balik jeruji besi, karena sifat buas dan kejam karena telah melakukan pembunuhan kepada orang kedua orang tuanya.Hari ini ia akan mendengarkan semua cerita Liana, kembali ke titik awal agar dapat memecahkan sebuah teka-teki, dari sejak pertama kali melihat gadis itu sudah menghantuinya. Cerita Liana adalah kunci yang harus diandingkan dengan sebuah gembok besar untuk membuka pintu besi yang menyimpan banyak rahasia.
Tidak seperti biasa, siang ini ada begitu banyak wartawan yang mencari keberadaan Pandu. Ketenangan pemuda bermata elang tidak terganggu dengan berkali-kali harus menghindari kejaran wartawan yang gigih mencari jejaknya.Kasus Liana telah mengusik banyak pihak, menimbulkan spekulasi dan dugaan-dugaan yang menyudutkan gadis remaja itu, sementara Pandu sebagai penyidik yang bertanggung jawab, belum juga memberikan informasi apa-apa tentang perkembangan kasus tersebut.“Masuklah, tampak tampak seperti itu,” ajak Raksi, menggeser tubuhnya ke samping, memberikan kesemp