Cahaya matahari pagi membangunkan Keyna dari tidurnya. Begitu matanya terbuka ia segera menyentakkan tubuhnya untuk segera duduk.
"Astagaaa, mimpi yang buruk!" pekiknya begitu ia teringat dengan kejadian semalam yang ternyata hanyalah sebuah mimpi.Keyna menyentuh dadanya, yang nampak masih berdebar ketakutan seperti semalam. "Hanya mimpi Key!" Keyna berusaha menyadarkan dirinya. Kemudian ia terkekeh dan segera mengecek keadaan piyama nya yang masih utuh tidak seperti dalam mimpinya yang sudah terkoyak. Bahkan sakit di punggung dan kepalanya pun tidak ada. Keyna tertawa seperti orang bodoh."Benar-benar mimpi yang terasa nyata!" gumamnya, kini Keyna menyentuh bibirnya dengan jarinya. Namun kecupan yang ia dapat dalam mimpi seolah benar-benar nyata, bahkan rasanya masih bisa ia rasakan ketika bibir dingin namun lembut itu menyentuh bibirnya."Bodohhh Key... itu hanya mimpi!!" Keyna mengacak rambutnya yang sudah acak-acakan sebelumnya.Ia segera bergegas ke kamar mandi untuk bersiap-siap pergi ke kampus. Ini sudah jam 7 pagi dan ia ada kelas di jam 9, setidaknya ia masih sempat memakan sarapan buatan Mom.Tanpa basa-basi Keyna segera menyelesaikan rutinitasnya di kamar mandi. Setelah selesai ia mulai menyiapkan segala keperluannya untuk kuliah.Dan Ia segera menuruni tangga saat di rasa tidak ada yang ia lupakan. Semuanya sudah sempurna."Key, ayo sarapan, Mom sudah menyiapkan sandwich kesukaanmu!" seru Mom dari arah dapur begitu melihat anak tersayangnya."Tentu saja, Mom!" ujar Keyna girang kemudian duduk di meja makan. Namun ia merasa heran begitu melihat meja makan, di sana sudah tersedia 4 porsi sandwich. Bukannya terlalu berlebihan? Mereka hanya tinggal berdua. Sedangkan ayahnya masih berada di luar kota dan sedang bekerja.Apa Dad pulang? Tanyanya pada diri sendiri.Ia akan sangat bahagia jika ayahnya ternyata pulang. Ayah Keyna bekerja di sebuah perusahaan minyak, dan ia berada di tambang minyak yang berada di laut lepas. Hanya pulang 6 bulan sekali. Ya mungkin itu sebabnya mengapa Keyna tidak punya adik, dan hanya menjadi anak tunggal.Padahal ia menginginkan seorang kakak atau adik, untuk menemani kesepiannya. Menyedihkan bukan?! Tapi ia tidak bisa memaksa kedua orang tuanya untuk memberikan dia adik."Mom Dad pulang?" tanya Keyna antusias dan bahagia. Jika Dad pulang ia ingin menghabiskan waktunya dengan ayahnya, dan berjalan-jalan.Meskipun Keyna sudah berumur 19 tahun namun ia sangat manja pada ayahnya."Tidak Key, ayahmu belum pulang sayang, bukannya Dad baru 2 bulan yang lalu pulang?" ucap Mom sambil melepas apron nya dan menghampiri Keyna begitu menggantungkan apron yang sudah di lepasnya."Dan ini ?" Keyna melirik pada sandwich yang sudah di sediakan Mom dengan pandangan bingung.Aku harus menghabiskan porsi sebanyak ini? Oh…ya ampun, gumamnya dalam hati."Oh… maafkan, sepertinya Mom lupa memberitahumu saat kau pulang semalam," ucap Mom begitu duduk di kursinya."Kau ingat Tante Manda?" tanya Mom pada Keyna.Keyna tampak mengerutkan keningnya tampak berpikir sebelum Keyna menjawab pertanyaan Mom. "Adik sepupu Mom dari Grandpa Robert yang berada di L.A?" tanya Keyna Ragu."Yupss ... kau benar sayang," ucap Mom girang."And then?" tanya Keyna masih bingung."Anak laki-lakinya tante Manda, Drey dan Harris semalam datang ke sini, dan akan tinggal bersama kita. Mereka akan berkuliah dan sekolah di sini!" ujar Mom. "Drey akan kuliah bersamamu Key! Ia dua tahun di atasmu. Dan Harris akan bersekolah TK, di dekat sini, Mom yang akan mengantarnya!" lanjut Mom dengan antusias.Karena Mom akan merasakan mengurus anak kecil lagi, yang ia idam-idamkan untuk memiliki anak kembali. Namun sayangnya Tuhan belum mempercayakannya lagi untuk memiliki seorang anak lagi."Hah?!" Keyna menganga. Ia tampak bingung, bahkan ia menggaruk kepalanya."Kenapa kau begitu kaget Key? Kau tak suka? Mereka baik kok!" ucap Mom. "Mom senang karena rumah kita tidak akan sepi lagi!"Tunggu, apa aku amnesia? Atau gila? Oh…
my God, apa yang Mom ucapkan?Seingat Keyna, Tante Manda hanya memiliki satu anak dan seorang perempuan. Ini dua anak laki-laki? Yang satu berkuliah sama dengannya, dan satu lagi sekolah TK? Apa maksudnya ini.Bahkan umur Tante Manda hanya 2 tahun di bawah Mom, Mom saja anaknya aku baru 19 tahun. Berarti Drey 21 tahun? Kepala Keyna berdenyut.Belum reda dari keterkejutannya Keyna kembali di kejutkan dengan sebuah suara yang tampak familiar di telinganya."Selamat pagi, Tante…" Suara seorang pria yang menurut Keyna adalah suara Drey."Celamat paghi Tante..." ucap seorang anak kecil yang tampak menggemaskan, karena ia masih belum fasih berbicara. Dan itu pasti suara Harris.Keyna mendongakkan wajahnya menatap Drey dan Harris bergantian. Namun tatapannya tertuju pada Drey.Seperti tidak asing! gumam Keyna dalam hati.Mereka berdua langsung duduk di meja makan di hadapan Keyna dengan santainya, sedangkan Keyna masih diam terpaku tak percaya."Ehh, kenapa memanggilku tante, sudah kukatakan kemarin panggil Mom saja!" ucap Mom membuyarkan lamunan Keyna.Keyna tidak bersuara sedikitpun ia masih bingung dengan keadaan yang menurutnya sangat aneh ini. Tapi apa?."Maafkan kami, Mom!" ucap Drey dengan sopan."Nahh..., begitu, benarkan Harris?!" ujar Mom menatap Harris dengan senyumnya.Harris mengangguk, wajah tampak lucu dengan pipi chubby yang menggemaskan. " Iya..tan..eh Mommy, hallit paham ituhh…" capnuya dengan tidak kalah lucu."Ahh..., Harris sungguh menggemaskan, sini sini Mom pangku kamu, Mom suapin ya, mau?" ujar Mom antusias."Mau Mom…" Harris melebarkan cengirannya tanpa basa-basi ia menghampiri Mom dan duduk di pangkuan Mom.Keyna hanya bisa membeku melihat kejadian yang ada di hadapannya. Bahkan kepalanya sudah di penuhi dengan seribu pertanyaan.Ia kemudian mengalihkan pandangannya pada Drey yang hanya diam di samping dan mengunyah sandwich dengan tenang.Pria itu tampak tidak terganggu dengan tatapan penuh rasa penasaran dari Keyna. Rambut hitamnya sangat indah, potongan rambut pompadour-nya begitu cocok dengan bentuk wajahnya. Netra hitam sehitam rambutnya membuat tatapannya begitu tajam. Kulitnya begitu putih.Tinggi nya Keyna bisa perkirakan sekitar 180an. Badannya begitu atletis. Penampilan Harris tidak jauh berbeda, anak kecil itu sangat tampan seperti kakaknya Drey hanya beda versi saja. Harris versi Drey kecil.Wait!! Seingat Keyna rambut Tante Manda itu blonde. Astaga…Keyna tampak semakin bingung."Tidak usah banyak pertanyaan dalam kepalamu gadis kecil, atau kau harus ku cium lagi agar kau mengingatku?!" gumam Drey pelan sambil menyeringai pada Keyna.Mata Keyna membelalak, bahkan ia tersentak kaget dan…Brukk…Ia terjatuh dari kursi.“Awww…” serunya kemudian, "K-Kau..?!" ucap Keyna terbata.
Ternyata ia adalah mahluk semalam, jadi itu bukan mimpi? Astaga kenapa bisa? Mom? Apa yang akan terjadi pada Mom? Oh tidakkk aku harus memberitahu Mom.. Aku harus."Simpan semua pikiranmu itu!" Kini Drey berdiri dan menghampiri Keyna yang masih terduduk di lantai."Moomm…" pekik Keyna berusaha memanggil Mom padahal Mom tidak jauh dari dirinya, kenapa Mom tampak tidak terganggu."Percuma, ibumu tidak akan mendengar dan percaya semua omonganmu gadis kecil!" Kini Drey berjongkok di hadapan Keyna yang mulai ketakutan."Apa maksudmu?" tanya Keyna."Kau belum sadar rupanya…" Drey menyeringai, "Lihat ibumu!" titahnya.Tanpa menunggu lama Keyna menatap ibunya yang sedang memangku Harris. Mom dan Harris hanya diam tak bergerak sedikitpun seperti sebuah patung.Mata Keyna membelalak, dahinya berkerut."Aku menghentikan waktu jika itu pertanyaanmu, bahkan aku memanipulasi pikiran ibumu dan semua orang, bahwa aku sepupumu! Itu bukan hal yang sulit untukku," ujarnya kembali dengar seringai yang menyeramkan.Apa mimpiku sepanjang ini?!"Ini bukan mimpi, bodoh!!" geram Drey.Drey mendekatkan wajahnya pada Keyna dan kembali mendaratkan bibirnya di bibir Keyna. Awalnya hanya mengecup ringan perlahan namun pasti, kecupan itu menjadi menggebu dan menuntut.Keyna berusaha menolak, namun aneh, tubuhnya seakan bergerak sendiri yang sama sekali bukan kemauannya.Drey merasakan napas Keyna yang terengah-engah kekurangan oksigen, segera melepaskan pagutan lidahnya. "Seperti yang kau lihat, ini bukan mimpi kan?" ucap Drey datar sambil menyeka bibir basah miliknya dengan tangannya sendiri."Namaku Dyrroth Atreo Leocadio, dan Drey Leocadio adalah namaku dengan tubuhku saat ini. Dan dia," Drey menunjuk Harris, "adalah Harrith salah satu pelayanku," jelas Drey.Kemudian beranjak berdiri dan duduk kembali di kursinya dengan santai seperti tidak terjadi apa-apa.Begitu Drey mengunyah kembali sandwichnya. "Keynaaa apaa yang kau lakukan dengan duduk di bawah? " seru Mom memandang Keyna dengan raut muka bingung. Harris hanya terkekeh melihat Keyna. Dan Drey yang mengunyah sandwich dengan tenang.Ini gilaaaa!! pekik Keyna dalam hati.- To be continue-Keyna terus menggerutu sepanjang perjalanannya menuju kampus, bagaimana tidak Drey alias mahluk mengerikan bernama Dyrroth masih terus bersamanya bahkan di dalam bus. Sebisa mungkin Keyna menjaga jarak dengan mahluk aneh dan menyeramkan itu.Begitu sampai di kampus ia masih terus mengikuti Keyna kemanapun ia berada.Keyna berusaha untuk tidak memperdulikan kehadiran mahluk itu. Ia tidak peduli.Keyna lega saat mahluk itu memasuki ruang tata usaha untuk mengurus dokumen-dokumen kepindahannya.'Apa mahluk seperti itu mempunyai identitas juga heh?!' batin Keyna bingung.’Tidak,tidak jangan pedulikan itu Key’. Dengan cepat ia bergegas menuju kantin kampus untuk mencari temannya. Ia duduk di salah satu bangku kosong dan mengedarkan pandangannya. Ia harus bersama Aline agar kejadian kemarin tidak terulang lagi.Namun, ia tidak menemukan keberadaan temannya itu. Menyebalkan.Kini ia k
Semenjak kehadiran Dyrroth atau pun sebut saja Drey, Keyna jarang keluar dari kamarnya ketika berada di rumah. Ia berusaha untuk menjauh dari Drey, jika bisa mungkin ia akan pergi sangat jauh.Drey tidak melakukan apapun pada Keyna, tapi tatapan matanya saja sudah membuat Keyna amat sangat ketakutan, ok di luar wajah tampannya ya.Meskipun kini sudah larut malam namun Keyna tidak bisa memejamkan matanya. Di pikirannya hanya ada Dyrroth…Dyrroth…Drey…Drey…Keyna mendesah pelan. "Apa ia sudah memanipulasi pikiranku juga?"gumamnya perlahan."Argghhh, bagaimana aku bisa lepas dari mahluk itu ya Tuhan! Aku ingin hidup normal kembali," umamnya putus asa.Keyna mencoba untuk mencari pembatalan ritual tersebut, dan berencana untuk mengembalikan Drey ke asalnya. Namun saat Keyna membuka buku tersebut, alangkah terkejutnya dia saat melihat semua halaman di buku itu telah kosong. Tak ada yang bisa dibaca meskipun itu sebuah titik kecil.
Perkataan Drey mengenai Xavier terus terngiang di kepala Keyna. Apa yang Keyna lewatkan dari sosok Xavier? Tidak ada. Xavier begitu sempurna di matanya, tidak cela sedikitpun."Dia tidak sesempurna itu Key." Lagi-lagi Dyrroth membaca pikiran Keyna."Diam kau iblis, kau tahu apa?!" geram Keyna sudah tak tahan lagi."Ck! Dasar manusia!" Dyrroth berdecak tak suka."Kau perlu tahu Key, iblis memang jahat, namun tak pernah menutupinya dan berbohong. Tapi manusia bisa berpura-pura baik di depan saja. Di belakang? Who knows..." seru Drey mengangkat kedua bahunya."Brengsek kau Drey!! Kembalilah ke asalmu!!" pekik Keyna yang entah dari mana ia mendapat keberanian untuk mengumpat dan membentak mahluk mengerikan seperti Drey yang sayangnya sangat tampan. Ehh...waitt lupakan bagian itu ok."Hmm, kau sudah berani rupanya, gadis kecil!!" Dyrroth menatap Keyna dengan tajam, seketika itu juga Keyna tidak bisa mengeluarkan suar
Keyna memeluk lututnya di sudut kamarnya. Kepalanya tertunduk, dan matanya menatap kosong pada lantai kayu di bawahnya. Perasaan aneh yang ia rasakan sejak beberapa hari terakhir membuatnya sulit tidur. Kehadiran Dyrroth di sisinya selalu menimbulkan sensasi yang bercampur aduk antara takut, bingung, dan... sesuatu yang lain yang ia tak mampu definisikan.“Kenapa aku bahkan memikirkannya?” gumamnya pelan.Dyrroth. Sosok yang sejak awal ia anggap sebagai ancaman dan kutukan kini berubah menjadi teka-teki yang membingungkan. Ada saat-saat di mana ia merasa Dyrroth adalah makhluk paling menakutkan yang pernah ia temui, namun di lain waktu, ia melihat sisi yang berbeda dari iblis itu—sisi yang membuat hatinya berdebar.Keyna menggelengkan kepalanya dengan keras, mencoba mengusir pikirannya. Namun, ingatan tentang apa yang terjadi kemarin malam membuat usahanya sia-sia. Lagi-lagi dyrroth menyentuh tubuhnya. Meski sekuat tenaga melawan, tapi dirinya bukanlah lawan bagi Dyrroth. Bagi Dyrroth
Keyna membeku di tempat, seakan dunia berhenti berputar. Kata-kata itu menembus relung pikirannya, menggetarkan hatinya. Jantungnya berpacu kencang seperti genderang perang."Tidak! Aku tidak akan pernah melakukannya!" serunya lantang, meskipun ada getaran kecil dalam suaranya.Dyrroth berbalik, matanya menyala dalam gelap, seperti bara api yang membakar setiap keraguan. Ia menyunggingkan senyum dingin, senyum yang membuat siapa pun merinding."Benarkah?" gumamnya, nadanya meremehkan."Keyna, kau tahu, aku hanya ingin membantumu. Jika kau membuat kontrak denganku, tidak ada lagi yang akan berani menyentuhmu. Orang-orang yang membencimu akan diam, lenyap dari kehidupanmu. Dan kau juga bisa bersama Xavier. Bukankah itu yang kau inginkan?"Nama Xavier seperti duri yang menancap di hati Keyna. Ia tahu Dyrroth tidak asal bicara. Pria itu entah bagaimana selalu tahu apa yang ada di pikirannya, apa yang ia sembunyikan jauh di lubuk hati."Tidak!" serunya lagi, lebih tegas kali ini. Ia mengge
Sementara itu, Xavier akhirnya tiba di rumahnya—sebuah rumah tua bergaya klasik yang dikelilingi taman hijau yang kini terlihat kelam di bawah cahaya bulan. Ia masuk dengan hati-hati, masih merasakan hawa aneh yang membuntutinya sejak di jalan tadi.“Kakek?” panggilnya, suaranya menggema di aula rumah yang tenang.Seorang pria tua dengan rambut putih dan janggut panjang muncul dari sebuah ruangan, mengenakan jubah sederhana. Matanya yang tajam segera memandang Xavier dengan penuh perhatian. “Kau terlambat pulang,” ujar pria itu, suaranya dalam namun penuh wibawa. “Ada apa? Kau terlihat cemas.”Xavier ragu sejenak sebelum berbicara. “Kakek, aku merasakan sesuatu tadi di jalan. Ada energi yang berusaha menyerangku, tapi… ada sesuatu yang memantulkannya. Aku tidak tahu apa itu, tapi rasanya sangat aneh dan kuat.”Wajah pria tua itu berubah serius. Ia melangkah mendekat, meletakkan tangan di bahu Xavier. “Energi itu… apakah dingin dan menekan, seperti mencoba menarikmu ke dalam kegelapan?”
Tongkat-tongkat mereka terangkat serentak, memancarkan cahaya lembut yang perlahan berubah menjadi kilauan emas. Simbol-simbol kuno di lantai mulai bercahaya, menyatu dengan energi yang memancar dari tongkat mereka. Dalam hitungan detik, ruang ritual itu dipenuhi dengan energi besar yang terasa hidup. Cahaya itu seperti memiliki napas, berdenyut dan berputar mengelilingi Xavier.Awalnya, Xavier merasakan sensasi hangat yang menyebar di tubuhnya, seperti matahari yang lembut menyentuh kulitnya. Namun, perlahan, kehangatan itu berubah menjadi panas yang menyengat, merambat melalui setiap pembuluh darahnya.Xavier mengepalkan tangannya, mencoba menahan rasa terbakar yang semakin menjadi-jadi. “Apa… ini?” tanyanya, suaranya gemetar di antara rasa sakit yang semakin mendalam.“Jangan melawan!” Eldric berseru, suaranya tegas. “Biarkan kekuatan itu mengalir. Jangan menahannya, Xavier. Kau harus menerimanya!”Tapi rasa panas itu berubah menjadi ledakan energi yang begitu kuat hingga Xavier ha
Dyrroth berdiri di puncak menara tua yang tertutupi bayangan malam, matanya menatap kosong ke langit gelap yang dihiasi bulan sabit. Namun, alih-alih ketenangan, wajahnya menyiratkan keresahan. Ia baru saja merasakan energi yang sangat familiar, energi yang sudah lama ia benci dan sekaligus takuti. Energi itu membangkitkan memori masa lalunya—kenangan pahit akan pertempuran yang hampir merenggut segalanya darinya.“Roh Suci…” gumamnya dengan suara rendah, penuh kebencian. Ia mengepalkan tangannya hingga kuku tajamnya hampir menembus telapak tangannya sendiri. “Jadi, akhirnya kau kembali. Apakah kau di sini untuk mencariku? Atau untuk menghancurkanku sekali lagi?”Dyrroth mengerahkan telepatinya, memanggil bawahannya yang paling setia, Harrith. Dalam beberapa saat, Harrith muncul dari balik bayangan, berlutut di hadapannya. “Tuan, Anda memanggil saya?”Dyrroth menoleh ke arah Harrith, sorot matanya dingin namun penuh perintah. “Aku akan kembali ke istana. Bulan purnama sudah dekat, dan
Pagi itu, sinar matahari masuk melalui celah-celah tirai, membangunkan Keyna dari tidurnya. Dengan mata yang masih setengah terpejam, ia bangkit dan meregangkan tubuh, tidak menyadari bahwa Dyrroth telah kembali.Setelah mandi dan berpakaian, ia turun ke lantai satu, bersiap untuk sarapan bersama ibunya seperti biasanya. Namun, langkahnya terhenti begitu ia melihat pemandangan di meja makan.Di sana, duduk tiga orang. Salah satunya adalah Dyrroth.Keyna menelan ludah, jantungnya berdegup lebih cepat. Namun, ia berusaha menyembunyikan keterkejutannya, mengontrol ekspresinya agar tetap tenang. Ia berjalan mendekat dengan sikap biasa, menarik kursi tanpa berkata apa-apa, lalu mulai menyantap sarapannya.Dyrroth, yang duduk di seberang, hanya menatapnya diam-diam dengan senyum tipis penuh arti. Ia tidak perlu mengatakan apapun—kehadirannya saja sudah cukup untuk membuat Keyna gelisah.Setelah sarapan selesai, Keyna buru-buru keluar rumah, bersiap pergi ke kampus. Tapi ternyata, Dyrroth ke
Udara di dalam kamar Keyna mendadak berubah. Hawa dingin merayap perlahan, menusuk ke dalam ruangan seakan musim dingin datang tanpa peringatan. Embun tipis mulai mengembun di kaca jendela, dan napas gadis itu berhembus sedikit lebih lambat dari biasanya.Namun, Keyna yang sudah terlelap tidak menyadari perubahan itu. Ia hanya menggeliat sedikit, menarik selimut lebih erat, memeluk bantal gulingnya seakan mencari perlindungan dari sesuatu yang tak terlihat.Sebuah sosok hitam tinggi berdiri di samping ranjangnya.Matanya bersinar redup dalam kegelapan, menatap gadis yang tertidur dengan ekspresi yang sulit dibaca. Dyrroth.Tanpa suara, pria itu menunduk, wajahnya semakin dekat dengan Keyna. Tangannya yang besar dan kuat terulur, jemari panjangnya hampir menyentuh dagu gadis itu. Ia menarik dagu gadis itu agar bisa dilihat jelas olehnya.Begitu wajah Keyna terlihat sepenuhnya, matanya langsung tertuju pada l
Dua hari berlalu dalam keheningan.Dyrroth perlahan membuka matanya, merasakan energi yang mengalir deras dalam tubuhnya. Tidak ada rasa sakit, tidak ada kelemahan. Sebaliknya, tubuhnya terasa lebih kuat, lebih padat dengan kekuatan yang nyaris meledak dalam nadinya.Energi yang ia dapatkan saat ritual dua hari yang lalu dalam darah telah bekerja.Saat ia bangkit dari duduknya, udara di sekelilingnya bergetar tipis, seolah merasakan perubahan drastis dalam diri sang pangeran. Ia mengepalkan tangannya, merasakan gelombang energi yang lebih murni daripada sebelumnya. Meditasi yang ia jalani bukan sekadar pemulihan, tetapi sebuah transformasi.Langkahnya terdengar mantap saat ia keluar dari ruangan.Di depan pintu, para prajurit yang berjaga segera memberi hormat dengan kepala tertunduk dalam. Di antara mereka, seorang pria berbadan tegap dengan jubah merah gelap melangkah maju. Dialah Vhargan, tangan kanan Dyrroth—orang yang paling d
Setelah percakapan singkat dan penuh misteri dengan Xavier, yang bahkan tidak dimengerti sama sekali olehnya. Keyna melangkah pergi, meninggalkan pria itu yang masih berdiri di tempat, menyembunyikan rasa penasaran dalam tatapannya yang dalam.Keyna merasa ada kehangatan yang aneh dalam hatinya. Sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Namun, meskipun hati kecilnya merasa bahagia, ada juga perasaan cemas yang mulai muncul—seperti ada sesuatu yang mengintai, menunggu untuk ditemukan.Di belakangnya, beberapa teman sekelasnya yang sering mengolok-oloknya sejak lama, mengamati dengan penuh rasa ingin tahu. Mereka berdiri di sudut koridor, dengan tatapan tajam yang tak pernah hilang, selalu mencari peluang untuk menjatuhkan Keyna."Apa itu tadi? Dia... bicara dengan Xavier?" suara Clarissa, teman sekelas yang paling sering membuli Keyna, terdengar penuh sindiran."Sepertinya, dia merasa lebih penting setelah ngobrol sama anak itu," sahut Ruby, d
Dyrroth yang baru saja menyelesaikan ritualnya merasakan energi kuat menjalar di sekujur tubuhnya. Getaran magis itu membakar di setiap nadinya, membuat tubuhnya terasa lebih bertenaga, lebih tangguh, lebih berbahaya. Namun, ia tahu ini belum cukup. Beberapa saat kemudian, rasa lelah mulai menyerang, memaksanya untuk beristirahat agar tubuhnya dapat beradaptasi dengan kekuatan yang baru diterimanya.Sambil duduk bersila dalam lingkaran ritual yang masih berpendar cahaya merah pekat, Dyrroth merenung. Jika Keyna bersedia melakukan kontrak dengannya, maka kekuatan yang ia miliki akan jauh lebih besar dari yang ia dapatkan saat ini. Ia dapat merasakan potensi yang tersembunyi dalam diri gadis itu, sebuah energi yang dapat mengubah keseimbangan dunia jika diarahkan dengan benar.Tatapan Dyrroth mengeras. Ia harus membuat Keyna menyerah, harus membuatnya tunduk. Ia tahu, waktu untuk bergerak semakin dekat, dan Keyna adalah kunci bagi ambisinya yang lebih besar. Roh suci sudah bangkit, dan
Dyrroth berdiri di puncak menara tua yang tertutupi bayangan malam, matanya menatap kosong ke langit gelap yang dihiasi bulan sabit. Namun, alih-alih ketenangan, wajahnya menyiratkan keresahan. Ia baru saja merasakan energi yang sangat familiar, energi yang sudah lama ia benci dan sekaligus takuti. Energi itu membangkitkan memori masa lalunya—kenangan pahit akan pertempuran yang hampir merenggut segalanya darinya.“Roh Suci…” gumamnya dengan suara rendah, penuh kebencian. Ia mengepalkan tangannya hingga kuku tajamnya hampir menembus telapak tangannya sendiri. “Jadi, akhirnya kau kembali. Apakah kau di sini untuk mencariku? Atau untuk menghancurkanku sekali lagi?”Dyrroth mengerahkan telepatinya, memanggil bawahannya yang paling setia, Harrith. Dalam beberapa saat, Harrith muncul dari balik bayangan, berlutut di hadapannya. “Tuan, Anda memanggil saya?”Dyrroth menoleh ke arah Harrith, sorot matanya dingin namun penuh perintah. “Aku akan kembali ke istana. Bulan purnama sudah dekat, dan
Tongkat-tongkat mereka terangkat serentak, memancarkan cahaya lembut yang perlahan berubah menjadi kilauan emas. Simbol-simbol kuno di lantai mulai bercahaya, menyatu dengan energi yang memancar dari tongkat mereka. Dalam hitungan detik, ruang ritual itu dipenuhi dengan energi besar yang terasa hidup. Cahaya itu seperti memiliki napas, berdenyut dan berputar mengelilingi Xavier.Awalnya, Xavier merasakan sensasi hangat yang menyebar di tubuhnya, seperti matahari yang lembut menyentuh kulitnya. Namun, perlahan, kehangatan itu berubah menjadi panas yang menyengat, merambat melalui setiap pembuluh darahnya.Xavier mengepalkan tangannya, mencoba menahan rasa terbakar yang semakin menjadi-jadi. “Apa… ini?” tanyanya, suaranya gemetar di antara rasa sakit yang semakin mendalam.“Jangan melawan!” Eldric berseru, suaranya tegas. “Biarkan kekuatan itu mengalir. Jangan menahannya, Xavier. Kau harus menerimanya!”Tapi rasa panas itu berubah menjadi ledakan energi yang begitu kuat hingga Xavier ha
Sementara itu, Xavier akhirnya tiba di rumahnya—sebuah rumah tua bergaya klasik yang dikelilingi taman hijau yang kini terlihat kelam di bawah cahaya bulan. Ia masuk dengan hati-hati, masih merasakan hawa aneh yang membuntutinya sejak di jalan tadi.“Kakek?” panggilnya, suaranya menggema di aula rumah yang tenang.Seorang pria tua dengan rambut putih dan janggut panjang muncul dari sebuah ruangan, mengenakan jubah sederhana. Matanya yang tajam segera memandang Xavier dengan penuh perhatian. “Kau terlambat pulang,” ujar pria itu, suaranya dalam namun penuh wibawa. “Ada apa? Kau terlihat cemas.”Xavier ragu sejenak sebelum berbicara. “Kakek, aku merasakan sesuatu tadi di jalan. Ada energi yang berusaha menyerangku, tapi… ada sesuatu yang memantulkannya. Aku tidak tahu apa itu, tapi rasanya sangat aneh dan kuat.”Wajah pria tua itu berubah serius. Ia melangkah mendekat, meletakkan tangan di bahu Xavier. “Energi itu… apakah dingin dan menekan, seperti mencoba menarikmu ke dalam kegelapan?”
Keyna membeku di tempat, seakan dunia berhenti berputar. Kata-kata itu menembus relung pikirannya, menggetarkan hatinya. Jantungnya berpacu kencang seperti genderang perang."Tidak! Aku tidak akan pernah melakukannya!" serunya lantang, meskipun ada getaran kecil dalam suaranya.Dyrroth berbalik, matanya menyala dalam gelap, seperti bara api yang membakar setiap keraguan. Ia menyunggingkan senyum dingin, senyum yang membuat siapa pun merinding."Benarkah?" gumamnya, nadanya meremehkan."Keyna, kau tahu, aku hanya ingin membantumu. Jika kau membuat kontrak denganku, tidak ada lagi yang akan berani menyentuhmu. Orang-orang yang membencimu akan diam, lenyap dari kehidupanmu. Dan kau juga bisa bersama Xavier. Bukankah itu yang kau inginkan?"Nama Xavier seperti duri yang menancap di hati Keyna. Ia tahu Dyrroth tidak asal bicara. Pria itu entah bagaimana selalu tahu apa yang ada di pikirannya, apa yang ia sembunyikan jauh di lubuk hati."Tidak!" serunya lagi, lebih tegas kali ini. Ia mengge