“Sudah dibantu, bukannya berterima kasih malah mencari masalah!”
Keona menatap ibu tirinya dengan tatapan tidak percaya. “Dibantu bagaimana, Bu? Dengan mengobral tubuhku?” Ratna mendengus. “Jangan munafik. Memangnya kamu punya hal lain untuk ditawarkan?” balasnya. “Yah, meski badanmu sebenarnya juga tidak sebagus itu.” “Tapi tidak dengan menjualku, Bu!” Suara Keona naik beberapa oktaf. “Memangnya apa yang sudah kulakukan sampai Ibu tega menjualku pada pria tua itu?” “Jangan membentak, kurang ajar!” Ratna kembali menjambak rambut Keona. Meski ia sempat terkejut karena tidak menyangka Keona akan membalas ucapannya, tapi ia langsung bisa mengambil alih situasi. “Dan kamu masih bisa bertanya? Aku melakukan itu demi dirimu juga. Bukankah kamu membutuhkan biaya pengobatan untuk ayahmu? Kenapa malah menyalahkanku!?” “Aku ke sana untuk meminta bantuan, karena Ibu bilang dia bersedia membantu teman lamanya,” balas Keona. “Tapi ternyata dia bahkan bukan teman Ayah, kan? Dia–” “Kamu masih bisa protes? Dia bersedia membantu asalkan kamu mau menemaninya semalam.” Ratna kembali mengeraskan suaranya. Makin lama, Ratna justru makin emosi. Utangnya terus membengkak, apalagi tagihan kartu kreditnya. Hanya uang Hendrawan lah satu-satunya penyelamat mereka. Kini dengan kaburnya Keona, Ratna kembali mengalami jalan buntu. Dalih pengobatan ayah Keona hanya kedok belaka, dan kini dia harus memikirkan jalan lain untuk bisa menjual Keona kembali. Dia sudah berandai-andai pagi ini mendapatkan uang dari Hendrawan dan bisa ia gunakan untuk berbelanja, tapi yang datang justru tuntutan uang ganti rugi. “Setidaknya, jadilah anak berbakti! Toh, kalau dapat uang, kita semua untung!” Ratna kembali berkata. “Kalau sudah seperti ini, mau bagaimana, hah? Dari mana kita akan dapat uang dalam waktu singkat!?” “Bagaimana dengan Ibu? Apa yang sudah Ibu dan anak Ibu lakukan untuk pengobatan Ayah?” ucap Keona lagi. “Aku tiap kali sudah menyisihkan gajiku, tapi anak Ibu bahkan enggan melamar kerja untuk sekadar menutupi kebutuhan!” “Kamu menyalahkanku?” Winda yang sejak tadi memainkan ponsel di dekat mereka berkomentar. Ia sedang sibuk mencari pinjaman. “Memangnya salahku kalau ayahmu yang tidak berguna itu sakit dan butuh biaya? Salahnyalah tidak bertanggung jawab hingga akhir!” Keona benar-benar tidak habis pikir. Kehilangan kata-kata. “Tidak tahu terima kasih,” ucapnya dengan suara tertahan karena rasa sesak di dada, penuh dengan emosi dan kesedihan. “Ayahku menganggapmu anaknya sendiri. Bahkan merawatmu sedemikian rupa. Tapi ini balasanmu?” Selama sebelas tahun hidup bersama, Keona melihat bagaimana perubahan Winda dan ibunya. Bagaimana mereka yang dulunya miskin, menjadi dimanjakan kekayaan, hingga kemudian mereka terlilit utang. Bagaimana dulu ayahnya sama sekali tidak membedakan perlakuan antara Keona dan Winda. Tapi jawaban yang Keona dengar dari saudara tirinya adalah– “Itu dulu, ketika ayahmu masih berguna.” Winda mendengus “Sekarang? Aku tidak punya hubungan darah dengan pria itu. Aku malu punya ayah yang hanya menyusahkan saja. Kalau bisa, aku berharap dia cepat mati!” Nyaris saja Keona menampar Winda jika saja Ratna tidak bergerak lebih cepat dan mendorongnya hingga ia membentur tepian meja. Tubuhnya yang sudah remuk akibat semalam, kini terasa makin hancur. “Jangan sentuh putriku! Lebih baik kamu pikirkan cara untuk menghasilkan uang dengan cepat, Keona!” bentak Ratna. “Mau itu jual diri, jual ginjal, terserah! Kalau tidak mau ayahmu ditelantarkan selama kamu bekerja jadi buruh kasar, beri aku uang!” Usai mengucapkan itu, keduanya meninggalkan Keona sendirian, memikirkan bagaimana ia bisa mendapatkan uang dengan cepat. *** Cahaya matahari yang coba menembus tirai di kamar hotel akhirnya berhasil membuat Kairos membuka matanya. Tidak seperti biasanya, tadi malam tidurnya nyenyak sekali. Setelah sekian tahun, akhirnya dia bisa tidur tanpa harus terbangun oleh mimpi buruk di tengah malam. Mungkin semua berkat perempuan itu. Entah kenapa, sekalipun semalam berada dalam pengaruh alkohol, Kairos mengingat permainan malam itu. Tidak biasanya wanita bayarannya meninggalkan kesan sedemikian dalam untuk Kairos. Pria itu menggeliat, melihat langit kamar. Lalu menoleh ke samping. Seketika keningnya berkerut, ujung alisnya bertemu. Dia sendirian di sana. “Di mana wanita itu?” gumamnya sembari menyibak selimut tebal yang menutupi tubuh telanjangnya. “Tidak mungkin pergi, kan? Aku belum membayar–” Ucapannya terhenti. Wajahnya yang tampan tampak terkesima saat melihat bercak darah yang menempel pada seprei putih. “Sial. Dia masih perawan?” kata Kairos pada dirinya sendiri. Keningnya kembali mengernyit. Sepintas ia betapa susahnya menembus masuk tubuh gadis itu karena memang masih perawan. “Tidak mungkin. Kecuali .…” Segera, pria itu mengambil ponselnya, berniat menghubungi wanita yang ia sewa semalam. Namun, sebelum ia melakukan itu, gerakannya terhenti saat ia membaca pesan dari si wanita yang mengatakan bahwa ia membatalkan reservasi Kairos karena suatu hal. Kairos tertegun. Lalu siapa yang bermain dengannya semalam? Dan lagi, wanita itu masih perawan? Kaki panjangnya segera menuju pintu kamar mandi, kosong. Tidak ada siapa pun. Gadis itu sudah pergi, tanpa kata dan tanpa pertanggungjawaban. Tatapannya kemudian jatuh di tepi ranjang saat ada kilau tertangkap matanya. Dengan sigap, dia mengambil seuntai kalung yang tergeletak di lantai. Di baliknya liontin dan menemukan satu nama dan membacanya, “Darmawan?” Keningnya berkerut. Berpikir keras karena ia tidak mengenali nama itu. Namun, dalam hatinya, pria itu sudah menetapkan. Bahwa ia akan menemukan gadis itu.“Sudahlah, Keona. Tidak usah dipikirkan lagi. Nasi sudah jadi bubur.” Keona menghela napas. Ia tengah menatap pantulan dirinya di depan cermin saat ia bersiap-siap. Ada banyak bekas kemerahan di leher dan tulang selangkanya, bahkan dadanya. Perlahan, disentuhnya bekas-bekas itu satu per satu, sembari membubuhkan riasan agar tidak terlihat. Pikirannya melayang ke kejadian semalam. Sekalipun dalam pengaruh obat, Keona bisa mengingat sensasi yang ia rasakan dari permainan pria itu. Tidak kasar ataupun memaksa, tapi tetap penuh tuntutan. Mempermainkannya hingga menanggalkan kewarasan. Mencapai puncak kepuasan. Tanpa bisa ditahan, hal itu membuat pipi Keona bersemu. “Ah, dia pasti pria yang suka menyewa wanita,” gumam perempuan itu, mengingat kata-kata yang sempat ia dengar dari bibir pria itu semalam. “Makanya sangat ahli–ah, apa yang kukatakan.” Ia menggerutu sendiri. Sekalipun ia dirugikan karena keperawanannya hilang dan ia tidak bisa menuntut apa-apa. Bodohnya, tadi pagi ia ter
“Pria yang tidur denganku kemarin … adalah bosku sendiri!?” Sumpah demi apa pun, kenapa kesialan datang padanya bertubi-tubi? Dunia ini seakan sedang mempermainkannya. Dari mulai lolos dari rencana buruk ibu tirinya, menghabiskan malam dengan pria asing, dan di saat ia berniat mengikhlaskan semua, kini Keona baru tahu kalau pria yang tidur dengannya semalam adalah bosnya sendiri!? Bagaimana kalau pria itu tahu bahwa Keona menerobos masuk ke dalam kamarnya dan bahkan berhubungan badan dengan Kairos? Tanpa sadar, Keona menggeleng pelan, lalu buru-buru mengalihkan pandangan dan berjalan pergi untuk melakukan pekerjaannya. Tidak apa-apa. Keona hanya tinggal meminimalisir kontak dengan pria itu. Lagi pula, ia masih dalam masa probasi, bukan karyawan tetap ataupun memiliki posisi tinggi, sementara Kairos adalah CEO perusahaan. Nyaris mustahil mereka akan bertemu kembali setelah ini. Yang barusan tadi toh hanya sebuah kebetulan. Ya, pasti begitu. *** Keona sama sekali tidak m
“Bukankah Anda harus bertemu Mr. Smith?” Kalimat Gen membuat tangan Kairos berhenti membuka pintu mobil. Dia hampir lupa dengan meeting bersama kolega barunya itu, dan semua ini karena Keona! Kairos melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan. Benar, dia ada janji temu dengan kolega bule nya itu. Tidak bisa ditunda, karena sangat sulit mengatur janji bertemu dengan Mr. Smith. “Kalau begitu, kita jumpai Mr. Smith, setelahnya kita ke rumah Darmawan!” Dada Kairos bergemuruh, dia yakin akan bertemu dengan wanita yang sudah membuat rasa sakitnya sembuh. Traumanya hilang, bahkan kini dia bisa tidur tanpa harus dihantui mimpi buruk yang sejak dulu membelenggunya. Ini seperti jawaban dari semua permasalahannya. Dia akan melamar gadis itu, dan hal itu akan membuat kakeknya yang terus memaksa untuk menikah akan bungkam dan berhenti mengganggunya. *** "Kamu antarkan sampel ini ke perusahaan garmen, katakan kita butuh bahan yang lebih lembut!" Dengan sigap Keona menerima perin
"Kemarilah, Nak. Jangan takut. Meski tampang mereka seperti iblis, keduanya tidak akan berani memarahimu, apalagi pria bertampang menyeramkan ini!" Tukas Candra Mahesa mendelik ke arah Kairos. Keona bergerak gelisah, salah tingkah ditatap penuh selidik oleh Kairos. Tapi, dia tidak bisa mengabaikan permintaan Candra. Gelas yang berisi air hangat dia serahkan ke tangan Chandra. Berusaha tidak memedulikan keberadaan Kairos. "Diminum, Kek. Ingat kata dokter, kakek dehidrasi hingga tidak fokus saat menyebrang." Candra hanya tersenyum. Dia mengangguk lalu patuh menghabiskan isi gelasnya. Kairos dalam diam mengamati interaksi romantis antara Keona dan kakeknya. Sejak kapan mereka kenal, mengapa terlihat sangat akrab? "Kamu ngapain di sini?" Tanya Kairos dingin. Ini masih jam kerja dan seharusnya wanita itu masih ada di kantor. "Saya diminta pak Deni mengantarkan sampel kain ke pabrik garmen, Pak. Terus tanpa sengaja bertemu sama kakek di jalan-" "Sudah! Jangan berani kau mema
Pada Awalnya Kairos menatap jijik sekitar yang mereka lalui. Becek, banyak sampai di sisi jalan, bau busuk yang menyengat, membuatnya Ingi. muntah. Namun, melihat Keona yang gesit dan bersemangat saat berbelanja, terlebih bagian menawarnya, Kairos bisa melupakan semua hal buruk itu. "Hanya beberapa perak, kau menawar berjam-jam?" delik Kairos menaikkan satu alisnya. Takjub melihat gadis itu memperjuangkan satu sen pun. "Bapak tidak akan mengerti. Dua ribu itu sangat berharga. Bisa nambah buat beli garam," jawab Keona melanjutkan perjalanan. Kali ini dia singgah di tempat penjual bumbu dapur. Setelah lebih setengah jam, akhirnya perbelanjaan itu berakhir. Kening Kairos mengkerut kala memperhatikan hidung Keona yang tengah mengendus sesuatu. "Bapak, lapar tidak? Ayok, saya traktir makan mi ayam." Kairos tentu saja menolak, tapi niatnya hanya bisa tersimpan di hati, Keona sudah beranjak tanpa menunggu jawaban Kairos hingga terpaksa pria itu pun ikut masuk ke warung mi ayam. H
Tak satupun orang yang mau membantu Keona membawa ayahnya ke rumah sakit. Saat kejadian itu, Ratna dan Winda pergi entah kemana. Susah payah, Keona membawa ayahnya dengan taksi online ke rumah sakit. "Ya, Tuhan, aku harus bagaimana?" keluhnya, mendapati hanya ada uang merah dua lembar pengisi dompetnya. "Mbak, kita harus segera melakukan penanganan, usus buntu nya sudah sangat parah bahkan sudah pecah di dalam perut. Kalau tidak segera di operasi, nyawa pasien bisa tidak tertolong." Kepanikan Keona semakin besar. Kemana dia harus meminta tolong. Selama ini dia sudah mengusahakan untuk mengurus kartu berobat gratis dari pemerintah, tapi Ratna melarang. Dia berang dan meminta Keona menghentikan niatnya karena dianggap buat malu dan takut ketahuan kalau mereka sebenarnya sudah jatuh miskin. Tidak ingin bertengkar dan terjadi keributan lebih lanjut, ayahnya meminta Keona membatalkan niatnya. "Lakukan tindakan apapun, yng penting ayah saya bisa selamat," jawab Keona cepat. Dia
Keona tidak punya pilihan lain selain menyetujui syarat dari Kairos. Mulai hari itu, Keona membersihkan apartemen pria itu. Selama sebulan penuh sehabis pulang kerja. Sudah seminggu penuh.Apartemen itu cukup bersih, hanya butuh dua jam baginya membersihkan seluruh ruangan. Pada hari ketiga dia dapat, Keona melihat banyak tumpukan berkas yang bertebaran di atas meja, pun gelas kopi Kairos. Dia menebak kalau pria itu sangat sibuk akhir-akhir ini karena dia kantor pun jarang terlihat."Bukannya pak Kairos punya sakit maag? Minum kopi sebanyak ini," batinnya membereskan gelas dan sampah bekas makan malam yang sama sekali tidak disentuh, tergeletak begitu saja dan sudah bau basi."Orang kaya beda, pesan makanan mahal-mahal tapi nggak dimakan," cicitnya memasukkan semua sampah pada kantong hitam.Terpikir olehnya untuk memasakkan makan malam untuk Kairos. Pastinya lebih sehat. Kebetulan, sebelum ke apartemen, dia singgah ke pasar membeli bahan makanan untuk dibawa pulang.Satu jam berkutat
Winda melempar tatapan minta tolong pada Ratna. Wanita itu juga bingung harus bagaimana sekarang. Winda mengingat kapan terakhir dia melihat Keona memakai benda itu. Biasanya kalung itu tidak pernah lepas dari leher saudara tirinya itu. Tiba-tiba ingatannya membawa jalan keluar.“A-aku ... waktu itu aku ada di hotel Star, tanpa sadar mungkin jatuh di sana. Aku baru sadar setelah keesokan paginya.” Winda yakin jawabnya benar. Dia sempat mendengar Keona bertanya pada bi Sum soal kalungnya, sekembalinya dia dari rencana jual diri itu.Kekecewaan terlihat jelas di mata Kairos. Jadi benar, Winda adalah pemilik kalung itu. Tubuhnya lemas seketika, tapi dia sudah berjanji akan bertanggung jawab.“Ini kalungmu.” Kairos menyerahkan benda berkilau itu pada Winda. Ragu awalnya, tapi Winda pada akhirnya mengambil benda itu.“Lalu?” Winda tampaknya sudah merasa di atas awan. Entah mengapa, hatinya berkata kalau ada sesuatu yang mendesak pria itu untuk menemui pemilik kalung itu, ya, seperti rasa b
Pada akhirnya Keona memutuskan untuk memberi maaf dan kesempatan bagi kairos. bagaimanapun semua orang punya kesalahan kairos bersumpah dia tidak akan pernah lagi menyembunyikan apapun dari Keona. Meski tidak mudah percaya 100% pada Kairos, keona tetap memperlakukan Kairo selayaknya suaminya menghargai pria itu dan melakukan kewajibannya sebagai seorang istri. Lambat laun suasana mulai mencair kairos menunjukkan perubahannya dia mulai memberikan waktu untuk membahagiakan Keona. kairos bahkan membawa keona ke beberapa tempat di Eropa sebagai bukti dari janjinya mengganti bulan madu mereka yang sempat gagal. Kairos pun akhirnya menceritakan alasannya mengajak keona segera pulang dari Bali karena tidak ingin Alena mengganggu mereka terlebih menemui keona dan mengatakan hal yang tidak benar. "Alena memang wanita yang pernah aku cintai dan aku tidak memungkirinya namun ternyata dia tidak pantas untuk kucintai karena dengan tega berkhianat pengkhianatan yang pertama sudah aku maafk
"Sayang, kau sedang apa?"kairos mendekati keona. gadis itu sedang duduk di depan TV tapi dengan tatapan kosong "Kau sudah pulang seperti yang kau lihat Aku sedang menonton televisi. Apa ada yang aneh?" tanya Keona ketus. Kalau Kairos pikir akan mendapati istrinya menangis di rumah maka dia salah keona sudah terlalu lelah untuk menangisi kejadian buruk yang terjadi dalam hidupmu kini dia sudah kebal. "Keona, ada yang ingin ku bicarakan denganmu." "Silakan." Keona mengambil sikap tegak. Kalau dipermukaan di terlihat tenang, maka di dalam sudah hancur. "Tentang Alena-" "Alena? Mmm... " Keona tampak berpikir lalu mulutnya terbuka, ekspresi orang yang lupa lantas beberapa kemudian ingat kembali. Kairos mempelajari mimik wajah Keona, mengukur seberapa besar amarah gadis itu padanya. akting keona tentu saja bisa dibaca oleh kairos dia tahu gadis itu pura-pura lupa sosok Alena sebagai tamparan untuknya karena sudah menyembunyikan cerita ini darinya. "aku tahu Kau pasti sanga
"Puas kau sekarang?" Bentak Kairos penuh emosi. Dia masih memandangi pintu yang baru saja ditutup oleh Keona. Seujung kuku pun dia tidak menyangka kalau istrinya itu akan mendatangi kantornya ini. Mungkin saja ini sudah kehendak semesta, menunjukkan kepada Keona bahwa dia kembali berkomunikasi dengan Alena. Dia menyesal karena sudah mau menerima gadis itu, kini rumah tangganya berantakan. Pasti Keona sangat marah padanya. Kairos jadi ingat dua minggu yang lalu Alena tiba-tiba saja muncul di depannya, entah dari mana wanita itu tahu perusahaan Blessing ini adalah miliknya. Dia datang memaksa untuk bertemu hingga akhirnya Kairos mengizinkannya masuk. "Apa tujuanmu ke sini? Kalau aku jadi kau, aku tidak akan pernah berani menunjukkan batang hidungku di hadapan Kairos Mahesa!" umpat Kairos ketika sudah berada di satu ruangan dengan Alena. Daripada wanita itu buat ribut, akhirnya mengizinkan Alena masuk,.itu pun demi menghindari rumor yang beredar. Dia tidak mau ada orang yang menya
Keona ingin pembuktian. Dia tidak ingin Lili memfitnah suaminya tanpa ada bukti. Akhirnya Lili membawanya ke sebuah rumah. "Aku mengikuti gadis yang bersama Kairos dan inilah tempat tinggalnya. Keona masih mengamati rumah itu. Dia diam seribu bahasa. Kalau kemarin hanya dia yang melihat kebersamaan Kairos dan Alena kini bertambah satu dengan Lili. "Apakah kau yakin Lili?" tanya Keona datar. "Aku sangat yakin, bahkan Arlan juga melihatnya. Hanya saja dia mengatakan bahwa aku sebaiknya tidak ikut campur dan tidak usah memberitahumu. Menurutku, aku tidak bisa diam. Kau sahabatku, tentu saja aku berpihak padamu," jawab Lili merasa kasihan pada Keona. Pernikahan mereka masih seumur jagung, tapi harus sudah kandas karena orang ketiga. Tapi dia berjanji seburuk apapun keadaan Keona, apapun yang terjadi menimpa sahabatnya itu dia akan selalu berada di garda terdepan membela dan melindungi Keona. "Terima kasih Lili mungkin aku harus jujur padamu." Keona pun menceritakan tentang p
Besoknya saat Kairos pulang, Keona tidak lagi menyambutnya dengan seantusias sebelumnya. Bayangan Kairos yang jalan bersama Alena di mall masih membekas dalam benaknya. "Aku membawakan oleh-oleh untukmu." "Terima kasih," jawab Keona seadanya. Kairos memandangi istrinya, lagi-lagi wanita itu terlihat tidak bersahabat bahkan bisa dibilang tidak senang dengan kepulangannya tapi Kairos terlalu lelah untuk berdebat jadi dia memilih untuk mengecup puncak kepala Keona dan naik ke atas untuk membersihkan diri. "Bu, hanya sekedar saran sebaiknya kalau suami baru pulang dari luar kota disambut dengan gembira, penuh senyum jangan cemberut. Mungkin bapak sudah lelah, capek pulang bekerja. Nanti kalau ibu terus menyambut bapak dengan wajah cemberut, bisa-bisa bapak bosan dan malas pulang ke rumah. Bibi hanya sekedar mengingatkan karena bibi sudah menganggap Bu Keona seperti anak sendiri. Zaman sekarang ini banyak wanita yang sudi menggantikan tempat istri sah," nasihat Bi Darsih panjang lebar.
Keona terbangun di tengah malam. Mimpinya sangat buruk. Napasnya masih setengah-setengah bangun terbangun dari tidurnya. Rasanya seperti nyata. Keona pun memanjatkan doa agar mimpi buruknya hanyalah sebatas mimpi. Setelah mencuci muka Keona tidak bisa tertidur lagi. Pandangannya terus tertuju pada foto pernikahan mereka yang digantung di dinding. Meskipun tidak ingin mengingat kembali mimpi buruk itu tapi Keona tidak bisa untuk mengabaikan kegelisahan hatinya. Mimpinya sangat buruk. Dia melihat Kairos bermesraan dengan Alena. Awalnya hanya ada Alena dalam mimpinya wanita itu tengah berbincang dengan seorang pria semakin lama ketika memperhatikan dan Alena melihat dirinya keduanya menoleh ke arah Keona. Saat itulah Keona bisa melihat wajah pria yang tengah bicara dengan Alena adalah suaminya. Dalam mimpi itu Alena dan Kairos mentertawakan kebodohannya yang selama ini tidak menyadari hubungan terlarang yang ada di antara mereka. Keona menangis memohon kepada Kairos agar kemba
"Kamu sudah pulang? Katanya sebulan, kenapa hanya seminggu?" Berbagai pertanyaan datang menyerbu Keona. Lili dan Hani saling bergantian melempar pertanyaan, memuaskan rasa penasaran mereka padahal ini belum jam istirahat. "Kairos ada kerjaan tiba-tiba yang sangat penting, jadi kami terpaksa pulang," jawab Keona yang diikuti anggukan dari kedua temannya. Kemudian Keona membagikan souvernir yang dia bawa, hampir semua orang di ruangan mereka mendapatkan hadiah, termasuk Deni. Pria itu sedikit lebih kaku bila berbicara dengan Keona. Terlihat segan dan minder karena kini Keona bukan sekedar karyawan biasa saja lagi, tapi juga bisa dibilang bos kedua di Greenland. "Lalu, bagaimana hubungan mu dengan Arlan?" "Mmm ... Ternyata dia lebih pemain darimu," sambar Hani menarik tangan Lili dan menunjuk cincin yang melingkar di jari manis gadis itu. "Oh, my God, selamat sayang," pekik Keona berdiri memeluk Lili penuh gembira. Dia ikut senang sahabatnya itu akhirnya mendapatkan kebahagiaan
Pengamatan Kairos cukup tajam. Dia mengamati layar ponselnya, nomor baru yang tidak dia kenal. Pria itu melirik ke arah Keona, gadis itu masih memperhatikannya hingga membuatnya gugup. Dia memang tidak tahu pasti siapa pemilik nomor itu dan tujuannya menghubunginya tapi firasatnya mengatakan kalau si penelpon adalah Alena. Entah mengapa dia yakin akan hal itu, terlebih gambar gelang pada foto profilnya. "Ini pasti orang salah sambung. Sudahlah, kembalilah tidur," ucap Kairos menyimpan ponsel ke dalam saku. Meski tidak mengatakan apapun Keona menangkap sinyal aneh dari sikap Kairos. Ada yang pria itu sembunyikan. Kenapa Keona jadi kepikiran? Perasaannya juga jadi sedih. Bukan tidak pernah dia mengatakan kalau badai pasti selalu datang menerjang dalam rumah tangga. Tergantung bagaimana kita menyikapinya demi menyelamatkan ruang tangga itu. Tapi ini terlalu cepat bagi Keona. Mereka baru menikah tiga hari dan kini sudah dihadapkan dengan batu karang yang coba menghantam perahu
Siang hari waktu Indonesia bagian barat, Keona dan Kairos tiba di Jakarta. Kedatangan mereka disambut oleh Gen yang datang khusus menjemput. Tidak ada satu orang pun yang tahu akan kepulangan mereka. Itu sudah jadi perintah Kairos. "Welcome home, bos, nyonya bos," sapa Gen penuh semangat. jadi nggak selama dua hari membuat Gen merasa kesepian. Biasanya Kairos sering mengomelinya, kini setelah menikah bosnya itu pasti akan sibuk dengan istrinya dan mengabaikan kehadirannya. "Apa kabar, Pak Gen. Jangan panggil aku nyonya bos. Keona saja," balas Keona mengulurkan tangan menjabat Gen. "Kau juga jangan memanggilnya Pak Gen. Hanya Gen!" perintah Kairos melirik pada Gen."Baiklah, Keona. Silakan." Gen membukakan pintu bagi mereka berdua dan segera melesat sana.Gen tahu menempatkan sendiri makanya dia tidak membahas mengenai Alena dan informasi apa saja yang sudah dia dapatkan. Jangan sampai penyelidikannya membuat Keona merasa curiga yang berujung pada pertengkaran suami istri itu. Keon