Share

Chapter 2 - Jejak Semalam

“Sudah dibantu, bukannya berterima kasih malah mencari masalah!”

Keona menatap ibu tirinya dengan tatapan tidak percaya. “Dibantu bagaimana, Bu? Dengan mengobral tubuhku?”

Ratna mendengus. “Jangan munafik. Memangnya kamu punya hal lain untuk ditawarkan?” balasnya. “Yah, meski badanmu sebenarnya juga tidak sebagus itu.”

“Tapi tidak dengan menjualku, Bu!” Suara Keona naik beberapa oktaf. “Memangnya apa yang sudah kulakukan sampai Ibu tega menjualku pada pria tua itu?”

“Jangan membentak, kurang ajar!” Ratna kembali menjambak rambut Keona. Meski ia sempat terkejut karena tidak menyangka Keona akan membalas ucapannya, tapi ia langsung bisa mengambil alih situasi. “Dan kamu masih bisa bertanya? Aku melakukan itu demi dirimu juga. Bukankah kamu membutuhkan biaya pengobatan untuk ayahmu? Kenapa malah menyalahkanku!?”

“Aku ke sana untuk meminta bantuan, karena Ibu bilang dia bersedia membantu teman lamanya,” balas Keona. “Tapi ternyata dia bahkan bukan teman Ayah, kan? Dia–”

“Kamu masih bisa protes? Dia bersedia membantu asalkan kamu mau menemaninya semalam.” Ratna kembali mengeraskan suaranya.

Makin lama, Ratna justru makin emosi. Utangnya terus membengkak, apalagi tagihan kartu kreditnya. Hanya uang Hendrawan lah satu-satunya penyelamat mereka. Kini dengan kaburnya Keona, Ratna kembali mengalami jalan buntu.

Dalih pengobatan ayah Keona hanya kedok belaka, dan kini dia harus memikirkan jalan lain untuk bisa menjual Keona kembali.

Dia sudah berandai-andai pagi ini mendapatkan uang dari Hendrawan dan bisa ia gunakan untuk berbelanja, tapi yang datang justru tuntutan uang ganti rugi.

“Setidaknya, jadilah anak berbakti! Toh, kalau dapat uang, kita semua untung!” Ratna kembali berkata. “Kalau sudah seperti ini, mau bagaimana, hah? Dari mana kita akan dapat uang dalam waktu singkat!?”

“Bagaimana dengan Ibu? Apa yang sudah Ibu dan anak Ibu lakukan untuk pengobatan Ayah?” ucap Keona lagi. “Aku tiap kali sudah menyisihkan gajiku, tapi anak Ibu bahkan enggan melamar kerja untuk sekadar menutupi kebutuhan!”

“Kamu menyalahkanku?” Winda yang sejak tadi memainkan ponsel di dekat mereka berkomentar. Ia sedang sibuk mencari pinjaman. “Memangnya salahku kalau ayahmu yang tidak berguna itu sakit dan butuh biaya? Salahnyalah tidak bertanggung jawab hingga akhir!”

Keona benar-benar tidak habis pikir. Kehilangan kata-kata.

“Tidak tahu terima kasih,” ucapnya dengan suara tertahan karena rasa sesak di dada, penuh dengan emosi dan kesedihan. “Ayahku menganggapmu anaknya sendiri. Bahkan merawatmu sedemikian rupa. Tapi ini balasanmu?”

Selama sebelas tahun hidup bersama, Keona melihat bagaimana perubahan Winda dan ibunya. Bagaimana mereka yang dulunya miskin, menjadi dimanjakan kekayaan, hingga kemudian mereka terlilit utang. Bagaimana dulu ayahnya sama sekali tidak membedakan perlakuan antara Keona dan Winda.

Tapi jawaban yang Keona dengar dari saudara tirinya adalah–

“Itu dulu, ketika ayahmu masih berguna.” Winda mendengus “Sekarang? Aku tidak punya hubungan darah dengan pria itu. Aku malu punya ayah yang hanya menyusahkan saja. Kalau bisa, aku berharap dia cepat mati!”

Nyaris saja Keona menampar Winda jika saja Ratna tidak bergerak lebih cepat dan mendorongnya hingga ia membentur tepian meja. Tubuhnya yang sudah remuk akibat semalam, kini terasa makin hancur.

“Jangan sentuh putriku! Lebih baik kamu pikirkan cara untuk menghasilkan uang dengan cepat, Keona!” bentak Ratna. “Mau itu jual diri, jual ginjal, terserah! Kalau tidak mau ayahmu ditelantarkan selama kamu bekerja jadi buruh kasar, beri aku uang!”

Usai mengucapkan itu, keduanya meninggalkan Keona sendirian, memikirkan bagaimana ia bisa mendapatkan uang dengan cepat.

***

Cahaya matahari yang coba menembus tirai di kamar hotel akhirnya berhasil membuat Kairos membuka matanya.

Tidak seperti biasanya, tadi malam tidurnya nyenyak sekali. Setelah sekian tahun, akhirnya dia bisa tidur tanpa harus terbangun oleh mimpi buruk di tengah malam.

Mungkin semua berkat perempuan itu. Entah kenapa, sekalipun semalam berada dalam pengaruh alkohol, Kairos mengingat permainan malam itu. Tidak biasanya wanita bayarannya meninggalkan kesan sedemikian dalam untuk Kairos.

Pria itu menggeliat, melihat langit kamar. Lalu menoleh ke samping.

Seketika keningnya berkerut, ujung alisnya bertemu. Dia sendirian di sana.

“Di mana wanita itu?” gumamnya sembari menyibak selimut tebal yang menutupi tubuh telanjangnya. “Tidak mungkin pergi, kan? Aku belum membayar–”

Ucapannya terhenti. Wajahnya yang tampan tampak terkesima saat melihat bercak darah yang menempel pada seprei putih.

“Sial. Dia masih perawan?” kata Kairos pada dirinya sendiri. Keningnya kembali mengernyit. Sepintas ia betapa susahnya menembus masuk tubuh gadis itu karena memang masih perawan. “Tidak mungkin. Kecuali .…”

Segera, pria itu mengambil ponselnya, berniat menghubungi wanita yang ia sewa semalam. Namun, sebelum ia melakukan itu, gerakannya terhenti saat ia membaca pesan dari si wanita yang mengatakan bahwa ia membatalkan reservasi Kairos karena suatu hal.

Kairos tertegun. Lalu siapa yang bermain dengannya semalam?

Dan lagi, wanita itu masih perawan?

Kaki panjangnya segera menuju pintu kamar mandi, kosong. Tidak ada siapa pun. Gadis itu sudah pergi, tanpa kata dan tanpa pertanggungjawaban.

Tatapannya kemudian jatuh di tepi ranjang saat ada kilau tertangkap matanya. Dengan sigap, dia mengambil seuntai kalung yang tergeletak di lantai. Di baliknya liontin dan menemukan satu nama dan membacanya,

“Darmawan?”

Keningnya berkerut. Berpikir keras karena ia tidak mengenali nama itu. Namun, dalam hatinya, pria itu sudah menetapkan.

Bahwa ia akan menemukan gadis itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status