"Kemarilah, Nak. Jangan takut. Meski tampang mereka seperti iblis, keduanya tidak akan berani memarahimu, apalagi pria bertampang menyeramkan ini!" Tukas Candra Mahesa mendelik ke arah Kairos.
Keona bergerak gelisah, salah tingkah ditatap penuh selidik oleh Kairos. Tapi, dia tidak bisa mengabaikan permintaan Candra. Gelas yang berisi air hangat dia serahkan ke tangan Chandra. Berusaha tidak memedulikan keberadaan Kairos. "Diminum, Kek. Ingat kata dokter, kakek dehidrasi hingga tidak fokus saat menyebrang." Candra hanya tersenyum. Dia mengangguk lalu patuh menghabiskan isi gelasnya. Kairos dalam diam mengamati interaksi romantis antara Keona dan kakeknya. Sejak kapan mereka kenal, mengapa terlihat sangat akrab? "Kamu ngapain di sini?" Tanya Kairos dingin. Ini masih jam kerja dan seharusnya wanita itu masih ada di kantor. "Saya diminta pak Deni mengantarkan sampel kain ke pabrik garmen, Pak. Terus tanpa sengaja bertemu sama kakek di jalan-" "Sudah! Jangan berani kau memarahinya. Harusnya kau berterima kasih pada gadis ini. Kalau bukan karena dia, kau tidak akan melihatku hidup lagi!" Sambar Candra tidak ingin malaikat penolongnya di intimidasi Kairos. "Atau, kau memang tidak ingin melihatku hidup lagi? Ingat bocah nakal, aku baru mewariskan perusahaan besar padamu, setidaknya tunjukkan niat baikmu!" Kairos menahan napas. Dia merasa malu dimarahi kakeknya sendiri di depan para pegawainya. Kalau di depan Gen, mungkin dia tidak akan merasa se-malu ini, tapi ini ada Keona di depannya. "Kakek, jangan bicara sembarangan." Kairos perlu membela diri. Dia sempat melihat senyum simpul Keona yang coba disembunyikan gadis itu. Perdebatan itu terhenti saat tim medis masuk guna memeriksa keadaan Candra. "Tuan Mahesa, kakek sudah boleh pulang. Beliau hanya kaget hingga sempat hampir pingsan karena shock. Beruntung nona ini sigap menarik tuan Candra Mahesa, hingga tidak tertabrak mobil." Rasa lega ditunjukkan Kairos. Bagaimanapun dia tidak ingin terjadi hal buruk pada kakeknya. "Gen, urus semua administrasi!" Perintah Kairos dan segera dipatuhi Gen. Para dokter dan perawat juga sudah keluar dari ruangan. "Keona, kamu pulang bersama kami. Biarkan kami mengantarmu," pinta Candra. Jelas sekali dia punya niat terselubung ingin mendekatkan Keona dengan Kairos. Dia masih berharap kalau cucu sahabatnya itu akan segera ditemukan, tapi Keona juga bukan pilihan buruk bagi Kairos. "Oh, tidak usah, Kek. Aku bisa pulang sendiri. Lagi pula, ada tempat yang ingin aku kunjungi setelah ini," tolak Keona. Bukan sekedar alasan, pagi tadi Ratna sempat berpesan kalau dia harus pulang dengan bahan masak, kalau tidak Ratna mengancam tidak akan memberikan ayahnya makan. "Kemana? Tidak masalah, akan kami antar. Bukan begitu, Kai?" Kairos hanya mengangguk, satu alisnya terangkat saat melihat ke arah Keona. Jelas, wanita itu sudah memenangkan hati kakeknya. Tidak banyak, bahkan hampir tidak ada yang bisa mendekati Candra Mahesa. Beberapa gadis yang mencoba ingin mengambil predikat sebagai mantu di keluarga Mahesa, ditolak mentah-mentah oleh Candra. "Kamu harus sering main ke rumah kakek. Rumah besar itu sangat sepi dan buatku kesepian," ujar Candra sembari menepuk punggung tangan Keona. Keduanya duduk di kursi belakang sementara Gen menyetir dan Kairos di sebelahnya. "Iya, Kek. Nanti aku aku punya waktu luang, aku pasti mengunjungi kakek," jawab Keona tersenyum. Perasaannya hangat setiap bercengkrama dengan Candra. Dia ingat, dulu kakeknya juga sangat memanjakan dirinya. Meski saat itu usianya baru lima tahun, tapi kenangan itu sangat membekas. "Hei bocah nakal, sering-sering lah memberikan waktu libur pada Keona. Jangan memeras tenaganya! Ini bukan Zaman penjajahan, hingga kau memperlakukan romusha di kantor!" Lagi dan lagi, Kairos dipojokan. Sebenarnya, dia cucu kandung keluarga Mahesa, atau bukan? Tidak ada jawaban, Candra mentoel lengan Kairos dengan tongkat miliknya. "Dengar, tidak?" "Baik, Kek." Kairos hanya bisa pasrah. Di depan kakeknya dia seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Gen yang ada di sampingnya menahan senyum. Ini adalah momen menyenangkan dalam hidupnya, melihat bosnya yang seperti singa, menakutkan dan sangat disegani banyak orang, justru seperti ayam keok di depan Candra Mahesa. Sepanjang jalan, telinga Kairos dimanjakan oleh tawa renyah Keona yang terbahak mendengar guyonan kakeknya. Sesekali dia ikut tersenyum, larut dengan cerita mereka. Tiba-tiba dia sadar, sudah lama dia tidak tersenyum dan merasa hangat di hatinya. "Stop di sini saja," pinta Keona setelah sadar mereka sudah tiba di pasar tempat dia biasa belanja kebutuhan dapur. "Ini pasar tradisional. Kamu mau belanja sayur-sayuran?" Tanya Candra mengamati sekeliling. "Benar, Kek. Kalau belanja di sini, masih bisa nawar. Lagi pula, barangnya lebih fresh dari pada di supermarket," jawab Keona tersenyum. Tidak perlu malu, meski jalan di pasar ini becek dan pastinya bau sampah, tapi disini dia mendapat harga yang bersahabat dengan kantongnya. "Gadis pintar. Andai saja seseorang bisa bijak dan hemat seperti mu," ucap Candra yang semua orang di mobil itu tahu kalau niatnya ingin menyindir Kairos. Tapi, kali ini sentilan pria itu, diabaikan begitu saja oleh Kairos. "Eh, kakek mau kemana?" Keona terkejut, Candra membuka pintu mobil. Dia ingin ikut menemani Keona berburu bahan pokok di pasar. Sudah lama sekali tidak pergi ke tempat seperti ini. "Kakek ingin menemanimu. Tadi, kau sudah membantu kakek." "Jangan, Kek. Jalanan di dalam becek karena habis hujan semalam. Lagi pula, aku sudah terbiasa sendiri. Kakek pulang saja," pinta Keona. Candra tetap memaksa, begitu pun dengan Keona yang bertahan meminta Candra untuk tidak turun. "Kalau begitu, aku akan tetap di sini, asal ada orang yang menemanimu ke dalam!" Hening sejenak. Firasat Keona sudah tidak enak. Ting! Benar saja. "Turun lah Gen, bantu gadis itu!" Perintah Kairos yang mengerti maksud kakeknya. "Tidak, Gen tetap di mobil. Keona sudah menolong ku tadi, haruskan Gen yang membalas budinya? Aku turun atau kau?" Sudah rahasia umum, kala umur seseorang semakin tua, maka dia akan semakin menyebalkan dan keras kepala. Kairos tahu akan hal itu dan dia tidak akan mungkin membantah kakeknya. Dengusan kesal terdengar keluar dari hidung Kairos, lalu bergegas keluar dari dalam mobil. Mimpi apa dia semalam hingga harus membantu karyawan nya belanja sayur mayur. Kalau diingat kembali, dia tidak ada bermimpi apapun tadi malam karena dia sangat nyenyak setelah bercinta dengan gadis misterius nya. "Maaf, Pak. Sebaiknya bapak-" "Sudahlah. Ini semua demi kakek. Jangan pernah bahas soal ini di kantor. Kalau sampai ada yang tahu, kau akan ku pecat!" Ujar Kairos tapi dengan suara pelan, jangan sampai didengar oleh kakeknya, bisa tambah runyam. Keona mengikuti langkah panjang Kairos menuju pasar. Stelan jas slim fit dengan tampang bak model, Kairos memasuki wilayah yang baginya pasti sangat kumuh. Ini momen berharga, rasanya Keona ingin mengabdikan. Tanpa sadar, dia membidik satu foto tampilan belakang Kairos. Punggung lebar pria itu membuatnya ingat bagaimana kuku jarinya menancap di sana kala pria itu memasukinya. "Dasar Keona bodoh. Sadar!" cicit Keona berlari mengejar langkah kaki Kairos.Pada Awalnya Kairos menatap jijik sekitar yang mereka lalui. Becek, banyak sampai di sisi jalan, bau busuk yang menyengat, membuatnya Ingi. muntah. Namun, melihat Keona yang gesit dan bersemangat saat berbelanja, terlebih bagian menawarnya, Kairos bisa melupakan semua hal buruk itu. "Hanya beberapa perak, kau menawar berjam-jam?" delik Kairos menaikkan satu alisnya. Takjub melihat gadis itu memperjuangkan satu sen pun. "Bapak tidak akan mengerti. Dua ribu itu sangat berharga. Bisa nambah buat beli garam," jawab Keona melanjutkan perjalanan. Kali ini dia singgah di tempat penjual bumbu dapur. Setelah lebih setengah jam, akhirnya perbelanjaan itu berakhir. Kening Kairos mengkerut kala memperhatikan hidung Keona yang tengah mengendus sesuatu. "Bapak, lapar tidak? Ayok, saya traktir makan mi ayam." Kairos tentu saja menolak, tapi niatnya hanya bisa tersimpan di hati, Keona sudah beranjak tanpa menunggu jawaban Kairos hingga terpaksa pria itu pun ikut masuk ke warung mi ayam. H
Tak satupun orang yang mau membantu Keona membawa ayahnya ke rumah sakit. Saat kejadian itu, Ratna dan Winda pergi entah kemana. Susah payah, Keona membawa ayahnya dengan taksi online ke rumah sakit. "Ya, Tuhan, aku harus bagaimana?" keluhnya, mendapati hanya ada uang merah dua lembar pengisi dompetnya. "Mbak, kita harus segera melakukan penanganan, usus buntu nya sudah sangat parah bahkan sudah pecah di dalam perut. Kalau tidak segera di operasi, nyawa pasien bisa tidak tertolong." Kepanikan Keona semakin besar. Kemana dia harus meminta tolong. Selama ini dia sudah mengusahakan untuk mengurus kartu berobat gratis dari pemerintah, tapi Ratna melarang. Dia berang dan meminta Keona menghentikan niatnya karena dianggap buat malu dan takut ketahuan kalau mereka sebenarnya sudah jatuh miskin. Tidak ingin bertengkar dan terjadi keributan lebih lanjut, ayahnya meminta Keona membatalkan niatnya. "Lakukan tindakan apapun, yng penting ayah saya bisa selamat," jawab Keona cepat. Dia
Keona tidak punya pilihan lain selain menyetujui syarat dari Kairos. Mulai hari itu, Keona membersihkan apartemen pria itu. Selama sebulan penuh sehabis pulang kerja. Sudah seminggu penuh.Apartemen itu cukup bersih, hanya butuh dua jam baginya membersihkan seluruh ruangan. Pada hari ketiga dia dapat, Keona melihat banyak tumpukan berkas yang bertebaran di atas meja, pun gelas kopi Kairos. Dia menebak kalau pria itu sangat sibuk akhir-akhir ini karena dia kantor pun jarang terlihat."Bukannya pak Kairos punya sakit maag? Minum kopi sebanyak ini," batinnya membereskan gelas dan sampah bekas makan malam yang sama sekali tidak disentuh, tergeletak begitu saja dan sudah bau basi."Orang kaya beda, pesan makanan mahal-mahal tapi nggak dimakan," cicitnya memasukkan semua sampah pada kantong hitam.Terpikir olehnya untuk memasakkan makan malam untuk Kairos. Pastinya lebih sehat. Kebetulan, sebelum ke apartemen, dia singgah ke pasar membeli bahan makanan untuk dibawa pulang.Satu jam berkutat
Winda melempar tatapan minta tolong pada Ratna. Wanita itu juga bingung harus bagaimana sekarang. Winda mengingat kapan terakhir dia melihat Keona memakai benda itu. Biasanya kalung itu tidak pernah lepas dari leher saudara tirinya itu. Tiba-tiba ingatannya membawa jalan keluar.“A-aku ... waktu itu aku ada di hotel Star, tanpa sadar mungkin jatuh di sana. Aku baru sadar setelah keesokan paginya.” Winda yakin jawabnya benar. Dia sempat mendengar Keona bertanya pada bi Sum soal kalungnya, sekembalinya dia dari rencana jual diri itu.Kekecewaan terlihat jelas di mata Kairos. Jadi benar, Winda adalah pemilik kalung itu. Tubuhnya lemas seketika, tapi dia sudah berjanji akan bertanggung jawab.“Ini kalungmu.” Kairos menyerahkan benda berkilau itu pada Winda. Ragu awalnya, tapi Winda pada akhirnya mengambil benda itu.“Lalu?” Winda tampaknya sudah merasa di atas awan. Entah mengapa, hatinya berkata kalau ada sesuatu yang mendesak pria itu untuk menemui pemilik kalung itu, ya, seperti rasa b
Tidak banyak keluarga Mahesa yang Keona kenal , lebih lagi calon suami Winda juga bernama Kairos, jadi tidak salah kalau Keona menduga bosnya lah yang akan menjadi iparnya. Tapi, bagaimana mungkin itu terjadi? Keona tidak mau ambil pusing akan hal itu. Kalau pun Memnag benar, tidak ada hubungannya dengan dirinya. Hanya saja, semakin dia coba menyingkirkan dari pikirannya, justru dia semakin terusik. "Ayah, besok pakai kemeja dan stelan jas ini, ya," ucap Keona meletakkan pakaian ayahnya. Tampak wajah Bram semakin cerah, kesehatannya perlahan membaik. Tidak bisa dipungkiri, ini semua berkat bantuan Kairos. Pada akhirnya, Gen bercerita, kalau dia berani mengizinkan personalia mencairkan pinjaman nya karena Kairos pun setuju. Jadi, tahukan, mengapa Keona merasa berhutang budi pada Kairos. "Memang besok ada acara apa?" Bram coba duduk, punggungnya sakit kalau harus rebahan terus. Sigap, Keona membantu, menyanggah dengan bantal. "Ayah tidak diberitahu ibu? Winda akan bertunangan
Wajah Winda benar-benar pucat, seakan nyawa tidak lagi bersemayam dalam raganya. Lewat ekor mata, dia melirik ke arah Ratna. "Kemarin kalung itu terlepas saat Winda bersih-bersih rumah, hingga pengaitnya rusak," sambar Ratna pasang badan. Jangankan hanya sekedar berbohong, matipun dia siap untuk Winda. Kairos tampak tidak peduli, mengabaikan jawab Ratna. Selesai mengobrol, lanjut acara tukar cincin. Kairos masih menunjukkan sikap acuh tak acuhnya. Dalam benak terus berpikir, apa benar Winda adalah gadis beraroma vanila itu? Mengapa dia tidak mencium wangi itu dari tubuhnya padahal mereka duduk bersebelahan. "Kai, mengapa kau masih bengong? Keluarkan cincinnya," ujar Chandra melotot pada Kairos. Pria itu balas menoleh pada Gen. Untuk semua persiapan lamaran ini, Kairos menyerahkan semuanya pada Gen, bahkan soal cincin sekali pun. "Oh, itu ada di sini," potong Gen, mengeluarkan kotak berbalut beludru merah dari balik saku jasnya. Wajah Winda semringah. Senyumnya terus mengembang
Dengan jalan sempoyongan, Kairos berjalan menuju kamarnya. Syukurlah, tidak terjadi kecelakaan karena berkendara saat mabuk. Tubuhnya mulai gerah, padahal pendingin udara sudah dihidupkan sejak mulai perjalanan. Pangannya mulai mengabur, tapi pada akhirnya dia berhasil menekan passcode dan masuk ke dalam. Gelap, tidak ada cahaya. Perjalanan terhenti, kepalanya berputar hingga tubuhnya jatuh ke sofa. Sofa berwarna putih, lembut dan luas, bahkan ukuran setengah dari ranjangnya, buat Kairos tidak masalah untuk tidur di sana saja. "Ah, nyamannya," batinnya memeluk seseorang di samping, yang dalam pikirannya dikira bantal. Hidungnya mulai mengendus wangi yang kini sudah familiar baginya. Menarik tubuh itu lebih masuk dalam pelukannya. Untuk sesaat, tubuh ramping itu menolak, dia kesal karena tidur nya terganggu. Tapi tenaga Kairos lebih kuat, pria itu tidak ingin dibantah. Dia ingin memeluk tubuh yang berbaring bersamanya saat ini, dalam gelap dan dihiasi rasa ngantuk. *** Cahaya
"Mau pak Kairos apa, sih? Menambah kerjaan aja," sungut Keona menatap tempat bekalnya di atas meja. Berisi nasi goreng yang sudah siap angkut. Dia harus bangun lebih pagi hanya untuk menyiapkan bekal sarapan untuk Kairos. Menyesal kemarin menawarkan, dia pikir Kairos akan jijik terlebih sudah dijelaskan dari nasi kemarin, tapi setelah mencicipi, justru dia sendiri yang menghabiskan isi piring Keona. Namun, di bagian hati Keona menghangat. Dia senang karena hal kecil dan sederhana seperti itu mempu membuat Kairos tampak gembira. Sepertinya, mereka berdua kini sudah punya kesamaan. Sama-sama kurang perhatian dari keluarga dan selalu merasa sendiri. "Belum berangkat kerja kamu?" sapa Winda meletakkan tangannya di atas meja, sengaja mengembangkan jarinya, agar Keona melihat cincin yang ada di jarinya. Tanpa dikatakan pun, Keona tahu itu cincin pertunangannya dengan Kairos. Keona menarik napas, lalu mengambil bekal yang sudah dia siapkan. "Harusnya menyiapkan bekal pak Kairos
Pada akhirnya Keona memutuskan untuk memberi maaf dan kesempatan bagi kairos. bagaimanapun semua orang punya kesalahan kairos bersumpah dia tidak akan pernah lagi menyembunyikan apapun dari Keona. Meski tidak mudah percaya 100% pada Kairos, keona tetap memperlakukan Kairo selayaknya suaminya menghargai pria itu dan melakukan kewajibannya sebagai seorang istri. Lambat laun suasana mulai mencair kairos menunjukkan perubahannya dia mulai memberikan waktu untuk membahagiakan Keona. kairos bahkan membawa keona ke beberapa tempat di Eropa sebagai bukti dari janjinya mengganti bulan madu mereka yang sempat gagal. Kairos pun akhirnya menceritakan alasannya mengajak keona segera pulang dari Bali karena tidak ingin Alena mengganggu mereka terlebih menemui keona dan mengatakan hal yang tidak benar. "Alena memang wanita yang pernah aku cintai dan aku tidak memungkirinya namun ternyata dia tidak pantas untuk kucintai karena dengan tega berkhianat pengkhianatan yang pertama sudah aku maafk
"Sayang, kau sedang apa?"kairos mendekati keona. gadis itu sedang duduk di depan TV tapi dengan tatapan kosong "Kau sudah pulang seperti yang kau lihat Aku sedang menonton televisi. Apa ada yang aneh?" tanya Keona ketus. Kalau Kairos pikir akan mendapati istrinya menangis di rumah maka dia salah keona sudah terlalu lelah untuk menangisi kejadian buruk yang terjadi dalam hidupmu kini dia sudah kebal. "Keona, ada yang ingin ku bicarakan denganmu." "Silakan." Keona mengambil sikap tegak. Kalau dipermukaan di terlihat tenang, maka di dalam sudah hancur. "Tentang Alena-" "Alena? Mmm... " Keona tampak berpikir lalu mulutnya terbuka, ekspresi orang yang lupa lantas beberapa kemudian ingat kembali. Kairos mempelajari mimik wajah Keona, mengukur seberapa besar amarah gadis itu padanya. akting keona tentu saja bisa dibaca oleh kairos dia tahu gadis itu pura-pura lupa sosok Alena sebagai tamparan untuknya karena sudah menyembunyikan cerita ini darinya. "aku tahu Kau pasti sanga
"Puas kau sekarang?" Bentak Kairos penuh emosi. Dia masih memandangi pintu yang baru saja ditutup oleh Keona. Seujung kuku pun dia tidak menyangka kalau istrinya itu akan mendatangi kantornya ini. Mungkin saja ini sudah kehendak semesta, menunjukkan kepada Keona bahwa dia kembali berkomunikasi dengan Alena. Dia menyesal karena sudah mau menerima gadis itu, kini rumah tangganya berantakan. Pasti Keona sangat marah padanya. Kairos jadi ingat dua minggu yang lalu Alena tiba-tiba saja muncul di depannya, entah dari mana wanita itu tahu perusahaan Blessing ini adalah miliknya. Dia datang memaksa untuk bertemu hingga akhirnya Kairos mengizinkannya masuk. "Apa tujuanmu ke sini? Kalau aku jadi kau, aku tidak akan pernah berani menunjukkan batang hidungku di hadapan Kairos Mahesa!" umpat Kairos ketika sudah berada di satu ruangan dengan Alena. Daripada wanita itu buat ribut, akhirnya mengizinkan Alena masuk,.itu pun demi menghindari rumor yang beredar. Dia tidak mau ada orang yang menya
Keona ingin pembuktian. Dia tidak ingin Lili memfitnah suaminya tanpa ada bukti. Akhirnya Lili membawanya ke sebuah rumah. "Aku mengikuti gadis yang bersama Kairos dan inilah tempat tinggalnya. Keona masih mengamati rumah itu. Dia diam seribu bahasa. Kalau kemarin hanya dia yang melihat kebersamaan Kairos dan Alena kini bertambah satu dengan Lili. "Apakah kau yakin Lili?" tanya Keona datar. "Aku sangat yakin, bahkan Arlan juga melihatnya. Hanya saja dia mengatakan bahwa aku sebaiknya tidak ikut campur dan tidak usah memberitahumu. Menurutku, aku tidak bisa diam. Kau sahabatku, tentu saja aku berpihak padamu," jawab Lili merasa kasihan pada Keona. Pernikahan mereka masih seumur jagung, tapi harus sudah kandas karena orang ketiga. Tapi dia berjanji seburuk apapun keadaan Keona, apapun yang terjadi menimpa sahabatnya itu dia akan selalu berada di garda terdepan membela dan melindungi Keona. "Terima kasih Lili mungkin aku harus jujur padamu." Keona pun menceritakan tentang p
Besoknya saat Kairos pulang, Keona tidak lagi menyambutnya dengan seantusias sebelumnya. Bayangan Kairos yang jalan bersama Alena di mall masih membekas dalam benaknya. "Aku membawakan oleh-oleh untukmu." "Terima kasih," jawab Keona seadanya. Kairos memandangi istrinya, lagi-lagi wanita itu terlihat tidak bersahabat bahkan bisa dibilang tidak senang dengan kepulangannya tapi Kairos terlalu lelah untuk berdebat jadi dia memilih untuk mengecup puncak kepala Keona dan naik ke atas untuk membersihkan diri. "Bu, hanya sekedar saran sebaiknya kalau suami baru pulang dari luar kota disambut dengan gembira, penuh senyum jangan cemberut. Mungkin bapak sudah lelah, capek pulang bekerja. Nanti kalau ibu terus menyambut bapak dengan wajah cemberut, bisa-bisa bapak bosan dan malas pulang ke rumah. Bibi hanya sekedar mengingatkan karena bibi sudah menganggap Bu Keona seperti anak sendiri. Zaman sekarang ini banyak wanita yang sudi menggantikan tempat istri sah," nasihat Bi Darsih panjang lebar.
Keona terbangun di tengah malam. Mimpinya sangat buruk. Napasnya masih setengah-setengah bangun terbangun dari tidurnya. Rasanya seperti nyata. Keona pun memanjatkan doa agar mimpi buruknya hanyalah sebatas mimpi. Setelah mencuci muka Keona tidak bisa tertidur lagi. Pandangannya terus tertuju pada foto pernikahan mereka yang digantung di dinding. Meskipun tidak ingin mengingat kembali mimpi buruk itu tapi Keona tidak bisa untuk mengabaikan kegelisahan hatinya. Mimpinya sangat buruk. Dia melihat Kairos bermesraan dengan Alena. Awalnya hanya ada Alena dalam mimpinya wanita itu tengah berbincang dengan seorang pria semakin lama ketika memperhatikan dan Alena melihat dirinya keduanya menoleh ke arah Keona. Saat itulah Keona bisa melihat wajah pria yang tengah bicara dengan Alena adalah suaminya. Dalam mimpi itu Alena dan Kairos mentertawakan kebodohannya yang selama ini tidak menyadari hubungan terlarang yang ada di antara mereka. Keona menangis memohon kepada Kairos agar kemba
"Kamu sudah pulang? Katanya sebulan, kenapa hanya seminggu?" Berbagai pertanyaan datang menyerbu Keona. Lili dan Hani saling bergantian melempar pertanyaan, memuaskan rasa penasaran mereka padahal ini belum jam istirahat. "Kairos ada kerjaan tiba-tiba yang sangat penting, jadi kami terpaksa pulang," jawab Keona yang diikuti anggukan dari kedua temannya. Kemudian Keona membagikan souvernir yang dia bawa, hampir semua orang di ruangan mereka mendapatkan hadiah, termasuk Deni. Pria itu sedikit lebih kaku bila berbicara dengan Keona. Terlihat segan dan minder karena kini Keona bukan sekedar karyawan biasa saja lagi, tapi juga bisa dibilang bos kedua di Greenland. "Lalu, bagaimana hubungan mu dengan Arlan?" "Mmm ... Ternyata dia lebih pemain darimu," sambar Hani menarik tangan Lili dan menunjuk cincin yang melingkar di jari manis gadis itu. "Oh, my God, selamat sayang," pekik Keona berdiri memeluk Lili penuh gembira. Dia ikut senang sahabatnya itu akhirnya mendapatkan kebahagiaan
Pengamatan Kairos cukup tajam. Dia mengamati layar ponselnya, nomor baru yang tidak dia kenal. Pria itu melirik ke arah Keona, gadis itu masih memperhatikannya hingga membuatnya gugup. Dia memang tidak tahu pasti siapa pemilik nomor itu dan tujuannya menghubunginya tapi firasatnya mengatakan kalau si penelpon adalah Alena. Entah mengapa dia yakin akan hal itu, terlebih gambar gelang pada foto profilnya. "Ini pasti orang salah sambung. Sudahlah, kembalilah tidur," ucap Kairos menyimpan ponsel ke dalam saku. Meski tidak mengatakan apapun Keona menangkap sinyal aneh dari sikap Kairos. Ada yang pria itu sembunyikan. Kenapa Keona jadi kepikiran? Perasaannya juga jadi sedih. Bukan tidak pernah dia mengatakan kalau badai pasti selalu datang menerjang dalam rumah tangga. Tergantung bagaimana kita menyikapinya demi menyelamatkan ruang tangga itu. Tapi ini terlalu cepat bagi Keona. Mereka baru menikah tiga hari dan kini sudah dihadapkan dengan batu karang yang coba menghantam perahu
Siang hari waktu Indonesia bagian barat, Keona dan Kairos tiba di Jakarta. Kedatangan mereka disambut oleh Gen yang datang khusus menjemput. Tidak ada satu orang pun yang tahu akan kepulangan mereka. Itu sudah jadi perintah Kairos. "Welcome home, bos, nyonya bos," sapa Gen penuh semangat. jadi nggak selama dua hari membuat Gen merasa kesepian. Biasanya Kairos sering mengomelinya, kini setelah menikah bosnya itu pasti akan sibuk dengan istrinya dan mengabaikan kehadirannya. "Apa kabar, Pak Gen. Jangan panggil aku nyonya bos. Keona saja," balas Keona mengulurkan tangan menjabat Gen. "Kau juga jangan memanggilnya Pak Gen. Hanya Gen!" perintah Kairos melirik pada Gen."Baiklah, Keona. Silakan." Gen membukakan pintu bagi mereka berdua dan segera melesat sana.Gen tahu menempatkan sendiri makanya dia tidak membahas mengenai Alena dan informasi apa saja yang sudah dia dapatkan. Jangan sampai penyelidikannya membuat Keona merasa curiga yang berujung pada pertengkaran suami istri itu. Keon