Share

Chapter 3 - Bertemu Kembali

“Sudahlah, Keona. Tidak usah dipikirkan lagi. Nasi sudah jadi bubur.”

Keona menghela napas. Ia tengah menatap pantulan dirinya di depan cermin saat ia bersiap-siap. Ada banyak bekas kemerahan di leher dan tulang selangkanya, bahkan dadanya. 

Perlahan, disentuhnya bekas-bekas itu satu per satu, sembari membubuhkan riasan agar tidak terlihat. Pikirannya melayang ke kejadian semalam.

Sekalipun dalam pengaruh obat, Keona bisa mengingat sensasi yang ia rasakan dari permainan pria itu. Tidak kasar ataupun memaksa, tapi tetap penuh tuntutan. Mempermainkannya hingga menanggalkan kewarasan. Mencapai puncak kepuasan.

Tanpa bisa ditahan, hal itu membuat pipi Keona bersemu.

“Ah, dia pasti pria yang suka menyewa wanita,” gumam perempuan itu, mengingat kata-kata yang sempat ia dengar dari bibir pria itu semalam. “Makanya sangat ahli–ah, apa yang kukatakan.”

Ia menggerutu sendiri.

Sekalipun ia dirugikan karena keperawanannya hilang dan ia tidak bisa menuntut apa-apa. Bodohnya, tadi pagi ia terlalu ketakutan sampai-sampai tidak mampu menuntut pertanggungjawaban.

Kalau dipikir sekarang, setidaknya Keona bisa menuntut uang ganti rugi untuk pengobatan ayahnya.

Ah, atau mungkin pria itu justru balas menuntutnya ya? Karena Keona tanpa izin memasuki ruangan itu untuk sembunyi?

“Sudahlah.” Keona menghela napas. “Lupakan saja. Ayo kita fokus cari uang dan merawat Ayah.”

Wanita itu sudah memutuskan untuk menggadaikan rumah ini untuk mencari pinjaman. Sejak awal, ia menghindari cara ini karena rumah ini adalah warisan mendiang ibunya. Keona tidak ingin kehilangan rumah ini kalau-kala ia nanti gagal membayar pinjaman.

Namun, sekarang ia sudah bisa bekerja. Tempat kerjanya pun tidak main-main. Otaknya yang cerdas membuat Keona berhasil diterima di Greenland Corp sebagai pegawa magang. Bukan bekerja sebagai buruh kasar seperti dugaan ibu tirinya.

Ia pasti mampu melunasinya, sekalipun ia harus bekerja seumur hidupnya. 

“Tunggu,” gumam Keona tiba-tiba. Tangannya menyentuh bekas kemerahan di lehernya sembari mengernyit. Ada sesuatu yang hilang–

“Astaga, kalungku!” pekiknya tertahan. 

Seketika memutar tubuhnya dan mulai mencari di semua sudut di kamar mandi, tapi tidak ada. Buru-buru ia berpakaian dan keluar kamar mandi. Mengecek kalau-kalau kalungnya jatuh saat ia berkelahi dengan Ratna tadi.

Namun, nihil.

“Aduh, bagaimana ini,” ia seperti ingin menangis. “Itu kalung hadiah Ayah dan Ibu.”

Ia tidak pernah melepaskan benda itu dari lehernya, sebagai pengingat rasa sayang dan cinta orang tuanya kepada Keona.

Akan tetapi, Keona tidak bisa menyisihkan waktunya lebih lama untuk meratapi kalungnya yang tidak ada. Ia harus segera mengurusi ayahnya dan pergi bekerja, sekalipun denagn perasaan berantakan.

“Keona, kamu dari mana, Sayang?”

Keona menatap pria yang kini terbaring lemah di atas tempat tidur. Pria gagah yang dulu selalu memeluk dan melindunginya tersebut kini terlihat menyedihkan. Hanya bisa mengharapkan belas kasih orang lain untuk mengurusi dirinya sehari-hari.

“Ayah. Lapar ya? Ayo sarapan dulu,” ucap Keona tanpa menjawab pertanyaan sang ayah. “Setelah ini minum obat dan istiharat ya, biar Keona kerja.”

Wanita itu duduk di tepi ranjang selah membantu sang ayah untuk duduk dan makan.

“Apa semua baik-baik saja?” Setelah beberapa saat, akhirnya Bram, sang ayah, bertanya. “Ayah menunggu kamu pulang semalam, tapi kamu tidak muncul-muncul. Ada masalah, Nak?”

“Maaf, Ayah. Aku … lembur.” Keona memaksakan senyum agar ayahnya tidak khawatir. “Tidak ada masalah kok. Semua aman.”

Ia tidak mau ayahnya terbebani oleh pikirannya.

Namun, sang ayah justru menghela napas. “Biaya pengobatan Ayah besar ya?” ucap pria itu mengejutkan Keona. “Maaf ya, Sayang.”

Keona menggeleng. Dadanya terasa sesak, menahan perasaan dan tangis agar tidak keluar di hadapan ayahnya.

***

“Duh, setelah beberapa bulan, akhirnya aku bisa melihat si bos secara langsung!”

Keona mendongak, lalu menoleh pada rekannya yang sedang bergosip berdua di sampingnya. Keningnya mengernyit karena berani-beraninya mereka mengobrol soal bos di jam kerja.

“Hei, kerjaan–”

“Hush, lihat dulu, Na. Itu pemandangan langka.” Salah satu rekannya menyela, sembari menunjuk ke arah seorang pria berjas yang tidak jauh dari mereka. “CEO kita. Mumpung berkunjung ke lantai kita.”

Keona mengalihkan pandangan. Dia bisa melihat punggung pria itu, tapi tidak jelas dengan wajahnya, karena membelakangi mereka. 

“Itu CEO kita?” tanyanya kemudian. Ia belum pernah bertemu dengan pria itu sebelumnya, karena proses wawancaranya tidak sampai harus diseleksi sendiri oleh CEO.

“Benar! Bos kita. Pemilik perusahaan ini! Jangan bilang kamu gak pernah dengar Kairos Mahesa? CEO perusahaan ini? Pewaris Greenland Corp?”

Sebanyak  informasi yang dikatakan rekannya, Keona hanya mengangguk-angguk. Sebagai mahasiswa bisnis dan mantan anak orang kaya, Keona pernah mendengar nama itu sebagai pria yang digadang-gadang sebagai jenius di dunia bisnis. Namun, ia belum pernah melihat rupa pria itu karena di internet maupun berita tidak pernah ditampilkan. 

Ah, sudahlah. Yang terpenting, Keona harus segera mencetak materi rapat hari ini sesuai perintah atasannya.

Wanita itu berdiri, bersamaan dengan suara pekik tertahan dari para rekannya. Saat Keona menoleh untuk mencari tahu sebabnya, Keona mendapati pria yang dikatakan sebagai pewaris Greenland Corp. itu sedang menoleh ke arah kelompoknya.

Ke arahnya.

Seketika Keona menahan napas.

“Pria itu!” batinnya berteriak. Wajahnya langsung memucat. “Pria yang tidur denganku kemarin … adalah bosku sendiri!?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status