Pil kontrasepsi sudah didapat, meski Selena harus berkorban menahan lirikan sinis pegawai apotek. Sekarang, ia tinggal hanya harus mencapai kantor sebelum jam tujuh tepat.
Dengan napas yang memburu karena berlari sedari tadi, juga menaiki tangga alih-alih lift … Selena akhirnya sampai tepat waktu di lantai lima–tempat ruangannya berada.
“Akhirnya….”
Selena mengelap peluh yang membanjiri dahi dan wajahnya. Kemudian dengan tergesa-gesa, ia membuka pintu ruangan.
Di saat yang bersamaan, seseorang keluar dari ruangan tersebut dan membuat Selena yang juga tergesa-gesa menabraknya.
BRUKK
AHKK!
Selena pun tersungkur ke lantai, wajahnya hampir mencium ujung sepatu pria yang masih berdiri di sana.
Dengan gusar, Selena mengangkat tubuhnya untuk memberi pelajaran ke orang yang berani menghalangi jalannya. Namun ...
"P-pak Aditya?"
Selena ternganga melihat pria yang menghalangi jalannya adalah sang Pimpinan, dan ruangan di depannya yang adalah ruangan pimpinan, bukan ruangannya.
Cepat-cepat Selena membungkuk hormat dan meminta maaf. "Maafkan saya, Pak."
Tanpa ingin berlama-lama di sana, Selena menyambar cepat tasnya yang tercampak masuk ke ruangan pimpinan dengan resleting yang terbuka.
Setelahnya, Selena segera berlari ke ruangannya yang berada di sebelah ruangan Aditya.
Sementara itu, Aditya yang melihat sikap ceroboh Selena hanya menggelengkan kepalanya. Namun, dahinya mengerut ketika melihat sebuah bungkusan kecil tergeletak di lantai, dekat pintu ruangannya.
**
“Ah, kenapa aku tidak memberikan ceknya, tadi!”
Di ruangannya, Selena masih mengatur napas seraya mengipasi wajahnya yang memanas dengan map kosong.
Karena terburu-buru tadi, ia sampai lupa memberikan cek hasil ONS-nya semalam pada Aditya. Padahal … ini sudah nyaris 24 jam dari tengat waktu yang diberikan sang bos padanya.
Mau kembali ke ruangan Aditya, ia sudah kadung malu karena kejadian tadi. Mana pria itu juga tidak menanggapi permintaan maafnya.
Selena resah. Ia kini mondar-mandir di depan mejanya. Namun, karena terus diburu waktu, dan takut ancaman sang bos … mau tidak mau Selena memaksa dirinya kembali ke ruangan Aditnya.
Tok.
Tok.
Mengatur napasnya, Selena berdiri di depan pintu ruangan Aditya, tangannya bergetar menggenggam cek yang ingin diberikannya. Jantungnya mulai tidak beraturan mendengar suara Aditya yang menyuruh masuk .
Selena masuk dengan perasaan tidak menentu. Ia berjalan dengan kepala tertunduk menghampiri Aditya yang sibuk dengan laptopnya.
"Permisi, Pak, saya mau membayar ganti rugi ---"
"Ekhem!" Aditya berdehem keras mengagetkan Selena, ucapannya pun terhenti.
Selena mengangkat kepalanya melihat Aditya, tapi pria itu fokus pada laptopnya.
Kemudian Selena meletakkan cek di atas meja dengan tangan bergetar.
"S-saya permisi, Pak," ucap Selena merasa canggung, cepat-cepat keluar dari ruangan.
Di meja kerjanya, Selena menarik napas dalam-dalam dan menghempaskannya kasar.
Namun, baru beberapa detik merasa lega, lagi-lagi ia pun kembali berjingkat. Matanya melotot dengan tangan meremas kasar sisi mejanya.
Selena menelan salivanya kesulitan. Lehernya terasa kaku menoleh ke arah pintu.
"Masa iya aku berikan 975 juta itu padanya?" Selena tak berhenti mengutuk keteledoran dirinya. Entah bagaimana caranya meminta kembali cek itu dari Aditya.
"Bodohnya kamu, Selena!" umpatnya menoyor kepalanya sendiri.
Sekarang, ia jadi harus kembali lagi ke ruangan Aditya, dan mencoba bernegosiasi tentang kelebihan jumlah uang di cek yang telah diberinya.
Namun, hingga waktu menjelang jam 4 sore, gadis itu masih tidak menemukan celah untuk kembali ke ruangan Aditya.
Bahkan hingga sampai di kosnya, gadis itu seolah melupakan kelebihan uang yang tadi begitu ia pikirkan.
Ia malah kembali memikirkan pria tadi malam.
"Aku yakin dia bukan pria tua itu!" Ia mengingat lagi perbedaan dua pria aneh dan misterius yang ditemuinya kemarin. "Tapi kenapa pria tua itu malah memberikanku kepada pria lain?"Kemudian, ia coba-coba mengingat tentang pria semalam yang bersamanya.
Bagaimana harum tubuhnya, dan juga suaranya yang terdengar lembut.
"Suara?!" pekiknya refleks terduduk dengan mata yang melotot ke depan.
"Pak Aditya??!" desisnya dengan kedua mata mengerjap seperti menyadarkan dirinya.
Gemuruh jantungnya seketika meningkat."Suara pria itu sangat mirip dengan Pak Aditya!” ujarnya dengan semangat, tetapi kemudian bahunya kembali memerosot. “Tapi … tidak mungkin!" Aditya terkenal sebagai pria dingin nan arogan! Tidak mungkin memiliki suara selembut itu.
Selena memang baru bekerja sebulan di perusahaan Adiguna Jaya. Itupun, kejadian memecahkan guci hari itu jadi hari pertama ia mendengar suara pimpinannya.
Suara Aditya kala itu benar-benar berbeda dengan suara pria semalam.
Namun, kerutan di dahi Selena kembali muncul, kala mengingat keanehan lain … di mana pria semalam sudah mengetahui namanya.
“Ck, tapi dari mana dia tahu namaku?” Kening Selena berkerut kembali. Namun, tidak lama … tubuh gadis itu kembali menegang saat mengingat ia melupakan satu hal penting!
Buru-buru ia bangkit dari posisi tidurnya dan meraih tas kerja. Semua barang-barang di dalam tas itu ia keluarkan … tetapi benda yang ia cari tak juga kunjung ketemu.
“Di mana pil itu?!” katanya panik, membolak-balik tas dan isi-isinya memenuhi kamar kos.
Lalu, ketika ingatannya mengurutkan adegan seharian ini … matanya seketika membola!!
“Tidak mungkin!” pekiknya. Ia seketika membatu, dengan degup jantung yang memacu. “Jangan-jangan, pil itu jatuh di ruangan Pak Aditya??”
"Di mana aku menaruhnya?!"Begitu mengingat tasnya sempat jatuh di ruangan Aditya tadi, Selena langsung buru-buru ke kantor. Bisa tamat riwayatnya kalau sampai Aditya menemukan pil tersebut, apalagi jika sampai pria itu mengetahui fungsi pil itu.Sayangnya, ruangan Aditya terkunci sehingga Selena tidak bisa masuk ke sana. Satu-satunya yang bisa ia cek kemudian adalah ruangannya sendiri.Laci kerjanya jadi sasaran Selena untuk diobrak-abrik. Penjuru ruangannya pun tak kalah dari pantauannya. Namun, yang ia dapati hanya ruangannya jadi berantakan, tanpa menemukan pil yang ia cari.“Hah….” Selena mendesahkan rasa kecewa. Pil itu mungkin bisa ia beli lagi, tetapi yang menjadi pikirannya adalah … bagaimana jika ada yang menemukan dan mengetahui kalau ialah pemiliknya?Saat akan keluar dari ruangan, terdengar suara langkah kaki melangkah lalu berhenti di depan pintu ruangannya. Selena melirik ke arah jam dinding. "Jam sembilan? Siapa yang masih ada di lantai lima di jam segini, ya?" gumam
Lelah meratapi nasib, Selena sempat jatuh tertidur, meski sebentar. Lalu, mengingat masa optimal untuk mengkonsumsi pil pencegah kehamilan itu hanyalah 24 jam setelah pembuahan … ia pun berpikir untuk pergi ke apotek sebentar.“Tidak perlu izin, toh aku tidak berniat kabur dari sini!” Selena mengambil dompetnya dan bersiap keluar kamar. Namun, belum jauh dari pintu kamarnya, ia melihat Aditya tengah berbincang dengan seorang yang membuatnya terkejut.“Pria itu!” Selena memicingkan mata menatap pria buncit yang ‘membelinya’ tempo hari. “Pak Aditya kenal dengan pria itu?” Kedua alisnya tertaut.Tepat ketika Aditya membalik badan dan meninggalkan pria tua itu sendirian … saat itulah Selena berlari menuju pria itu.“Hei, tunggu!” teriaknya sambil berlari. Dari belakang, Selena melihat pria itu sempat menghentikan langkahnya. Namun, entah mengapa setelah itu ia malah mempercepat langkah. Beruntung, lari pria itu tidak cepat karena tubuhnya yang gempal, sehingga Selena lebih mudah untuk
"Ahhh!"Selena yang tidak sempat mengelak akhirnya terjatuh saat pintu menghantam kepalanya.Nampan di tangannya ikut terjatuh, hingga pecahan gelas dan piring pun berserakan di lantai kamar.Selena kaget melihat Aditya berdiri di pintu kamar. Lebih kaget lagi melihat apa yang sudah terjadi di kamar Aditya."Awas kaca, Pak!" cegahnya melihat Aditya yang tidak mengenakan alas kaki hendak masuk.Selena gegas memungut pecahan gelas dan piring itu sebelum Aditya marah besar."M-maafkan saya, Pak," ucapnya berharap pria itu bisa memaafkan kesalahannya kali ini.Aditya mengulurkan tangannya ke Selena. "Berdiri!"Dengan gugup Selena berdiri, mengabaikan uluran tangan Aditya. "Maafkan saya yang tidak hati-hati, Pak," ucapnya membungkuk hormat."Kamu tidak apa-apa, Selena?"Selena yang tertunduk itu langsung mengangkat kepala, menatap intens Aditya. Ia merasa aneh dengan pertanyaan Aditya yang tidak biasanya. Tapi tak ingin memperkeruh keadaan, Selena mengangguk cepat seraya menyembunyikan ta
Tidak mau dokter curiga. Selena senyum dibuat-buat. Beberapa detik kemudian Selena segera menyambar resep obat dan meninggalkan klinik. Resep obat dari dokter ia buang. "Bagaimanapun aku tidak boleh hamil!" gumamnya gegas pulang. Selena yang tiba di depan rumah Aditya bingung, antara tetap tinggal di sana atau pergi.Meski feeling-nya Aditya lah yang menghamilinya, tapi ia tidak punya bukti.Sedangkan paman Grove yang bisa bantu memberi bukti, belakangan sudah tidak terlihat di kediaman Aditya."Bagaimana kalau Aditya tahu kehamilanku ini?" lirihnya meremas telapak tangannya yang berkeringat. Di satu sisi Selena tak ingin kehamilannya tersebar. Takut nama besar Aditya hancur, karena sudah tiga minggu ini mereka tinggal bersama.Di sisi lain ia juga belum siap jadi bulan-bulanan para pegawai perusahaan. Maka Selena bertekad pergi diam-diam.Bermodalkan sisa uang dari Aditya, Selena mengemasi barang-barangnya dari kosannya. Ia juga tidak berniat pamit kepada ibu kost."Pergi jauh le
Selena coba mengabaikannya, fokus dengan tujuannya bekerja di sana. "Banyak nama yang sama, Selena," rutuknya menyadarkan dirinya.Bermodalkan pengalaman bekerja sebulan lebih di perusahaan sebelumnya, Selena lebih cekatan mengerjakan pekerjaannya.Tidak butuh berlama-lama ia telah menyelesaikan semua pekerjaannya. Sekarang yang membuatnya bingung, seharusnya ia menyerahkan berkas kerjanya kepada sang Pimpinan. Namun, sejak tadi sang Pimpinan tidak kunjung datang.Hati kecilnya juga tidak bisa bohong, kalau sebenarnya ia masih sangat penasaran dengan sosok pimpinan barunya."Sudah selesai?" tanya wanita yang masuk tiba-tiba.Selena sempat berjingkat karena kaget. Lamunannya pun buyar seiring map di genggaman tangannya ikut terlepas dan terjatuh ke lantai."M-maaf." Buru-buru Selena mengutip dan mengumpulkannya kembali. "Saya sedikit kaget ..." Selena sengaja menjeda ucapannya. Matanya tertuju pada sebuah badge yang menempel di sisi kiri dada wanita tersebut. "... Mbak Riana,"
Aditya menenggak liur berkali-kali. Dia tahu apa yang akan terjadi kalau sampai Tuan Collins ke perusahaan Wiguna."Jangan sampai Kakek ke sana, Paman!" tukas Aditya tak bisa membayangkan kemarahan sang Kakek nantinya. "Aku tak berhak melarang beliau ke sana, Aditya! Seperti yang kamu tahu, aku ini hanya paman angkat mu."Aditya terdiam. Sesaat hanya mondar-mandir, sesekali mengepalkan tangannya meninju udara dengan wajah frustasi."Aku tidak bisa berpikir lagi," ucap Aditya pasrah. "Apa Paman punya ide menghalanginya ke sana?" Sejenak paman Grove menundukkan pandangannya. Itu yang dipikirkannya sejak pagi tadi. Tapi ... dia selalu tidak berdaya bila berurusan dengan Tuan Collins. "Aku tidak punya cara, tapi ..." Paman Grove mengangkat kepala menatap intens wajah Aditya. "Sekarang pergilah ke perusahaan Wiguna, siapkan semua laporan yang diminta oleh Tuan Collins. Mungkin dengan begitu beliau tak terlalu mempersoalkan ketidakberadaan mu di sana nanti."Aditya menaikkan salah satu
Sadar hanya bengong dengan pikiran melalang buana. Cepat-cepat Selena menyambar map di samping tangannya."Laporan perkembangan perusahaan, rincian keuangan perusahaan, laporan hasil weekly meeting ..." gumam Selena, matanya membola.Tergesa ia mencari-cari informasi di file yang tersimpan di laptop. Namun, tetap tidak menemukan informasi apapun.Tangannya terhenti di keyboard laptop. Mengingat dirinya masih hitung hari bekerja di sana, lalu, HRD tadi tidak menjelaskan informasi lebih detilnya. Takut membuat kesalahan dengan menebak-nebak, Selena gegas menemui HRD. Karena berkas penting itu harus diserahkan ke Bos Pimpinan langsung.Selena berdiri di pintu ruangan menunggu sang HRD selesai bicara di ponselnya."Ada apa, Selena?" tanya sang HRD meletakkan ponselnya. Wajahnya tampak mengeras, tidak secerah pertemuan awal tadi.Belum sempat menjawab, sang HRD langsung meraih map dari tangannya."Syukur kamu sudah menyelesaikannya, Selena," katanya langsung membuka-buka isi map.Selen
"Pikir-pikir saja, Aditya."Dengan gusar, Aditya kembali menghampiri paman Grove. Berhenti setelah hampir tak berjarak. "Tak perlu pikir-pikir. Aku yakin Selena masih di kota ini, Paman. Maka aku akan terus mencarinya!"Paman Grove menggeleng-geleng. Susah memang menasehati orang yang sudah budak cinta."Serahkan saja ke orang-orang ku, Aditya. Kamu fokus ke perusahaan Wiguna, Tuan Collins ---""Apa aku bisa percaya orang-orang mu itu, Paman?" potong Aditya menggeram. "Waktu itu Paman meyakinkanku, kalau orang-orang mu itu segera menemukan Selena! Tapi apa?" Aditya membungkuk ke depan, menaikkan salah satu alisnya menatap paman Grove dengan tatapan mengejek. "Sampai sekarang ujung rambut Selena saja tidak mereka temukan!" Aditya mendengus kasar, wajahnya memerah meninggalkan paman Grove.Paman Grove meneguk liur. Bingung karena tidak biasa orang-orang nya kewalahan melakukan tugas darinya.Mengingat Selena hanya gadis polos. Tidak menyangka ia bisa sembunyi sehebat ini."Dasar ker
"Semua sudah beres. Tinggal membawa Selena sekarang bertemu Tuan Collins, Aditya! Tapi tunggu aba-aba dariku!""Bagaimana dengan Tuan Barata? Apa Paman sudah menunjukkan bukti-bukti itu?" "Tenang saja. Semuanya sudah aman," jawab paman Grove meninggalkan perusahaan Barata. Sekarang dia hanya melakukan tugas terakhirnya sebelum Aditya tiba di rumah sakit. "Semua sudah beres?" Paman Grove menyambungkan ponselnya ke orang suruhannya di rumah sakit."Beres. Tuan Collins tampaknya sedikit syok dan tidak mengatakan apapun dengan bukti-bukti itu." "Oke, tugas kalian sudah selesai. Sekarang kalian bisa bebas. Katakan ke semua anggota, sampai kapanpun hal ini tidak bisa bocor! Ingat! Kalian berhadapan dengan Aditya!""Siap, Bos! Aman terkendali.""Oke, pergilah bersenang-senang. Bonus kalian sudah di transfer."Paman Grove mendahului Aditya ke rumah sakit, beberapa menit yang lalu Tuan Collins memintanya datang. Mungkin ingin menanyakan kebenaran bukti yang diberikan asisten pribadinya.
Tuan Collins menunjukkan senyum smirk-nya. Dia memang menanyakan Aditya ke paman Grove. Sudah seminggu ini Julia mencari-carinya ke rumah sakit. Dari Julia jugalah Tuan Collins tahu Aditya tidak lagi tinggal di rumahnya. Namun, Tuan Collins tidak ingin membahasnya."Apa kamu sudah mengurus pernikahanmu dengan Julia?" tanya Tuan Collins membetulkan letak selang infus yang melilit di tangannya."Pernikahan? Aku memang sedang merencanakan pernikahan, tapi tidak dengan Julia, Kek." Aditya melipat kedua tangannya di dada.Ucapannya itu menarik atensi Tuan Collins dan menaikkan pandangannya. "Apa maksudmu, Aditya? Kamu mau menggagalkan rencanaku dengan Barata?" berangnya melotot tajam."Rencana mengakuisi perusahaan milik Tuan Abeth dan Viktor? Sepertinya Kakek tidak tahu jika Tuan Bramasta sudah bergerak lebih cepat." Aditya menarik punggungnya yang menempel di dinding kamar rumah sakit. "Tidak bisa di salahkan juga Tuan Bramasta. Kalian saja yang tidak bergerak cepat. Yah, kalian sibuk
Selena terbangun setelah mendengar bunyi alarm dari ponselnya. Sedikit kaget mendapati dirinya tertidur di ruang tamu. Punggungnya terasa mau patah karena semalaman tidur membungkuk di sofa kecil.Selena meregangkan otot tubuhnya sebelum berjalan ke kamar Baby Lea. Pun cepat-cepat membersihkan diri sebelum Aditya datang ke sana.Namun, belum selesai berkutat dengan Baby Lea, terdengar suara bell. "Iya, bentar," serunya berlari kecil ke depan. Tampak Aditya menunggu di depan pagar."Masuklah, aku belum selesai," ujar Selena memberikan Baby Lea kepada Aditya.Ia tidak tahu mengapa senyaman itu memperlakukan Aditya. Bahkan tubuhnya yang cuma terbungkus daster basah tidak merasa malu. "Selena," panggil Aditya melihatnya terburu masuk."Tunggu sebentar aku mandi," serunya menghilang di balik pintu kamar.Sengaja atau tidaknya, pintu kamar jelas tidak menutup sempurna. Aditya meletakkan Baby Lea di ruang bermain, niatnya ingin menutup pintu kamar. Aditya tidak yakin bisa menguasai dirin
Setelah beberapa lama berbincang, Aditya berpamitan pulang. "Kamu pulang saja dulu, Selena. Mumpung ada Aditya yang bisa mengantarmu ke rumah," ujar Mami kasihan melihat Selena terus-terus di sana. "Mami saja yang pulang. Aku---""Biar Mami dan Riana di sini malam ini. Kamu dan Baby Lea pulanglah. Pun ada Papi juga di sini," potong Mami memaksa Selena pulang."Aditya, tolong antarkan Selena ke rumah ya.""Baik, Nyonya." Aditya meraih Baby Lea dari pangkuan Selena. Membawanya keluar mendahului Selena.'Pucuk dicinta ulam pun tiba. Semua sesuai dengan rencana. Sekarang tinggal menunggu giliran Kakek tua itu!' batin Aditya tertawa kecil. "Maaf merepotkan kamu," kata Selena menarik Baby Lea dari pangkuan Aditya dan mendudukkannya di kursi belakang.Aditya bergumam dalam hati, itu semua sudah direncanakan. Sekarang dia hanya ingin membuat Selena merasa dirinya malaikat penolong."Tidak apa-apa. Lupakan saja yang lalu-lalu, fokus dengan kesehatan Hendra dulu.""Tapi ... kata dokter Kak H
Di kediaman keluarga Bramasta tidak lantas membuat Selena tenang. Pikirannya tentang Aditya semakin kuat saja. "Hei, malah bengong." Riana yang baru tiba menepuk pundak Selena. Selena mengangkat kepala lemah. Melihat Riana jadi timbul niatnya keluar ingin menemui Aditya. Ia harus mengakui semuanya ke Aditya dan meminta Aditya untuk melupakannya dan Baby Lea.Selena tidak ingin jika Tuan Collins sampai tahu ia memiliki keturunan keluarga Collins. Ancaman pria tua itu belum bisa hilang dari pikirannya."Malah bengong," omel Riana menyikut bahu Selena."Iya, aku kelelahan seharian menjaga Baby Lea," sahut Selena tertawa kecil. "Elleh, kan Mami sudah langsung pulang. Sekarang kamu bisa bersantai juga."Benar juga. Ini kesempatannya bisa keluar dengan mengajak Riana yang doyan belanja-belanja dan salon."Hmm, kamu mau mengajakku keluar?" pancing Selena mengedipkan sebelah matanya menggoda calon iparnya.Benar saja, mendengar kata keluar, Riana mencampakkan tas belanjaannya ke dalam kam
Paman Grove mengerahkan seluruh orang suruhannya mendapatkan benda untuk keperluan tes DNA yang diminta oleh Aditya."Aku yang akan mendapatkan sampel rambut putriku, paman Grove. Kalian hanya perlu mengawasi Hendra dan keluarga Bramasta saat aku berkepentingan di rumah Selena.""Baik, info sudah aku dapatkan, Tuan Bramasta dan istrinya juga putrinya tengah ke pertemuan mitra bisnis keluar kota, sore nanti baru kembali. Kami hanya akan mengendalikan Hendra selama kamu berkepentingan di rumah Selena."Aditya setuju dan segera bergerak menuju rumah Selena. Dia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk mendapatkan kembali wanita yang jadi cinta pertamanya.Sebenarnya, terlihat konyol bagi seorang Tuan Muda bangsawan mengejar-ngejar wanita yang tidak sederajat dengannya, pun mengemis cinta darinya. Selena di rumahnya. Setelah beberapa lama memastikan Aditya tidak datang lagi, ia mulai berani membuka pintu rumah dan bersantai di teras rumah. Hingga lima belas menit kemudian."Ekkhem!
Selena memastikan Aditya pergi. Gemuruh dadanya meningkat dan berlari masuk menuju meja makan. Menyambar gelas dan menuang air minum sebelum meneguknya habis. Selena masih berdiri, mencengkram sisi meja menahan tubuhnya yang masih bergetar. Napasnya memburu dengan dada turun naik. "Dari mana dia tahu tempat ini?" gumamnya mulai mengatur napas. Meremas ponsel di genggaman tangannya. Selena segera menemukan kontak Hendra hendak akan menghubunginya, memberitahu kedatangan Aditya tadi.Namun, hanya kembali meletakkannya di atas meja. Ia tahu sekarang Hendra sedang sibuk dan tidak bisa diganggu. Selena mengurungkan niatnya.Selena berjalan ke kamar melihat Baby Lea, dia sedang tertidur pulas di ranjang.Selena kembali keluar berjalan ke ruang depan. Menyibakkan gorden guna menyelidiki Aditya tidak kembali ke sana. Hatinya jadi gelisah dan tidak tenang. Pikirnya, Aditya akan kembali lagi. "Aku ke rumah Mami saja," ujar Selena berbalik ke meja makan. Meraih ponsel hendak menelepon sopir
Aditya baru saja tiba di mansion ketika paman Grove baru beranjak dari ranjangnya. Untung orang suruhannya tepat waktu menjemput Aditya ke bandara."Maaf, aku terlalu lelah hingga sulit bangun cepat. Duduk dan segarkan dulu pagimu dengan kopi panas, aku membersihkan badan sebentar," ujar paman Grove meninggalkan Aditya yang berdiri di depan pintu kamarnya."Hmm, cepatlah!" sahut Aditya berpindah ke meja makan.Tangannya meraih gelas berisi kopi dan meneguknya seperempat gelas. Udara dingin karena musim hujan membuat suhu tubuhnya sedikit menggigil. Di luaran memang sangat dingin tadi. "Apa Tuan Collins mengizinkanmu kemari?" tanya paman Grove ikut duduk di samping Aditya."Kakek tidak jadi ke luar kota. Agaknya dia ada sedikit masalah dengan Tuan Barata."Masalah apa? Paman Grove mengerutkan kening. Tidak mungkin Tuan Collins mau melakukan permusuhan dengan Tuan Barata. Dia sangat membutuhkan bantuan Tuan Barata untuk kepentingan bisnisnya. "Kamu bercanda?" tanya paman Grove merasa
"Kamu pulanglah, perusahaan Adiguna Jaya membutuhkanmu. Aku bersama orang-orangku segera menyelidiki hubungan Hendra dan Selena. Yang aku butuhkan hanya dua hal, alamat rumah Hendra dan Selena tinggal dan gedung tempat pernikahan mereka sebelumnya!" ujar paman Grove percaya diri. "Hahk! Kalau aku tahu tidak perlu menyuruh orang-orang mu itu menyelidikinya," ketus Aditya menjawab.Paman Grove mendelik, menggeleng-gelengkan kepala guna memfokuskan pikirannya.Ahh, iya. Itu benar! Kalau Aditya bisa melakukannya kenapa meminta tolong padanya. Paman Grove menggaruk-garuk tengkuknya."Aku tetap di sini. Katakan saja ke Tuan Collins aku punya kesibukan di perusahaan Wiguna.""Tuan Collins memintamu ke perusahaan Adiguna Jaya. Akhir minggu ini beliau ke pertemuan bisnis dengan Tuan Barata. Jadi, tidak mungkin Julia yang memegang kendali perusahaan, Aditya.""Julia masih di perusahaan?""Iya, sampai kamu yang menyuruhnya keluar, itu katanya."Aditya terdiam. Dia butuh Selena kembali kepadan