"Di mana aku menaruhnya?!"
Begitu mengingat tasnya sempat jatuh di ruangan Aditya tadi, Selena langsung buru-buru ke kantor.
Bisa tamat riwayatnya kalau sampai Aditya menemukan pil tersebut, apalagi jika sampai pria itu mengetahui fungsi pil itu.
Sayangnya, ruangan Aditya terkunci sehingga Selena tidak bisa masuk ke sana. Satu-satunya yang bisa ia cek kemudian adalah ruangannya sendiri.
Laci kerjanya jadi sasaran Selena untuk diobrak-abrik. Penjuru ruangannya pun tak kalah dari pantauannya. Namun, yang ia dapati hanya ruangannya jadi berantakan, tanpa menemukan pil yang ia cari.
“Hah….” Selena mendesahkan rasa kecewa. Pil itu mungkin bisa ia beli lagi, tetapi yang menjadi pikirannya adalah … bagaimana jika ada yang menemukan dan mengetahui kalau ialah pemiliknya?
Saat akan keluar dari ruangan, terdengar suara langkah kaki melangkah lalu berhenti di depan pintu ruangannya.
Selena melirik ke arah jam dinding. "Jam sembilan? Siapa yang masih ada di lantai lima di jam segini, ya?" gumamnya seraya
mengedarkan pandangan ke isi ruangannya yang berantakan.
Ia berbalik badan. Cepat-cepat merapikan mejanya. Belum juga selesai, suara ketukan keras di pintu ruangan membuatnya berhenti.
Ketika membuka pintu, Selena kaget setengah mati melihat Aditya lah berdiri di hadapannya.
‘Kenapa dia masih di sini?’ pikir Selena dalam hati.
Karena takut, jantungnya berdetak kencang, napasnya juga mulai tidak teratur.
"M-maaf, Pak. Saya kemari untuk mencari dompet saya yang ketinggalan tadi," ucapnya berbohong seraya meremas telapak tangannya yang banjir keringat.
Wajahnya tampak memutih, ketika Aditya langsung masuk ruangan dengan mendorong bahunya untuk membuat ia menyingkir dari pintu.
Selena bergeser, tidak berdaya menghalangi bosnya masuk. Di belakang Aditya, Selena melihat punggung bosnya menegang melihat ruangannya yang berantakan.
Tidak lama, pria itu memutar badan dan menatapnya dengan wajah merah padam.
"Kamu mencuri?" tuduhnya membuat Selena membeku sesaat sebelum menggeleng cepat.
"S-saya mencari dompet --"
“Kamu pikir saya akan percaya?” katanya dengan alis menukik. "Pilih! Dipecat atau dihukum!" tindasnya kemudian.
Seketika bulu kuduk Selena berdiri. Entah dosa atau kutukan apa yang ia terima lagi kali ini.
Dipecat adalah pilihan yang tidak mungkin ia ambil. Sebab, ia butuh uang untuk dikirimkan ke orang tuanya di kampung.
Namun, dihukum pun Selena takut. Sebab, pribadi Aditya yang menakutkan di mata semua karyawan. Akan tetapi, ia tidak punya pilihan lain.
"Dihukum, Pak," jawabnya tanpa berani menatap sang atasan.
Dalam hati Selena merutuki sikap Aditya yang kejam. Jelas-jelas yang ia buat berantakan adalah ruangannya sendiri.
Kalau pria itu bijak, ia seharusnya menghukum Selena merapikan ruangannya. Namun … entahlah hukuman apa yang akan diberikan Aditya padanya.
Pria itu melangkah mendekat, lalu berbisik tegas.
"Ikut aku!"Selena bergeming sesaat dengan mata terbuka lebar. Tak lama, sebab detik berikutnya langkah gadis itu sudah mengikuti Aditya keluar dari perusahaan.
Tanpa banyak bertanya, Selena mengekori langkah atasannya yang lebar.
Rupanya, Aditya membawanya ke sebuah rumah megah yang ia pikir lebih layak disebut hotel. Tapi yang membuatnya kaget, di jalan depan rumah itulah ia bertemu dengan pria tua yang membeli tubuhnya waktu itu.
Beberapa saat, kepalanya celingukan seperti mencari-cari pria tua itu. Namun, yang ia temui hanya sepi … tidak ada orang yang hilir mudik.
"Masuk!" Aditya membuyarkan lamunannya, seraya mendorong bahu Selena dengan ujung jari telunjuk.
Selena gugup, merasa asing di rumah yang dipenuhi fasilitas mewah dan para pelayan itu.
"U-untuk apa membawaku kemari, Pak?" Selena memberanikan diri membuka suara seraya menahan langkahnya.
Tidak ada sahutan. Aditya kembali mendorong bahunya, kali ini lebih kasar seperti peringatan. Selena pun tidak berani bertanya lagi, pasrah mengikuti pria itu menaiki tangga hingga ke lantai tiga.
Ia juga tidak melawan saat dibawa masuk ke kamar yang luas. Aditya menjentikkan jarinya pada Selena sembari mendorong kursi plastik dengan ujung kakinya.
Selena menghela napas sebelum duduk. Ia pasrah apapun yang akan dilakukan Aditya padanya. Apalagi melihat hanya mereka berdua saja yang ada di kamar tersebut.
"Baca ini!" Aditya mencampakkan selembar kertas padanya, kemudian beranjak dari sana.
"P-Pak, Pak Aditya," panggilnya mengejar, tetapi Aditya segera menghilang di pintu lift.
"Hukuman apa lagi ini," bisiknya. Ada rasa takut harus berada di dalam rumah yang asing baginya.
Ia pun mulai membaca isi kertas yang diberikan Aditya tadi.
"Apa-apaan ini?" pekiknya dengan mata terbelalak sampai-sampai bola matanya menonjol keluar membaca isi kertas yang ternyata berisikan tugas-tugas.
Mengantar susu jam lima pagi, serapan jam enam, makan siang jam dua belas, antar susu ….
“Susu? Dia pikir aku babysitter?” ujar Selena dalam hati. Kemudian, pikirannya mulai penuh dengan tugas-tugas seorang babysitter.
Ada rasa khawatir jika benar ia ditugaskan menjaga seorang bayi. Karena, meski berasal dari desa … tapi ia belum pernah melakukan pekerjaan semacam itu.
Andai saja Selena punya keberanian untuk meminta sisa pembayaran ganti ruginya kemarin. Mungkin, ia akan segera mengajukan surat resign jika berhasil mendapatkan sisa uangnya.
‘Selena, Selana … malang sekali nasibmu!’ keluhnya sembari berbaring di ranjang.
Lalu, pikirannya kembali melanglang buana, mengingat sudah dua hukuman dari Aditya yang dijatuhkan padanya.
“Kalau dipikir-pikir, kenapa dia gemar sekali memberiku hukuman??”
**
Lelah meratapi nasib, Selena sempat jatuh tertidur, meski sebentar. Lalu, mengingat masa optimal untuk mengkonsumsi pil pencegah kehamilan itu hanyalah 24 jam setelah pembuahan … ia pun berpikir untuk pergi ke apotek sebentar.“Tidak perlu izin, toh aku tidak berniat kabur dari sini!” Selena mengambil dompetnya dan bersiap keluar kamar. Namun, belum jauh dari pintu kamarnya, ia melihat Aditya tengah berbincang dengan seorang yang membuatnya terkejut.“Pria itu!” Selena memicingkan mata menatap pria buncit yang ‘membelinya’ tempo hari. “Pak Aditya kenal dengan pria itu?” Kedua alisnya tertaut.Tepat ketika Aditya membalik badan dan meninggalkan pria tua itu sendirian … saat itulah Selena berlari menuju pria itu.“Hei, tunggu!” teriaknya sambil berlari. Dari belakang, Selena melihat pria itu sempat menghentikan langkahnya. Namun, entah mengapa setelah itu ia malah mempercepat langkah. Beruntung, lari pria itu tidak cepat karena tubuhnya yang gempal, sehingga Selena lebih mudah untuk
"Ahhh!"Selena yang tidak sempat mengelak akhirnya terjatuh saat pintu menghantam kepalanya.Nampan di tangannya ikut terjatuh, hingga pecahan gelas dan piring pun berserakan di lantai kamar.Selena kaget melihat Aditya berdiri di pintu kamar. Lebih kaget lagi melihat apa yang sudah terjadi di kamar Aditya."Awas kaca, Pak!" cegahnya melihat Aditya yang tidak mengenakan alas kaki hendak masuk.Selena gegas memungut pecahan gelas dan piring itu sebelum Aditya marah besar."M-maafkan saya, Pak," ucapnya berharap pria itu bisa memaafkan kesalahannya kali ini.Aditya mengulurkan tangannya ke Selena. "Berdiri!"Dengan gugup Selena berdiri, mengabaikan uluran tangan Aditya. "Maafkan saya yang tidak hati-hati, Pak," ucapnya membungkuk hormat."Kamu tidak apa-apa, Selena?"Selena yang tertunduk itu langsung mengangkat kepala, menatap intens Aditya. Ia merasa aneh dengan pertanyaan Aditya yang tidak biasanya. Tapi tak ingin memperkeruh keadaan, Selena mengangguk cepat seraya menyembunyikan ta
Tidak mau dokter curiga. Selena senyum dibuat-buat. Beberapa detik kemudian Selena segera menyambar resep obat dan meninggalkan klinik. Resep obat dari dokter ia buang. "Bagaimanapun aku tidak boleh hamil!" gumamnya gegas pulang. Selena yang tiba di depan rumah Aditya bingung, antara tetap tinggal di sana atau pergi.Meski feeling-nya Aditya lah yang menghamilinya, tapi ia tidak punya bukti.Sedangkan paman Grove yang bisa bantu memberi bukti, belakangan sudah tidak terlihat di kediaman Aditya."Bagaimana kalau Aditya tahu kehamilanku ini?" lirihnya meremas telapak tangannya yang berkeringat. Di satu sisi Selena tak ingin kehamilannya tersebar. Takut nama besar Aditya hancur, karena sudah tiga minggu ini mereka tinggal bersama.Di sisi lain ia juga belum siap jadi bulan-bulanan para pegawai perusahaan. Maka Selena bertekad pergi diam-diam.Bermodalkan sisa uang dari Aditya, Selena mengemasi barang-barangnya dari kosannya. Ia juga tidak berniat pamit kepada ibu kost."Pergi jauh le
Selena coba mengabaikannya, fokus dengan tujuannya bekerja di sana. "Banyak nama yang sama, Selena," rutuknya menyadarkan dirinya.Bermodalkan pengalaman bekerja sebulan lebih di perusahaan sebelumnya, Selena lebih cekatan mengerjakan pekerjaannya.Tidak butuh berlama-lama ia telah menyelesaikan semua pekerjaannya. Sekarang yang membuatnya bingung, seharusnya ia menyerahkan berkas kerjanya kepada sang Pimpinan. Namun, sejak tadi sang Pimpinan tidak kunjung datang.Hati kecilnya juga tidak bisa bohong, kalau sebenarnya ia masih sangat penasaran dengan sosok pimpinan barunya."Sudah selesai?" tanya wanita yang masuk tiba-tiba.Selena sempat berjingkat karena kaget. Lamunannya pun buyar seiring map di genggaman tangannya ikut terlepas dan terjatuh ke lantai."M-maaf." Buru-buru Selena mengutip dan mengumpulkannya kembali. "Saya sedikit kaget ..." Selena sengaja menjeda ucapannya. Matanya tertuju pada sebuah badge yang menempel di sisi kiri dada wanita tersebut. "... Mbak Riana,"
Aditya menenggak liur berkali-kali. Dia tahu apa yang akan terjadi kalau sampai Tuan Collins ke perusahaan Wiguna."Jangan sampai Kakek ke sana, Paman!" tukas Aditya tak bisa membayangkan kemarahan sang Kakek nantinya. "Aku tak berhak melarang beliau ke sana, Aditya! Seperti yang kamu tahu, aku ini hanya paman angkat mu."Aditya terdiam. Sesaat hanya mondar-mandir, sesekali mengepalkan tangannya meninju udara dengan wajah frustasi."Aku tidak bisa berpikir lagi," ucap Aditya pasrah. "Apa Paman punya ide menghalanginya ke sana?" Sejenak paman Grove menundukkan pandangannya. Itu yang dipikirkannya sejak pagi tadi. Tapi ... dia selalu tidak berdaya bila berurusan dengan Tuan Collins. "Aku tidak punya cara, tapi ..." Paman Grove mengangkat kepala menatap intens wajah Aditya. "Sekarang pergilah ke perusahaan Wiguna, siapkan semua laporan yang diminta oleh Tuan Collins. Mungkin dengan begitu beliau tak terlalu mempersoalkan ketidakberadaan mu di sana nanti."Aditya menaikkan salah satu
Sadar hanya bengong dengan pikiran melalang buana. Cepat-cepat Selena menyambar map di samping tangannya."Laporan perkembangan perusahaan, rincian keuangan perusahaan, laporan hasil weekly meeting ..." gumam Selena, matanya membola.Tergesa ia mencari-cari informasi di file yang tersimpan di laptop. Namun, tetap tidak menemukan informasi apapun.Tangannya terhenti di keyboard laptop. Mengingat dirinya masih hitung hari bekerja di sana, lalu, HRD tadi tidak menjelaskan informasi lebih detilnya. Takut membuat kesalahan dengan menebak-nebak, Selena gegas menemui HRD. Karena berkas penting itu harus diserahkan ke Bos Pimpinan langsung.Selena berdiri di pintu ruangan menunggu sang HRD selesai bicara di ponselnya."Ada apa, Selena?" tanya sang HRD meletakkan ponselnya. Wajahnya tampak mengeras, tidak secerah pertemuan awal tadi.Belum sempat menjawab, sang HRD langsung meraih map dari tangannya."Syukur kamu sudah menyelesaikannya, Selena," katanya langsung membuka-buka isi map.Selen
"Pikir-pikir saja, Aditya."Dengan gusar, Aditya kembali menghampiri paman Grove. Berhenti setelah hampir tak berjarak. "Tak perlu pikir-pikir. Aku yakin Selena masih di kota ini, Paman. Maka aku akan terus mencarinya!"Paman Grove menggeleng-geleng. Susah memang menasehati orang yang sudah budak cinta."Serahkan saja ke orang-orang ku, Aditya. Kamu fokus ke perusahaan Wiguna, Tuan Collins ---""Apa aku bisa percaya orang-orang mu itu, Paman?" potong Aditya menggeram. "Waktu itu Paman meyakinkanku, kalau orang-orang mu itu segera menemukan Selena! Tapi apa?" Aditya membungkuk ke depan, menaikkan salah satu alisnya menatap paman Grove dengan tatapan mengejek. "Sampai sekarang ujung rambut Selena saja tidak mereka temukan!" Aditya mendengus kasar, wajahnya memerah meninggalkan paman Grove.Paman Grove meneguk liur. Bingung karena tidak biasa orang-orang nya kewalahan melakukan tugas darinya.Mengingat Selena hanya gadis polos. Tidak menyangka ia bisa sembunyi sehebat ini."Dasar ker
Saat-saat Selena tengah sibuk menyiapkan agenda meeting untuk besok pagi. Paman Grove yang baru mendapat kabar baik dari sang HRD, gegas menemui Aditya di rumahnya. "Aditya!" panggilnya mengetuk keras pintu kamar Aditya.Aditya yang tengah meratapi kecewanya, membuka pintu dengan malas. "Ada apa, Paman?" tanyanya tidak semangat."Ada berita baik, Aditya." Paman Grove langsung masuk mengabaikan wajah Aditya yang kusut.Aditya tidak tertarik bertanya. Baginya kabar baik itu cuma bertemu Selena.Paman Grove meneguk liur dengan menarik kedua sudut bibirnya. "Meeting perusahaan Wiguna bersama Tuan Collins sukses," ungkapnya tidak se-menggebu-gebu tadi. "Hhh, tidak saatnya bercanda, Paman," ujar Aditya kembali rebahan di sofa panjang, tangannya melipat rapi di dada. Jelas ia tidak percaya, baru tiga jam lalu Tuan Collins memarahi bahkan mengancam menarik perusahaan Wiguna darinya."Aku tidak bercanda, Aditya. HRD yang mengatakannya."Aditya langsung bangkit, menumpulkan pandangannya d