"Ahhh!"
Selena yang tidak sempat mengelak akhirnya terjatuh saat pintu menghantam kepalanya.
Nampan di tangannya ikut terjatuh, hingga pecahan gelas dan piring pun berserakan di lantai kamar.
Selena kaget melihat Aditya berdiri di pintu kamar. Lebih kaget lagi melihat apa yang sudah terjadi di kamar Aditya.
"Awas kaca, Pak!" cegahnya melihat Aditya yang tidak mengenakan alas kaki hendak masuk.
Selena gegas memungut pecahan gelas dan piring itu sebelum Aditya marah besar.
"M-maafkan saya, Pak," ucapnya berharap pria itu bisa memaafkan kesalahannya kali ini.
Aditya mengulurkan tangannya ke Selena. "Berdiri!"
Dengan gugup Selena berdiri, mengabaikan uluran tangan Aditya. "Maafkan saya yang tidak hati-hati, Pak," ucapnya membungkuk hormat.
"Kamu tidak apa-apa, Selena?"
Selena yang tertunduk itu langsung mengangkat kepala, menatap intens Aditya.
Ia merasa aneh dengan pertanyaan Aditya yang tidak biasanya. Tapi tak ingin memperkeruh keadaan, Selena mengangguk cepat seraya menyembunyikan tangannya yang tergores pecahan kaca.
"Permisi, Pak. Saya mau ambil sapu untuk membersihkannya," ujarnya melihat Aditya menghalangi jalannya keluar.
Tapi Aditya menahannya keluar, kemudian menarik nampan dari tangannya. "Tidak perlu! Sekarang kamu istirahatlah," katanya begitu lembut dan hangat.
Selena membeku mendengarnya. Suara lembut barusan mengingatkannya dengan sosok yang masih misterius di pikirannya.
“Apa yang kau tunggu lagi? Istirahatlah,” ulang Aditya lagi, membuat Selena kemudian melangkah dengan tatapan kosong.
Di kamarnya, Selena kembali memikirkan kemiripan suara pria malam itu, dengan suara lembut Aditya yang didengarnya barusan.
“Sekarang … suara mereka semakin mirip! Bagaimana kalau memang Aditya orangnya?”
Selena terus berpikir, hingga tertidur pulas. Ia baru terbangun ketika mendengar alarmnya berbunyi.
Beruntung, ketika membuka kamar ia tidak lagi melihat secarik kertas berisi perintah absurd Aditya lagi. Ia langsung bergegas turun usai membersihkan diri.
Terlalu pagi memang untuk memulai aktivitas. Hanya saja, karena tidak ingin mendapatkan hukuman lagi, Selena memilih untuk berinisiatif memulai pekerjaannya di rumah ini lebih awal.
Namun, saat melintas di depan sebuah ruangan yang bersebelahan dengan tangga bawah, ia kaget.
Sepintas melihat sosok dua orang di dalamnya. Selena yang penasaran lantas mundur untuk memastikan.
Tapi lagi-lagi ia dibuat hampir berhenti bernapas, melihat kedua orang itu tak lain adalah Aditya dengan pria tua yang membeli tubuhnya.
"Pokoknya Paman Grove harus merahasiakan ini dari siapa pun!" ujar Aditya seperti membuat perjanjian dengannya.
'Paman Grove?' batin Selena tak salah mendengar nama dan sebutan paman ke pria tua itu. ‘Jadi, mereka ada hubungan?’
"Kamu tidak perlu ragukan itu, Aditya," jawab Paman Grove menepuk pundak Aditya sebelum memutar badan keluar ruangan.
Melupakan tugas yang seharusnya ingin ia kerjakan, Selena gegas menaiki tangga menuju kamarnya sebelum pria bernama Paman Grove yang keluar ruangan memergokinya.
Melihat Aditya bersama pria tua itu barusan, tebakan Selena pada sosok pria malam itu semakin mengarah pada bosnya.
“Semua ini jadi lebih masuk akal!" pikirnya mulai menyatukan kepingan-kepingan informasi yang didapatnya sendiri. Wajah yang semula terlihat berpikir itu lantas mengerut kesal. “Apa dia berusaha menjebakku? Tapi, untuk apa??”
Ponselnya kemudian berbunyi. Sebuah pesan masuk, Selena cepat-cepat mengambilnya.
Dari Aditya:
'Kamu terlalu berani memata-matai rumahku! Untuk itu kamu dihukum! Bawa nampan dari meja makan ke kamarku! Waktumu tiga menit dari sekarang.'
"Memata-matai? Apa dia melihatku?" desisnya gemetaran, mana mungkin Aditya mengirimkan pesan seperti itu kalau tidak melihatnya tadi.
'Apa tadi, tiga menit? Ya Tuhan, turun tangga dari lantai tiga ke ruang makan saja sudah lebih dari tiga menit.'
Begitulah keseharian Selena selama tiga minggu ini di rumah Aditya. Salah sedikit, hukuman tidak masuk akal akan diterimanya dari sang atasan.
Karena kesibukan meladeni hukuman dan permintaan gila bosnya, Selena bahkan lupa pada pil kontrasepsi yang seharusnya ia minum.
Tiga minggu di sini, agaknya tidak ada yang berubah dari Selena. Gadis itu masih saja gesit melakukan perintah bosnya.
Namun, pagi ini tiba-tiba saja tubuhnya terasa menggigil, sakit memilin di bagian perut. Belum lagi, ia terus saja merasa mual dan lemah.
Ia bahkan melupakan tugas pokok paginya sebelum bergegas ke kantor.
"Selena!" Panggilan disertai ketukan keras di pintu kamarnya.
"Ya, Pak," sahutnya memaksakan berjalan membuka pintu seraya terus memeluk perutnya. "Maaf, Pak. Saya kurang enak badan pagi ini," ucapnya pasrah kalau Aditya harus menghukumnya lagi.
Melihatnya lemas dan pucat, Aditya memapahnya kembali masuk.
"Kamu sakit?" tanya Aditya mendudukkannya di sisi ranjang, kemudian meraih selimut dan menyelimutinya yang terus menggigil.
"Iya, Pak. Apa saya bisa istirahat hari ini?" tanyanya menekan perutnya yang terasa mual.
"Iya, tapi kamu juga harus berobat sebelum sakitnya bertambah parah.” Raut wajah pria itu terlihat begitu khawatir. “Wajahmu pucat, Selena. Biar kuantar ke klinik.”
Kalau bukan karena sakitnya yang tak tertahankan, Selena pasti akan menolak.
"Baik, Pak. Tapi ..." Selena menjeda ucapannya. "Apa boleh saya meminta sisa uang saya waktu itu, Pak?" katanya meremas sisi selimut menahan takut yang bercampur rasa sakit.
"Uang?” Kening Aditya berkerut.” Maksudmu cek waktu itu?" tanya Aditya.
Selena mengangguk.
“Aku akan mengembalikannya.” Tanpa banyak bicara, Aditya langsung menyetujuinya. “Sekarang, ganti pakaianmu, setelah itu pelayan akan membantumu turun.”
Aditya memegang janjinya. Pria itu memberikannya uang tersebut sebelum mengantarnya ke klinik.
"Maaf, aku tidak bisa menemani. Kabari saja kalau sudah selesai. Sopirku akan menjemputmu.”
Selena jelas tidak keberatan. Ia malah bersyukur, sebab kedekatan mereka sedari tadi terasa begitu asing dan kaku.
Terbiasa mendapati perlakuan kejam, juga kata-kata kasar dari Aditya, mendapati pria itu memberikannya perhatian justru membuat Selena bingung.
“Apa keluhannya?” Dokter langsung bertanya ketika Selena memasuki ruang pemeriksaan.
"Sakit perut seperti mules, mual dan menggigil, Dokter," paparnya Selena.
Bukannya segera memberi obat, dokter pria tua di hadapannya itu malah menyuruhnya menampung air seninya.
Kalau bukan karena rasa mual yang sangat mengganggunya, Selena mungkin sudah pergi, dan membeli obat di apotek saja.
Tapi ia menurut saja menampung air seninya.
"Tunggu lima belas menit akan kelihatan hasilnya," ucap Dokter membingungkannya.
Demi bisa dapat obat pereda mual dan sakitnya, ia pun hanya mengangguk. Tidak peduli dokter tersebut bisa melihat wajahnya yang masam.
Lima belas menit kemudian, Selena yang sedang menunggu hasil dikagetkan oleh uluran tangan dokter yang mencoba menjabatnya. “Selamat, Anda hamil!”
Berbeda dengan sang dokter yang berwajah ceria, Selena justru memucat. Ia bahkan nyaris saja pingsan mendengar informasi barusan. Matanya melotot tajam tidak percaya.
"S-saya hamil?"
Tidak mau dokter curiga. Selena senyum dibuat-buat. Beberapa detik kemudian Selena segera menyambar resep obat dan meninggalkan klinik. Resep obat dari dokter ia buang. "Bagaimanapun aku tidak boleh hamil!" gumamnya gegas pulang. Selena yang tiba di depan rumah Aditya bingung, antara tetap tinggal di sana atau pergi.Meski feeling-nya Aditya lah yang menghamilinya, tapi ia tidak punya bukti.Sedangkan paman Grove yang bisa bantu memberi bukti, belakangan sudah tidak terlihat di kediaman Aditya."Bagaimana kalau Aditya tahu kehamilanku ini?" lirihnya meremas telapak tangannya yang berkeringat. Di satu sisi Selena tak ingin kehamilannya tersebar. Takut nama besar Aditya hancur, karena sudah tiga minggu ini mereka tinggal bersama.Di sisi lain ia juga belum siap jadi bulan-bulanan para pegawai perusahaan. Maka Selena bertekad pergi diam-diam.Bermodalkan sisa uang dari Aditya, Selena mengemasi barang-barangnya dari kosannya. Ia juga tidak berniat pamit kepada ibu kost."Pergi jauh le
Selena coba mengabaikannya, fokus dengan tujuannya bekerja di sana. "Banyak nama yang sama, Selena," rutuknya menyadarkan dirinya.Bermodalkan pengalaman bekerja sebulan lebih di perusahaan sebelumnya, Selena lebih cekatan mengerjakan pekerjaannya.Tidak butuh berlama-lama ia telah menyelesaikan semua pekerjaannya. Sekarang yang membuatnya bingung, seharusnya ia menyerahkan berkas kerjanya kepada sang Pimpinan. Namun, sejak tadi sang Pimpinan tidak kunjung datang.Hati kecilnya juga tidak bisa bohong, kalau sebenarnya ia masih sangat penasaran dengan sosok pimpinan barunya."Sudah selesai?" tanya wanita yang masuk tiba-tiba.Selena sempat berjingkat karena kaget. Lamunannya pun buyar seiring map di genggaman tangannya ikut terlepas dan terjatuh ke lantai."M-maaf." Buru-buru Selena mengutip dan mengumpulkannya kembali. "Saya sedikit kaget ..." Selena sengaja menjeda ucapannya. Matanya tertuju pada sebuah badge yang menempel di sisi kiri dada wanita tersebut. "... Mbak Riana,"
Aditya menenggak liur berkali-kali. Dia tahu apa yang akan terjadi kalau sampai Tuan Collins ke perusahaan Wiguna."Jangan sampai Kakek ke sana, Paman!" tukas Aditya tak bisa membayangkan kemarahan sang Kakek nantinya. "Aku tak berhak melarang beliau ke sana, Aditya! Seperti yang kamu tahu, aku ini hanya paman angkat mu."Aditya terdiam. Sesaat hanya mondar-mandir, sesekali mengepalkan tangannya meninju udara dengan wajah frustasi."Aku tidak bisa berpikir lagi," ucap Aditya pasrah. "Apa Paman punya ide menghalanginya ke sana?" Sejenak paman Grove menundukkan pandangannya. Itu yang dipikirkannya sejak pagi tadi. Tapi ... dia selalu tidak berdaya bila berurusan dengan Tuan Collins. "Aku tidak punya cara, tapi ..." Paman Grove mengangkat kepala menatap intens wajah Aditya. "Sekarang pergilah ke perusahaan Wiguna, siapkan semua laporan yang diminta oleh Tuan Collins. Mungkin dengan begitu beliau tak terlalu mempersoalkan ketidakberadaan mu di sana nanti."Aditya menaikkan salah satu
Sadar hanya bengong dengan pikiran melalang buana. Cepat-cepat Selena menyambar map di samping tangannya."Laporan perkembangan perusahaan, rincian keuangan perusahaan, laporan hasil weekly meeting ..." gumam Selena, matanya membola.Tergesa ia mencari-cari informasi di file yang tersimpan di laptop. Namun, tetap tidak menemukan informasi apapun.Tangannya terhenti di keyboard laptop. Mengingat dirinya masih hitung hari bekerja di sana, lalu, HRD tadi tidak menjelaskan informasi lebih detilnya. Takut membuat kesalahan dengan menebak-nebak, Selena gegas menemui HRD. Karena berkas penting itu harus diserahkan ke Bos Pimpinan langsung.Selena berdiri di pintu ruangan menunggu sang HRD selesai bicara di ponselnya."Ada apa, Selena?" tanya sang HRD meletakkan ponselnya. Wajahnya tampak mengeras, tidak secerah pertemuan awal tadi.Belum sempat menjawab, sang HRD langsung meraih map dari tangannya."Syukur kamu sudah menyelesaikannya, Selena," katanya langsung membuka-buka isi map.Selen
"Pikir-pikir saja, Aditya."Dengan gusar, Aditya kembali menghampiri paman Grove. Berhenti setelah hampir tak berjarak. "Tak perlu pikir-pikir. Aku yakin Selena masih di kota ini, Paman. Maka aku akan terus mencarinya!"Paman Grove menggeleng-geleng. Susah memang menasehati orang yang sudah budak cinta."Serahkan saja ke orang-orang ku, Aditya. Kamu fokus ke perusahaan Wiguna, Tuan Collins ---""Apa aku bisa percaya orang-orang mu itu, Paman?" potong Aditya menggeram. "Waktu itu Paman meyakinkanku, kalau orang-orang mu itu segera menemukan Selena! Tapi apa?" Aditya membungkuk ke depan, menaikkan salah satu alisnya menatap paman Grove dengan tatapan mengejek. "Sampai sekarang ujung rambut Selena saja tidak mereka temukan!" Aditya mendengus kasar, wajahnya memerah meninggalkan paman Grove.Paman Grove meneguk liur. Bingung karena tidak biasa orang-orang nya kewalahan melakukan tugas darinya.Mengingat Selena hanya gadis polos. Tidak menyangka ia bisa sembunyi sehebat ini."Dasar ker
Saat-saat Selena tengah sibuk menyiapkan agenda meeting untuk besok pagi. Paman Grove yang baru mendapat kabar baik dari sang HRD, gegas menemui Aditya di rumahnya. "Aditya!" panggilnya mengetuk keras pintu kamar Aditya.Aditya yang tengah meratapi kecewanya, membuka pintu dengan malas. "Ada apa, Paman?" tanyanya tidak semangat."Ada berita baik, Aditya." Paman Grove langsung masuk mengabaikan wajah Aditya yang kusut.Aditya tidak tertarik bertanya. Baginya kabar baik itu cuma bertemu Selena.Paman Grove meneguk liur dengan menarik kedua sudut bibirnya. "Meeting perusahaan Wiguna bersama Tuan Collins sukses," ungkapnya tidak se-menggebu-gebu tadi. "Hhh, tidak saatnya bercanda, Paman," ujar Aditya kembali rebahan di sofa panjang, tangannya melipat rapi di dada. Jelas ia tidak percaya, baru tiga jam lalu Tuan Collins memarahi bahkan mengancam menarik perusahaan Wiguna darinya."Aku tidak bercanda, Aditya. HRD yang mengatakannya."Aditya langsung bangkit, menumpulkan pandangannya d
Selena coba tenangkan hatinya, berharap hanya salah mendengar nama perusahaan."Perusahaan Adiguna Jaya milik Tuan muda Aditya, kan, Tuan?" ulang sang Sopir memperjelas tujuan mereka."Eemm, ya!" Jelas Selena panik, matanya melotot ke depan. Tidak salah lagi tujuan jalan mereka memang ke perusahaan Aditya. Dadanya berdebar dengan napas memburu. Selena menggeser-geser duduknya gelisah.Apa tadi? Tuan Muda Aditya? A-apa mungkin sebutan 'tuan' umum untuk pria muda kaya? Selena tak henti-henti berperang dengan pikirannya.Sekarang, bagaimanapun Aditya tidak boleh melihatnya. Otaknya cerdasnya langsung bekerja keras, tapi ... saking takut dan gugup, ia tidak bisa berpikir apapun.Sampai mobil berhenti di depan perusahaan Adiguna Jaya, Selena belum juga menemukan alasan menolak masuk ke perusahaan.''Bagaimana ini?" gumam Selena ketakutan, sampai-sampai tubuhnya bergetar. Selena menahan pintu mobil yang dibuka sang Sopir. Sialnya, niatnya mau menunggu di dalam mobil saja, tapi Tuan Col
Tak perduli sang Sopir melihatnya mendengus kesal. Pikirnya lebih baik mencari tahu sendiri saja nanti. Namun, Selena cepat-cepat mengubah ekspresi kesalnya ketika Tuan Collins masuk ke mobil."Selena, kamu sudah izin dengan orangtuamu sebelumnya?" tanya Tuan Collins tanpa basa-basi.Selena hanya melongo, bingung maksud pertanyaan Tuan Collins. Izin untuk apa maksudnya?Mendengar tidak ada sahutan, Tuan Collins memutar badan ke belakang. Pria tua itu menaikkan kedua alisnya seolah memintanya segera menjawab.Selena menenggak liur sebelum menjawab dengan balas bertanya, "Maksudnya izin apa, Pak?" Selena langsung gugup saat bertatapan langsung dengan sang Pimpinan. Ia menundukkan kepala. "Ahh, maksud saya itu ... kebetulan Aditya tidak ada di sini, jadi rencananya besok pagi saja kita pulang. Bagaimana, Selena? Apa kamu setuju, atau mungkin bisa segera mengabari keluargamu?" Maksudnya menunggu Aditya datang ke sana? Memangnya kemana dia? Apa tadi, keluarga? 'Hahaa ... aku hidup seb
"Semua sudah beres. Tinggal membawa Selena sekarang bertemu Tuan Collins, Aditya! Tapi tunggu aba-aba dariku!""Bagaimana dengan Tuan Barata? Apa Paman sudah menunjukkan bukti-bukti itu?" "Tenang saja. Semuanya sudah aman," jawab paman Grove meninggalkan perusahaan Barata. Sekarang dia hanya melakukan tugas terakhirnya sebelum Aditya tiba di rumah sakit. "Semua sudah beres?" Paman Grove menyambungkan ponselnya ke orang suruhannya di rumah sakit."Beres. Tuan Collins tampaknya sedikit syok dan tidak mengatakan apapun dengan bukti-bukti itu." "Oke, tugas kalian sudah selesai. Sekarang kalian bisa bebas. Katakan ke semua anggota, sampai kapanpun hal ini tidak bisa bocor! Ingat! Kalian berhadapan dengan Aditya!""Siap, Bos! Aman terkendali.""Oke, pergilah bersenang-senang. Bonus kalian sudah di transfer."Paman Grove mendahului Aditya ke rumah sakit, beberapa menit yang lalu Tuan Collins memintanya datang. Mungkin ingin menanyakan kebenaran bukti yang diberikan asisten pribadinya.
Tuan Collins menunjukkan senyum smirk-nya. Dia memang menanyakan Aditya ke paman Grove. Sudah seminggu ini Julia mencari-carinya ke rumah sakit. Dari Julia jugalah Tuan Collins tahu Aditya tidak lagi tinggal di rumahnya. Namun, Tuan Collins tidak ingin membahasnya."Apa kamu sudah mengurus pernikahanmu dengan Julia?" tanya Tuan Collins membetulkan letak selang infus yang melilit di tangannya."Pernikahan? Aku memang sedang merencanakan pernikahan, tapi tidak dengan Julia, Kek." Aditya melipat kedua tangannya di dada.Ucapannya itu menarik atensi Tuan Collins dan menaikkan pandangannya. "Apa maksudmu, Aditya? Kamu mau menggagalkan rencanaku dengan Barata?" berangnya melotot tajam."Rencana mengakuisi perusahaan milik Tuan Abeth dan Viktor? Sepertinya Kakek tidak tahu jika Tuan Bramasta sudah bergerak lebih cepat." Aditya menarik punggungnya yang menempel di dinding kamar rumah sakit. "Tidak bisa di salahkan juga Tuan Bramasta. Kalian saja yang tidak bergerak cepat. Yah, kalian sibuk
Selena terbangun setelah mendengar bunyi alarm dari ponselnya. Sedikit kaget mendapati dirinya tertidur di ruang tamu. Punggungnya terasa mau patah karena semalaman tidur membungkuk di sofa kecil.Selena meregangkan otot tubuhnya sebelum berjalan ke kamar Baby Lea. Pun cepat-cepat membersihkan diri sebelum Aditya datang ke sana.Namun, belum selesai berkutat dengan Baby Lea, terdengar suara bell. "Iya, bentar," serunya berlari kecil ke depan. Tampak Aditya menunggu di depan pagar."Masuklah, aku belum selesai," ujar Selena memberikan Baby Lea kepada Aditya.Ia tidak tahu mengapa senyaman itu memperlakukan Aditya. Bahkan tubuhnya yang cuma terbungkus daster basah tidak merasa malu. "Selena," panggil Aditya melihatnya terburu masuk."Tunggu sebentar aku mandi," serunya menghilang di balik pintu kamar.Sengaja atau tidaknya, pintu kamar jelas tidak menutup sempurna. Aditya meletakkan Baby Lea di ruang bermain, niatnya ingin menutup pintu kamar. Aditya tidak yakin bisa menguasai dirin
Setelah beberapa lama berbincang, Aditya berpamitan pulang. "Kamu pulang saja dulu, Selena. Mumpung ada Aditya yang bisa mengantarmu ke rumah," ujar Mami kasihan melihat Selena terus-terus di sana. "Mami saja yang pulang. Aku---""Biar Mami dan Riana di sini malam ini. Kamu dan Baby Lea pulanglah. Pun ada Papi juga di sini," potong Mami memaksa Selena pulang."Aditya, tolong antarkan Selena ke rumah ya.""Baik, Nyonya." Aditya meraih Baby Lea dari pangkuan Selena. Membawanya keluar mendahului Selena.'Pucuk dicinta ulam pun tiba. Semua sesuai dengan rencana. Sekarang tinggal menunggu giliran Kakek tua itu!' batin Aditya tertawa kecil. "Maaf merepotkan kamu," kata Selena menarik Baby Lea dari pangkuan Aditya dan mendudukkannya di kursi belakang.Aditya bergumam dalam hati, itu semua sudah direncanakan. Sekarang dia hanya ingin membuat Selena merasa dirinya malaikat penolong."Tidak apa-apa. Lupakan saja yang lalu-lalu, fokus dengan kesehatan Hendra dulu.""Tapi ... kata dokter Kak H
Di kediaman keluarga Bramasta tidak lantas membuat Selena tenang. Pikirannya tentang Aditya semakin kuat saja. "Hei, malah bengong." Riana yang baru tiba menepuk pundak Selena. Selena mengangkat kepala lemah. Melihat Riana jadi timbul niatnya keluar ingin menemui Aditya. Ia harus mengakui semuanya ke Aditya dan meminta Aditya untuk melupakannya dan Baby Lea.Selena tidak ingin jika Tuan Collins sampai tahu ia memiliki keturunan keluarga Collins. Ancaman pria tua itu belum bisa hilang dari pikirannya."Malah bengong," omel Riana menyikut bahu Selena."Iya, aku kelelahan seharian menjaga Baby Lea," sahut Selena tertawa kecil. "Elleh, kan Mami sudah langsung pulang. Sekarang kamu bisa bersantai juga."Benar juga. Ini kesempatannya bisa keluar dengan mengajak Riana yang doyan belanja-belanja dan salon."Hmm, kamu mau mengajakku keluar?" pancing Selena mengedipkan sebelah matanya menggoda calon iparnya.Benar saja, mendengar kata keluar, Riana mencampakkan tas belanjaannya ke dalam kam
Paman Grove mengerahkan seluruh orang suruhannya mendapatkan benda untuk keperluan tes DNA yang diminta oleh Aditya."Aku yang akan mendapatkan sampel rambut putriku, paman Grove. Kalian hanya perlu mengawasi Hendra dan keluarga Bramasta saat aku berkepentingan di rumah Selena.""Baik, info sudah aku dapatkan, Tuan Bramasta dan istrinya juga putrinya tengah ke pertemuan mitra bisnis keluar kota, sore nanti baru kembali. Kami hanya akan mengendalikan Hendra selama kamu berkepentingan di rumah Selena."Aditya setuju dan segera bergerak menuju rumah Selena. Dia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk mendapatkan kembali wanita yang jadi cinta pertamanya.Sebenarnya, terlihat konyol bagi seorang Tuan Muda bangsawan mengejar-ngejar wanita yang tidak sederajat dengannya, pun mengemis cinta darinya. Selena di rumahnya. Setelah beberapa lama memastikan Aditya tidak datang lagi, ia mulai berani membuka pintu rumah dan bersantai di teras rumah. Hingga lima belas menit kemudian."Ekkhem!
Selena memastikan Aditya pergi. Gemuruh dadanya meningkat dan berlari masuk menuju meja makan. Menyambar gelas dan menuang air minum sebelum meneguknya habis. Selena masih berdiri, mencengkram sisi meja menahan tubuhnya yang masih bergetar. Napasnya memburu dengan dada turun naik. "Dari mana dia tahu tempat ini?" gumamnya mulai mengatur napas. Meremas ponsel di genggaman tangannya. Selena segera menemukan kontak Hendra hendak akan menghubunginya, memberitahu kedatangan Aditya tadi.Namun, hanya kembali meletakkannya di atas meja. Ia tahu sekarang Hendra sedang sibuk dan tidak bisa diganggu. Selena mengurungkan niatnya.Selena berjalan ke kamar melihat Baby Lea, dia sedang tertidur pulas di ranjang.Selena kembali keluar berjalan ke ruang depan. Menyibakkan gorden guna menyelidiki Aditya tidak kembali ke sana. Hatinya jadi gelisah dan tidak tenang. Pikirnya, Aditya akan kembali lagi. "Aku ke rumah Mami saja," ujar Selena berbalik ke meja makan. Meraih ponsel hendak menelepon sopir
Aditya baru saja tiba di mansion ketika paman Grove baru beranjak dari ranjangnya. Untung orang suruhannya tepat waktu menjemput Aditya ke bandara."Maaf, aku terlalu lelah hingga sulit bangun cepat. Duduk dan segarkan dulu pagimu dengan kopi panas, aku membersihkan badan sebentar," ujar paman Grove meninggalkan Aditya yang berdiri di depan pintu kamarnya."Hmm, cepatlah!" sahut Aditya berpindah ke meja makan.Tangannya meraih gelas berisi kopi dan meneguknya seperempat gelas. Udara dingin karena musim hujan membuat suhu tubuhnya sedikit menggigil. Di luaran memang sangat dingin tadi. "Apa Tuan Collins mengizinkanmu kemari?" tanya paman Grove ikut duduk di samping Aditya."Kakek tidak jadi ke luar kota. Agaknya dia ada sedikit masalah dengan Tuan Barata."Masalah apa? Paman Grove mengerutkan kening. Tidak mungkin Tuan Collins mau melakukan permusuhan dengan Tuan Barata. Dia sangat membutuhkan bantuan Tuan Barata untuk kepentingan bisnisnya. "Kamu bercanda?" tanya paman Grove merasa
"Kamu pulanglah, perusahaan Adiguna Jaya membutuhkanmu. Aku bersama orang-orangku segera menyelidiki hubungan Hendra dan Selena. Yang aku butuhkan hanya dua hal, alamat rumah Hendra dan Selena tinggal dan gedung tempat pernikahan mereka sebelumnya!" ujar paman Grove percaya diri. "Hahk! Kalau aku tahu tidak perlu menyuruh orang-orang mu itu menyelidikinya," ketus Aditya menjawab.Paman Grove mendelik, menggeleng-gelengkan kepala guna memfokuskan pikirannya.Ahh, iya. Itu benar! Kalau Aditya bisa melakukannya kenapa meminta tolong padanya. Paman Grove menggaruk-garuk tengkuknya."Aku tetap di sini. Katakan saja ke Tuan Collins aku punya kesibukan di perusahaan Wiguna.""Tuan Collins memintamu ke perusahaan Adiguna Jaya. Akhir minggu ini beliau ke pertemuan bisnis dengan Tuan Barata. Jadi, tidak mungkin Julia yang memegang kendali perusahaan, Aditya.""Julia masih di perusahaan?""Iya, sampai kamu yang menyuruhnya keluar, itu katanya."Aditya terdiam. Dia butuh Selena kembali kepadan