Share

Bertemu Pria Tua Yang Membelinya

Lelah meratapi nasib, Selena sempat jatuh tertidur, meski sebentar. Lalu, mengingat masa optimal untuk mengkonsumsi pil pencegah kehamilan itu hanyalah 24 jam setelah pembuahan … ia pun berpikir untuk pergi ke apotek sebentar.

“Tidak perlu izin, toh aku tidak berniat kabur dari sini!” 

Selena mengambil dompetnya dan bersiap keluar kamar. 

Namun, belum jauh dari pintu kamarnya, ia melihat Aditya tengah berbincang dengan seorang yang membuatnya terkejut.

“Pria itu!” Selena memicingkan mata menatap pria buncit yang ‘membelinya’ tempo hari. “Pak Aditya kenal dengan pria itu?” Kedua alisnya tertaut.

Tepat ketika Aditya membalik badan dan meninggalkan pria tua itu sendirian … saat itulah Selena berlari menuju pria itu.

“Hei, tunggu!” teriaknya sambil berlari. 

Dari belakang, Selena melihat pria itu sempat menghentikan langkahnya. Namun, entah mengapa setelah itu ia malah mempercepat langkah. Beruntung, lari pria itu tidak cepat karena tubuhnya yang gempal, sehingga Selena lebih mudah untuk mengejarnya.

Selena menyalip dan menghadang langkah pria itu. “Kubilang tunggu!!” ujarnya dengan napas ngos-ngosan.

“Apa maumu? Bukankah aku sudah membayarmu?” kata pria tua itu dengan sorot angkuh. “Aku tidak akan membayarmu untuk kedua kali!”

Mendengar kalimat itu, kekesalan Selena semakin memuncak. Sebab, pria itu berarti sudah merencanakannya, karena ia bahkan tahu jika pria malam itu telah membayar Selena dengan jumlah yang disepakati mereka.

Namun, tidak ingin mudah dikelabui … Selena menatap micing ke arah pria gempal tersebut. 

"Katakan siapa pria bersamaku di dalam kamar hotel kemarin?" tanya Selena. "Aku yakin itu bukan Anda!” lanjut Selena semakin mendesaknya.

Pria tua itu hanya tertawa kecil sebelum melanjutkan langkahnya.

“Pak, Pak!" panggil Selena mengejar pria itu yang berbelok arah. Sialnya, pria tua itu sudah menghilang, padahal itu hanyalah gang kecil. "Ke mana dia?"

Lalu, karena takut bekeliaran di rumah sebesar ini, juga takut diketahui oleh Aditya yang kejam, Selena akhirnya memutuskan untuk kembali ke kamarnya.

Baru saja ingin memulai istirahatnya, gedoran kuat di pintu kamar mengejutkannya.

"Siapa?" tanyanya berjingkat seraya memegangi dadanya yang berdebar-debar. Takut Aditya melihatnya keluar tadi.

Tidak ada sahutan, tapi tetap menggedor pintu dengan lebih pelan.

Dengan kesal, ia pun membuka pintu kamar namun tidak ada satu orangpun di depan pintu.

Selena melihat selembar kertas yang diletakan di depan pintu kamar.

Cepat-cepat Selena memungutnya dan membaca tulisan di sana.

'Antar susu dan kue ke kamar pintu berwarna biru sebelah tangga. Selalu bawa ponselmu. Lima menit dari sekarang!'

"Jam berapa ini?" keluh Selena melirik jam dinding di atas pintu kamarnya. "Jam sebelas malam dia minum susu? Atau–”

Selena menghentikan ucapannya. Benar pikirannya, ia mungkin akan merawat anak Aditya.

Dengan langkah berat, Selena melangkah menuju dapur. Anehnya, semua yang dibutuhkan Aditya sudah tersedia di meja makan. 

'Kenapa tidak dia saja yang turun mengambilnya?' pikirnya menggerutu dalam hati.

Selena pun membawa pesanan Aditya ke kamar yang dimaksud pria itu. Setelah mengetuk berkali-kali tetapi tak kunjung ada sahutan, Selena pun memberanikan diri membuka pintu kamar.

Tidak ada siapa pun di sana. Selena bahkan keluar sebentar utnuk memastikan jika ia tidak salah ruangan. 

Setelah memastikan kamar tersebut benar, ia pun meletakkan nampan yang dibawanya di atas meja. Saat itulah ia kembali melihat selembar kertas yang bertuliskan, 'Kamu terlambat lima menit, sebagai hukumannya rapikan meja, sprei dan sarung bantal.'

Selena meloloskan napas panjang dan lelah. "Hah! Ini namanya semena-mena menghukum orang!" keluhnya mencampakkan kertas dari tangannya.

Baru saja menggerutu, ponsel yang ia kantongi sesuai aturan Aditya tadi, berdering.

Tidak ada nama, tapi ia yakin itu pasti Aditya.

"Halo–”

"Jangan menggerutu kalau tidak mau dipecat!"

Wajah Selena sampai memutih mendengar kata pecat. "B-baik–”

"Kerjakan perintahku! Waktumu sepuluh menit dari sekarang!" 

Dan telepon dimatikan.  Selena menghela napas, jelas hatinya memanas.

Sekarang waktunya istirahat bukan beres-beres kamar. Melihat ranjang dan meja juga masih rapi, mungkin pimpinannya itu punya kelainan senang menindas orang.

Selena mendesah kasar, tapi ia tidak bisa menolak. Ia mulai merapikan sprei dan bantal-bantal, kemudian buku-buku yang ada di atas meja disusunnya kembali dengan rapi. 

Tak ketinggalan, dompet dan barang-barang pribadi Aditya ditaruhnya ke dalam laci meja. Tapi saat merapikan laci meja paling dasar, matanya terbelalak menatap bungkusan plastik yang mirip dengan bungkusan berisi pil kontrasepsi yang dibelinya. 

"Tapi kenapa ada di sini?" desisnya. 

Wajahnya tiba-tiba memucat dengan napas memburu. Ia berkali-kali meneguk liur dengan mata mengerjap, seolah meyakinkan dirinya tidak salah mengenali bungkusan di tangannya.

Untuk menghilangkan rasa penasarannya, Selena berniat membuka plastik guna memastikan isinya. Namun, baru hendak membuka, ponselnya berdering. 

Buru-buru memasukkannya kembali sebelum mengangkat panggilan Aditya.

"I-iya, saya–”

"Kamu menghabiskan waktu istirahatku! Kamu dihukum!"

"T-tapi saya–”

"Sekarang minum susunya, habiskan juga rotinya. Jangan bengong, waktumu sepuluh menit!" 

‘Makan roti dan minum susu katanya?’ Selena memelototi gelas yang ia pindahkan ke atas nakas. Yang meminta susu dan roti tadi Aditya, kenapa sekarang malah ia yang harus menghabiskannya?

Meski bingung, Selena memilih menurut menghabiskannya. Setelah selesai, ia menunggu telepon dari Aditya, tapi karena tidak ada panggilan akhirnya ia keluar kamar membawa nampan.

Baru hendak meraih gagang pintu kamar, seseorang membuka dan mendorong pintu kamar dari luar.

BRUKK

PRANGG

"Ahhh!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status