Setelah hanya memutar-mutar Aditya memutuskan kembali ke kos Selena, dia harus bisa memastikan Selena pergi dengan siapa. Takut Sharon hanya mengada-ada saja.Pucuk dicinta ulam pun tiba, orang yang dia cari sedang ada di luar pagar. Dengan mudah Aditya mencegat langkah Sharon yang lantas tergesa hendak masuk sesaat melihat dirinya turun dari mobil."Aku cuma mau bertanya sama kamu!" ujar Aditya merentangkan kedua tangannya di pintu pagar menghalanginya masuk. Menajamkan pandangannya ke wajah Sharon yang mengeras itu. "Jika tentang Selena, aku sudah katakan tadi. Jadi, pergilah sebelum aku meneriakimu maling!" kata Sharon tidak perduli sikapnya yang kurang sopan itu."Oke, baik. Sebenarnya aku cuma ingin tahu Selena pergi dengan siapa, tidak lebih!""Aku sudah katakan ia pergi ikut dengan suaminya. Apa kamu masih kurang jelas mendengar?" "Bukan, bukan, Selena belum punya suami. Anak yang ada padanya itu anakku!" ungkap Aditya tidak lagi memikirkan aibnya bisa saja tersebar dan hany
Tidak ingin rencananya dengan Tuan Collins berantakan, alih-alih mendapatkan bonus dari kesepakatannya dengan Tuan Collins. Paman Grove juga terancam dipecat sebagai penasehat Aditya.'Tidak bisa begini!' batinnya mengejar Aditya.Paman Grove sudah hafal karakter Tuan Collins, setelah mendapatkan semua yang dia inginkan, dirinya pun tidak akan berguna lagi bagi Tuan besar itu. Artinya, dirinya menjadi pengangguran."Aditya! Aku mohon dengarkan penjelasanku!" Aditya tidak menggubris hanya mempercepat langkahnya menuju parkiran mobil. Dia sudah tidak tahan harus menunggu sang Kakek mendapatkan yang dia inginkan. Sama saja dia bakal kehilangan kesempatan memiliki Selena. "Oke, aku mengakui kalau aku sengaja melakukannya, Aditya! Aku hanya takut keluarga Selena tidak bisa menerimamu- yang malah akan merusak nama baikmu nantinya. Aku memang tidak mengatakan alasan ini padamu, Aditya, semata-mata karena aku takut kamu terbawa emosi saja," papar paman Grove terus berusaha meyakinkan Aditya
"Apa maksud Kak Hendra?" Kaget Selena cuma bisa balas bertanya. Tengkuknya terasa berkeringat dingin dengan pertanyaan itu. Seakan-akan Hendra tahu apa yang ia pikirkan sekarang. Hendra tersenyum kecil seraya menghela napas. Kemudian hanya menutup buku di genggamannya sebelum meletakkannya ke atas meja.Sesaat hanya menatap dalam wajah cantik Selena, gadis itu tergugu dan salah tingkah jadinya. Khawatir Hendra malah akan membahas pertanyaannya tadi. Sebisa mungkin ia berusaha tetap tenang meski telapak tangannya sudah banjir keringat."Selena, kamu mencintaiku?" Spontan Selena mendongak. Matanya melotot tajam sebelum mengangguk cepat. "Iya, Kak," sahutnya. Pikirnya, tidak ada lagi gunanya jujur dengan perasaannya yang masih ragu-ragu.Hendra merangkul hangat bahunya. "Aku bukan meragukan perasaanmu padaku, tapi aku tidak mau kamu terpaksa melakukannya, Selena.""Tidak, Kak. Hatiku sudah bulat menikah dengan Kakak. A-aku malah berpikir tentang perasaan Kak Hendra saja.""Kamu tida
Aditya terbelalak kaget, tadi cuma menduga-duga saja, tapi yang dia dengar sekarang dari pengakuan paman Grove itu, benar-benar membuatnya syok.Lain halnya dengan paman Grove, sampai saat ini dia pun tidak tahu apa isi surat dalam amplop tersebut. Dia hanya disuruh mengirimkan itu ke kos Selena dan perusahaan Bramasta oleh Tuan Collins."Aditya, lupakan pertanyaan aneh itu! Sekarang kamu ada di mana? Tuan Collins menyuruhku menyusul mu kemari guna mengantar dokumen kerjasama perusahaan Tuan Barata!"Aditya terdiam. Hatinya sudah terlanjur memanas mencoba keras menenangkannya. Dia harus bisa bicara dengan paman Grove, mumpung dia juga ada di sana. "Aku menunggu di mansion perusahaan Wiguna. Cepat sebelum aku berubah pikiran dengan dokumen sampah Tuan menyebalkan itu!" kata Aditya. Niatnya bukan untuk melihat dokumen tersebut namun bertatap muka dengan paman Grove. Aditya sudah tidak tahan ingin melampiaskan kemarahannya langsung ke paman Grove. Buru-buru memutuskan sambungan telepo
Aditya mengulurkan tangan ke depan mempersilakan paman Grove keluar. "Tunggu, Grove!" seru Aditya sebelum paman Grove benar-benar menghilang dari sana. Paman Grove yang tengah bingung itu menghentikan langkahnya, berbalik badan cepat menghadap Aditya."Katakan ke Tuan Collins aku tidak akan ke perusahaan selama Julia masih di sana. Kalau Tuan Collins tidak senang, dia bisa melemparkan ku dari semua perusahaannya.""Aditya, kamu bicara apa? Kamu tahu saat ini perusahaan sangat membutuhkanmu. Oke, aku akan mencari cara membujuk Selena kembali," ujar paman Grove melanjutkan langkahnya. Dia harus cepat-cepat ke bandara, penerbangannya tinggal satu jam lagi. Sebab pagi-pagi besok dia sudah harus bertemu dengan Tuan Collins. "Ingat ucapanku tadi, Grove!" teriak Aditya mengingatkan pria itu dengan ancamannya tadi.***Di jam delapan pagi Selena sudah harus ke perusahaan Bramasta. Biasanya Hendra menjemputnya ke rumah barunya namun karena ada kesibukan bisnis lain, ia akhirnya naik ojol
"Kenapa? Memang seharusnya aku bertanggungjawab atas dirimu sekarang, Selena," ucap Aditya berpindah tempat duduk berseberangan meja dengannya.Tangan Aditya terulur menggapai tangan Selena, sang mantan bos tersebut mulai lancang memegang pergelangan tangan Selena. Gesit Selena menepisnya, memundurkan kursinya menghindar jangkauan tangan Aditya."Tolong jaga sikapmu di sini, Aditya! Ini perusahaan Bramasta bukan perusahaan Adiguna Jaya! Jadi, jangan seenak hatimu saja!" geram Selena mengarahkan jari telunjuknya ke wajah Aditya. Wajahnya memerah menahan-nahan rasa kesal. "Pergilah sekarang atau aku akan berteriak?" Selena cuma bisa mengancamnya.Aditya tertawa kecil mendengar ancaman itu. Bukannya takut dan pergi namun tetap bergeming dari duduknya. "Aku tidak akan pergi sebelum kamu berjanji meluangkan waktumu bicara denganku sekarang. Sekalipun kamu menyuruh security perusahaan ini menyeretku, aku tidak akan mau sebelum kamu setuju! Bagaimana, Selena?" Aditya melipat santai kedua
Setelah beberapa detik hanya meremas telapak tangannya yang banjir keringat, Selena mengangguk cepat. "Tidak ada masalah denganku, Kak," jawab Selena bergetar.Jantungnya berdegup kencang sesaat setelah mengatakannya. Hatinya memanas mengingat beberapa menit lalu ia bertemu dengan Aditya. Ia belum bisa melupakan pria itu, ia hanya berpura-pura membohongi perasaannya kepada Aditya tadi. "Kamu serius kan?" Seolah meragukannya Hendra bertanya. Sekali lagi Selena cuma mengangguk cepat. Pikirnya, tidak ada lagi opsi menolak semua permintaan Hendra. Sampai mereka di restoran mewah, selera Selena mencicipi makanan yang terhidang pun hilang. Selena hanya mengaduk-aduk isi piringnya.Sementara Hendra terus sibuk berbicara di ponselnya. Sekilas mendengar dia tengah membahas fitting baju pengantin.Sial! Kenapa hatiku gelisah begini? Selena meneguk isi gelasnya hingga habis namun hatinya terus saja memanas dan gelisah.'Tidak! Aku tidak boleh bimbang begini, Hendra cukup baik menyelamatkan
"A-aku tidak menginginkan apapun hadiah pernikahan kita, Kak," ujar Selena tertunduk. "Kakak sudah bertanggungjawab penuh atas Baby Lea dan diriku itu sudah cukup untukku." "Tidak perlu berpikir seperti itu, Selena. Ini ungkapan dari rasa bahagiaku bisa menikahi mu nantinya." Hendra masuk ke kamar, berselang beberapa detik kembali dengan membawakan map berwarna coklat muda di tangannya. "Ini untukmu, Sayang," ujar Hendra merangkul pundak Selena, menariknya ke dalam pelukan hangat dirinya. "Berjanjilah tetap bahagia bersamaku," lanjut Hendra mengecup kening Selena. "Hotel ini aku beli untuk kamu, Sayangku." Seketika sekujur tubuh Selena seolah terbakar, terasa panas bukan karena kecupan lancang Hendra , ataupun hadiah mewah itu namun kata 'janji' tadi. Aku harus berjanji apa padanya? Maafkan aku, Kak belum bisa menjanjikan apapun padamu namun aku berusaha untuk tidak merusak rencanamu. Selena membatin dengan memaksakan senyumnya tanpa menyahuti Hendra. Selena mencengkeram map