"Apa maksud Kak Hendra?" Kaget Selena cuma bisa balas bertanya. Tengkuknya terasa berkeringat dingin dengan pertanyaan itu. Seakan-akan Hendra tahu apa yang ia pikirkan sekarang. Hendra tersenyum kecil seraya menghela napas. Kemudian hanya menutup buku di genggamannya sebelum meletakkannya ke atas meja.Sesaat hanya menatap dalam wajah cantik Selena, gadis itu tergugu dan salah tingkah jadinya. Khawatir Hendra malah akan membahas pertanyaannya tadi. Sebisa mungkin ia berusaha tetap tenang meski telapak tangannya sudah banjir keringat."Selena, kamu mencintaiku?" Spontan Selena mendongak. Matanya melotot tajam sebelum mengangguk cepat. "Iya, Kak," sahutnya. Pikirnya, tidak ada lagi gunanya jujur dengan perasaannya yang masih ragu-ragu.Hendra merangkul hangat bahunya. "Aku bukan meragukan perasaanmu padaku, tapi aku tidak mau kamu terpaksa melakukannya, Selena.""Tidak, Kak. Hatiku sudah bulat menikah dengan Kakak. A-aku malah berpikir tentang perasaan Kak Hendra saja.""Kamu tida
Aditya terbelalak kaget, tadi cuma menduga-duga saja, tapi yang dia dengar sekarang dari pengakuan paman Grove itu, benar-benar membuatnya syok.Lain halnya dengan paman Grove, sampai saat ini dia pun tidak tahu apa isi surat dalam amplop tersebut. Dia hanya disuruh mengirimkan itu ke kos Selena dan perusahaan Bramasta oleh Tuan Collins."Aditya, lupakan pertanyaan aneh itu! Sekarang kamu ada di mana? Tuan Collins menyuruhku menyusul mu kemari guna mengantar dokumen kerjasama perusahaan Tuan Barata!"Aditya terdiam. Hatinya sudah terlanjur memanas mencoba keras menenangkannya. Dia harus bisa bicara dengan paman Grove, mumpung dia juga ada di sana. "Aku menunggu di mansion perusahaan Wiguna. Cepat sebelum aku berubah pikiran dengan dokumen sampah Tuan menyebalkan itu!" kata Aditya. Niatnya bukan untuk melihat dokumen tersebut namun bertatap muka dengan paman Grove. Aditya sudah tidak tahan ingin melampiaskan kemarahannya langsung ke paman Grove. Buru-buru memutuskan sambungan telepo
Aditya mengulurkan tangan ke depan mempersilakan paman Grove keluar. "Tunggu, Grove!" seru Aditya sebelum paman Grove benar-benar menghilang dari sana. Paman Grove yang tengah bingung itu menghentikan langkahnya, berbalik badan cepat menghadap Aditya."Katakan ke Tuan Collins aku tidak akan ke perusahaan selama Julia masih di sana. Kalau Tuan Collins tidak senang, dia bisa melemparkan ku dari semua perusahaannya.""Aditya, kamu bicara apa? Kamu tahu saat ini perusahaan sangat membutuhkanmu. Oke, aku akan mencari cara membujuk Selena kembali," ujar paman Grove melanjutkan langkahnya. Dia harus cepat-cepat ke bandara, penerbangannya tinggal satu jam lagi. Sebab pagi-pagi besok dia sudah harus bertemu dengan Tuan Collins. "Ingat ucapanku tadi, Grove!" teriak Aditya mengingatkan pria itu dengan ancamannya tadi.***Di jam delapan pagi Selena sudah harus ke perusahaan Bramasta. Biasanya Hendra menjemputnya ke rumah barunya namun karena ada kesibukan bisnis lain, ia akhirnya naik ojol
"Kenapa? Memang seharusnya aku bertanggungjawab atas dirimu sekarang, Selena," ucap Aditya berpindah tempat duduk berseberangan meja dengannya.Tangan Aditya terulur menggapai tangan Selena, sang mantan bos tersebut mulai lancang memegang pergelangan tangan Selena. Gesit Selena menepisnya, memundurkan kursinya menghindar jangkauan tangan Aditya."Tolong jaga sikapmu di sini, Aditya! Ini perusahaan Bramasta bukan perusahaan Adiguna Jaya! Jadi, jangan seenak hatimu saja!" geram Selena mengarahkan jari telunjuknya ke wajah Aditya. Wajahnya memerah menahan-nahan rasa kesal. "Pergilah sekarang atau aku akan berteriak?" Selena cuma bisa mengancamnya.Aditya tertawa kecil mendengar ancaman itu. Bukannya takut dan pergi namun tetap bergeming dari duduknya. "Aku tidak akan pergi sebelum kamu berjanji meluangkan waktumu bicara denganku sekarang. Sekalipun kamu menyuruh security perusahaan ini menyeretku, aku tidak akan mau sebelum kamu setuju! Bagaimana, Selena?" Aditya melipat santai kedua
Setelah beberapa detik hanya meremas telapak tangannya yang banjir keringat, Selena mengangguk cepat. "Tidak ada masalah denganku, Kak," jawab Selena bergetar.Jantungnya berdegup kencang sesaat setelah mengatakannya. Hatinya memanas mengingat beberapa menit lalu ia bertemu dengan Aditya. Ia belum bisa melupakan pria itu, ia hanya berpura-pura membohongi perasaannya kepada Aditya tadi. "Kamu serius kan?" Seolah meragukannya Hendra bertanya. Sekali lagi Selena cuma mengangguk cepat. Pikirnya, tidak ada lagi opsi menolak semua permintaan Hendra. Sampai mereka di restoran mewah, selera Selena mencicipi makanan yang terhidang pun hilang. Selena hanya mengaduk-aduk isi piringnya.Sementara Hendra terus sibuk berbicara di ponselnya. Sekilas mendengar dia tengah membahas fitting baju pengantin.Sial! Kenapa hatiku gelisah begini? Selena meneguk isi gelasnya hingga habis namun hatinya terus saja memanas dan gelisah.'Tidak! Aku tidak boleh bimbang begini, Hendra cukup baik menyelamatkan
"A-aku tidak menginginkan apapun hadiah pernikahan kita, Kak," ujar Selena tertunduk. "Kakak sudah bertanggungjawab penuh atas Baby Lea dan diriku itu sudah cukup untukku." "Tidak perlu berpikir seperti itu, Selena. Ini ungkapan dari rasa bahagiaku bisa menikahi mu nantinya." Hendra masuk ke kamar, berselang beberapa detik kembali dengan membawakan map berwarna coklat muda di tangannya. "Ini untukmu, Sayang," ujar Hendra merangkul pundak Selena, menariknya ke dalam pelukan hangat dirinya. "Berjanjilah tetap bahagia bersamaku," lanjut Hendra mengecup kening Selena. "Hotel ini aku beli untuk kamu, Sayangku." Seketika sekujur tubuh Selena seolah terbakar, terasa panas bukan karena kecupan lancang Hendra , ataupun hadiah mewah itu namun kata 'janji' tadi. Aku harus berjanji apa padanya? Maafkan aku, Kak belum bisa menjanjikan apapun padamu namun aku berusaha untuk tidak merusak rencanamu. Selena membatin dengan memaksakan senyumnya tanpa menyahuti Hendra. Selena mencengkeram map
"Hentikan, Kak. Aku tidak sanggup menahan tubuh kamu," jerit Selena mencengkram sisi kolam renang. Hentakan tubuh kekar Hendra membuat tubuhnya maju mundur sampai-sampai bokong empuknya membentur pusaka pribadi Hendra yang makin mengeras itu.Wajah Hendra makin memanas, napasnya terus memburu, hanya tidak mengindahkan jeritan Selena. Tangannya berpegangan kuat pada kedua buah dada Selena yang menggantung bebas. Meninggalkan sensasi sentuhan nakal di sana dari jari tangannya."Kak, aku tidak tahan lagi," keluh Selena memegangi pinggangnya yang keram akibat terus-terus dipaksa membungkuk ke depan. "Hmm, sakit? Padahal milikku belum memasuki milik kamu, Sayang," sungut Hendra menunjukkan raut wajah memelas."Bukan di sana, tapi pinggangku ini terasa keram, Kak.""Maafin aku, Sayang," ujar Hendra cepat memindahkan Selena duduk di pangkuannya dengan posisi duduk berhadapan. Sementara Hendra duduk di bantalan tangga kedua kolam renang. Kedua kakinya berada di dalam kolam renang."Sayang
"K-kenapa Kakak bertanya tentang Adi---""Eh bentar, Sayang, ponselku berdering," potong Hendra meraih ponselnya yang terletak di atas meja sisi kolam.'Aditya?' desis Hendra membatin. Sekilas melirik ke Selena yang langsung sibuk memunguti pakaiannya yang berserakan di kolam renang."Sayang, bentar aku mengangkat telepon dari teman bisnis, ya," kata Hendra segera memakaikan kimononya asal. Kemudian tanpa menunggu Selena menyahutinya langsung berlalu dari sana. Selena tidak menaruh curiga, dari dulu Hendra memang punya kesibukan yang padat. Selena keluar dari kolam juga ikutan mengenakan kimono menutupi tubuh polosnya yang menggigil, duduk di kursi sisi kolam menunggu Hendra kembali."Tapi kenapa menerima telepon harus ke dalam?" desis Selena, tidak biasanya Hendra sembunyi-sembunyi bicara di telepon.Tapi ia tidak mau larut memikirkan itu. Selena merebahkan tubuhnya yang lemas di kursi. Lelah usai bercocok tanam tadi matanya jadi sangat mengantuk.Entah sudah berapa lama ia ketidur