Dhani berjalan menuju ke teman-temannya dan mereka saling menyentuhkan samping lengan mereka dan Ariel bisa merasakan tubuhnya terasa kaku dan ia bergeming melihat pria itu semakin mendekat.
“Wah, sudah duda kau ya?”“Itu sudah lama, Sob,” ucap Dhani.“Eh, ini Ariel. Kalian kan pernah dekat sampai disangka pacaran.”Dhani langsung menoleh kea rah Ariel. Sementara Ariel tampak tak siap dengan pertemuan ini namun Dhani yang begitu melihat Ariel langsung tersenyum pada wanita itu.“Hei, Ariel … bagaimana kabarmu?”“Baik,” sahut Ariel datar.Dhani tertawa kecil padanya. “Kau sepertinya tidak berubah, ya?”“Iya, kau juga.”Dhani lalu duduk di tengah-tengah para pria. Mereka semua asyik bernostalgia dan membicarakan keluarga dan anak mereka. Sesekali Ariel melirik ke arah Dhani namun pria itu sedang mendengar teman-temannya mengobrol dan sesekali tertawa.“Ariel, bagaimana denganmu? Anakmu sekarang umur berapa?” tanya seseorang.“Lima tahun.”Mendengar itu Dhani langsung menoleh ke arah Ariel. Lima tahun? Lima tahun yang lalu, itu adalah terakhir kalinya ia dan Ariel bertemu sebelumnya, di mana mereka menghabiskan malam bersama.Tiba-tiba handphone Suzy bordering. “Halo? Iya …. Hah Aish demam? Baiklah, aku segera pulang.” Suzy menaruh handphone-nya ke dalam tasnya. “Ariel, aku harus pulang. Anakku demam,” terangnya.“Oh, iya … aku bisa menghubungi supirku nanti.”“Tidak apa-apa kan, Riel …?”“Sudah, pulang saja sana!”“Baiklah.”Suzy langsung beranjak dari sana. Mereka lalu berkaraoke secara bergantian. Ariel dan Dhani tidak ikut bernyanyi, mereka hanya mendengarkan teman-teman mereka bernyanyi. Dan malam pun semakin larut. Beberapa dari mereka sebagian sudah pulang.Ariel lalu menghubungi supirnya dan meminta untuk menjemputnya. Ia pun beranjak dari sana dan memilih menunggu mobilnya datang di kursi depan café.“Dah Ariel … kamu duluan dulu!” teriak mereka saat hendak keluar dari café.Café mulai sepi dan Ariel beberapa kali melihat jam tangannya. Ini sudah malam, untung saja ia memakai blazer sehingga tubuhnya tidak begitu dingin oleh hawa malam hari.Dhani yang ada di sana hendak masuk ke dalam mobilnya namun gerakannya terhenti saat ia melihat sosok Hana duduk di depan café itu, menunggu jemputan mobilnya.Awalnya Dhani tak ingin terlalu memedulikannya namun entah mengapa, sebagai orang yang dahulu sangat dekat dengan Ariel, ia tak sampai hati melakukannya apalagi Ariel pernah cukup lama ada di dalam hatinya.Dhani pun memberanikan dirinya mendekati Ariel dan duduk di samping wanita itu. “Sedang menunggu jemputan, heh?”Ariel menoleh ke arah Dhani dan menunduk dengan salah tingkah. “Ah, iya … daritadi supirku belum tiba juga.”“Hm …” Dhani melihat jam tangannya, “bagaimana kalau aku antar kamu saja?” tawarnya. “Oh, jangan,” ucap Ariel, “Aku tidak mau merepotkanmu.”“Tidak apa-apa sih, aku tidak merasa direpotkan kok ….” Dhani mengusap belakang kepalanya, “ini sudah terlalu malam, bagaimana kalau kutemani sampai supirmu datang?”Ariel hanya membalasnya dengan senyuman dan lembut. “Um … Dhan, kau tidak cerita kalau kau pernah menikah pas kita bertemu. Why?”“Oh, itu …. Ya, karena aku merasa itu tak penting sih.”“Atau jangan-jangan … waktu malam itu kau masih berstatus suami orang?”Dhani terdiam sejenak menatap Ariel sebelum menjawab. “Tidak, kok."“Oh ….” Entah mengapa ada sesuatu yang menganjal di hati Ariel.Setidaknya jika saat itu Dhani belum menikah, mengapa ia tak cerita bahwa ia telah memiliki kekasih atau calon istri?Tiba-tiba gerimis turun. Dhani menarik Ariel pindah menuju ke halte. Malam sudah begitu larut dan café sudah benar-benar sepi dan hendak ditutup. Jalanan juga sudah mulai sepi. Mereka duduk bersampingan, beberapa saat tak ada yang memulai untuk berbicara. Arie masih bertanya-tanya dalam hati tentang status Dhani yang sudah menduda namun ia urungkan niatnya, sementara Dhani yang penasaran dengan kondisi rumah tangga Ariel.“Dhan.”“Riel.”Mereka saling memanggil secara bersamaanya sembari menoleh satu sama lain lalu mereka tertawa.“Kau dulu,” kata Ariel.“No. Woman first,” balas Dhani.“Sejak kapan kau menikah” tanya Ariel.Dhani langsung menoleh ke arah Ariel yang tampak begitu serius. Sebenarnya pertanyaan ini adalah pertanyaan yang paling Dhani hindari. “Kau benar-benar ingin tahu?”“Um … tidak juga sih,” kata Ariel, “kalau kau tidak mau membahasnya, tidak usah.”Dhani mengangguk setuju, ia benar, ia tidak mau membahasnya.Tidak lama kemudian mobil milik Ariel tiba.“Dhan, aku pulang duluan ya,” ucapnya sambil berdiri, “terima kasih sudah menemaniku.”Dhani mengangguk. “Hati-hati di jalan.”Supir Ariel keluar dari mobil sambil memakai payung dan segera memayungi Ariel. Ariel melambaikan tangannya ke arah Dhani ketika mobil itu hendak berjalan begitu pun dengan Dhani.Agak lama Dhani berdiri memandang kepergian mobil Ariel. Ia bisa merasakan bahwa jantungnya masih berdegub kencang jika berdekatan dengan Ariel. Rasa yang sama saat dahulu, saat mereka masih bersama di saat usia mereka masih tujuh belas tahun....Ariel begitu lelah malam itu, ia berjalan agak cepat menuju kamarnya agar bisa segera mandi dan beristirahat. Ariel membuka pintu kamarnya namun saat ia memasuki kamarnya, Richard sudah duduk di sofa, tengah memandangnya tajam.“Ri-Richard? Sedang apa kau di sini?” Ariel tampak kaget begitu melihat suaminya.Richard mengernyitkan keningnya. “Memangnya kenapa kalau aku ada di sini?” tanyanya sinis, “apa salah aku mengunjungimu?”Ariel diam, menatap agak takut ke arah suaminya itu.“Kau darimana saja? Jam segini baru pulang ….”“A-aku … dari acara reuni teman SMA,” jawab Ariel jujur.“Kenapa kau pulang semalam ini?”“Aku menunggu supir menjemputku karena ke sananya aku bersama teman dan tiba-tiba anaknya sakit.”Richard mencoba mempercayai Ariel. Tampaknya istrinya berkata jujur.Ariel menghela napas, ia tampak begitu lelah. “Aku mau mandi dulu,” ucapnya sambil melangkah ke arah kamar mandi lalu tiba-tiba langkahnya terhenti karena Richard tiba-tiba memeluknya dari belakang.“Ri-Richard?”“Kita sudah lama tidak bercinta …,” bisik Richard, “apa kau tidak menginginkannya?”Ariel bergidik, bercinta dengan Richard adalah hal yang ia hindari karena ia tak pernah menikmatinya. Ia pun memutar otak untuk menghindari pria itu. “Sayang, aku mandi dulu, ya,” ucap Ariel, “badanku bau.”Baru saja Ariel ingin melangkah, Richard langsung menariknya dan memeluknya lagi. “Aku tidak pernah terganggu dengan aroma tubuhmu.”Richard lalu mendorong Ariel hingga wanita itu terhempas ke ranjang. Ariel pun memundurkan tubuhnya ke belakang dan Richard mulai melepaskan kancing-kancing bajunya. Ia lalu naik ke ranjang dan merangkak untuk memposisikan tubuhnya di atas Ariel.“Richard, aku sedang capek ….”Richard tak mengindahkan ucapan Ariel ia mulai merangsang istrinya dengan menciumi setiap inci leher wanita itu dengan penuh gairah. Sementara Ariel hanya bisa memejamkan matanya, membiarkan suaminya melakukan hal yang ia inginkan.Tok tok tokRichard dan Ariel terkejut. Siapa malam-malam begini yang menganggu mereka?“Mama … temani Reyna tidur!” teriak Reyna di luar.“I-itu Reyna!”“Tidak usah, nanti dia kembali ke kamarnya juga.” Richard tampak tak sabaran.“Mama!”Ariel mendorong Richard lalu ia beranjak dari ranjang dan berlari ke arah pintu. Ia membuka pintu dan melihat Reyna berdiri di depan kamarnya sambil menggendong boneka beruangnya. “Mama … temani Reyna tidur!”Ariel menatap si mungil Reyna sembari menghela napasnya. Anaknya yang telah menolongnya dari hasrat Richard, suaminya sendiri. Ariel jongkok dan menatap wajah Reyna yang tampak memohon ingin bersamanya. "Reyna takut tidur sendiri, kah?" tanyanya pada si gadis mungil itu.Reyna mengangguk. "Reyna, kau sudah besar!" tiba-tiba Richard menyergah dari dalam dan membuat Ariel dan Reyna terperanjat. Pria itu berjalan menuju pintu, menatap wajah anaknha dengan tatapan tajam. "Kau terus meminta ditemani tidur sama mamamu. Kau sudah besar dan kau harus berani! Lawan rasa takutmu itu!" Mata Reyna memerah dan ketakutan melihat ayahnya yang begitu tegas, ia tampak menahan tangis atas kemarahan ayahnya. "Sudah Richard ... akhir-akhir ini Reyna memang sering mimpi buruk," terang Ariel berusaha membela putrinya. "Kau ini, selalu saja memanjakannya!" balas Richard. "Aku bukan memanjakannya tapi aku tidak mau Reyna merasa kesepian." Ariel lalu jongkok dan memeluk Reyna yang ketakutan karena ula
Lagi-lagi Ariel tampak merenung memikirkan Dhani. Pria yang dulu sangat ia idamkan sekaligus pria pertama yang ia persembahkan kehormatannya. Ariel merasa gamang, apakah saat malam itu Dhani membohonginya mungkin karena ingin sekedar menginginkan tubuhnya saja. "Ah, sudahlah ...." Ariel memilih tak ingin memikirkannya lagi. Itu sudah menjadi masa lalu dan bukankah saat itu Ariel sendiri yang menawarkan tubuhnya pada Dhani sebelum hari pernikahannya dengan Richard.Tiba-tiba Ariel tersentak saat handphone-nya berdering. Di layar handphone-nya terpampang nama Miss Laura, wali kelas Reyna. Ariel pun segera mengangkat panggilan telepon dari Miss Laura. "Ya, Miss?" sapa Ariel, "ada apa?""Ibu Ariel bisakah Ibu segera datang ke sekolah sekarang?" Ariel merasa aneh, tidak biasanya Miss Laura memintanya untuk ke sekolah secara tiba-tiba. Tiba-tiba ia merasa khawatir pada buah hatinya di sana. "Ada apa ya, Miss? Reyna baik-baik saja, kan?" "Reyna baik-baik saja, hanya saja ... sebaiknya
Dring dring .... "Ya?" "Dhan, bisakah kita bertemu besok siang? Aku ingin melihat restoranmu, sekalian makan siang." "Oh, tentu saja." ...Hari itu perasaan Ariel mulai membaik dan ia ingin keluar rumah dan melihat suasana kota. Ia tak banyak teman di sana karena apalagi semuanya sudah berkeluarga, Ariel tak enak mengganggu mereka. Dan entah mengapa ia ingin bertemu dengan Dhani dan sekedar mengobrol hal yang ringan. "Hai," Dhani menghampiri Ariel dan duduk di hadapan wanita yang kini tengah menikmati makan siangnya di sana. "Bagaimana dengan steak-nya?" "Ini enak," jawab Ariel, "aku suka saos jamurnya, texturenya creamy dan sangat enak." "Kau tidak ingin bertemu chef-nya?" "Boleh." Dhani menepuk dadanya dan itu membuat Ariel tertawa. "Serius? Aku baru tahu kalau kau bisa memasak," kata Ariel tak menyangka. "Ya, aku juga belajar memasak saat kuliah di New York, aku bekerja paruh waktu di restoran sana dan akhirnya menjadi chef." "Bakat terpendam ya, ternyata." "Ya." "U
Beberapa hari telah berlalu sejak pertemuan terakhir Ariel dan Dhani, selama itu pula Ariel mencoba tak memedulikan chat dan panggilan telepon dari pria itu. Entah malu atau bagaimana tapi Ariel merasa ada sesuatu yang salah yang telah ia lakukan dan ia merasa berdosa. Ariel menjadi lebih banyak diam dan menghabiskan waktunya di kamar. Tapi, satu yang menyiksa Ariel. Dia pun merasa sangat kesepian sejak Reyna dibawa oleh Richard. Kemudian ia memiliki ide. Bagaimana kalau ia berusaha menghibur dirinya sendiri? Ya. Mungkin dengan bersenang-senang di kelab malam. Ariel pun mulai bersiap-siap dan pergi menuju kelab malam dengan menggunakan mobilnya sendiri. Namun, sesampainya di sana, ia hanya duduk di bar dan memesan vodka. Awalnya, ia berencana untuk ikut menari bersama pengunjung lainnya. Musik disk jockey terdengar menggelegar namun ternyata Ariel tak punya nyali untuk menari di sana dan itu bukan style-nya.Ariel minum sendiri, wajahnya tampak murung memikirkan hidup yang ia jalani
Sinar matahari yang cerah dan hangat masuk melalui celah antara dua gorden, menyentuh tepat di wajah Ariel. Wanita itu menggeliat sebentar lalu berbalik ke samping. Keningnya mengernyit tajam saat tangannya menyentuh dada bidang seseorang. Segera Ariel membuka matanya yang indah. Alangkah terkejutnya ia saat melihat sosok Dhani yang tampak tertidur pulas di sampingnya, tanpa mengenakan pakaian.Ariel langsung terbangun, ia berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi semalam. Dan ia lebih terkejut lagi saat mengingat bahwa ia telah menghabiskan malam yang panas dengan Dhani. "Astaga ... apa yang sudah aku lakukan?" gumamnya merasa salah. Ia langsung turun dari ranjang, mengambil pakaiannya yang tergeletak di lantai dan mengenakannya secara hati-hati agar Dhani tak terbangun dan mendapatinya telah bersamanya. Jujur, Ariel sangat malu dengan apa yang telah terjadi semalam. Ia lalu berjalan mengendap-ngendap menuju pintu dan segera meninggalkan kamar itu. . ..Ariel menghela napas panj
Ariel merenung, tubuhnya terasa lemah malam itu. Entah mengapa di pikirannya hanya ada Dhani bahkan saat ia sebentar lagi akan menghabiskan malam pertama dengan suaminya, Richard. Mungkinkah setelah bercinta ia malah lebih merindukan Dhani. Tapi, ia sudah menjadi istri seseorang, seharusnya dengan kejadian kemarin ia sudah menuntaskan segala urusannya dengan Dhani. Dan malam ini ia harus bercinta dengan Richard. Memikirkannya saja sudah terasa berat apalagi melakukannya, bisakah ia bergairah bersama Richard sama halnya saat bercinta dengan Dhani? Ariel tersentak dari pikirannya begitu mendengar seseorang membuka pintu. Ia menoleh dan Richard dengan canggung masuk ke dalam kamar itu. Entah mengapa kali ini Ariel merasa takut padahal Richard bukanlah orang yang baru ia kenal. Richard duduk di samping Ariel dan mulai menggenggam tangan Ariel. Ia bisa merasakan tangan Ariel mulai berkeringat dingin. "Kau takut?" tanya Richard sambil menatap Ariel. Ariel mengangguk. "Lumayan ...." "
Sinar matahari yang cerah dan hangat masuk melalui celah antara dua gorden, menyentuh tepat di wajah Ariel. Wanita itu menggeliat sebentar lalu berbalik ke samping. Keningnya mengernyit tajam saat tangannya menyentuh dada bidang seseorang. Segera Ariel membuka matanya yang indah. Alangkah terkejutnya ia saat melihat sosok Dhani yang tampak tertidur pulas di sampingnya, tanpa mengenakan pakaian.Ariel langsung terbangun, ia berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi semalam. Dan ia lebih terkejut lagi saat mengingat bahwa ia telah menghabiskan malam yang panas dengan Dhani. "Astaga ... apa yang sudah aku lakukan?" gumamnya merasa salah. Ia langsung turun dari ranjang, mengambil pakaiannya yang tergeletak di lantai dan mengenakannya secara hati-hati agar Dhani tak terbangun dan mendapatinya telah bersamanya. Jujur, Ariel sangat malu dengan apa yang telah terjadi semalam. Ia lalu berjalan mengendap-ngendap menuju pintu dan segera meninggalkan kamar itu. . ..Ariel menghela napas panj
Beberapa hari telah berlalu sejak pertemuan terakhir Ariel dan Dhani, selama itu pula Ariel mencoba tak memedulikan chat dan panggilan telepon dari pria itu. Entah malu atau bagaimana tapi Ariel merasa ada sesuatu yang salah yang telah ia lakukan dan ia merasa berdosa. Ariel menjadi lebih banyak diam dan menghabiskan waktunya di kamar. Tapi, satu yang menyiksa Ariel. Dia pun merasa sangat kesepian sejak Reyna dibawa oleh Richard. Kemudian ia memiliki ide. Bagaimana kalau ia berusaha menghibur dirinya sendiri? Ya. Mungkin dengan bersenang-senang di kelab malam. Ariel pun mulai bersiap-siap dan pergi menuju kelab malam dengan menggunakan mobilnya sendiri. Namun, sesampainya di sana, ia hanya duduk di bar dan memesan vodka. Awalnya, ia berencana untuk ikut menari bersama pengunjung lainnya. Musik disk jockey terdengar menggelegar namun ternyata Ariel tak punya nyali untuk menari di sana dan itu bukan style-nya.Ariel minum sendiri, wajahnya tampak murung memikirkan hidup yang ia jalani
Dring dring .... "Ya?" "Dhan, bisakah kita bertemu besok siang? Aku ingin melihat restoranmu, sekalian makan siang." "Oh, tentu saja." ...Hari itu perasaan Ariel mulai membaik dan ia ingin keluar rumah dan melihat suasana kota. Ia tak banyak teman di sana karena apalagi semuanya sudah berkeluarga, Ariel tak enak mengganggu mereka. Dan entah mengapa ia ingin bertemu dengan Dhani dan sekedar mengobrol hal yang ringan. "Hai," Dhani menghampiri Ariel dan duduk di hadapan wanita yang kini tengah menikmati makan siangnya di sana. "Bagaimana dengan steak-nya?" "Ini enak," jawab Ariel, "aku suka saos jamurnya, texturenya creamy dan sangat enak." "Kau tidak ingin bertemu chef-nya?" "Boleh." Dhani menepuk dadanya dan itu membuat Ariel tertawa. "Serius? Aku baru tahu kalau kau bisa memasak," kata Ariel tak menyangka. "Ya, aku juga belajar memasak saat kuliah di New York, aku bekerja paruh waktu di restoran sana dan akhirnya menjadi chef." "Bakat terpendam ya, ternyata." "Ya." "U
Lagi-lagi Ariel tampak merenung memikirkan Dhani. Pria yang dulu sangat ia idamkan sekaligus pria pertama yang ia persembahkan kehormatannya. Ariel merasa gamang, apakah saat malam itu Dhani membohonginya mungkin karena ingin sekedar menginginkan tubuhnya saja. "Ah, sudahlah ...." Ariel memilih tak ingin memikirkannya lagi. Itu sudah menjadi masa lalu dan bukankah saat itu Ariel sendiri yang menawarkan tubuhnya pada Dhani sebelum hari pernikahannya dengan Richard.Tiba-tiba Ariel tersentak saat handphone-nya berdering. Di layar handphone-nya terpampang nama Miss Laura, wali kelas Reyna. Ariel pun segera mengangkat panggilan telepon dari Miss Laura. "Ya, Miss?" sapa Ariel, "ada apa?""Ibu Ariel bisakah Ibu segera datang ke sekolah sekarang?" Ariel merasa aneh, tidak biasanya Miss Laura memintanya untuk ke sekolah secara tiba-tiba. Tiba-tiba ia merasa khawatir pada buah hatinya di sana. "Ada apa ya, Miss? Reyna baik-baik saja, kan?" "Reyna baik-baik saja, hanya saja ... sebaiknya
Ariel menatap si mungil Reyna sembari menghela napasnya. Anaknya yang telah menolongnya dari hasrat Richard, suaminya sendiri. Ariel jongkok dan menatap wajah Reyna yang tampak memohon ingin bersamanya. "Reyna takut tidur sendiri, kah?" tanyanya pada si gadis mungil itu.Reyna mengangguk. "Reyna, kau sudah besar!" tiba-tiba Richard menyergah dari dalam dan membuat Ariel dan Reyna terperanjat. Pria itu berjalan menuju pintu, menatap wajah anaknha dengan tatapan tajam. "Kau terus meminta ditemani tidur sama mamamu. Kau sudah besar dan kau harus berani! Lawan rasa takutmu itu!" Mata Reyna memerah dan ketakutan melihat ayahnya yang begitu tegas, ia tampak menahan tangis atas kemarahan ayahnya. "Sudah Richard ... akhir-akhir ini Reyna memang sering mimpi buruk," terang Ariel berusaha membela putrinya. "Kau ini, selalu saja memanjakannya!" balas Richard. "Aku bukan memanjakannya tapi aku tidak mau Reyna merasa kesepian." Ariel lalu jongkok dan memeluk Reyna yang ketakutan karena ula
Dhani berjalan menuju ke teman-temannya dan mereka saling menyentuhkan samping lengan mereka dan Ariel bisa merasakan tubuhnya terasa kaku dan ia bergeming melihat pria itu semakin mendekat. “Wah, sudah duda kau ya?” “Itu sudah lama, Sob,” ucap Dhani. “Eh, ini Ariel. Kalian kan pernah dekat sampai disangka pacaran.” Dhani langsung menoleh kea rah Ariel. Sementara Ariel tampak tak siap dengan pertemuan ini namun Dhani yang begitu melihat Ariel langsung tersenyum pada wanita itu. “Hei, Ariel … bagaimana kabarmu?” “Baik,” sahut Ariel datar. Dhani tertawa kecil padanya. “Kau sepertinya tidak berubah, ya?” “Iya, kau juga.” Dhani lalu duduk di tengah-tengah para pria. Mereka semua asyik bernostalgia dan membicarakan keluarga dan anak mereka. Sesekali Ariel melirik ke arah Dhani namun pria itu sedang mendengar teman-temannya mengobrol dan sesekali tertawa. “Ariel, bagaimana denganmu? Anakmu sekarang umur berapa?” tanya seseorang. “Lima tahun.” Mendengar itu Dhani langsung menole
Ariel merenung, tubuhnya terasa lemah malam itu. Entah mengapa di pikirannya hanya ada Dhani bahkan saat ia sebentar lagi akan menghabiskan malam pertama dengan suaminya, Richard. Mungkinkah setelah bercinta ia malah lebih merindukan Dhani. Tapi, ia sudah menjadi istri seseorang, seharusnya dengan kejadian kemarin ia sudah menuntaskan segala urusannya dengan Dhani. Dan malam ini ia harus bercinta dengan Richard. Memikirkannya saja sudah terasa berat apalagi melakukannya, bisakah ia bergairah bersama Richard sama halnya saat bercinta dengan Dhani? Ariel tersentak dari pikirannya begitu mendengar seseorang membuka pintu. Ia menoleh dan Richard dengan canggung masuk ke dalam kamar itu. Entah mengapa kali ini Ariel merasa takut padahal Richard bukanlah orang yang baru ia kenal. Richard duduk di samping Ariel dan mulai menggenggam tangan Ariel. Ia bisa merasakan tangan Ariel mulai berkeringat dingin. "Kau takut?" tanya Richard sambil menatap Ariel. Ariel mengangguk. "Lumayan ...." "