"Iya, pak Yoga harus dioperasi agar bisa menyelamatkan nyawanya". Kata dokter Tora menjelaskan."Nyawanya dok? Apakah nyawa Yoga dalam bahaya?". Kata Frengky lemas dan tak percaya akan perkataan yang dokter ucapkan padanya."Iya". Dokter Tora berkata singkat.Frengky sejenak berpikir mengenai masalah ini. Kenapa Yoga tak mau melibatkan keluarganya mengenai persetujuan ini. Alih-alih menyuruhnya untuk mengurus semuanya."Jadi, operasi apa yang ingin dokter lakukan kepada Yoga?". Frengky mencoba untuk bertanya lebih detail."Kecelakaan yang dialami pak Yoga membuat tangan kanannya mengalami patah sehingga harus dilakukan operasi. Jika tidak, luka yang terjadi bisa mengakibatkan infeksi dan akan menyebabkan keadaan yang lebih parah lagi". Panjang lebar dokter Tora menjelaskan kepada Frengky."Baiklah dokter lakukan sebaik mungkin". Frengky kini yakin dengan keputusannya.Kini Frengky sudah berada di depan ruang operasi dimana Yoga berada di dalam dan sedang ditangani oleh beberapa dokter
"Kalian pasti akan lebih terkejut dengan perkataan Clara yang satu ini". Ucap Clara dengan penuh keyakinan.Papa dan mama yang masih terkejut itu kini saling menatap satu sama lain. Hal apa yang ingin diucapkan lagi oleh Clara sekarang. Denyut jantung mereka pun semakin berpacu cepat, entah kenyataan apalagi yang akan mereka dengar.Clara yang masih terbaring di ranjang ingin mengangkat tubuhnya untuk duduk. Mama Clara segera menghampiri untuk membantu Clara walau keterkejutannya masih ada."Kamu berbaring saja, Clara". Ucap mama tak perduli apa yang ingin Clara katakan lagi."Tidak, ma". Clara berkata seraya menyandarkan punggungnya di kepala ranjang."Ya sudah, pelan-pelan. Sini mama bantuin kamu ya". Mama berkata seraya membantu Clara mendapatkan posisi yang nyaman."Clara sudah mengingat semuanya, ma, pa". Ucap Clara pelan seraya menatap kedua wajah orang tuanya.Melihat reaksi keterkejutan papa dan mamanya dan hanya diam saja. Clara mencoba untuk mengatakan kebenaran selanjutnya.
Tok... Tok...Mama Clara mencoba sekali lagi seraya berkata kini, "Permisi, apakah ini kamar Yoga".Namun tak ada jawaban, Clara berkata pada mamanya untuk masuk saja. Saat pintu dibuka, betapa kagetnya mama dengan apa yang dilihatnya sekarang."Clara...". Ucap mama spontan."Iya, ma. Ada apa?". Clara ikutan panik mendengar suara mama yang tak biasa.Dengan celingukan pun, Clara mencoba melihat apa yang telah dilihat oleh mamanya. Tubuh mama Clara menutupi jarak pandang matanya sehingga ia tak bisa melihat apa yang terjadi di kamar Yoga."Yoga tidak ada di kamarnya, Clara". Ucap mama panik."Gak ada gimana maksudnya, ma?". Balas Clara tak kalah panik."Ayo kita masuk!". Mama Clara pun berinisiatif mendorong kursi roda Clara dan memasuki kamar yang mereka yakini tempat Yoga sedang dirawat.Ketika mereka masuk, sudah tak ada lagi seorang pun disana. Ranjang tempat tidur pun rapi seperti tak pernah ditiduri oleh seseorang. Keadaan kamar pun kosong, mama dan Clara menjadi kebingungan."Se
Kalau aku kasih tahu sesuatu, apa pikiranmu akan berubah?". Frengky berinisiatif memancing Yoga."Apa maksudmu jangan bertele-tele". Yoga berkata dengan kesal.Yoga kini merasakan sedikit ngilu pada tangan kanannya yang baru saja selesai di operasi. Tangannya pun masih berbalut gips berwarna putih."Clara sudah mendapatkan ingatannya kembali". Frengky berkata tanpa rasa bersalah."A-apa?". Yoga langsung terduduk tegap."Aww...". Ucap Yoga lagi. Yoga tak sengaja menekankan tangan kanannya di kursi karena refleks terkejut dengan perkataan Frengky. Ia lupa bahwa sekarang ini tangannya sedang tidak baik-baik saja. "Clara sudah mengingat bahwa kau adalah suaminya". Frengky menjelaskan dengan rinci agar Yoga mengerti sekarang."Kenapa tidak kau beritahu dari tadi". Yoga berkata dengan berteriak.Frengky pun mengusap telinganya yang terkejut akan suara menggelegar Yoga. Dia tak menyangka bahwa reaksi Yoga akan membuat gendang telinganya seperti mati rasa sekarang."Frengky....". Teriak Yog
"Apakah kau sudah mengingat kembali semua memorimu yang hilang?".Ucap Laura sedikit ragu.Clara hanya menjawab dengan reaksi tersenyum lebar dan puas. Namun, itu bagaikan sembilu yang mengoyak harapan di hati Laura."Jangan tersenyum, jawab saja pertanyaanku!". Hardik Laura."Aku tak perlu menjawab pertanyaanmu yang kau lontarkan kepadaku. Kau bisa menerkanya sendiri". Balas Clara tak mau kalah."Jangan membalikkan kata-kata, Clara". Laura kini mulai emosi."Aku tidak berusaha untuk membalikkan kata. Aku yakin kau pasti sudah tahu jawabannya". Setelah mengatakan itu, Clara mendorong kursi roda ke arah rumah Yoga. Mama sigap membantu untuk mendorongnya. Mama lega, Clara berhenti meladeni wanita yang dia tak tahu itu siapa.Sedangkan Laura yang berada di belakang mereka kini begitu marah. Ia merasa dipermalukan oleh Clara kali ini. Berniat untuk memisahkan mereka malah Laura yang telah bertingkah konyol di depan Clara."Hei... Hei... Kau mau kemana, Clara". Teriak Laura masih mencoba me
"Apa tidak ada lagi artinya aku dan pernikahan kita? dan apakah perasaan yang kau utarakan padaku hanyalah kebohongan belaka?". Kini aku bertanya langsung tanpa basa basi. Yoga seperti tersentak dengan pertanyaanku barusan."Mari kita bercerai". Ucapku lagi.Tak perlu menunggu jawabannya aku segera menekan tombol penggerak kursi rodaku menjauh dari hadapan mereka. Mama juga refleks segera mengikuti aku. Masih kudengar caci makinya terhadap menantu laki-lakinya itu."Dasar kamu laki-laki kurang ajar. Ternyata kami sudah salah memilih kamu"."Clara akan lebih bahagia bila seperti ini"."Kamu jangan menyesal, Yoga".Begitulah kalimat-kalimat yang kudengar barusan. Hingga pada akhirnya, mama segera mendekatiku dan memegang kendali kursi rodaku.Aku tak bisa berkata-kata lagi dan memilih untuk pergi. Tak kuperdulikan lagi dua makhluk yang tak berperasaan itu, aku mencoba meredamkan emosiku."Ayo, ma. Kita pulang". Ajakku kepada mama dengan tangis tertahan."Iya, Clara. Kau tak usah lagi p
Mari kita bercerai Mari kita bercerai Mari kita bercerai Kalimat yang diucapkan Clara terus-menerus terngiang di kepalaku. Sungguh perbuatanku mendapatkan balasan yang cukup kejam dari Clara."Kini, apakah aku benar-benar akan bercerai dengan Clara?". Gumamku pelan.Aku memejamkan mataku sesaat, aku pahami bagaimana sikapku hari ini kepada Clara. Akankah aku sanggup berpisah darinya, rasanya tidak mungkin. Saat Clara kehilangan ingatan kemarin, aku bersusah payah menahan keinginanku untuk berjumpa dengannya. Dan bila kali ini aku benar-benar berpisah darinya maka tak akan ada kesempatan lagi untuk aku bertemu dengannya."Lepaskan tanganmu dari lenganku!". Ujarku kepada Laura yang merasa menang kali ini dari Clara."Eh, Iya". Balasnya spontan.Kini aku hanya bisa memandangi Clara yang pergi menjauh dari pandanganku. Aku tak mungkin mengejarnya dan menjilat ludahku sendiri."Yoga, kau kenapa?". Suara manja Laura membuatku mual."Kau juga pergilah!". Ucapku tegas karena sudah tak tah
"Kamu dimana, Clara?"."Maafkan aku, Clara. Aku sungguh sangat menyesal. Kau tahu tidak, bahwa kau telah mengandung anak kita". Kini aku berkata sendiri sambil memandangi beberapa lembar informasi tentang Clara yang kini sedang ada di atas meja kerjaku.-----Untuk menghilangkan rasa jenuh di rumah, mama membawaku ke pasar untuk berbelanja. Sekalian belanja banyak buat stok beberapa hari ke depan.Kami membeli beberapa macam ikan, sayur, buah, bumbu dapur dan daging serta beberapa roti dan kue buat cemilan di rumah nanti. Tidak butuh lama, sekarang kami sudah selesai dan menunggu angkot untuk pulang."Clara, kamu tunggu sebentar di sini, mama mau beli makanan kesukaan papa kamu. Tadi mama kelupaan". Kata mama sambil mengecek semua belanjaan."Iya, ma". "Kamu di sini saja, jangan kemana-mana, kamu duduk saja, ya?"."Sudah ma jangan khawatirkan Clara sebegitunya, ma". Kataku sambil menyuruh mama segera belanja."Eh, iya iya".Mama pun pergi ke arah depan toko di sebelah sana, aku meng