Mari kita bercerai Mari kita bercerai Mari kita bercerai Kalimat yang diucapkan Clara terus-menerus terngiang di kepalaku. Sungguh perbuatanku mendapatkan balasan yang cukup kejam dari Clara."Kini, apakah aku benar-benar akan bercerai dengan Clara?". Gumamku pelan.Aku memejamkan mataku sesaat, aku pahami bagaimana sikapku hari ini kepada Clara. Akankah aku sanggup berpisah darinya, rasanya tidak mungkin. Saat Clara kehilangan ingatan kemarin, aku bersusah payah menahan keinginanku untuk berjumpa dengannya. Dan bila kali ini aku benar-benar berpisah darinya maka tak akan ada kesempatan lagi untuk aku bertemu dengannya."Lepaskan tanganmu dari lenganku!". Ujarku kepada Laura yang merasa menang kali ini dari Clara."Eh, Iya". Balasnya spontan.Kini aku hanya bisa memandangi Clara yang pergi menjauh dari pandanganku. Aku tak mungkin mengejarnya dan menjilat ludahku sendiri."Yoga, kau kenapa?". Suara manja Laura membuatku mual."Kau juga pergilah!". Ucapku tegas karena sudah tak tah
"Kamu dimana, Clara?"."Maafkan aku, Clara. Aku sungguh sangat menyesal. Kau tahu tidak, bahwa kau telah mengandung anak kita". Kini aku berkata sendiri sambil memandangi beberapa lembar informasi tentang Clara yang kini sedang ada di atas meja kerjaku.-----Untuk menghilangkan rasa jenuh di rumah, mama membawaku ke pasar untuk berbelanja. Sekalian belanja banyak buat stok beberapa hari ke depan.Kami membeli beberapa macam ikan, sayur, buah, bumbu dapur dan daging serta beberapa roti dan kue buat cemilan di rumah nanti. Tidak butuh lama, sekarang kami sudah selesai dan menunggu angkot untuk pulang."Clara, kamu tunggu sebentar di sini, mama mau beli makanan kesukaan papa kamu. Tadi mama kelupaan". Kata mama sambil mengecek semua belanjaan."Iya, ma". "Kamu di sini saja, jangan kemana-mana, kamu duduk saja, ya?"."Sudah ma jangan khawatirkan Clara sebegitunya, ma". Kataku sambil menyuruh mama segera belanja."Eh, iya iya".Mama pun pergi ke arah depan toko di sebelah sana, aku meng
"Silahkan masuk". Ucap seorang laki-laki yang berada di dalam.Ternyata suara yang aku dengar tadi adalah milik pak Rakha. Pantas saja aku merasa, suara tersebut terasa tak asing bagiku. Kini ia duduk di kursi di depan meja yang ada papan nama CEO Restoran Yummy."Pak Rakha". Ucapku kaget."Clara". Ucap pak Rakha sama terkejutnya sepertiku.Kini, pak Rakha bangkit dari duduknya dan menghampiri aku yang masih setia berdiri di depan ruangannya."Kamu, kenapa disini, ayo masuk, duduk di sini". Pak Rakha berkata seraya menyuruhku untuk duduk di sofa tamu."Eh, iya pak". Kataku kikuk."Jangan bilang kamu yang akan melakukan wawancara untuk menjadi karyawan di restoran ini?". Tanyanya menyelidikku."Eh, iya pak Rakha. Memang benar saya datang kesini untuk melamar pekerjaan". Ucapku jujur."Ada apa ini?". Pak Rakha malah balik bertanya padaku.Aku berpikir sejenak dan tak mungkin menceritakan apa yang menjadi alasan aku bekerja disini. Aku tak mau ada mencampurkan urusan pribadi dengan peker
Aku kini tak sengaja menatap netra mata pak Rakha yang ternyata sedang menatapku intens seperti tadi. Aku bahkan bisa merasakan deru nafas dari hidungnya menerpa wajahku. "Maaf pak". Aku lantas menundukkan wajahku dan mundur beberapa langkah menjauh dari tubuh pak Rakha."Oke, tidak masalah, anggap saja keberuntungan sedang menghampiriku". Kata pak Rakha mencoba membuat lelucon untuk mencairkan suasana yang kaku.Aku mengernyitkan dahiku, bukan karena lelucon dari pak Rakha. Namun, ada sesuatu yang seperti ingin keluar dari mulutku. Spontan aku mengarahkan tanganku untuk menutup mulut.Hueekkk... Huueeekkkk...Aku merasa seperti ingin muntah, bergegas aku berlari mencari letak kamar mandi. Tapi, aku hanya bolak balik bingung dimana tepatnya ruangan tersebut."Kamar mandinya ada di sebelah kanan di ujung lorong, Clara". Teriak pak Rakha seperti tahu apa artinya tindakanku saat ini.Mendengar informasi yang diteriakkan sang pemilik restoran ini, aku segera menuruti instruksinya. Tidak
Apa yang sedang terjadi?". Clara malah berbalik bertanya kepada Rakha."Kamu tadi pingsan di dalam toilet restoran. Kata dokter hal itu terjadi karena kamu kebanyakan pikiran dan kecapekan, Clara". Ucap Rakha mengulangi perkataan dokter saat memberitahunya kondisi Clara.Saat ini, Rakha sungguh menahan diri untuk tidak bertanya kepada Clara mengenai satu lagi informasi yang baru saja diberitahukan oleh dokter padanya. Rakha masih menimbang-nimbang mau bertanya atau tidak."Maaf, aku sudah merepotkan pak Rakha berkali-kali". Clara berkata pelan karena masih merasa belum pulih sepenuhnya."Tidak mengapa, aku tidak merasa direpotkan olehmu". Ucap Rakha jujur."Tetap saja aku merasa tidak enak". Kata Clara bimbang."Clara, apa aku boleh bertanya satu hal padamu?". Rakha mencoba untuk bertanya kali ini."Silahkan bertanya saja pak". Ucap Clara singkat."Clara, apakah kamu tahu bahwa kamu saat ini sedang hamil?". Akhirnya terucap juga pertanyaan itu dari mulut Rakha karena penasaran ingin m
Apakah aku harus memberitahu kepada Yoga mengenai anak ini?".Entah kenapa pemikiran tersebut terlintas di kepala Clara saat ini. Sesaat kemudian, Clara menggeleng kepalanya, berpikir bahwa hal tersebut tidak mungkin ia lakukan.Drett...Kemudian suara pintu yang terbuka dan diiringi sosok Yoga memasuki ruangan. Clara melihat bahwa Rakha sudah membawa sekantong obat di tangannya."Terima kasih karena sudah sangat merepotkanmu". Ucap Clara menatap tak enak kepada Rakha."Tidak perlu sungkan". Rakha menjawab seraya tersenyum."Kamu sudah siap?". Tanya Rakha yang melihatku hanya diam termenung."Eh, iya". Jawabku singkat."Kamu jangan lupa meminum obat dan vitamin dari dokter ini". Kata pak Rakha lagi seraya menyodorkan kantong kresek yang berisi berbagai macam obat tersebut."Baiklah". Kataku singkat.Hari ini terasa begitu berat untukku. Setelah bertemu dengan pak Rakha, kemudian pak Yoga dan akhirnya berakhir dengan pingsannya aku di toilet restoran. Kini aku sedang duduk di dalam mob
Dengan penasaran, aku pun membuka pintu untuk melihat siapa yang datang. Masa iya sih. sudah ada tamu yang singgah ke rumah yang baru kami tinggali ini. Di jam sekarang lagi, masih terlalu pagi untuk seseorang bertamu ke rumah. Namun, begitu terkejutnya aku melihat siapa yang sedang berdiri di hadapanku kini."Pak Rakha, eh, Rakha". Ucapku kaget. Seorang laki-laki yang sudah berpakaian rapi non formal sedang menyunggingkan senyum dengan deretan gigi yang tersusun rapi."Apakah aku kepagian?". Tanyanya dengan tawa terkekeh."Maksudnya?". Aku balik bertanya dengan dahi yang mengkerut."Kamu harus bekerja hari ini dan tidak boleh terlambat. Jadi, aku bermaksud menjemputmu". Sambungnya lagi.Mendengar perkataan dari Rakha, spontan Clara menoleh ke belakang melihat ke dalam rumah. Takut-takut mamanya mendengar apa yang baru saja Rakha katakan."Shuttt..". Aku berkata pelan sambil menempelkan jari telunjukku ke mulut Rakha. Bisa menjadi masalah jika mama dan papanya tahu kalau anaknya akan
Kerja sama?". Papa bertanya kepada Rakha namun seraya menatapku seolah memastikan kebenaran kepadaku.Aku yang tidak tahu apa-apa mengenai perkataan dari Rakha, kini hanya menunggu jawaban yang keluar dari mulut Rakha."Iya om, saya mau mengajak Clara untuk bekerja sama denganku. Selama saya mengajar dan menjadi dosen Clara, saya tahu bagaimana kemampuan yang ada di diri anak om". Ucap Rakha penuh keyakinan."Eh, hmm...". Aku tak bisa berkata-kata, dan tak mengerti apa maksudnya."Kamu mau bekerja sama dengan mantan dosenmu ini ya, Clara?". Tanya papa kini padaku."Ah. Iya pa". Jawabku singkat saja. Bukankah aku bekerja sebagai pelayan si tokonya Rakha juga termasuk sebuah kerja sama.Setidaknya, aku berusaha untuk tidak membohongi mama dan papa. Aku juga memang bekerja sama dengan Rakha, namun hanya sebagai bawahan dan atasan. Bukan partner bisnis yang membagi keuntungan sama rata dengan persentase 50:50.Aish... Kenapa jadi runyam seperti ini. Aku menggigit bibirku pelan, menunggu k
"Aww... ". Gumamku pelan. Aku terbangun dan merasa seluruh badanku pegal, aku sedikit menggeliat pelan. Deg, aku seperti menyentuh tubuh seseorang, aku pun menoleh ke samping.Aku kaget, karena yang kulihat adalah seseorang. Dan itu adalah Yoga. Kejadian seperti ini mengingatkan aku pada malam pertamaku bersama Yoga juga, dan ini malam keduaku. Aku kini menyadari apa yang telah terjadi dan apa yang sudah kami lakukan tadi malam."Apa karena aktifitas kami tadi malam yang membuat badanku pegal seperti ini". Aku berkata pelan takut mengganggu tidur Yoga. Ditambah dengan perpindahan kami ke rumah hari ini membuat tubuhku terasa begitu lelah. Sama seperti sebelumnya, aku tersenyum dan rasanya tidak mau bangun dari tempat tidur ini. Aku ingin lebih lama berada di samping suamiku ini. Dulu, pagi hari itu adalah hari yang sudah lama berlalu, dan hari ini harus aku tunggu dengan begitu lamanya. Lalu, aku melingkarkan tanganku di pinggangnya. Aku mengamati tiap guratan wajah tampan Yoga, p
"Janji yang mana? ".''Memeluk mama. Tapi papa ingin melakukannya tidak di dapur seperti yang tadi, tapi ditempat yang mama suka". Yoga membuat aku kembali menerka dan membuat aku kembali penasaran. "Mama suka lagi? Tempat yang mana? "'Makanya cepat selesaikan makannya. Biar mama juga tahu?!".Aku melihat Yoga kini mengerling dengan nakal, ia menggodaku. Detak jantungku berbunyi dengan kuat, kenapa aku malah menjadi gugup seperti ini. Untuk memasukkan satu sendok nasi ke mulut pun rasanya urung aku lakukan. Pikiranku pun sudah traveling kemana-mana. "Aish, apalah yang aku pikirkan ini". "Aku akan setia menunggu". Sambung Yoga yang membuat aku semakin menelan ludahku sendiri. Lima menit kemudian. Aku melirik dengan ekor mataku bahwa Yoga yang masih setia menungguku dengan duduk di meja makan. Aku baru saja menyelesaikan makanku dan kini sedang mencuci piring kami berdua dan peralatan memasak tadi. Aku sengaja melambatkannya karena gugup dengan apa yang akan Yoga lakukan setelah i
"Kalau mau dimaafkan harus ada syaratnya? ". Yoga memberiku satu syarat entah apa itu. "Apa syaratnya? ". Tanyaku dengan penasaran. Awas saja jika syaratnya aneh-aneh, aku tidak mau melakukannya. "Syaratnya sangat gampang kok, pasti mama suka"."Mama suka? A-apa, pa? "."Iya mama pasti suka dengan syarat yang akan papa ajukan". Yoga kembali mengulangi perkataanya dengan intonasi pelan agar aku mengerti apa maksud dan tujuannya. Aku kembali memutar otakku menerka apa syarat yang dimaksud oleh suami tuaku itu. Aku jadi ingin tertawa, sudah lama aku tak mengatai Yoga pria tua. Awal pernikahan dulu, aku sering memanggilnya sebagai pria tua. Hal itu aku lakukan karena membenci Yoga. Siapa juga yang tidak akan membenci seseorang yang tiba-tiba hadir didalam kehidupan kita dengan mendadak. Lagipula dulu aku merasa kehadirannya tidak menyenangkan bagiku. Aku yang masih remaja harus menikah dengan seorang pria berumur empat puluh tahun. "Kenapa kamu malah tertawa? ".Sontak pertanyaan dar
"Mau kemana, mama Revan? ".Aku melototkan mata terkejut karena Yoga ternyata tidak tidur. "Eh, ka-kamu tidak tidur?". Tanyaku dengan suara terbata karena terkejut."Mana bisa aku tidur jika kamu tidak ada di sampingku, Clara". Mendengarkan gombalan Yoga pipiku terasa bersemu merah. Aku menjadi salah tingkah saat ini. "Kapan Revan tidur? ". Tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan."Baru saja, tadi kami asyik bermain namun sepertinya dia mengantuk. Aku bawa saja ke kamar dan tak lama setelah minum susu, revan tertidur"."Oh, pasti kecapekan". Ucapku mengiyakan. "Kamu juga tidak capek? ". Yoga bertanya kepadaku.Aku mengangguk mengiyakan pertanyaan dari Yoga. Aku bahkan seperti merenggangkan otot tangan dan pinggangku agar lebih nyaman. "Sini aku pijitin, biar agak enakan badannya". Tawar Yoga kepadaku seraya menarik tubuhku biar berdekatan dengannya. Yoga pun bangun dari tidurnya dan duduk disampingku. Jantungku berdebar kencang saat ini karena jarak kami yang begitu dekat. Aku m
"Maafkan saya pak Rakha. Sepertinya saya harus berhenti bekerja". Ucapku pada akhirnya. Hufft.... Aku bisa menghembuskan nafas lega karena sudah berhasil mengeluarkan kata-kata yang tersangkut berat di tenggorokanku. "A-apa? Aku tidak salah dengar kan Clara? ". Ucap Yoga seolah tak percaya dengan apa yang aku katakan. "Namun, saya akan tetap bekerja hingga satu bulan ke depan". Sambungku lagi. "Apa?"."Iya pak Rakha saya akan berhenti bekerja. Saya akan memberikan surat pengunduran diri saya satu bulan kemudian". Ucapku menjelaskan keinginanku. "Kenapa tiba-tiba seperti ini Clara? Apakah ada yang salah? ". Jawab Rakha seolah tidak percaya. Rakha pun meletakkan sendoknya di atas piring dan memilih tidak melanjutkan suapan selanjutnya. Kabar mengenai pengunduran diri Clara masih teringat di pikirannya. Kini ia sendiri di meja makan ini, Clara sudah meninggalkan dirinya beberapa menit yang lalu. Rakha teringat kembali dengan perkataan Clara yang menjelaskan kenapa ia harus berhent
"Kamu yakin Clara sudah mempertimbangkan semuanya dan mau memberikan aku jawabannya? ". Ucapku kembali bertanya untuk menyakinkan dengan lebih lagi kepada Clara. "Iya, aku yakin. Seratus persen yakin dengan keputusan yang akan aku ambil"."Baiklah, apapun itu aku harap semua untuk kebahagiaan dan kebaikan untuk aku, kamu dab baby Revan". Ucapku dengan penuh penekanan.Clara mengangguk dan mantap akan menjawabnya. Aku malah gugup dan berharap dengan cemas. Sungguh aku takut dan tak bisa memprediksi dengan jelas apa jawaban yang akan Clara katakan. "Aku akan berhenti bekerja dan mulai menjalani hidup sepenuhnya menjadi istrimu dan ibu dari anak kita". Aku menatap Clara dengan binar penuh kebahagiaan karena mendengar jawaban yang memang sesuai dengan harapanku. "Tapi aku punya satu syarat? ". Lanjut Clara memyambung lagi. "Apapun syaratnya jika tidak bertentangan dengan kebaikan kita akan aku penuhi". Ucapku dengan serius dan penuh keyakinan."Syaratnya cuma ada satu, Yoga. Aku hara
"Aku akan menunggu".Aku pun mengetikkan pesan itu dan mengirimkannya kepada Clara. Aku sudah bertekad untuk menunggu dan menanti disini. Rindu yang aku rasakan terlalu berat untuk aku pikul dan aku bawa kembali kerumah. Aku harus menuntaskan rindu ini malam ini juga. Cukup lama aku menunggu dan akhirnya aku berhasil bertemu dengan Clara. Rasa senang dan bahagia sungguh sangat indah saat ini. Namun, ada satu hal yang mengganjal di dalam hatiku saat ini. Akankah bakal ada lagi hari-hari yang akan Clara lewatkan sampai larut malam seperti ini. Meninggalkan baby Revan seharian dirumah bersama seorang pengasuh. "Apakah kamu bisa berhenti bekerja? ". Tanyaku kepada Clara. Sontak sejak saat aku mengajukan pertanyaan tersebut suasana menjadi kaku dan hening. Aku tak bisa menahan untuk tidak mengatakan hal tersebut kepada Clara. Aku ingin dia menjadi ibu rumah tangga seutuhnya. Sepertinya Clara tidak menyukai sikapku. Mungkin sekarang ia berpikir aku mulai mengekang dunianya. Baru saja ka
Aku tak menyangka bahwa wanita yang sedang memegang lenganku adalah Clara. Aku terjatuh saat berusaha melatih otot kakiku untuk bisa berjalan. Sudah dua puluh menit berlalu mungkin itu yang menyebabkan kekuatanku semakin melemah. "Kau disini? ". Itulah kalimat yang aku ucapkan saat aku terkejut melihat ia memegangi tubuhku d n kini berada di depanku. Aku lihat netra mata Clara yang berembun dengan tatapan yang tak bisa aku artikan. Clara juga tak menjawab pertanyaanku. Alih-alih menjawab, Clara malah langsung memeluk tubuh lemahku yang sedang terjatuh. Saat memelukku itulah, aku merasakan ada buliran air hangat jatuh ke lenganku. Aku pun melihat sudah begitu banyak air mata yang mengalir di kedua pipi Clara."Kenapa semuanya kamu tanggung sendiri, Yoga? "."Kenapa selama ini kamu menghilang dan menyembunyikan ini semua dariku? "."Kenapa? Kenapa Yoga? ".Pertanyaan demi pertanyaan Clara lontarkan kepadaku dengan tanpa melepaskan pelukanku lagi. Clara bahkan menangis semakin menjadi
Penasaran mengenai tentang apa itu, aku memutuskan untuk mengikuti arahan tangannya yang menyuruh aku untuk duduk di dekatnya. "Apakah ini mengenai masalah pekerjaan, kamu masih ingin menyuruhku untuk berhenti bekerja?". Tanyaku langsung kepada Yoga saat aku telah duduk di kursi. "Bukan. Bukan hal itu yang ingin aku bicarakan kepadamu, Clara? "."Lalu? ""Kembalilah kerumah kita, mari kita tinggal bersama seperti dahulu".Aku mengarahkan tatapan mataku ke wajah Yoga. Dari ekspresi yang ia berikan, aku tahu dia mengatakannya dengan sangat serius. Aku cukup terkejut akan pembahasan pembicaraan mengenai ini dan tidak menyangka."Bagaimana, kamu setuju kan Clara? "."A-apa? ". Ucapku terbata, aku belum mengetahui jawaban apa yang harus aku katakan. "Kamu bisa mempertimbangkan nanti. Sekarang baby Revan sudah tidur, sebaiknya aku juga pulang".Aku juga tampak bingung dan tak tahu harus mengatakan apa. Diam kembali menyelimuti beberapa saat di antara kami. "Kamu tidak mau makan dulu, bi