"Kita akan selesaikan hari ini. Clara". Bisik Yoga di telinga kiri Clara yang membuat bulu kuduk Clara langsung berdiri.Mata Clara langsung membulat sempurna atas bisikan lembut Yoga. Hembusan hangat menerpa telinganya. Melihat reaksi Clara, Yoga hanya tersenyum simpul."Ayo kita pergi!". Sambung Yoga seraya menutup pintu mobil."Hei, kau mau bawa aku kemana?". Teriak Clara saat kembali sadar bahwa ia kini sudah patuh duduk di kursi penumpang.Yoga tak perduli teriakan Clara yang bagai suara lebah itu. Ia tetap berjalan memutar untuk mencapai pintu mobil sebelahnya. Yoga kini melambaikan tangan kepada Rakha sebagai tanda menyuruhnya pergi menjauh.Rakha yang melihat itu hanya menggeleng pelan. Dia baru tahu bahwa Clara sudah mempunyai suami. Salahnya sudah menyukai seseorang tanpa mencari tahu lebih dalam informasi seseorang tersebut."Tapi, mana aku tahu jika Clara yang masih berumur muda dan sedang kuliah itu sudah menikah". Kata Rakha mencoba membela diri.Kini Rakha juga kembali
Clara dan Yoga segera dilarikan ke UGD untuk ditangani para dokter. Mata Clara terus menatap tubuh Yoga yang berada di ranjang rumah sakit yang sedang di dorong oleh beberapa perawat di depan dirinya.Kini ranjang mereka berpisah karena berbeda ruangan tindakan. Clara meneteskan air mata saat tubuh Yoga tak terlihat lagi oleh kedua matanya. Sayup-sayup suara dokter dan perawat silih berganti masuk ke gendang telinganya."Pak Yoga...". Kata Clara pelan hampir tak terdengar jelas. Tak sedikitpun Clara memperdulikan ucapan dan pertanyaan dari dokter dan perawat. Kini yang ada di pikiran Clara adalah wajah dan tubuh suaminya, Yoga. Betapa hancur hati Clara menyadari situasi yang kini ia hadapi.Clara pun lama kelamaan seperti kehilangan kesadaran dan menutup dengan pelan kedua matanya. Dokter ternyata baru saja menyuntikkan obat bius kepada Clara karena akan menjahit luka robek yang ada di dahi Clara dan berbagai tindakan lainnya.------"Ma, ayo kita pergi!". Kata pak Dedi pada istrinya
"Iya, pak Yoga harus dioperasi agar bisa menyelamatkan nyawanya". Kata dokter Tora menjelaskan."Nyawanya dok? Apakah nyawa Yoga dalam bahaya?". Kata Frengky lemas dan tak percaya akan perkataan yang dokter ucapkan padanya."Iya". Dokter Tora berkata singkat.Frengky sejenak berpikir mengenai masalah ini. Kenapa Yoga tak mau melibatkan keluarganya mengenai persetujuan ini. Alih-alih menyuruhnya untuk mengurus semuanya."Jadi, operasi apa yang ingin dokter lakukan kepada Yoga?". Frengky mencoba untuk bertanya lebih detail."Kecelakaan yang dialami pak Yoga membuat tangan kanannya mengalami patah sehingga harus dilakukan operasi. Jika tidak, luka yang terjadi bisa mengakibatkan infeksi dan akan menyebabkan keadaan yang lebih parah lagi". Panjang lebar dokter Tora menjelaskan kepada Frengky."Baiklah dokter lakukan sebaik mungkin". Frengky kini yakin dengan keputusannya.Kini Frengky sudah berada di depan ruang operasi dimana Yoga berada di dalam dan sedang ditangani oleh beberapa dokter
"Kalian pasti akan lebih terkejut dengan perkataan Clara yang satu ini". Ucap Clara dengan penuh keyakinan.Papa dan mama yang masih terkejut itu kini saling menatap satu sama lain. Hal apa yang ingin diucapkan lagi oleh Clara sekarang. Denyut jantung mereka pun semakin berpacu cepat, entah kenyataan apalagi yang akan mereka dengar.Clara yang masih terbaring di ranjang ingin mengangkat tubuhnya untuk duduk. Mama Clara segera menghampiri untuk membantu Clara walau keterkejutannya masih ada."Kamu berbaring saja, Clara". Ucap mama tak perduli apa yang ingin Clara katakan lagi."Tidak, ma". Clara berkata seraya menyandarkan punggungnya di kepala ranjang."Ya sudah, pelan-pelan. Sini mama bantuin kamu ya". Mama berkata seraya membantu Clara mendapatkan posisi yang nyaman."Clara sudah mengingat semuanya, ma, pa". Ucap Clara pelan seraya menatap kedua wajah orang tuanya.Melihat reaksi keterkejutan papa dan mamanya dan hanya diam saja. Clara mencoba untuk mengatakan kebenaran selanjutnya.
Tok... Tok...Mama Clara mencoba sekali lagi seraya berkata kini, "Permisi, apakah ini kamar Yoga".Namun tak ada jawaban, Clara berkata pada mamanya untuk masuk saja. Saat pintu dibuka, betapa kagetnya mama dengan apa yang dilihatnya sekarang."Clara...". Ucap mama spontan."Iya, ma. Ada apa?". Clara ikutan panik mendengar suara mama yang tak biasa.Dengan celingukan pun, Clara mencoba melihat apa yang telah dilihat oleh mamanya. Tubuh mama Clara menutupi jarak pandang matanya sehingga ia tak bisa melihat apa yang terjadi di kamar Yoga."Yoga tidak ada di kamarnya, Clara". Ucap mama panik."Gak ada gimana maksudnya, ma?". Balas Clara tak kalah panik."Ayo kita masuk!". Mama Clara pun berinisiatif mendorong kursi roda Clara dan memasuki kamar yang mereka yakini tempat Yoga sedang dirawat.Ketika mereka masuk, sudah tak ada lagi seorang pun disana. Ranjang tempat tidur pun rapi seperti tak pernah ditiduri oleh seseorang. Keadaan kamar pun kosong, mama dan Clara menjadi kebingungan."Se
Kalau aku kasih tahu sesuatu, apa pikiranmu akan berubah?". Frengky berinisiatif memancing Yoga."Apa maksudmu jangan bertele-tele". Yoga berkata dengan kesal.Yoga kini merasakan sedikit ngilu pada tangan kanannya yang baru saja selesai di operasi. Tangannya pun masih berbalut gips berwarna putih."Clara sudah mendapatkan ingatannya kembali". Frengky berkata tanpa rasa bersalah."A-apa?". Yoga langsung terduduk tegap."Aww...". Ucap Yoga lagi. Yoga tak sengaja menekankan tangan kanannya di kursi karena refleks terkejut dengan perkataan Frengky. Ia lupa bahwa sekarang ini tangannya sedang tidak baik-baik saja. "Clara sudah mengingat bahwa kau adalah suaminya". Frengky menjelaskan dengan rinci agar Yoga mengerti sekarang."Kenapa tidak kau beritahu dari tadi". Yoga berkata dengan berteriak.Frengky pun mengusap telinganya yang terkejut akan suara menggelegar Yoga. Dia tak menyangka bahwa reaksi Yoga akan membuat gendang telinganya seperti mati rasa sekarang."Frengky....". Teriak Yog
"Apakah kau sudah mengingat kembali semua memorimu yang hilang?".Ucap Laura sedikit ragu.Clara hanya menjawab dengan reaksi tersenyum lebar dan puas. Namun, itu bagaikan sembilu yang mengoyak harapan di hati Laura."Jangan tersenyum, jawab saja pertanyaanku!". Hardik Laura."Aku tak perlu menjawab pertanyaanmu yang kau lontarkan kepadaku. Kau bisa menerkanya sendiri". Balas Clara tak mau kalah."Jangan membalikkan kata-kata, Clara". Laura kini mulai emosi."Aku tidak berusaha untuk membalikkan kata. Aku yakin kau pasti sudah tahu jawabannya". Setelah mengatakan itu, Clara mendorong kursi roda ke arah rumah Yoga. Mama sigap membantu untuk mendorongnya. Mama lega, Clara berhenti meladeni wanita yang dia tak tahu itu siapa.Sedangkan Laura yang berada di belakang mereka kini begitu marah. Ia merasa dipermalukan oleh Clara kali ini. Berniat untuk memisahkan mereka malah Laura yang telah bertingkah konyol di depan Clara."Hei... Hei... Kau mau kemana, Clara". Teriak Laura masih mencoba me
"Apa tidak ada lagi artinya aku dan pernikahan kita? dan apakah perasaan yang kau utarakan padaku hanyalah kebohongan belaka?". Kini aku bertanya langsung tanpa basa basi. Yoga seperti tersentak dengan pertanyaanku barusan."Mari kita bercerai". Ucapku lagi.Tak perlu menunggu jawabannya aku segera menekan tombol penggerak kursi rodaku menjauh dari hadapan mereka. Mama juga refleks segera mengikuti aku. Masih kudengar caci makinya terhadap menantu laki-lakinya itu."Dasar kamu laki-laki kurang ajar. Ternyata kami sudah salah memilih kamu"."Clara akan lebih bahagia bila seperti ini"."Kamu jangan menyesal, Yoga".Begitulah kalimat-kalimat yang kudengar barusan. Hingga pada akhirnya, mama segera mendekatiku dan memegang kendali kursi rodaku.Aku tak bisa berkata-kata lagi dan memilih untuk pergi. Tak kuperdulikan lagi dua makhluk yang tak berperasaan itu, aku mencoba meredamkan emosiku."Ayo, ma. Kita pulang". Ajakku kepada mama dengan tangis tertahan."Iya, Clara. Kau tak usah lagi p
"Aww... ". Gumamku pelan. Aku terbangun dan merasa seluruh badanku pegal, aku sedikit menggeliat pelan. Deg, aku seperti menyentuh tubuh seseorang, aku pun menoleh ke samping.Aku kaget, karena yang kulihat adalah seseorang. Dan itu adalah Yoga. Kejadian seperti ini mengingatkan aku pada malam pertamaku bersama Yoga juga, dan ini malam keduaku. Aku kini menyadari apa yang telah terjadi dan apa yang sudah kami lakukan tadi malam."Apa karena aktifitas kami tadi malam yang membuat badanku pegal seperti ini". Aku berkata pelan takut mengganggu tidur Yoga. Ditambah dengan perpindahan kami ke rumah hari ini membuat tubuhku terasa begitu lelah. Sama seperti sebelumnya, aku tersenyum dan rasanya tidak mau bangun dari tempat tidur ini. Aku ingin lebih lama berada di samping suamiku ini. Dulu, pagi hari itu adalah hari yang sudah lama berlalu, dan hari ini harus aku tunggu dengan begitu lamanya. Lalu, aku melingkarkan tanganku di pinggangnya. Aku mengamati tiap guratan wajah tampan Yoga, p
"Janji yang mana? ".''Memeluk mama. Tapi papa ingin melakukannya tidak di dapur seperti yang tadi, tapi ditempat yang mama suka". Yoga membuat aku kembali menerka dan membuat aku kembali penasaran. "Mama suka lagi? Tempat yang mana? "'Makanya cepat selesaikan makannya. Biar mama juga tahu?!".Aku melihat Yoga kini mengerling dengan nakal, ia menggodaku. Detak jantungku berbunyi dengan kuat, kenapa aku malah menjadi gugup seperti ini. Untuk memasukkan satu sendok nasi ke mulut pun rasanya urung aku lakukan. Pikiranku pun sudah traveling kemana-mana. "Aish, apalah yang aku pikirkan ini". "Aku akan setia menunggu". Sambung Yoga yang membuat aku semakin menelan ludahku sendiri. Lima menit kemudian. Aku melirik dengan ekor mataku bahwa Yoga yang masih setia menungguku dengan duduk di meja makan. Aku baru saja menyelesaikan makanku dan kini sedang mencuci piring kami berdua dan peralatan memasak tadi. Aku sengaja melambatkannya karena gugup dengan apa yang akan Yoga lakukan setelah i
"Kalau mau dimaafkan harus ada syaratnya? ". Yoga memberiku satu syarat entah apa itu. "Apa syaratnya? ". Tanyaku dengan penasaran. Awas saja jika syaratnya aneh-aneh, aku tidak mau melakukannya. "Syaratnya sangat gampang kok, pasti mama suka"."Mama suka? A-apa, pa? "."Iya mama pasti suka dengan syarat yang akan papa ajukan". Yoga kembali mengulangi perkataanya dengan intonasi pelan agar aku mengerti apa maksud dan tujuannya. Aku kembali memutar otakku menerka apa syarat yang dimaksud oleh suami tuaku itu. Aku jadi ingin tertawa, sudah lama aku tak mengatai Yoga pria tua. Awal pernikahan dulu, aku sering memanggilnya sebagai pria tua. Hal itu aku lakukan karena membenci Yoga. Siapa juga yang tidak akan membenci seseorang yang tiba-tiba hadir didalam kehidupan kita dengan mendadak. Lagipula dulu aku merasa kehadirannya tidak menyenangkan bagiku. Aku yang masih remaja harus menikah dengan seorang pria berumur empat puluh tahun. "Kenapa kamu malah tertawa? ".Sontak pertanyaan dar
"Mau kemana, mama Revan? ".Aku melototkan mata terkejut karena Yoga ternyata tidak tidur. "Eh, ka-kamu tidak tidur?". Tanyaku dengan suara terbata karena terkejut."Mana bisa aku tidur jika kamu tidak ada di sampingku, Clara". Mendengarkan gombalan Yoga pipiku terasa bersemu merah. Aku menjadi salah tingkah saat ini. "Kapan Revan tidur? ". Tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan."Baru saja, tadi kami asyik bermain namun sepertinya dia mengantuk. Aku bawa saja ke kamar dan tak lama setelah minum susu, revan tertidur"."Oh, pasti kecapekan". Ucapku mengiyakan. "Kamu juga tidak capek? ". Yoga bertanya kepadaku.Aku mengangguk mengiyakan pertanyaan dari Yoga. Aku bahkan seperti merenggangkan otot tangan dan pinggangku agar lebih nyaman. "Sini aku pijitin, biar agak enakan badannya". Tawar Yoga kepadaku seraya menarik tubuhku biar berdekatan dengannya. Yoga pun bangun dari tidurnya dan duduk disampingku. Jantungku berdebar kencang saat ini karena jarak kami yang begitu dekat. Aku m
"Maafkan saya pak Rakha. Sepertinya saya harus berhenti bekerja". Ucapku pada akhirnya. Hufft.... Aku bisa menghembuskan nafas lega karena sudah berhasil mengeluarkan kata-kata yang tersangkut berat di tenggorokanku. "A-apa? Aku tidak salah dengar kan Clara? ". Ucap Yoga seolah tak percaya dengan apa yang aku katakan. "Namun, saya akan tetap bekerja hingga satu bulan ke depan". Sambungku lagi. "Apa?"."Iya pak Rakha saya akan berhenti bekerja. Saya akan memberikan surat pengunduran diri saya satu bulan kemudian". Ucapku menjelaskan keinginanku. "Kenapa tiba-tiba seperti ini Clara? Apakah ada yang salah? ". Jawab Rakha seolah tidak percaya. Rakha pun meletakkan sendoknya di atas piring dan memilih tidak melanjutkan suapan selanjutnya. Kabar mengenai pengunduran diri Clara masih teringat di pikirannya. Kini ia sendiri di meja makan ini, Clara sudah meninggalkan dirinya beberapa menit yang lalu. Rakha teringat kembali dengan perkataan Clara yang menjelaskan kenapa ia harus berhent
"Kamu yakin Clara sudah mempertimbangkan semuanya dan mau memberikan aku jawabannya? ". Ucapku kembali bertanya untuk menyakinkan dengan lebih lagi kepada Clara. "Iya, aku yakin. Seratus persen yakin dengan keputusan yang akan aku ambil"."Baiklah, apapun itu aku harap semua untuk kebahagiaan dan kebaikan untuk aku, kamu dab baby Revan". Ucapku dengan penuh penekanan.Clara mengangguk dan mantap akan menjawabnya. Aku malah gugup dan berharap dengan cemas. Sungguh aku takut dan tak bisa memprediksi dengan jelas apa jawaban yang akan Clara katakan. "Aku akan berhenti bekerja dan mulai menjalani hidup sepenuhnya menjadi istrimu dan ibu dari anak kita". Aku menatap Clara dengan binar penuh kebahagiaan karena mendengar jawaban yang memang sesuai dengan harapanku. "Tapi aku punya satu syarat? ". Lanjut Clara memyambung lagi. "Apapun syaratnya jika tidak bertentangan dengan kebaikan kita akan aku penuhi". Ucapku dengan serius dan penuh keyakinan."Syaratnya cuma ada satu, Yoga. Aku hara
"Aku akan menunggu".Aku pun mengetikkan pesan itu dan mengirimkannya kepada Clara. Aku sudah bertekad untuk menunggu dan menanti disini. Rindu yang aku rasakan terlalu berat untuk aku pikul dan aku bawa kembali kerumah. Aku harus menuntaskan rindu ini malam ini juga. Cukup lama aku menunggu dan akhirnya aku berhasil bertemu dengan Clara. Rasa senang dan bahagia sungguh sangat indah saat ini. Namun, ada satu hal yang mengganjal di dalam hatiku saat ini. Akankah bakal ada lagi hari-hari yang akan Clara lewatkan sampai larut malam seperti ini. Meninggalkan baby Revan seharian dirumah bersama seorang pengasuh. "Apakah kamu bisa berhenti bekerja? ". Tanyaku kepada Clara. Sontak sejak saat aku mengajukan pertanyaan tersebut suasana menjadi kaku dan hening. Aku tak bisa menahan untuk tidak mengatakan hal tersebut kepada Clara. Aku ingin dia menjadi ibu rumah tangga seutuhnya. Sepertinya Clara tidak menyukai sikapku. Mungkin sekarang ia berpikir aku mulai mengekang dunianya. Baru saja ka
Aku tak menyangka bahwa wanita yang sedang memegang lenganku adalah Clara. Aku terjatuh saat berusaha melatih otot kakiku untuk bisa berjalan. Sudah dua puluh menit berlalu mungkin itu yang menyebabkan kekuatanku semakin melemah. "Kau disini? ". Itulah kalimat yang aku ucapkan saat aku terkejut melihat ia memegangi tubuhku d n kini berada di depanku. Aku lihat netra mata Clara yang berembun dengan tatapan yang tak bisa aku artikan. Clara juga tak menjawab pertanyaanku. Alih-alih menjawab, Clara malah langsung memeluk tubuh lemahku yang sedang terjatuh. Saat memelukku itulah, aku merasakan ada buliran air hangat jatuh ke lenganku. Aku pun melihat sudah begitu banyak air mata yang mengalir di kedua pipi Clara."Kenapa semuanya kamu tanggung sendiri, Yoga? "."Kenapa selama ini kamu menghilang dan menyembunyikan ini semua dariku? "."Kenapa? Kenapa Yoga? ".Pertanyaan demi pertanyaan Clara lontarkan kepadaku dengan tanpa melepaskan pelukanku lagi. Clara bahkan menangis semakin menjadi
Penasaran mengenai tentang apa itu, aku memutuskan untuk mengikuti arahan tangannya yang menyuruh aku untuk duduk di dekatnya. "Apakah ini mengenai masalah pekerjaan, kamu masih ingin menyuruhku untuk berhenti bekerja?". Tanyaku langsung kepada Yoga saat aku telah duduk di kursi. "Bukan. Bukan hal itu yang ingin aku bicarakan kepadamu, Clara? "."Lalu? ""Kembalilah kerumah kita, mari kita tinggal bersama seperti dahulu".Aku mengarahkan tatapan mataku ke wajah Yoga. Dari ekspresi yang ia berikan, aku tahu dia mengatakannya dengan sangat serius. Aku cukup terkejut akan pembahasan pembicaraan mengenai ini dan tidak menyangka."Bagaimana, kamu setuju kan Clara? "."A-apa? ". Ucapku terbata, aku belum mengetahui jawaban apa yang harus aku katakan. "Kamu bisa mempertimbangkan nanti. Sekarang baby Revan sudah tidur, sebaiknya aku juga pulang".Aku juga tampak bingung dan tak tahu harus mengatakan apa. Diam kembali menyelimuti beberapa saat di antara kami. "Kamu tidak mau makan dulu, bi