“Hubungan tidak baik?”
“Bukan hanya itu kak. Lebih!” Aku mulai serius menatap Maria. Kuamati wajahnya yang masih tetap cantik di situasi sepert ini dan tengah semangat menjelaskan perihal ini.
“Sebagaimana yang kusampaikan tempo lalu soal konsekuensi itu. Tidak hanya hubungan baik. Melainkan yang lebih penting dari itu. Kesehatan dan keberlangsungan hidup orang tua kita. Ibarat lem yang sudah sangat melekat lama lalu dicabut paksa.
“Hubungan erat dan super sejoli berpuluh-puluh tahun dengan harapan dan mimpi mereka berdua yang sudah sangat melekat lalu harus rusak dengan dengan perjodohan itu. Memang belum tentu akan seperti itu tapi jika tidak kuat mental maka akan berpengaruh ke kesehatan. Apalagi kita tahu bahwa kedua ayah kita memiliki riwayat penyakit yang gampang sekali kambuh.
“Dan pembatalan perjodohan itu sangat berpotensi menyerang penyakit yang bisa kapan saja kambuh. Dan biasanya untuk menyembuhkan san
“Di kamarmu saja kalau kamu boleh. Lalu kamu tidur di kamar tamu. Ya nggaklah. Kamu gimana sih. Ibu Sudah bilang Mpok Yanti untuk menyiapkan kamar tamunya. Nanti Maria bisa tidur di situ.”Perintah mendadak yang sangat tidak aku inginkan. Sebenarnya berat sekali dan ingin menolak tapi situasi sedang tidak bersahabat untuk berdebat dengan ibu. Agar aku bisa segera pulang dan istirahat aku iyakan saja. Kami berpamitan ke ibu dan Pak Herman. Kata ibu ayah sudah terlelap jadi tidak perlu pamit. Lalu kami segera meluncur ke rumah.Malam semakin larut dan jalanan semakin sepi dari kendaraan. Membuat mobil yang kukendarai melesat lebih cepat. Sementara aku menyetir mobil, Maria yang duduk di sampingku hanya diam dengan wajah sumringahnya. Mungkin ia merasa menang aku berada di pihaknya.Sejauh ini aku tak pernah membayangkan duduk berduan di dalam mobil bersamanya. Apalagi dia menginap di rumahku dan sedikit banyak akan tahu aktivitasku. Duh! Merepotkan. Ak
“Gadis cantik di samping saya adalah calon tunangan saya pak. Ibu saya yang menyuruh untuk membawa ke rumah karena ayah sedang dirawat di rumah sakit. Jika ingin bukti kebenaran ucapan saya apa perlu saya teleponkan?” Jelasku sambil mengeluarkan handphone untuk menelepon jika diminta. Seketika Pak Sekuriti mengerti dan memaklumi lalu mempersilakan kami langsung masuk kompleks sebelum menitipkan salam pada keluargaku yang sedang ditimpa musibah.Aku toleh Maria yang ekspresi wajahnya berubah lagi. Kali ini ia tersipu malu bercampur wajah bahagia dan berbunga. Pastilah karena ucapanku barusan.“Terima kasih ya Kak sudah menyelamatkanku.”“Itu sudah keahlianku. Biasa saja kali,” responsku pendek. Dalam hati aku sebal kenapa begitu aku beri kesempatan berbicara ia hanya diam saja.“Dan terima kasih sudah menganggapku tunangan Kakak.” Kali ini aku menoleh ke arahnya sekadar memastikan d
Aku menyesal kenapa tadi tidak segera menyalakan lampu terlebih dahulu. Rasa letih bercampur kantuk membuatku alpa. Biasanya aku juga melakukan hal yang sama tapi tidak pernah mendapati kejadian aneh seperti ini. Segera saja aku bangkit dari ranjang dan menyalakan lampu.Aku semakin kaget setelah tahu yang tadi diatas ranjang adalah Maria. Ia yang mendapatiku terkaget segera bangkit sambil menahan malu bercampur rasa kantuknya.“Kenapa kamu di sini? Ini kamarku,” keluhku padanya. Ia malah kebingungan.“Maaf Kak. Aku sungguh tidak tahu. Mpok Yanti yang menyuruhku masuk ke kamar ini.”Duh. Mpok Yanti. Bagaimana sih dia. Bukannya ia sudah tahu kamar tamu dimana. Sontak aku berteriak memanggil namanya.“Mpok Yantiiiiiiiiiiiii!!!!!!!!”Sekali tidak ada suara.“Mpokkkkkkkk Mpok Yantiiiiiiiiiiiii.”Aku tak tahu teriakanku semakin kencang.“Mpokk cepetttt sini..!!!!Mpok
Usai terkejut dengan pengakuan Mpok Yanti, aku langsung bergegas ke kantor. Mobil melesat menyusuri jalanan yang sebentar lagi penuh. Di jalan aku menelpon ibu. Menanyakan kondisi terupdate ayah. Katanya masih sama dan belum ada progres yang signifikan.Kutawarkan apa sore pulang kerja aku perlu ke sana? Ibu bilang tidak perlu jika aku masih sibuk dan capek. Karena kedua Kakakku sudah datang dan akan bergantian berjaga menemani ibu jagain ayah. Aku juga sudah sampaikan kalau Mpok Yanti sudah menyiapkan apa yang ibu minta dan nanti agak siangan Maria akan berangkat ke rumah sakit.Soal masakan tadi. Aku akui masakan Maria benar-benar enak. Tapi karena gengsi aku malu mengakui di depan Maria. Tadi usai Mpok Yanti bilang kalau masakan itu yang masak adalah Maria aku sampai menghampiri Maria ke belakang untuk memastikan kalau ia benar-benar yang memasak. Ia hanya tersenyum dan berterima kasih karena sudah mau memakanan makanan yang sudah dimasak.Jujur aku katakan b
“Orang jatuh cinta itu seperti orang batuk. Meski sekuat apapun ia menahan tapi jika memang waktunya harus dikeluarkan maka akan keluar batuknya,” ia tersenyum sebagai bentuk responsnya atas permintaanku untuk jujur dari mana ia tahu informasi itu.“Tapi tenang Pak. Bukankah selama ini sudah biasa dan saya selalu pandai menyembunyikan rahasia Bapak?”Aku lega dan sempat memujinya. Aku menawarkan bonus dari saku pribadi.“Tidak perlu Pak. I am fine. Gak apa-apa. Aku tulus kok. Lagian kebahagiaan Bapak juga akan berpengaruh pada kinerja Bapak di kantor. Dan di perusahaan siapa yang tidak tahu dengan kualitas kinerja Bapak.”Sekali lagi aku berterima kasih, lalu Sheily undur diri. Ada kerjaan lain yang harus ia selesaikan sebelum siang ini. Di saat yang bersmaan Shopia menelpon. Membuat perasaan malu dan panikku berangsung hilang dan bergantikan dengan perasaan bahagia bisa mendengar suara pujaan hati.Shop
“Bagaimana rasanya Kak, enak tidak?”Lagi-lagi aku kaget. Kenapa ia masih ada di sini? Alasan apalagi yang buat ia tinggal di rumahku lebih lama lagi. Perjodohan yang berhasil? Kalau itu jangan harap.“Kamu?? Kenapa masih disini? Bukannya kamu seharusnya ada di rumah sakit?”“Benar Kak. Seharusnya ada di sana tapi, ibu dan ayah Kakak memaksaku untuk tetap di sini. Tambah lagi ayahku yang mendesak. Tadinya aku sudah tidak mau karena takutnya Kakak kurang nyaman selama aku disini tapi apa boleh buat. Ini bukan permintaanku,” Maria berusaha menjelaskan duduk perkaranya.“Tapi meski tidak permintaanmu tapi ini keinginanmu bukan?” Seketika ia berusaha menyembunyikan wajah malunya yang tetap cantik.“Dari pada kamu berdiri dan bengong di sana mendingan kamu bantu aku deh habisin makanan ini.”“Semua makanan ini buat Kakak. Aku masakin spesial buat Kakak. Karena Kakak letih seharian
Sosok cantik yang tak henti-hentinya dan selalu ada cara untuk mengejarku itu tengah menangis dengan suara tangisan yang membuat iba dan terharu siapapun yang mendengarnya. Aku yang mendengarkannya dengan seksama sampai terhanyut dan terenyuh.Dengan balutan mukena putih di atas sajadah menghadap ke kiblat ia mengadu berdoa dengan isak tangis kepada Tuhan. Begitu aku dengarkan dengan seksama aku paham maksud doa itu. Membuatku berpikir dua kali dan menjadi tidak tega jika harus membatalkan perjodohan itu mengingat perjuangan yang dilakukannya dan kesungguhannya serta ketulusannya mengejarku. Namun logisnya, aku tidak mencintainya. Aku hanya tidak ingin membuatnya nanti semakin menderita karena hidup dan bersama serta mencintai orang yang sama sekali tidak mencintainya.Agar keberadaanku tidak diketahui olehnya aku segera masuk ke kamar dan melanjutkan tidurku yang perlu ditambah. Keesokan harinya seperti biasa aku bersiap berangkat sebelum melakukan rutin
Pada akhirnya aku harus memilih karena hidup adalah pilihan. Pilih yang resikonya paling kecil dan manfaatnya jauh lebih besar. Setidaknya itulah prinsip dalam memilih. Dan pilihanku kali ini pada keluarga. Aku sudah mengorbankan waktu kerjaku untuk menyempatkan ke sini. Jadi jika mundur rasanya sia-sia aku ke sini.Kutelepon ibu untuk menanyakan bagaimana keadaan yang sebenarnya. Rupanya ayah masih di rumah sakit dan tidak melakukan seperti yang kusangkakan yaitu diam-diam memberi surprise di rumah. Ayah hanya dipindahkan ke ruang lain karena kondisinya sudah membaik. Ibu segera memberitahu kamar yang sekarang. Bergegas aku menuju kesana.Di sana aku disambut hangat oleh semua yang berjaga. Ibu tentu saja, salah satu kakakku yang senang akhirnya bisa bertemu denganku. Aku dirangkulnya sayang. Erat sekali. Pak Herman yang masih setia menunggu dan ayah. Dengan ekspresi bahagianya ia tersenyum dan tampak senang lantaran kehadiranku.Aku menanyakan ke ibu