Merdeka adalah,ketika Evan tidak muncul juga meski sudah dua minggu setelah Gina memberi kabar mengejutkan itu. Harapan Karina adalah Evan tidak akan pernah muncul lagi di dalam hidupnya.
Kembalinya Brian juga membuat Karina merasa lega, setidaknya dia tidak akan sendirian di apartemen saat kafe sudah tutup.
Berat badan Karina kembali turun, Brian mengomelinya cukup banyak saat pertama kali melihat Karina.
Karina menganggap omelan itu sebagai bentuk perhatian dari Brian. Karena memang sejauh ini,Brian memakai kalimat yang tidak menyakitkan Karina.
Siang itu, Karina hanya dengan Nick yang menjaga kafe berdua. Olivia sedang ujian, dia mendapat ijin selama seminggu dari Karina.
Padahal Olivia hanya ingin ijin selama 3 hari. Karina tetap Karina, dia tidak ingin membuat orang lain kerepotan, dia tetap memberikan sisa gaji untuk Olivia meski gadis itu sedang tidak bekerja.
Karina baru sadar, sedari tadi Nick menatap wajahnya sembari tersenyum. Dia
Ruangan Brian lebih berwarna, ada beberapa lukisan bergaya Ekspresionisme. Harus Karina akui, Brian pandai dalam melukis. Meskipun dia tidak tau soal seni sama sekali.Belum ada seseorang yang Brian undang ke ruang pribadinya. Sejauh ini, Brian selalu menghindari tamu. Dia bahkan tidak bergaul dengan dosen lainnya.Dia tidak begitu tertarik dengan konsep itu.“Kamu seorang pelukis?” tanya Ian dengan nada kagum.Brian menggeleng “Aku dosen.” Tas selampangnya kini tergantung di belakang pintu “Tapi aku memiliki hobi melukis,Ian.”Paru-paru Karina harus bekerja keras melihat senyuman Brian barusan. Dia tersipu, dan sedetik kemudian tersadar. Dia sedang tertarik kepada Brian.Masih dalam penyangkalan Karina, gadis itu berfikir perasaan ini hanya bersifat sementara.Ian menyengir saat melihat lukisan wanita yang tertidur dengan wajah yang menangis “Ini terlihat seperti dirimu,Karina.” Dia menunjuk Karina sembari melontarkan candaan itu.
Sudah seminggu Ian menginap di apartemen Karina, meski situasinya mulai membaik. Ian tetap belum memberi restu kepada Jonathan dan Sarah.Ian hanya mulai mau bertemu dengan Jonathan.Jangan tanya soal hubungan Karina dengan Brian. Pria itu harus ke sebuah universitas untuk mencari dana hibah bagi para mahasiswanya. Kehidupan para ilmuan bergantung dari sana, dan Brian tidak mau menelantarkan mahasiswanya demi dirinya sendiri.Dia tidak akan di Boston setidaknya dua minggu kedepan. Brian juga bukan orang yang gemar berkirim pesan.Jadi begitulah, Karina hanya sibuk mengurus kafe dan Ian. Tidak ada hal lain yang menyita waktunya selain kedua hal tersebut.Pagi itu, Ian sedang bersiap ke sekolah. Dia berjanji hari ini akan menjadi hari terakhinya menginap di rumah Karina. Sarah juga terlalu sering meminta maaf,padahal itu sama sekali tidak perlu.Dia senang ada Ian di apartemennya.Kehadiran Ian membawa dampak yang cukup baik bagi Karina
Bibir Karina kelu,dia hanya bisa berpegngan pada lengan Brian.Paru-paru Karina meronta meminta udara saat gadis itu tercekat. Sesak nafas yang tidak bisa Karina jelaskan. Sensasi ini hanya bisa di timbulkan saat dia bertemu dengan Evan.Selama beberapa detik hening, Karina tidak berani mengangkat kepalanya. Untung saja Brian cukup tinggi untuk menutupi tubuhnya.Brian menarik Karina, memeluk dengan erat, memastikan gadis itu baik-baik saja. Meski Brian tau kalau Karina tidak akan merasakan hal itu sekarang.Pria itu menatap Evan dari atas sampai bawah, menyelidiki setiap inci dari tubuh Evan. Evan tampak seperti pria baik-baik meski memang sedikit berantakan.Kemeja biru yang kusut serta celana jins yang sepertinya sudah lama tidak ia ganti. Rambut pun di biarkan berantakan, ini bukan Evan yang seperti dulu. Yang selalu memikirkan soal penampilannya.Dia terlihat kacau.“Karina..” panggil Evan, suaranya menggeram seolah ada yang mena
Malam yang panjang untuk Karina. Dia duduk di kursi dekat dengan ruang makannya. Ditemani Nick yang sedang membuat teh hangat untuk Karina di seberang dapur.Pria itu belum berbicara apa pun sejak masuk ke dalam bangunan milik Karina. Dia menunggu sampai Karina mau bercerita sendiri.Segala hal kini masuk akal bagi Nick. Pantas saja Karina ketakutan, melihat mantan pacar yang lebih cocok disebut sebagai penguntit ulung di manapun dia berada.Nick tidak pernah terpikir bagaimana Karina sebelum pindah ke Boston. Pasti hidupnya sangat tersiksa.“Nick..” panggil Karina, dia melangkah mendekat pada kulkas dan menyandarkan kepalanya.Nick menoleh dan menatap mata Karina “Tidak usah cerita kalau memang kamu belum bisa.” Suara Nick dalam,tidak ada paksaan dan menenangkan.Seketika Karina tersenyum, kehadiran Nick memiliki efek menenangkan yang mujarab bagi Karina.Ibarat sebuah pohon beringin yang rindang. Karina bisa bersembunyi dari apa pun
Nick keluar dari konter dengan gerakan super cepat. Hanya dengan beberapa langkah dia bisa mencapai tempat Karina.Sekarang suana sangat tegang, hanya Evan yang tersenyum. Tidak ada yang bahagia dengan keberadaanya. Setidaknya bagi Karina dan Nick.Nick menarik Karina ke dekatnya “Mau apa lagi?” tegas Nick mengangkat dagunya. Nick lebih tinggi beberapa centi ketimbang Evan.Olivia tampak keheranan. Mereka seharusnya menyambut tamu dengan baik, bukan seperti ini. Tapi dia memilih bungkam. Dan menghampiri seorang pelanggan yang hendak memesan minuman.Evan mendekat ke arah Karina, tidak perduli dengan Nick yang tampak berang di sebelahnya. Otot di tangan Nick menonjol ketika Evan mencoba menyentuh lengan Karina.Evan mencondongkan tubuh dan memberikan bunga yang ia bawa kepada Karina. Bunga yang seharusnya membuat para gadis berbunga-bunga, mulai sekarang akan menjadi mimipi buruk bagi Karina.“Berhenti membuat ku malu,Evan.” ujar Karina, dia menaruh bunga itu ke atas meja kasir tanpa m
Brian berdiri di sebelah ranjang pemeriksaan Karina. Tubuhnya kaku, dia bergerak seperti seorang robot yang hanya bisa menatap Karina dengan penuh kebingungan. Dia bertanya-tanya, kapan wanita itu akan bangun? Kapan Karina bisa kembali dalam pelukannya? Apa Karina benar-benar sudah baik-baik saja?Semua itu terulang di kepala Brian ribuan kali. Hingga dirinya mulai muak.Seorang perawat membersihkan luka Karina dan menatap Brian sekilas. Perawat itu mengangkat sebelah alisnya.“Apa kita perlu melakukan tes SANE?” tanya perawat yang mengusap wajah Karina dengan handuk basah.“Semuanya. Lakukan visum dan cek lainnya agar bisa membuktikan bahwa pria itu telah melakukan kekerasan.” Nada penuh kebencian itu tidak bisa ia tutupi.Dengan gerakan cepat, perawat itu menaruh kain yang tadi ia pakai untuk mengusap Karina dan beralih ke sisi ranjang yang sebelahnya lagi.“Kalau begitu, aku akan membawanya. Hubungi wali sah-nya. Ini akan menjadi malam yang melelahkan.” Perawat itu menepuk pundak B
Tubuhku tidak pernah seringan ini. Aku tidak bermimpi buruk akhir-akhir ini. Sudah sebulan aku tinggal bersama Jonathan dan Sarah.Selama proses hukum masih berlangsung. Aku menjadi tahanan antara Jonathan dan Brian.Hubungan ku dengan Brian berjalan dengan lancar. Kami tidak meresmikan, tapi percaya padaku, kami saling membutuhkan satu sama lain.Apartemen ku sudah baik-baik saja. Namun,aku hanya akan diperbolehkan menginap di apartemen saat Brian juga tidur di sana. Selebihnya, aku harus tinggal di rumah ini.Kelebihannya adalah aku selalu mendapat santapan yang bergizi dan enak. Intinya,hidupku terjamin.Ian yang paling kerap menggolok ku. Dia tidak percaya kalau aku adalah orang yang amat manja. Dia mempertanyakan semua kemandirian ku yang terkesan palsu.Biarlah, kenyataanya aku memang masih takut sendirian.“Karina, aku sudah buatkan sarapan.” Panggil Jonathan.Tidak disangka-sangka, Jonathan begitu telaten dengan pekerjaan rumah. Mungkin karena Jonathan terbiasa tinggal sendiri
Setelah mandi, Brian meminta makan malam padaku. Beberapa barang Brian sudah ada di apartemen ku. Begitu juga barangku yang ada di apartemennya. Meski satu gedung, kami jarang tidur bersama.Paling hanya saling mengobrol sampai malam.Selebihnya, aku menemani Brian melukis hingga ketiduran dan saat aku terbangun. Brian baru aku tidur.Makanan yang aku suguhkan adalah pemberian Jonathan. Brian sangat menyukai makanan itu, dia selalu memuji masakan Brian tanpa terkecuali.Brian menaruh piring ke dalam wastefel sebelum ikut bergabung denganku di sofa sebelah jendela.Aku berusaha tidak mengungkit pembicaran soal Evan lagi. Toh tidak ada gunanya, aku terlanjur memberikan semua kekuasaan kepada Jonathan.“Karina, aku tidak ingin kamu memberikan maaf lagi pada pria itu.” Bisik Brian, dia memeluk ku dari belakang.Aku memutar tubuh, mendongak untuk melihat ekspresinya “Aku tidak mau memendam dendam,Brian. Aku hanya ingin menyerahkan semua ke pengadilan. Mengingat dia akan segera memiliki anak
Empat tahun setelah kepergian Karina, banyak hal yang berubah. Misalnya Nick yang memilih untuk tinggal di desa kecil di Toronto. Nick sempat tidak kuat saat tahun pertama kematian Karina. Dia sakit dan tidak memiliki semangat hidup.Akhirnya kedua kakaknya memutuskan untuk membawa Nick kembali ke Toronto.Dean sudah selesai kuliah, dia belum melanjutkan kuliahnya ke tahap S2, dia memilih kerja di perusahaan Brian setelah Brian memutuskan untuk pensiun dini.Jadi ada dua orang yang amat patah hati itu kehilangan arah setelah kehilangan wanita paling mereka cintai. Bagi Nick, Karina adalah segalanya, dunianya. Sementara untuk Brian, Karina adalah masa lalu yang bahkan tidak sempat mendengarkan ucapaan maaf darinya.Dean dan Jasmin memiliki hubungan lebih serius dari sebelumnya. Mereka tinggal bersama di rumah milik kedua orang tuanya. Belum ada pernikahan, karena sekarang Jasmin yang mengelola kafe dan sekarang juga memiliki toko bunga sendiri.Di sisi lain, Diana sedang menjadi dokter
Justin mengantar ibunya ke rumah lalu kembali ke rumah sakit untuk menjalankan tugasnya. Ibuku ngotot untuk bertemu dengan ibu Justin. Kini di rumahku sedang penuh dengan wajah-wajah wanita dewasa.Ibuku bersama dengan kedua kakak ayah yang sepertinya tidak akan pulang dalam waktu dekat ini. Mereka menolak pulang ke Toronto, hanya karena ibuku tidak mau di bawa diajak ke sana.Ibu Justin juga jadi sangat akrab dengan semua wanita di rumahku. Mudah sekali perempuan-perempuan ini mengakrabkan diri. Tidak sampai setengah jam, obrolan mereka sudah menjadi tidak terkontrol.Justin pernah bercerita kalau ibunya membuatkan beberapa kue kering untuk ibuku. Saat mereka membawa ke rumah, semua terkejut dengan kata beberapa dari Justin yang ternyata jumlahnya sangat banyak. Semua orang di rumahku mencobanya, mereka semua suka. Yah, walaupun akhirnya aku juga yang menghabiskan karena ibuku tidak boleh makan terlalu banyak gluten.Aku memejamkan mata di ujung ruang tamu. Suara sahut-sahutan menghi
Aku mendapat tempat magang yang tidak jauh dari rumah. Aku tetap mengambil kesempatan ini karena harus menepati janjiku pada Jasmin. Sebagai laki-laki aku tidak akan pernah ingkar dengan apa yang sudah aku sebutkan.Ibuku sudah tahu, dan dia salah satu orang yang paling mendukungku untuk mengambil keputusan ini. Ayah juga memuji kedewasaanku.Bukan tanpa sebab. Aku berani melakukan ini semua karena sadar bahwa nanti akan tiba saatnya aku yang menjadi kepala keluarga.Ada berapa banyak orang yang akan pada pundakku. Dan kalau aku menunjukan sisi lemahku, aku pasti akan terus berada di tempat dan tidak bisa melangkah lebih maju.Panutanku adalah kedua orang tuaku. Mereka tidak pernah menelantarkan aku dan Diana. Masa kecil kami, di hiasi dengan memori baik dan aku bangga dengan hal itu.Maka dari itu, sekarang moto hidupku adalah. Sedihku tidak boleh lebih lama dari helaan napasku.Aku sedang memindahkan beberapa kotak kardus dari gudang ke ruanganku. Isinya tidak terlalu spesial, tapi
Aku tidak bisa berhadapan dengan ibuku. Setelah, Dean pulang. Aku semakin betah mengurung diri di kamar. Aku hanya keluar untuk ke kampus dan setelah itu aku pulang. Mungkin benar, aku memang tidak tangguh dan kuat. Tapi bagaimana ini, aku benar-benar pengecut.Nyaliku ciut ketika berhadapan dengan ibuku.Dean masuk ke kamarku setelah aku mengambil segelas jus dari kulkas.“Masih tidak mau keluar, huh?”Aku mengangguk, kurebahkan tubuhku di ranjang “Sedang apa di sini?”Rasanya kepalaku mau pecah karena semua penghuni rumah ini mulai memberiku tekanan yang tidak bisa aku tahan lagi.Dean mengetuk-ngetuk meja belajarku “Kami mau mengajak mom foto keluarga. Dan, dad memintaku untuk mengajakmu.”Aku menghela napas panjang. Kutatap cermin yang ada di sebrangku. Dengan wajah ini, aku tidak ingin di foto. Mataku bengkak, dengan warna hitam di bawahnya.“Tunggu lima menit.” ujarku, berdiri dari ranjang.Dean meraih ganggang pintu tapi tidak menekannya “Diana, bisakah kau berhenti bersikap se
Selesai sudah liburan kami, ibu dan ayahku sedang mengemas barang sementara aku dan Jasmin membantu memasukan ke dalam mobil.Adikku yang baik itu sudah pulang lebih dulu dengan pacarnya. Tidak adil.Jasmin mendatangiku setelah selesai memasukan koper terakhir.“Kata mom, kita boleh pulang dulu. Mereka akan pulang nanti sore.” Jelasku pada Jasmin. Dia makin manja setelah tahu aku akan pergi magang.Jasmin mendongak dengan tatapan sendu “Dean, apa kita akan baik-baik saja? Maksudku, aku sudah sangat bergantung padamu. Tidak mudah ternyata melepaskanmu.”Aku memeluk gadis kecil itu kian erat “Tenang. Aku hanya pergi 6 bulan. Semua akan baik-baik saja.”Jasmin akhirnya mengangguk. Dia berjinjit untuk menerima ciumanku.Aku sungguh berharap hubungan kami akan berjalan lancar. Aku rela melakukan apa pun demi gadis ini.*** Beberapa bulan kemudian...Aku pulang ke rumah setelah menghabiskan hampir 4 bulanku di Toronto. Kedua bibiku ikut, mereka terkejut saat aku bercerita soal ibu yang te
Ibu dan ayahku tidak bisa pulang malam ini. Mereka terjebak badai yang tiba-tiba muncul, meski tidak ada peringatan tapi kalau aku lihat memang badai kali ini tidak terlalu parah. Hanya hujan disertai angin yang kencang. Mugkin karena ada di sebelah pantai, angin jadi terasa lebih kencang saat berhembus.Makan malam yang tadi Jasmin buat lebih istimewa dari makan yang aku berikan pada mereka tadi siang. Jasmin membuat beberapa masakan yang aku sendiri tidak tahu namanya. Aku yakin masakan itu cukup rumit.Kata Dean, Jasmin memang suka memasak. Salah satunya makanan manis, dia berjanji akan membuat kue untuk kami semua nanti.Satu hal yang aku sadari, saat kakakku bersama Jasmin. Dean bisa berubah menjadi versi terbaik dirinya. Apa aku juga seperti itu saat bersama Justin? Entahlah, aku hanya bisa merasakan kenyamanan saat bersama Justin.*** Justin menghampiriku di kamar saat dia selesai mandi. Rambutnya masih basah, sampai menetes ke pundaknya. Mata Justin menatapku yang tengurap di
Jasmin masuk ke kamarku setelah Justin keluar. Akhir-akhir ini aku menjadi semakin lengket dengan Jasmin. Dia juga tidak keberatan. Setelah aku menjelaskan kalau aku adalah pria yang penuh dengan kekhawatiran, Jasmin malah mencoba menenangkanku. Dan semua upayanya selalu berhasil.Dia duduk di sebelah ku, ranjang ini terlalu besar untuk kami. Seharusnya aku memakai kamar dengan ranjang yang lebih kecil. Lagian tidak masuk akal, ini bukan kamar utama, tapi kenapa memiliki ranjang king size.“Tadi aku bicara dengan Diana, dia terlihat biasa saja saat aku bilang ingin satu kamar denganmu.” Ucap Jasmin, terdengar jelas kalau dia sedikit terintimidasi dengan adikku.Aku tersenyum dan meraih jari-jarinya yang lentik “Dia memang seperti itu. Tapi percayalah, kalau dia tidak bilang dia membencimu, maka dia tidak begitu.”Jasmin menunduk menatap jemari kami yang saling bertautan “Atau karena aku miskin dan kamu kaya.”“Tidak.” Sahutku, memotong pembicaraanya “Diana tidak seperti itu, begitu ju
Kepalaku bergoyang-goyang ketika mobil Justin memasuki gelangang kapal feri yang masih sepi. Bagaiman tidak, kami berangkat pukul 7 pagi di saat semua orang masih tidur, aku malah harus menyebrangi lautan.Kami akan berlibur, tidak hanya berdua. Ada ibu dan ayahku, Dean dan Jasmin. Mereka sudah berangkat kemarin malam.Ayahku ingin mengajak kami berlibur mumpung ini jadwal libur panjang kuliah. Sebelum kami mulai sibuk sendiri, dia ingin menghabiskan waktu lebih banyak untuk keluarganya.Justin menawarkan diri untuk ikut, setelah hampir 6 bulan berpacaran dengannya. Dia semakin menyatu dengan keluargaku. Terutama ayahku, ayah selalu membanggakan Justin kepada teman-temannya.Apalagi setelah seorang teman ayah diperiksa oleh Justin saat Justin menjaga di rumah sakit.Kalau kalian tanya soal bagaimana hubunganku dengan Justin. Aku tidak bisa bercerita banyak, tapi aku mulai peduli padanya.Justin amat sibuk beberapa bulan ini. Tapi di jam sibuknya, aku selalu menyempatkan mendatanginya
Aku menatap pintu coklat itu setelah tertutup rapat. Mengantar Jasmin sudah menjadi keseharian yang tidak bisa aku hindar. Setelah melawati beberapa kali kencan dengannya. Aku merasa dia wanita yang pantas di lindungi.Jasmin tidak pernah menuntutuku, tidak juga meminta hal yang aneh-aneh meski kondisinya tidak seberuntung orang lain seusianya.Saat ibuku menawarkan pekerjaan sampingan di kafe miliknya, Jasmin langsung menyetujinya tanpa berpikir panjang. Impiannya adalah memiliki toko bunga sendiri.Jasmin juga bercerita dia sudah tidak memiliki ambisi untuk kuliah. Asal hutang kedua orang tuanya lunas, dia sudah cukup puas.Sekarang aku harus ke kampus, aku hampir lupa. Akhir-akhir ini aku benci ke kampus. Berpamitan dengan Jasmin membuatku merasa kekosongan yang tidak ingin kurasakan.Setelah aku sampai kampus, salah seorang dosenku berjalan dengan cepat menghampiriku. Dosen atau lebih terkenal sebagai profesor Brian.Dia meremas pundakku kencang “Apa kamu anak dari Karina?”Sepert