Rupanya tidak ada alasan khusus kenapa Brian mengajak Karina makan malam bersama. Brian berfikir hal ini lebih efisien.
Brian di paksa oleh mahasiswanya untuk mencoba makan di sana. Sepertinya itu adalah keputusan yang salah. Brian tidak menyukai tempat ramai.
Tapi,restoran ini benar-benar penuh sesak. Tidak ada tempat yang kosong. Tubuh Karina terdorong dan hampir terjungkal.
Brian mendekap Karina, mencegah tubuh gadis itu terjungkal. Brian melirik orang yang mendorong Karina,memelototi orang yang bahkan tidak sadar hampir mencelakai orang lain.
Ada desisan yang membuat Karina berdegik ngeri. Dia mencengkkram tangan Brian.
“Terima kasih.” Pekik Karina sembari tersenyum.
Rahang Brian masih menegang, dia belum melepaskan tubuh Karina. Matanya berapi-api.
“Brian..” panggil Karina, cengkramannya kini mulai mengendur.
Barangkali Brian tidak mendengar, Karina kembali memanggil nama pria itu, kini lebih nyaring dari sebelumnya.
<Merdeka adalah,ketika Evan tidak muncul juga meski sudah dua minggu setelah Gina memberi kabar mengejutkan itu. Harapan Karina adalah Evan tidak akan pernah muncul lagi di dalam hidupnya.Kembalinya Brian juga membuat Karina merasa lega, setidaknya dia tidak akan sendirian di apartemen saat kafe sudah tutup.Berat badan Karina kembali turun, Brian mengomelinya cukup banyak saat pertama kali melihat Karina.Karina menganggap omelan itu sebagai bentuk perhatian dari Brian. Karena memang sejauh ini,Brian memakai kalimat yang tidak menyakitkan Karina.Siang itu, Karina hanya dengan Nick yang menjaga kafe berdua. Olivia sedang ujian, dia mendapat ijin selama seminggu dari Karina.Padahal Olivia hanya ingin ijin selama 3 hari. Karina tetap Karina, dia tidak ingin membuat orang lain kerepotan, dia tetap memberikan sisa gaji untuk Olivia meski gadis itu sedang tidak bekerja.Karina baru sadar, sedari tadi Nick menatap wajahnya sembari tersenyum. Dia
Ruangan Brian lebih berwarna, ada beberapa lukisan bergaya Ekspresionisme. Harus Karina akui, Brian pandai dalam melukis. Meskipun dia tidak tau soal seni sama sekali.Belum ada seseorang yang Brian undang ke ruang pribadinya. Sejauh ini, Brian selalu menghindari tamu. Dia bahkan tidak bergaul dengan dosen lainnya.Dia tidak begitu tertarik dengan konsep itu.“Kamu seorang pelukis?” tanya Ian dengan nada kagum.Brian menggeleng “Aku dosen.” Tas selampangnya kini tergantung di belakang pintu “Tapi aku memiliki hobi melukis,Ian.”Paru-paru Karina harus bekerja keras melihat senyuman Brian barusan. Dia tersipu, dan sedetik kemudian tersadar. Dia sedang tertarik kepada Brian.Masih dalam penyangkalan Karina, gadis itu berfikir perasaan ini hanya bersifat sementara.Ian menyengir saat melihat lukisan wanita yang tertidur dengan wajah yang menangis “Ini terlihat seperti dirimu,Karina.” Dia menunjuk Karina sembari melontarkan candaan itu.
Sudah seminggu Ian menginap di apartemen Karina, meski situasinya mulai membaik. Ian tetap belum memberi restu kepada Jonathan dan Sarah.Ian hanya mulai mau bertemu dengan Jonathan.Jangan tanya soal hubungan Karina dengan Brian. Pria itu harus ke sebuah universitas untuk mencari dana hibah bagi para mahasiswanya. Kehidupan para ilmuan bergantung dari sana, dan Brian tidak mau menelantarkan mahasiswanya demi dirinya sendiri.Dia tidak akan di Boston setidaknya dua minggu kedepan. Brian juga bukan orang yang gemar berkirim pesan.Jadi begitulah, Karina hanya sibuk mengurus kafe dan Ian. Tidak ada hal lain yang menyita waktunya selain kedua hal tersebut.Pagi itu, Ian sedang bersiap ke sekolah. Dia berjanji hari ini akan menjadi hari terakhinya menginap di rumah Karina. Sarah juga terlalu sering meminta maaf,padahal itu sama sekali tidak perlu.Dia senang ada Ian di apartemennya.Kehadiran Ian membawa dampak yang cukup baik bagi Karina
Bibir Karina kelu,dia hanya bisa berpegngan pada lengan Brian.Paru-paru Karina meronta meminta udara saat gadis itu tercekat. Sesak nafas yang tidak bisa Karina jelaskan. Sensasi ini hanya bisa di timbulkan saat dia bertemu dengan Evan.Selama beberapa detik hening, Karina tidak berani mengangkat kepalanya. Untung saja Brian cukup tinggi untuk menutupi tubuhnya.Brian menarik Karina, memeluk dengan erat, memastikan gadis itu baik-baik saja. Meski Brian tau kalau Karina tidak akan merasakan hal itu sekarang.Pria itu menatap Evan dari atas sampai bawah, menyelidiki setiap inci dari tubuh Evan. Evan tampak seperti pria baik-baik meski memang sedikit berantakan.Kemeja biru yang kusut serta celana jins yang sepertinya sudah lama tidak ia ganti. Rambut pun di biarkan berantakan, ini bukan Evan yang seperti dulu. Yang selalu memikirkan soal penampilannya.Dia terlihat kacau.“Karina..” panggil Evan, suaranya menggeram seolah ada yang mena
Malam yang panjang untuk Karina. Dia duduk di kursi dekat dengan ruang makannya. Ditemani Nick yang sedang membuat teh hangat untuk Karina di seberang dapur.Pria itu belum berbicara apa pun sejak masuk ke dalam bangunan milik Karina. Dia menunggu sampai Karina mau bercerita sendiri.Segala hal kini masuk akal bagi Nick. Pantas saja Karina ketakutan, melihat mantan pacar yang lebih cocok disebut sebagai penguntit ulung di manapun dia berada.Nick tidak pernah terpikir bagaimana Karina sebelum pindah ke Boston. Pasti hidupnya sangat tersiksa.“Nick..” panggil Karina, dia melangkah mendekat pada kulkas dan menyandarkan kepalanya.Nick menoleh dan menatap mata Karina “Tidak usah cerita kalau memang kamu belum bisa.” Suara Nick dalam,tidak ada paksaan dan menenangkan.Seketika Karina tersenyum, kehadiran Nick memiliki efek menenangkan yang mujarab bagi Karina.Ibarat sebuah pohon beringin yang rindang. Karina bisa bersembunyi dari apa pun
Nick keluar dari konter dengan gerakan super cepat. Hanya dengan beberapa langkah dia bisa mencapai tempat Karina.Sekarang suana sangat tegang, hanya Evan yang tersenyum. Tidak ada yang bahagia dengan keberadaanya. Setidaknya bagi Karina dan Nick.Nick menarik Karina ke dekatnya “Mau apa lagi?” tegas Nick mengangkat dagunya. Nick lebih tinggi beberapa centi ketimbang Evan.Olivia tampak keheranan. Mereka seharusnya menyambut tamu dengan baik, bukan seperti ini. Tapi dia memilih bungkam. Dan menghampiri seorang pelanggan yang hendak memesan minuman.Evan mendekat ke arah Karina, tidak perduli dengan Nick yang tampak berang di sebelahnya. Otot di tangan Nick menonjol ketika Evan mencoba menyentuh lengan Karina.Evan mencondongkan tubuh dan memberikan bunga yang ia bawa kepada Karina. Bunga yang seharusnya membuat para gadis berbunga-bunga, mulai sekarang akan menjadi mimipi buruk bagi Karina.“Berhenti membuat ku malu,Evan.” ujar Karina, dia menaruh bunga itu ke atas meja kasir tanpa m
Brian berdiri di sebelah ranjang pemeriksaan Karina. Tubuhnya kaku, dia bergerak seperti seorang robot yang hanya bisa menatap Karina dengan penuh kebingungan. Dia bertanya-tanya, kapan wanita itu akan bangun? Kapan Karina bisa kembali dalam pelukannya? Apa Karina benar-benar sudah baik-baik saja?Semua itu terulang di kepala Brian ribuan kali. Hingga dirinya mulai muak.Seorang perawat membersihkan luka Karina dan menatap Brian sekilas. Perawat itu mengangkat sebelah alisnya.“Apa kita perlu melakukan tes SANE?” tanya perawat yang mengusap wajah Karina dengan handuk basah.“Semuanya. Lakukan visum dan cek lainnya agar bisa membuktikan bahwa pria itu telah melakukan kekerasan.” Nada penuh kebencian itu tidak bisa ia tutupi.Dengan gerakan cepat, perawat itu menaruh kain yang tadi ia pakai untuk mengusap Karina dan beralih ke sisi ranjang yang sebelahnya lagi.“Kalau begitu, aku akan membawanya. Hubungi wali sah-nya. Ini akan menjadi malam yang melelahkan.” Perawat itu menepuk pundak B
Tubuhku tidak pernah seringan ini. Aku tidak bermimpi buruk akhir-akhir ini. Sudah sebulan aku tinggal bersama Jonathan dan Sarah.Selama proses hukum masih berlangsung. Aku menjadi tahanan antara Jonathan dan Brian.Hubungan ku dengan Brian berjalan dengan lancar. Kami tidak meresmikan, tapi percaya padaku, kami saling membutuhkan satu sama lain.Apartemen ku sudah baik-baik saja. Namun,aku hanya akan diperbolehkan menginap di apartemen saat Brian juga tidur di sana. Selebihnya, aku harus tinggal di rumah ini.Kelebihannya adalah aku selalu mendapat santapan yang bergizi dan enak. Intinya,hidupku terjamin.Ian yang paling kerap menggolok ku. Dia tidak percaya kalau aku adalah orang yang amat manja. Dia mempertanyakan semua kemandirian ku yang terkesan palsu.Biarlah, kenyataanya aku memang masih takut sendirian.“Karina, aku sudah buatkan sarapan.” Panggil Jonathan.Tidak disangka-sangka, Jonathan begitu telaten dengan pekerjaan rumah. Mungkin karena Jonathan terbiasa tinggal sendiri