Like, komen, and share. Update Senin-Jum'at, kalau rajin Sabtu dan Minggu juga update. Terimakasih sudah membaca cerita ini, pantau terus sampai akhir ya.
"Ha~, lembur dadakan," oceh Sukma begitu turun dari mobil online pesanannya. Tidak seperti biasanya yang lebih senang menggunakan ojek online karena harganya lebih bersahabat, malam ini Sukma terpaksa mengeluarkan uang lebih untuk memesan mobil online karena ia sangat kelelahan. Padahal jam baru menunjukan pukul 09.00 malam, namun Sukma terlihat seperti karyawan yang melakukan kerja lembur sampai tengah malam. Saat hendak naik lift, Sukma begitu terkejut karena melihat Fikri juga memarkirkan mobil di pekarangan rumah. Sukma segera membenarkan posisinya berjalan, lebih tegak dan tidak loyo seperti sebelumnya. Seperti tidak melihat apapun, Fikri mengabaikan keberadaan Sukma yang berdiri di sampingnya. Begitupun dengan Sukma, ia mencoba mengabaikan Fikri sampai keduanya masuk ke dalam rumah dan berjalan menuju ruang tengah dengan santai. Sampai sesuatu membuat Sukma penasaran, sebuah tanda merah yang jelas terlihat sekilas oleh ekor matanya. Sebuah tanda merah yang menarik perhatiann
"Ada apa lagi?" tanya Chintya dengan wajah lemas, kala menemukan Sukma menatap komputernya dengan tatapan kosong. Tentu saja tidak ada jawaban dari temannya itu, ia terlalu sibuk dengan pemikirannya hingga tidak bisa mendengar apapun suara yang datang dari luar. Selama beberapa hari ini, Sukma merasakan kosong. Meski sudah memiliki suami, ia merasa hidup sendiri. Kadang, rumah yang ia tinggali terasa seperti berhantu. Sukma bahkan sampai menggulung selimut sampai ke kepalanya kala mulai merasakan perasaan aneh, seperti melihat bayangan di jendela atau merasa ada suara yang datang begitu saja. Alhasil, ia jadi tidak bisa tidur dengan nyaman. Kondisi rumahnya sangat berbeda saat ada Fikri, meski keduanya tidur terpisah, namun Sukma merasa aman dan tidak merasakan ada hal yang menakutkan. "Ha~" Kembali terdengar helaan nafas, membuat Chintya berdecak dan mendekat ke meja Sukma. "Woi! Udah jam makan siang nih, jangan bengong aja!" Sukma tersentak, hampir saja terlonjak karena saking
Seorang gadis dengan pakaian sederhana, begitu terkejut saat merasakan sebuah tangan menggenggamnya dari belakang. Begitu menoleh, ia mendapati seorang pria tinggi dengan perawakan yang diidamkannya, kulit mulus, senyum senantiasa terpancar di wajahnya.Pria itu menatap Sukma dengan penuh kasih, membelai pipinya lembut, kemudian mengecup keningnya dengan penuh kasih sayang. Sukma hanya diam, ia bingung dengan adegan yang sedang dilakukannya. Ia tidak kenal pria itu, namun sudah beberapa hari ia bertemu dengannya dan melakukan adegan sama... dalam mimpinya.Ada rasa nyaman saat tangannya digenggam pria itu, Sukma tersenyum. Keduanya berjalan beriringan menuju sebuah tempat yang tidak terlihat, dipenuhi cahaya menyilaukan membuat Sukma memejamkan mata.Lalu saat matanya terbuka, cahaya lampu kamar temaram menyambutnya. Sukma mengerang, mengedarkan pandangan ke sekitar.Ia menghela nafas, merasa kecewa. "Mimpi itu lagi," gumamnya sambil memegang dadanya yang terasa sakit.
“Haa~aaah.” 'Mulai lagi,' batin Sukma saat mendengar ibunya mengeluh panjang. “Punya anak perawan, kerjaannya cuma tiduuur seharian. Gimana mau dapet jodoh, kalo kerjaannya cuma rebahan.” Seperti biasa, omelan sang ibu membuat Sukma mendelik. “Jodoh itu udah ada yang ngatur, Bu. Lagian kan hari ini memang libur, jadi wajar dong kalo aku nggak kerja dan cuma rebahan.” Sang ibu yang tengah sibuk di dapur membuat kue, mendelik ke arah anaknya yang berada di ruang tengah. “Tetep harus diusahain, kalo kamu nggak gerak, ya nggak bakal dateng tuh jodoh.” Mata Sukma berputar jengah. “Anak Bu Lia dapet jodoh tuh, walau nggak gerak.” “Karena dijodohin,” balas ibunya cepat membuat Sukma langsung menghela nafas lelah. “Kalo gitu kamu harusnya mau Ibu jodohin sama anaknya temen Ibu.” “Kenapa tiba-tiba bahas soal jodoh jodohan,” kesal Sukma yang langsung merubah posisinya menjadi duduk. Tidak bisa dipungkiri, saat membahas soal jodoh, darah Sukma jadi naik hingga ke ubun-ubun. “Memangnya
Sukma mengusap wajahnya beberapa kali, matanya menatap lurus ke depan memandangi dedaunan yang jatuh dan terinjak oleh pejalan. Meski taman sore itu terlihat cukup ramai, namun ia tidak bisa mendengar suara apapun selain ucapan Hanan saat di cafe tadi. Gue mau tunangan sama Sisil, doain ya biar lancar sampai hari pernikahan. 'Oh, shit!' Jerit Sukma yang hanya bisa dituangkan dalam hatinya. Ia mengerang kesal, membuat beberapa pasang mata menatapnya dengan bingung. "Padahal gue udah berharap banget, kenapa tiba-tiba Hanan tunangan sama Sisil?" gerutunya sambil memeluk lutut, Sukma tengah duduk di salah satu kursi taman itu. "Sisil? Dia itu siapa sih, gue aja nggak kenal. Padahal selama di kantor, kayaknya dia udah kelihatan suka banget sama gue, tapi kenapa tiba-tiba udah mau tunangan aja. What the hell!" cerocosnya, ia sudah tidak peduli lagi jika ada orang lain yang mendengar ocehannya itu. Sukma mendengus kesal, mengacak rambutnya asal. Para pejalan yang kebetulan tengah melewat
“Bu, aku keluar ya!” seru Sukma sambil menuruni tangga, ia sudah mengenakan jaket dan kaos oblong serta celana olahraga. “Mau kemana? Udah malem,” balas sang ibu yang langsung beranjak ke luar rumah dan menghampiri Sukma yang tengah mengenakan sandal. “Mau jajan, Ibu mau nitip?” Sejenak ibunya terdiam, kemudian tersenyum. “Boleh deh, minyak, tepung, sama gula ya. Udah pada abis.” Dahi Sukma mengerut. “Kan aku bilang mau jajan, bukan ke warung. Nitip yang bisa dimakan kek,” kesalnya. “Itu juga bisa dimakan, udah ah.” Sang ibu kembali masuk ke dalam, membuat Sukma mendengus dan beranjak begitu saja dengan raut tidak mengenakan. 'Udah dibilang mau jajan, malah nitip begituan. Jadi harus ke warung juga,' batinnya kesal. Untuk meredakan kekesalan di hati, makan memang solusi terbaik. Ada banyak pedagang di daerah tempat tinggal Sukma, sehingga ia tidak perlu repot pergi jauh jika hanya untuk membeli jajanan. Mulai dari pedagang cemilan populer hingga jadul, berjejer rapi di sekita
“HAH?!” Fikri mengelap wajahnya membuat Sukma sadar jika air yang ada di mulutnya telah keluar dan menyembur tepat ke wajah pria itu. “Ah, maaf, maaf!” paniknya seraya mengambil tisu, mencoba membersihkan sisa air yang masih menempel di wajah Fikri. Namun sebelum tangannya menyentuh wajah Fikri, pria itu mengisyaratkan agar Sukma kembali duduk. Ia mengelap sendiri wajahnya dengan tisu, kemudian kembali menatap Sukma dengan tenang. Wajah Sukma terlihat sangat bersalah, namun ia duduk kembali sesuai dengan apa yang diminta oleh Fikri. “Jadi apa jawaban kamu?” Tidak ada jawaban, Sukma terlihat begitu bingung dengan pertanyaan itu. Otaknya masih melayang pada semburan air dari mulutnya yang mengenai wajah pria tampan di hadapannya, Sukma benar-benar merasa bersalah. Karena tidak mendapat jawaban apapun, Fikri menjentikan jarinya beberapa kali di hadapan Sukma. “Hah? A-ah, apa?” Sukma bereaksi agak lama. “Jadi,” Fikri menghela nafas. “Apa jawaban kamu?” tanya pria itu sekali lagi,
Meski awalnya tidak percaya dengan lamaran dadakan yang dilayangkan pria yang baru saja dikenalnya, namun Sukma tetap memikirkan lamaran itu dengan serius. Ia bahkan mulai membayangkan membangun rumah tangga dengan Fikri, sebelum tersadar dan memukul kepalanya keras. “Apa-apaan sih gue, belum juga nikah udah mikir ke yang lain.” Sukma menghela nafas kasar, memeluk gulingnya erat. “Tapi… apa salahnya sih dicoba.” “Tapi masa nerima lamaran gitu aja, gengsi dong. Tapi…” Dan masih banyak kalimat tapi lainnya yang membuat Sukma hanya uring-uringan malam itu. Beberapa hari berlalu, tidak ada kabar dari Fikri membuat Sukma terus saja menghela nafas. Ia merasa lega, namun juga kecewa. Chintya yang duduk di sebelahnya terus saja melirik Sukma, ia merasa ada yang aneh dengan tingkah temannya itu. “Jangan bilang loe nggak terima gara-gara Hanan tunangan, ya?” Sukma begidik, saat mendengar bisikan Chintya tepat di telinganya. “Apaan sih, pake bisik-bisik segala.” “Gue tanya loe nggak terima
"Ada apa lagi?" tanya Chintya dengan wajah lemas, kala menemukan Sukma menatap komputernya dengan tatapan kosong. Tentu saja tidak ada jawaban dari temannya itu, ia terlalu sibuk dengan pemikirannya hingga tidak bisa mendengar apapun suara yang datang dari luar. Selama beberapa hari ini, Sukma merasakan kosong. Meski sudah memiliki suami, ia merasa hidup sendiri. Kadang, rumah yang ia tinggali terasa seperti berhantu. Sukma bahkan sampai menggulung selimut sampai ke kepalanya kala mulai merasakan perasaan aneh, seperti melihat bayangan di jendela atau merasa ada suara yang datang begitu saja. Alhasil, ia jadi tidak bisa tidur dengan nyaman. Kondisi rumahnya sangat berbeda saat ada Fikri, meski keduanya tidur terpisah, namun Sukma merasa aman dan tidak merasakan ada hal yang menakutkan. "Ha~" Kembali terdengar helaan nafas, membuat Chintya berdecak dan mendekat ke meja Sukma. "Woi! Udah jam makan siang nih, jangan bengong aja!" Sukma tersentak, hampir saja terlonjak karena saking
"Ha~, lembur dadakan," oceh Sukma begitu turun dari mobil online pesanannya. Tidak seperti biasanya yang lebih senang menggunakan ojek online karena harganya lebih bersahabat, malam ini Sukma terpaksa mengeluarkan uang lebih untuk memesan mobil online karena ia sangat kelelahan. Padahal jam baru menunjukan pukul 09.00 malam, namun Sukma terlihat seperti karyawan yang melakukan kerja lembur sampai tengah malam. Saat hendak naik lift, Sukma begitu terkejut karena melihat Fikri juga memarkirkan mobil di pekarangan rumah. Sukma segera membenarkan posisinya berjalan, lebih tegak dan tidak loyo seperti sebelumnya. Seperti tidak melihat apapun, Fikri mengabaikan keberadaan Sukma yang berdiri di sampingnya. Begitupun dengan Sukma, ia mencoba mengabaikan Fikri sampai keduanya masuk ke dalam rumah dan berjalan menuju ruang tengah dengan santai. Sampai sesuatu membuat Sukma penasaran, sebuah tanda merah yang jelas terlihat sekilas oleh ekor matanya. Sebuah tanda merah yang menarik perhatiann
Tidak ada reaksi dari Fikri membuat Sukma jadi kebingungan, ia ingin sekali mendekat dan melihat reaksi pria itu yang mungkin saja terlalu syok dengan apa yang dikatakannya barusan. 'Gue salah, ya?' batinnya sambil meringis. 'Harusnya gue nunggu waktu yang tepat, seenggaknya sampe gue baikan sama Fikri.' Di detik ini, Sukma mulai merasa menyesal. Meski sangat penasaran, harusnya ia membicarakan hal sepenting itu dalam keadaan tenang. Raut wajahnya mulai tidak karuan, ingin meminta maaf namun egonya menghalangi. "I-itu...," Sukma terlihat merasa amat bersalah. "I-itu mu-mungkin aja saya salah lia...." "Kamu nggak salah liat," Fikri menghela nafas, berbalik dan menatap Sukma dengan wajah yang terlihat biasa. Sukma amat terkejut, karena berbanding dengan reaksi Fikri berbanding dengan perkiraannya. 'Dia sama sekali nggak nyangkal dan malah kelihatan biasa aja?' berarti yang Sukma bertanya-tanya, matanya melongo menatap Fikri yang terlihat menghela nafas sekali lagi. "Ka-kamu...?"
Sukma jadi pendiam setelah keluar dari kamar mandi, Gladis dan Chintya jadi kebingungan kala melihat wajah pucat Sukma dan menyangka jika temannya itu kerasukan. "Loe yakin nggak kerasukan?" tanya Gladis sekali lagi, membuat Sukma mendelik dan mendengus kasar. "Kalau gue kerasukan, gue udah cakar muka loe!" Bibir mungil Gladis maju beberapa senti, matanya menatap ke arah Chintya seperti meminta pertolongan. Namun tentu saja, Chintya hanya melemparkan senyum dan mengangkat bahunya. "Lagian loe kenapa? Sakit? Muka loe pucet banget abis dari toilet," Chintya juga merasa khawatir dengan tingkah Sukma yang jadi aneh. Namun ia tidak pernah berfikir konyol seperti Gladis, mengira-ngira jika Sukma kerasukan. Seberapapun Gladis dan Chintya bertanya, Sukma hanya diam dan hanya menimpali seadanya. Bahkan setelah keduanya mengantarkan Sukma ke rumahnya, temannya itu masih tidak mau berbicara dan masuk ke gerbang rumah begitu saja tanpa pamit. "Dia nggak bener-bener kerasukan, kan?" Gladis ma
"Kalau nggak suka, harusnya jangan senyumin gue. Jadi kan gue nggak salah faham, malu-maluin banget." Gladis masih saja menggerutu, bahkan setelah ketiganya masuk ke dalam bioskop dan duduk di kursi baris ke 3 dari belakang. Sedangkan pemuda yang sedari tadi ditatapnya, duduk di baris ke 5 dari bagian belakang. Jadi, ia bisa melihat dengan jelas tingkah pemuda yang sebelumnya amat menarik perhatiannya. Pemuda itu terlihat mengusap wajah wanita di sampingnya dengan lembut, bahkan sempat mencium bahunya hingga membuat Gladis semakin kesal. "Kalau mau mesra-mesraan, harusnya di kamar hotel. Mesra-mesraan di bioskop," geram Gladis, matanya terus saja menatap tajam ke arah pemuda yang kini mulai merangkul wanita di sampingnya. Gladis terus saja mengeram, ia terlihat amat kesal dengan tingkah dua sejoli yang diketahuinya adalah pasangan itu. Chintya hanya terus menghela nafas, mencoba untuk menghiraukan Gladis yang marah-marah tidak jelas karena tingkah pasangan yang bahkan tidak diketah
Sukma bisa bernafas lega, untuk kali ini. Sesuai dengan perkiraannya, Hanan memang memberikan surat undangan pernikahan sekaligus basa basi dengannya yang menikah lebih dulu. "Kirain gue yang ngejutin loe, ternyata loe yang ngejutin gue. Pake nikah dadakan," kekeh Hanan sambil terus menyuap nasi goreng kesukaannya. Sukma ikut terkekeh, suasana hatinya semakin membaik terlebih saat menerima undangan pernikahan Hanan. "Gue juga nggak nyangka, tapi mo gimana, emang udah jodoh kali." 'Jodoh?' cebik Sukma dalam hati. 'Jodoh yang dipaksakan dan sekarang gue nyesel.' "Tapi bener loh, gue bener-bener nggak nyangka. Loe kenalan sama dia dimana?" tanya Hanan penasaran, sudah lama ia memikirkan hal itu. Terlebih, sebelumnya Hanan tidak pernah tahu jika ada pria yang dekat dengan Sukma. Kalaupun ada, Hanan pasti tahu dari Gladis yang entah mengapa selalu memberikan info mengenai Sukma. Mendadak Sukma diam mendengar pertanyan itu, bingung harus menjawab apa. "Ke-kenalan di... mimpi?" Dahi H
"Hah? Ma...." Fikri berjalan mendekat, wajahnya didekatkan tepat di telinga Sukma. "Kalau begitu, selamat tidur istriku." Tanpa rasa bersalah, Fikri berjalan menuju kamarnya, meninggalkan Sukma yang mematung dengan seribu tanda tanya di kepalanya. Gadis itu masih mencoba mencerna apa yang dikatakan Fikri sebelumnya, tentang pernikahan siri yang mungkin dilakukannya tanpa sadar. Matanya menatap kosong ke arah lantai yang sebelumnya dijadikan tempat Fikri berdiri, wajah Sukma mirip patung karena tidak menampilkan ekspresi apapun. Datar. 'Ma-maksudnya?' Sukma tidak bereaksi, lebih tepatnya tidak bisa bereaksi. Ia melakukan sebuah kesalahan, kesalahan besar dalam pernikahan. Seharusnya ia memang menolak pernikahaan itu, apapun alasannya. Harusnya ia tidak peduli dengan apa yang dilakukan ibunya, tidak peduli jika undangan sudah tersebar ke para tetangga atau bahkan kerabat jauhnya sudah datang ke rumahnya untuk ikut merayakan hari pernikahannya, tidak peduli jika ia harus menanggung
Sukma tergesa turun ke lobi, memesan taksi offline agar lebih cepat pergi meninggalkan tempat itu dengan segera. Tidak ada hal yang ingin dilakukannya selain segera sampai rumah, menenangkan tubuhnya yang bergetar hebat setelah mendengar fakta yang sama sekali tidak disangkanya. Makanan mahal yang terlanjur dipesannya, dibiarkan begitu saja. Ia terlalu syok jika harus melanjutkan makan siangnya di kondisi seperti itu. Saat sampai rumah, beberapa kali Sukma hampir saja oleng. Tangannya bergetar hebat kala hendak mengambil air minum di gelas, membuatnya mengurungkan niatnya dan duduk di sofa ruang tengah dengan nafas terengah. “Sial!” umpatnya sambil memegang kepalanya kuat, menjambak rambutnya sendiri namun tidak membuat perasaan Sukma semakin lebih baik. “Harusnya gue tau dari gelagatnya, Fikri nggak mungkin belum nikah.” Sebelumnya, wanita cantik yang wajahnya sangat dikagumi Sukma mengenalkan diri. Bukan perkenalan biasa, sebuah perkenalan yang membuat Sukma melongo. Wanita canti
Plak! Sebuah tamparan mendarat di pipi mulus Fikri, membuatnya meringis namun terkekeh pada akhirnya. Ia menatap Sukma dengan tajam. “Apa yang Anda lakukan!” pekik Sukma seraya mengusap kasar bibirnya yang masih basah, matanya melotot sempurna karena begitu terkejut dengan apa yang dilakukan Fikri barusan. “Saya hanya mengabulkan permintaan kamu, salah lagi?” “Bukan itu,” Sukma tercekat. “Bukan begini, kita sedang bicara. Saya hanya ingin mendengar jawaban, bukan hal seperti itu.” “Saya malas menjawab dengan kalimat panjang lebar,” Fikri melangkah semakin dekat membuat Sukma mundur beberapa langkah. “Jadi saya gunakan tindakan untuk menjawab pertanyaan kamu, itu lebih cepat.” Gigi Sukma bergemeletuk, wajahnya terlihat amat marah. Bukan hanya pada apa yang dilakukan suaminya barusan, namun pada sikap kurang ajar pria yang dulu sempat dianggapnya sebagai pangeran. “Kenapa saya mau menikah dengan pria brengsek seperti Anda!” geram Sukma yang membuat Fikri menatapnya lebih tajam. ‘