Sukma mengusap wajahnya beberapa kali, matanya menatap lurus ke depan memandangi dedaunan yang jatuh dan terinjak oleh pejalan. Meski taman sore itu terlihat cukup ramai, namun ia tidak bisa mendengar suara apapun selain ucapan Hanan saat di cafe tadi.
Gue mau tunangan sama Sisil, doain ya biar lancar sampai hari pernikahan.
'Oh, shit!' Jerit Sukma yang hanya bisa dituangkan dalam hatinya. Ia mengerang kesal, membuat beberapa pasang mata menatapnya dengan bingung.
"Padahal gue udah berharap banget, kenapa tiba-tiba Hanan tunangan sama Sisil?" gerutunya sambil memeluk lutut, Sukma tengah duduk di salah satu kursi taman itu.
"Sisil? Dia itu siapa sih, gue aja nggak kenal. Padahal selama di kantor, kayaknya dia udah kelihatan suka banget sama gue, tapi kenapa tiba-tiba udah mau tunangan aja. What the hell!" cerocosnya, ia sudah tidak peduli lagi jika ada orang lain yang mendengar ocehannya itu.
Sukma mendengus kesal, mengacak rambutnya asal. Para pejalan yang kebetulan tengah melewatinya terlihat ketakutan, mereka terburu pergi sambil menatap Sukma dengan wajah ngeri.
Wajar jika emosi Sukma tengah naik, pria yang dianggap menyukainya ternyata akan bertunangan dengan wanita lain yang bahkan bukan teman sekantor atau dikenal Sukma.
Seingatnya, Hanan tidak pernah menyinggung nama Sisil. Di setiap waktu saat mengobrol dengan Sukma, nama itu tidak pernah muncul. Teman kantor lainnya juga tidak pernah menyinggung nama itu, tapi tiba-tiba pria yang selalu bersikap manis kepada Sukma selama ia bekerja di kantor, menyerahkan undangan atas namanya dan Sisil.
"Dia baikin gue karena gabut doang apa gimana, sih?!" kesal Sukma sambil melotot, entah apa yang dipelototinya, nada suaranya mulai meninggi. "Kalau misalkan udah punya calon, kenapa sikapnya baik banget ke gue?! Apa gue aja yang terlalu baper?”
Sukma terdiam, ia merasa tidak ada yang salah jika terbawa perasaan. Sikap Hanan terlalu baik untuk dianggap wajar, semua wanita pasti mengira Hanan menyukainya jika tau seperti apa sikapnya pada Sukma.
“Ah, sial!" pekik Sukma.
Mata semua orang mulai fokus kepadanya, namun Sukma tidak peduli dan hanya mengabaikan orang-orang yang menatapnya dengan wajah bingung.
Setelah emosinya agak mereda, barulah Sukma merasa malu dengan tingkahnya yang berbicara sendiri dan menjerit seperti orang kerasukan di area taman.
'Ish! Malu,' batin Sukma seraya menutupi wajahnya.
Sukma segera beranjak dari tempat itu dan hendak pergi, namun matanya menangkap sosok wajah yang sangat familiar tengah duduk di salah satu bangku taman.
"E-eh, itu kan…."
Sejenak perasaan marahnya hilang tiba-tiba, saat melihat sosok pria yang sangat mirip dengan pria yang selalu ada di mimpi.
'Jangan bilang dia benar-benar jodoh gue,' batin Sukma Seraya terus menatap pria itu. 'Tiga malem mimpi berturut-turut, apalagi coba kalau bukan pertanda.'
Senyum mengembang terbit di wajah Sukma begitu saja, ia menutup mulut tidak percaya.
'Ya Allah, kenapa engkau baik sekali. Baru aja dikecewain sama cowok inceran, eh udah dikasih cowok yang lebih lebih lebih lebih lebiiiih dari sebelumnya. Makasih ya Allah,' batin Sukma.
Memang benar apa yang dikatakan Sukma, pria yang tengah duduk dengan tatapan lembut itu sangat tampan, perawakannya sangat diidamkan oleh kaum hawa, pakaiannya sangat elegan dikenakan, rambutnya hitam pekat, seperti sosok pria sempurna yang selalu dimintanya dalam do’a setelah sholat lima waktu.
Jika dibandingkan dengan Hanan, pria itu memiliki kelebihan yang lebih. Meski Sukma sendiri mengakui, Hanan sangat tampan dan manis.
Sukma hendak beranjak, mencoba mendekati pria itu. Namun langkahnya terhenti segera saat melihat seorang wanita datang melambai ke arah pria yang duduk itu, menampilkan wajah dengan senyum bahagia.
Pria itu membalas dengan senyum tidak kalah bahagia, kemudian keduanya berpelukan. Pemandangan itu membuat hati Sukma langsung merosot, seperti dilemparkan dari langit ke bumi.
Harapan memang berbahaya.
'Aish, sial!' Gerutunya dalam hati, matanya tidak berhenti melihat ke arah sejoli yang sudah beranjak pergi.
Sukma masih terdiam di tempat, wajahnya terlihat kesal. Namun ia memikirkan sesuatu….
'Eh tapi tunggu dulu, bisa aja itu adiknya atau mungkin sepupunya, saudaranya, apalah…,' sangkal Sukma dalam hati.
'Pokoknya gue harus mastiin, tuh cewek bukan siapa-siapanya pangeran yang ada dalam mimpi gue.'
Sukma beranjak, namun dua orang itu hampir menghilang. Ia mempercepat langkahnya berusaha menyusul keduanya, namun ternyata dua orang itu telah menuju area parkir dan masuk ke dalam mobil.
'Aaah, padahal dikit lagi ketemu jodoh. Keburu ilang,' kesalnya saat melihat mobil itu melaju tepat melewatinya.
Sukma benar-benar lupa alasan ia pergi ke taman itu, terlalu fokus pada pria yang ada di mimpinya dan melupakan rasa patah hatinya karena ditinggal tunangan oleh orang yang dicintainya.
Dengan langkah gontai, Sukma kembali berjalan menuju area parkir. Terlihat abang ojol sudah stand by untuk menjemputnya.
“Kenapa pulang malem, ngapain aja?” tanya ibunya tepat saat Sukma masuk ke dalam rumah.
Tidak ada respon, Sukma hanya mencium punggung tangan ibunya dan masuk ke kamar. Gadis itu langsung menghempaskan tubuhnya ke kasur, menatap langit-langit.
Brak!
“Kamu belum jawab pertanyaan Ibu?!” seru sang ibu yang membuat Sukma mengusap dada karena terkejut.
“Apaan sih, Bu! Lagi galau juga, gagal deh!” kesalnya.
“Abis kamu nggak jawab pertanyaan Ibu,” ibu Sukma terlihat sama kesalnya.
“Abis dari taman, refreshing otak.”
“Oh,” ujar ibunya yang langsung menutup pintu. Sukma melongo, ia jadi tidak berselera lagi untuk bergalau ria.
Sukma menghela nafas jengah, beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
***
“Selamat Hanan atas pertunangannya,” ujar seorang karyawan pagi itu.
Sukma yang juga berada di sana, langsung melengos begitu saja melewati gerombolan karyawan yang tengah menyelamati Hanan.
Mata Hanan menangkap sosok Sukma, namun ia tidak bisa menyapa karena banyaknya karyawan yang tengah mengerubunginya.
“Wei!” ujar Chintya yang melihat Sukma duduk di kursinya. “Hanan tunangan tuh,” usilnya.
Sukma berdecak. “Iya, gue tahu. Gue udah dapet undangannya.”
Chintya terkekeh. “Suer gue nggak boong, gue kira bakal ada nama loe di surat undangan dia, ternyata bukan.”
Mata Sukma mendelik kesal. “Loe nyindir gue?” kesalnya.
“Jangan marah,” Chintya mendekat dan memeluknya dari belakang. “Gue cuma ngutarain apa yang gue alami aja kemaren, maaf ya kalo loe tersinggung.”
Sukma melepaskan tangan Chintya, membuat gadis itu memberengut. “Gue nggak marah, tapi loe jangan sampe bahas itu lagi.”
Kepala Chintya mengangguk, ia mengulas senyum sebelum memeluk Sukma kembali. “Tenang aja, gue yakin loe pasti dapet jodoh yang lebih baik dari Hanan.”
Terlihat senyum mengembang di wajah Sukma. “Makasih.”
“Walaupun gue nggak yakin,” jahil Chintya lagi sambil berlari ke kursinya, wajah Sukma langsung terlihat kesal.
“Hai Kak Sukma,” sapa Gladis dengan begitu riang.
Entah mengapa ia masuk ke ruangan divisi Sukma, padahal Gladis berbeda divisi dengannya.
'Ah, perasaan gue nggak enak. Nih bocah ngapain pake kesini segala,' batinnya kesal.
“Kenapa nggak jawab?” tanya Gladis saat sudah berada di samping Sukma.
“Iya, iya. Hai juga,” ketusnya.
“Iiih, ketus banget. Padahal kan aku tadi nyapanya manis banget,” ujar Gladis dengan manja, ia menggeser kursi samping dan mendudukinya.
“Mau ngapain sih?” kesal Sukma yang pagi ini tidak mau berbasa basi.
Gladis tersenyum, ia lebih mendekatkan jaraknya. “Aku denger Kak Hanan tunangan, tapi kok bukan sama Kak Sukma?”
Spontan mata Sukma melotot, menatap Gladis dengan amat kesal. “Emangnya kenapa? Dia itu bukan siapa-siapanya gue, wajar kalau gue nggak tunangan sama dia.”
“Tapi kan, temen sekantor pada taunya Kakak yang pacaran sama Kak Hanan.”
“Itu gosip ya, G-O-S-I-P, gosip!”
“Iya, tau. Tapi tetep aja, kok rasanya aku nggak terima.”
'Ha~, gue juga nggak terima. Tapi mau gimana lagi!' batin Sukma serasa ingin menjerit.
“Udah ah, loe sana. Kerja aja yang bener, jangan ngurusin gosip.”
Gladis mencebik, namun sesaat kemudian tersenyum sambil melambai pamit ke luar ruangan.
Bukan hanya dua orang itu saja yang bertanya, hampir semua karyawan di divisi Sukma menanyakan hal yang sama. Kok bukan loe?
“Haaa~aahh!” jerit Sukma kesal, ia mencurahkan kekesalannya di atap gedung yang sebenarnya terlarang untuk dikunjungi.
Namun hari itu Sukma tidak peduli dengan larangan, ia memerlukan tempat untuk mencurahkan kekesalannya. Bukan hanya tentang pertanyaan yang terus ditanyakan teman kantornya, namun juga tentang Hanan yang tiba-tiba bertunangan begitu saja.
“Kenapa nggak bilang sih!” kesal Sukma, namun ia teringat jika Hanan memang sudah mengatakan tentang pertunangannya. “Maksudnya, kenapa nggak bilang dari awal aja kalo sikapnya itu bukan karena dia suka sama gue.”
Air mata Sukma mulai meleleh. “Jadinya gue nggak harus berharap,” paraunya sambil menunduk, memeluk lututnya.
Tanpa Sukma sadari, seorang pria juga berada di sana. Pria itu duduk di sisi lain dan terhalangi oleh dinding, terdiam. Meski ia tidak berniat menguping, namun suara Sukma terdengar begitu jelas di telinganya.
Sejenak pria itu terlihat tidak peduli, ia juga memiliki masalah sendiri sampai bermeditasi di tempat itu. Namun sesaat kemudian, ia mulai memikirkan sesuatu.
'Mungkin… dia bisa,' batinnya seraya tersenyum miring.
Like, komen, and share.
“Bu, aku keluar ya!” seru Sukma sambil menuruni tangga, ia sudah mengenakan jaket dan kaos oblong serta celana olahraga. “Mau kemana? Udah malem,” balas sang ibu yang langsung beranjak ke luar rumah dan menghampiri Sukma yang tengah mengenakan sandal. “Mau jajan, Ibu mau nitip?” Sejenak ibunya terdiam, kemudian tersenyum. “Boleh deh, minyak, tepung, sama gula ya. Udah pada abis.” Dahi Sukma mengerut. “Kan aku bilang mau jajan, bukan ke warung. Nitip yang bisa dimakan kek,” kesalnya. “Itu juga bisa dimakan, udah ah.” Sang ibu kembali masuk ke dalam, membuat Sukma mendengus dan beranjak begitu saja dengan raut tidak mengenakan. 'Udah dibilang mau jajan, malah nitip begituan. Jadi harus ke warung juga,' batinnya kesal. Untuk meredakan kekesalan di hati, makan memang solusi terbaik. Ada banyak pedagang di daerah tempat tinggal Sukma, sehingga ia tidak perlu repot pergi jauh jika hanya untuk membeli jajanan. Mulai dari pedagang cemilan populer hingga jadul, berjejer rapi di sekita
“HAH?!” Fikri mengelap wajahnya membuat Sukma sadar jika air yang ada di mulutnya telah keluar dan menyembur tepat ke wajah pria itu. “Ah, maaf, maaf!” paniknya seraya mengambil tisu, mencoba membersihkan sisa air yang masih menempel di wajah Fikri. Namun sebelum tangannya menyentuh wajah Fikri, pria itu mengisyaratkan agar Sukma kembali duduk. Ia mengelap sendiri wajahnya dengan tisu, kemudian kembali menatap Sukma dengan tenang. Wajah Sukma terlihat sangat bersalah, namun ia duduk kembali sesuai dengan apa yang diminta oleh Fikri. “Jadi apa jawaban kamu?” Tidak ada jawaban, Sukma terlihat begitu bingung dengan pertanyaan itu. Otaknya masih melayang pada semburan air dari mulutnya yang mengenai wajah pria tampan di hadapannya, Sukma benar-benar merasa bersalah. Karena tidak mendapat jawaban apapun, Fikri menjentikan jarinya beberapa kali di hadapan Sukma. “Hah? A-ah, apa?” Sukma bereaksi agak lama. “Jadi,” Fikri menghela nafas. “Apa jawaban kamu?” tanya pria itu sekali lagi,
Meski awalnya tidak percaya dengan lamaran dadakan yang dilayangkan pria yang baru saja dikenalnya, namun Sukma tetap memikirkan lamaran itu dengan serius. Ia bahkan mulai membayangkan membangun rumah tangga dengan Fikri, sebelum tersadar dan memukul kepalanya keras. “Apa-apaan sih gue, belum juga nikah udah mikir ke yang lain.” Sukma menghela nafas kasar, memeluk gulingnya erat. “Tapi… apa salahnya sih dicoba.” “Tapi masa nerima lamaran gitu aja, gengsi dong. Tapi…” Dan masih banyak kalimat tapi lainnya yang membuat Sukma hanya uring-uringan malam itu. Beberapa hari berlalu, tidak ada kabar dari Fikri membuat Sukma terus saja menghela nafas. Ia merasa lega, namun juga kecewa. Chintya yang duduk di sebelahnya terus saja melirik Sukma, ia merasa ada yang aneh dengan tingkah temannya itu. “Jangan bilang loe nggak terima gara-gara Hanan tunangan, ya?” Sukma begidik, saat mendengar bisikan Chintya tepat di telinganya. “Apaan sih, pake bisik-bisik segala.” “Gue tanya loe nggak terima
“Kenapa Anda seenaknya, merencanakan pernikahan tanpa memberitahu saya!” Suara Sukma membahana memenuhi seluruh ruangan, emosinya naik sampai ubun-ubun kala protesnya hanya ditanggapi wajah datar oleh Fikri. “Ibu kamu setuju, saya juga tidak dengar penolakan dari kamu.” “Tidak menolak bukan berarti setuju!” pekiknya. “Batalkan!” kesalnya. “Tidak bisa,” jawab Fikri enteng. “BATALKAN!” paksanya dengan wajah merah padam, tidak bisa dipungkiri lagi jika Sukma sangat ingin mencakar wajah tampan Fikri kali ini. “Mana mungkin saya batalkan, akadnya akan dimulai beberapa jam lagi.” Sukma membuka mulutnya, oksigen yang masuk ke paru-parunya seakan berkurang drastis. Gadis itu memejamkan mata dan mengepalkan tangan kuat, mencoba meredakan emosi yang benar-benar sudah tidak bisa ditahannya lagi. ‘Ini gara-gara Ibu,’ batinnya kesal. ‘Dia maksa banget pake lemparin banyak dalil anak durhaka segala,’ rutuknya. “Ini gara-gara Ibu, saya cuma ikutin apa keinginan dia.” “Kalau begitu, lanjutka
“Mau kemana?” tanya Sukma dengan wajah bingung, melihat Fikri yang sesaat setelah selesai mandi malah hendak pergi. “Saya masih ada urusan di luar, kamu tidur duluan saja.” ‘Hah?’ Sukma terbengong, menatap kepergian Fikri dengan dahi mengernyit. ‘Bukannya harusnya kita malam pertama-an? Bukan berarti gue ngebet, tapi normalnya kan gitu? Apa dia nggak normal?’ “Astagfirullah,” gumam Sukma sambil memukul kepalanya pelan. “Mikir apa sih gue, bagus kalau misalkan tuh cowok kagak ngebet gituan. Lagian gue juga cape, belum nyiapin mental juga.” Sukma menghela nafas seraya membaringkan tubuhnya di kasur. “Tapi, aneh banget nggak sih?” tanyanya pada diri sendiri. “Biasanya cowok bakal ngebet banget kalau udah sah walaupun nggak suka? Gitu kata temen kantor gue.” Ekor mata Sukma beralih pada jam di dinding yang menunjukkan pukul 11 malam. ‘Urusan apa tengah malem gini?’ Batin Sukma yang membuat dahinya mengerut semakin dalam. ‘Bodo ah,’ kesalnya. ‘Bukan urusan gue.’ Dengan pikiran yang di
Plak! Sebuah tamparan mendarat di pipi mulus Fikri, membuatnya meringis namun terkekeh pada akhirnya. Ia menatap Sukma dengan tajam. “Apa yang Anda lakukan!” pekik Sukma seraya mengusap kasar bibirnya yang masih basah, matanya melotot sempurna karena begitu terkejut dengan apa yang dilakukan Fikri barusan. “Saya hanya mengabulkan permintaan kamu, salah lagi?” “Bukan itu,” Sukma tercekat. “Bukan begini, kita sedang bicara. Saya hanya ingin mendengar jawaban, bukan hal seperti itu.” “Saya malas menjawab dengan kalimat panjang lebar,” Fikri melangkah semakin dekat membuat Sukma mundur beberapa langkah. “Jadi saya gunakan tindakan untuk menjawab pertanyaan kamu, itu lebih cepat.” Gigi Sukma bergemeletuk, wajahnya terlihat amat marah. Bukan hanya pada apa yang dilakukan suaminya barusan, namun pada sikap kurang ajar pria yang dulu sempat dianggapnya sebagai pangeran. “Kenapa saya mau menikah dengan pria brengsek seperti Anda!” geram Sukma yang membuat Fikri menatapnya lebih tajam. ‘
Sukma tergesa turun ke lobi, memesan taksi offline agar lebih cepat pergi meninggalkan tempat itu dengan segera. Tidak ada hal yang ingin dilakukannya selain segera sampai rumah, menenangkan tubuhnya yang bergetar hebat setelah mendengar fakta yang sama sekali tidak disangkanya. Makanan mahal yang terlanjur dipesannya, dibiarkan begitu saja. Ia terlalu syok jika harus melanjutkan makan siangnya di kondisi seperti itu. Saat sampai rumah, beberapa kali Sukma hampir saja oleng. Tangannya bergetar hebat kala hendak mengambil air minum di gelas, membuatnya mengurungkan niatnya dan duduk di sofa ruang tengah dengan nafas terengah. “Sial!” umpatnya sambil memegang kepalanya kuat, menjambak rambutnya sendiri namun tidak membuat perasaan Sukma semakin lebih baik. “Harusnya gue tau dari gelagatnya, Fikri nggak mungkin belum nikah.” Sebelumnya, wanita cantik yang wajahnya sangat dikagumi Sukma mengenalkan diri. Bukan perkenalan biasa, sebuah perkenalan yang membuat Sukma melongo. Wanita canti
"Hah? Ma...." Fikri berjalan mendekat, wajahnya didekatkan tepat di telinga Sukma. "Kalau begitu, selamat tidur istriku." Tanpa rasa bersalah, Fikri berjalan menuju kamarnya, meninggalkan Sukma yang mematung dengan seribu tanda tanya di kepalanya. Gadis itu masih mencoba mencerna apa yang dikatakan Fikri sebelumnya, tentang pernikahan siri yang mungkin dilakukannya tanpa sadar. Matanya menatap kosong ke arah lantai yang sebelumnya dijadikan tempat Fikri berdiri, wajah Sukma mirip patung karena tidak menampilkan ekspresi apapun. Datar. 'Ma-maksudnya?' Sukma tidak bereaksi, lebih tepatnya tidak bisa bereaksi. Ia melakukan sebuah kesalahan, kesalahan besar dalam pernikahan. Seharusnya ia memang menolak pernikahaan itu, apapun alasannya. Harusnya ia tidak peduli dengan apa yang dilakukan ibunya, tidak peduli jika undangan sudah tersebar ke para tetangga atau bahkan kerabat jauhnya sudah datang ke rumahnya untuk ikut merayakan hari pernikahannya, tidak peduli jika ia harus menanggung
"Ada apa lagi?" tanya Chintya dengan wajah lemas, kala menemukan Sukma menatap komputernya dengan tatapan kosong. Tentu saja tidak ada jawaban dari temannya itu, ia terlalu sibuk dengan pemikirannya hingga tidak bisa mendengar apapun suara yang datang dari luar. Selama beberapa hari ini, Sukma merasakan kosong. Meski sudah memiliki suami, ia merasa hidup sendiri. Kadang, rumah yang ia tinggali terasa seperti berhantu. Sukma bahkan sampai menggulung selimut sampai ke kepalanya kala mulai merasakan perasaan aneh, seperti melihat bayangan di jendela atau merasa ada suara yang datang begitu saja. Alhasil, ia jadi tidak bisa tidur dengan nyaman. Kondisi rumahnya sangat berbeda saat ada Fikri, meski keduanya tidur terpisah, namun Sukma merasa aman dan tidak merasakan ada hal yang menakutkan. "Ha~" Kembali terdengar helaan nafas, membuat Chintya berdecak dan mendekat ke meja Sukma. "Woi! Udah jam makan siang nih, jangan bengong aja!" Sukma tersentak, hampir saja terlonjak karena saking
"Ha~, lembur dadakan," oceh Sukma begitu turun dari mobil online pesanannya. Tidak seperti biasanya yang lebih senang menggunakan ojek online karena harganya lebih bersahabat, malam ini Sukma terpaksa mengeluarkan uang lebih untuk memesan mobil online karena ia sangat kelelahan. Padahal jam baru menunjukan pukul 09.00 malam, namun Sukma terlihat seperti karyawan yang melakukan kerja lembur sampai tengah malam. Saat hendak naik lift, Sukma begitu terkejut karena melihat Fikri juga memarkirkan mobil di pekarangan rumah. Sukma segera membenarkan posisinya berjalan, lebih tegak dan tidak loyo seperti sebelumnya. Seperti tidak melihat apapun, Fikri mengabaikan keberadaan Sukma yang berdiri di sampingnya. Begitupun dengan Sukma, ia mencoba mengabaikan Fikri sampai keduanya masuk ke dalam rumah dan berjalan menuju ruang tengah dengan santai. Sampai sesuatu membuat Sukma penasaran, sebuah tanda merah yang jelas terlihat sekilas oleh ekor matanya. Sebuah tanda merah yang menarik perhatiann
Tidak ada reaksi dari Fikri membuat Sukma jadi kebingungan, ia ingin sekali mendekat dan melihat reaksi pria itu yang mungkin saja terlalu syok dengan apa yang dikatakannya barusan. 'Gue salah, ya?' batinnya sambil meringis. 'Harusnya gue nunggu waktu yang tepat, seenggaknya sampe gue baikan sama Fikri.' Di detik ini, Sukma mulai merasa menyesal. Meski sangat penasaran, harusnya ia membicarakan hal sepenting itu dalam keadaan tenang. Raut wajahnya mulai tidak karuan, ingin meminta maaf namun egonya menghalangi. "I-itu...," Sukma terlihat merasa amat bersalah. "I-itu mu-mungkin aja saya salah lia...." "Kamu nggak salah liat," Fikri menghela nafas, berbalik dan menatap Sukma dengan wajah yang terlihat biasa. Sukma amat terkejut, karena berbanding dengan reaksi Fikri berbanding dengan perkiraannya. 'Dia sama sekali nggak nyangkal dan malah kelihatan biasa aja?' berarti yang Sukma bertanya-tanya, matanya melongo menatap Fikri yang terlihat menghela nafas sekali lagi. "Ka-kamu...?"
Sukma jadi pendiam setelah keluar dari kamar mandi, Gladis dan Chintya jadi kebingungan kala melihat wajah pucat Sukma dan menyangka jika temannya itu kerasukan. "Loe yakin nggak kerasukan?" tanya Gladis sekali lagi, membuat Sukma mendelik dan mendengus kasar. "Kalau gue kerasukan, gue udah cakar muka loe!" Bibir mungil Gladis maju beberapa senti, matanya menatap ke arah Chintya seperti meminta pertolongan. Namun tentu saja, Chintya hanya melemparkan senyum dan mengangkat bahunya. "Lagian loe kenapa? Sakit? Muka loe pucet banget abis dari toilet," Chintya juga merasa khawatir dengan tingkah Sukma yang jadi aneh. Namun ia tidak pernah berfikir konyol seperti Gladis, mengira-ngira jika Sukma kerasukan. Seberapapun Gladis dan Chintya bertanya, Sukma hanya diam dan hanya menimpali seadanya. Bahkan setelah keduanya mengantarkan Sukma ke rumahnya, temannya itu masih tidak mau berbicara dan masuk ke gerbang rumah begitu saja tanpa pamit. "Dia nggak bener-bener kerasukan, kan?" Gladis ma
"Kalau nggak suka, harusnya jangan senyumin gue. Jadi kan gue nggak salah faham, malu-maluin banget." Gladis masih saja menggerutu, bahkan setelah ketiganya masuk ke dalam bioskop dan duduk di kursi baris ke 3 dari belakang. Sedangkan pemuda yang sedari tadi ditatapnya, duduk di baris ke 5 dari bagian belakang. Jadi, ia bisa melihat dengan jelas tingkah pemuda yang sebelumnya amat menarik perhatiannya. Pemuda itu terlihat mengusap wajah wanita di sampingnya dengan lembut, bahkan sempat mencium bahunya hingga membuat Gladis semakin kesal. "Kalau mau mesra-mesraan, harusnya di kamar hotel. Mesra-mesraan di bioskop," geram Gladis, matanya terus saja menatap tajam ke arah pemuda yang kini mulai merangkul wanita di sampingnya. Gladis terus saja mengeram, ia terlihat amat kesal dengan tingkah dua sejoli yang diketahuinya adalah pasangan itu. Chintya hanya terus menghela nafas, mencoba untuk menghiraukan Gladis yang marah-marah tidak jelas karena tingkah pasangan yang bahkan tidak diketah
Sukma bisa bernafas lega, untuk kali ini. Sesuai dengan perkiraannya, Hanan memang memberikan surat undangan pernikahan sekaligus basa basi dengannya yang menikah lebih dulu. "Kirain gue yang ngejutin loe, ternyata loe yang ngejutin gue. Pake nikah dadakan," kekeh Hanan sambil terus menyuap nasi goreng kesukaannya. Sukma ikut terkekeh, suasana hatinya semakin membaik terlebih saat menerima undangan pernikahan Hanan. "Gue juga nggak nyangka, tapi mo gimana, emang udah jodoh kali." 'Jodoh?' cebik Sukma dalam hati. 'Jodoh yang dipaksakan dan sekarang gue nyesel.' "Tapi bener loh, gue bener-bener nggak nyangka. Loe kenalan sama dia dimana?" tanya Hanan penasaran, sudah lama ia memikirkan hal itu. Terlebih, sebelumnya Hanan tidak pernah tahu jika ada pria yang dekat dengan Sukma. Kalaupun ada, Hanan pasti tahu dari Gladis yang entah mengapa selalu memberikan info mengenai Sukma. Mendadak Sukma diam mendengar pertanyan itu, bingung harus menjawab apa. "Ke-kenalan di... mimpi?" Dahi H
"Hah? Ma...." Fikri berjalan mendekat, wajahnya didekatkan tepat di telinga Sukma. "Kalau begitu, selamat tidur istriku." Tanpa rasa bersalah, Fikri berjalan menuju kamarnya, meninggalkan Sukma yang mematung dengan seribu tanda tanya di kepalanya. Gadis itu masih mencoba mencerna apa yang dikatakan Fikri sebelumnya, tentang pernikahan siri yang mungkin dilakukannya tanpa sadar. Matanya menatap kosong ke arah lantai yang sebelumnya dijadikan tempat Fikri berdiri, wajah Sukma mirip patung karena tidak menampilkan ekspresi apapun. Datar. 'Ma-maksudnya?' Sukma tidak bereaksi, lebih tepatnya tidak bisa bereaksi. Ia melakukan sebuah kesalahan, kesalahan besar dalam pernikahan. Seharusnya ia memang menolak pernikahaan itu, apapun alasannya. Harusnya ia tidak peduli dengan apa yang dilakukan ibunya, tidak peduli jika undangan sudah tersebar ke para tetangga atau bahkan kerabat jauhnya sudah datang ke rumahnya untuk ikut merayakan hari pernikahannya, tidak peduli jika ia harus menanggung
Sukma tergesa turun ke lobi, memesan taksi offline agar lebih cepat pergi meninggalkan tempat itu dengan segera. Tidak ada hal yang ingin dilakukannya selain segera sampai rumah, menenangkan tubuhnya yang bergetar hebat setelah mendengar fakta yang sama sekali tidak disangkanya. Makanan mahal yang terlanjur dipesannya, dibiarkan begitu saja. Ia terlalu syok jika harus melanjutkan makan siangnya di kondisi seperti itu. Saat sampai rumah, beberapa kali Sukma hampir saja oleng. Tangannya bergetar hebat kala hendak mengambil air minum di gelas, membuatnya mengurungkan niatnya dan duduk di sofa ruang tengah dengan nafas terengah. “Sial!” umpatnya sambil memegang kepalanya kuat, menjambak rambutnya sendiri namun tidak membuat perasaan Sukma semakin lebih baik. “Harusnya gue tau dari gelagatnya, Fikri nggak mungkin belum nikah.” Sebelumnya, wanita cantik yang wajahnya sangat dikagumi Sukma mengenalkan diri. Bukan perkenalan biasa, sebuah perkenalan yang membuat Sukma melongo. Wanita canti
Plak! Sebuah tamparan mendarat di pipi mulus Fikri, membuatnya meringis namun terkekeh pada akhirnya. Ia menatap Sukma dengan tajam. “Apa yang Anda lakukan!” pekik Sukma seraya mengusap kasar bibirnya yang masih basah, matanya melotot sempurna karena begitu terkejut dengan apa yang dilakukan Fikri barusan. “Saya hanya mengabulkan permintaan kamu, salah lagi?” “Bukan itu,” Sukma tercekat. “Bukan begini, kita sedang bicara. Saya hanya ingin mendengar jawaban, bukan hal seperti itu.” “Saya malas menjawab dengan kalimat panjang lebar,” Fikri melangkah semakin dekat membuat Sukma mundur beberapa langkah. “Jadi saya gunakan tindakan untuk menjawab pertanyaan kamu, itu lebih cepat.” Gigi Sukma bergemeletuk, wajahnya terlihat amat marah. Bukan hanya pada apa yang dilakukan suaminya barusan, namun pada sikap kurang ajar pria yang dulu sempat dianggapnya sebagai pangeran. “Kenapa saya mau menikah dengan pria brengsek seperti Anda!” geram Sukma yang membuat Fikri menatapnya lebih tajam. ‘