“Mau kemana?” tanya Sukma dengan wajah bingung, melihat Fikri yang sesaat setelah selesai mandi malah hendak pergi.
“Saya masih ada urusan di luar, kamu tidur duluan saja.”
‘Hah?’ Sukma terbengong, menatap kepergian Fikri dengan dahi mengernyit. ‘Bukannya harusnya kita malam pertama-an? Bukan berarti gue ngebet, tapi normalnya kan gitu? Apa dia nggak normal?’
“Astagfirullah,” gumam Sukma sambil memukul kepalanya pelan. “Mikir apa sih gue, bagus kalau misalkan tuh cowok kagak ngebet gituan. Lagian gue juga cape, belum nyiapin mental juga.”
Sukma menghela nafas seraya membaringkan tubuhnya di kasur. “Tapi, aneh banget nggak sih?” tanyanya pada diri sendiri. “Biasanya cowok bakal ngebet banget kalau udah sah walaupun nggak suka? Gitu kata temen kantor gue.”
Ekor mata Sukma beralih pada jam di dinding yang menunjukkan pukul 11 malam. ‘Urusan apa tengah malem gini?’ Batin Sukma yang membuat dahinya mengerut semakin dalam. ‘Bodo ah,’ kesalnya. ‘Bukan urusan gue.’
Dengan pikiran yang dipenuhi prasangka, Sukma tidak bisa tertidur hingga pukul 1 malam. Namun karena badannya terlalu lelah setelah resepsi, di detik berikutnya gadis itu mulai tertidur dengan pulas dan kembali bangun saat subuh tiba.
***
Seminggu telah berlalu, Sukma semakin dibuat kebingungan kala Fikri tidak pernah menyentuhnya sama sekali. Meski awalnya gadis itu menerima karena Fikri terus saja menyebut dirinya tengah sibuk, namun lama kelamaan ia juga merasa sangat kebingungan.
Bukan hanya persoalan tidak menyentuhnya yang mengganggu pikiran Sukma, Fikri bahkan jarang pulang ke rumah dan hanya menengoknya sesekali saja.
“Sudah mau pergi lagi?” tanya Sukma yang bingung kala Fikri sudah bersiap untuk pergi, namun terhenti saat Sukma melemparkan pertanyaan itu.
“Iya,” jawabnya santai. “Akhir-akhir ini saya sangat sibuk, jadi tidak bisa lama di rumah.”
‘Itu lagi alasannya,’ batin Sukma yang terlihat mulai kesal.
“Sibuk? Soal pekerjaan lagi?” tebak Sukma yang ia sendiri terlihat tidak begitu yakin dengan pertanyaannya.
“Iya, memang apalagi?”
Kembali Fikri hendak pergi, namun Sukma segera menyusulnya. “Memang sesibuk apa sampai tiga hari baru balik ke rumah?”
Fikri terdiam, menatap Sukma dengan wajah ragu. “A-ada proyek baru yang akan diluncurkan, jadi saya sangat sibuk mengarahkan. Kamu tidak perlu khawatir, saya akan pulang dan tidur di rumah jika pekerjaannya sudah lebih ringan.”
Meski merasa tidak percaya, namun Sukma memilih menganggukan kepalanya. Ia tidak banyak berkomentar kala Fikri, dibantu seorang pria yang selalu membuntutinya, membawa beberapa helai pakaian untuk di kantor.
Sesuai dengan janjinya, setelah dua minggu berlalu, Fikri lebih sering tidur di rumah. Namun ada hal yang membuat Sukma lagi-lagi terlihat kebingungan, pasalnya Fikri tidak pernah mau tidur sekasur dengannya dan memilih tidur di sofa atau di kamar lain.
‘Ini dia niat nikah sama gue nggak, sih?!’ Kesalnya. ‘Bukannya gue ngebet pengen malam pertama, tapi….’ Sukma mencoba menenangkan pikirannya yang mulai menebak-nebak mengapa Fikri bersikap aneh seperti itu.
Mata Sukma terus melirik ke arah Fikri, pria yang kini sudah mengenakan pakaian tidur dan menggelar bantal dan guling di sofa kamar yang cukup ditiduri dua orang. Tidak lupa, ia juga telah menyiapkan selimut untuk dirinya.
“Kenapa tidak tidur di kasur?” tanya Sukma yang mulai merasa jengkel melihat setiap adegan yang dilakukan Fikri, seperti tidak merasakan kehadirannya.
Spontan kepala Fikri menoleh, menatap Sukma dengan wajah bingung. Melihat Fikri yang menatapnya kebingungan, Sukma mendengus.
‘Harusnya gue yang nampilin wajah gitu! Bukan sebaliknya!’ Kesal Sukma dalam hati.
“Saya sedang tidak ingin tidur di kasur,” jawabnya dengan begitu enteng.
‘Alasan apaan tuh?!’ Gigi Sukma mulai beradu karena kesal.
“Dari kemarin selalu beralasan itu? Yakin bukan karena ada saya? Atau Anda jijik tidur sekasur dengan saya? Apa saya harus tidur di kamar lain? Atau tidur di sofa biar Anda mau tidur di kasur, iya?” nada suara Sukma mulai meninggi, terdengar jelas ia emosi.
“Bukan begitu,” Fikri terlihat kebingungan. “Saya….” Fikri menghela nafas, kemudian mengambil bantal dan selimut yang sudah ditatanya.
Tanpa banyak kata, pria itu langsung beranjak dan pindah ke kasur. Hal itu tentu membuat Sukma senang sekaligus kebingungan, pasalnya Fikri meletakan guling yang dibawanya di tengah antara dirinya dan Sukma.
‘Apa-apaan nih?!’ Dahi Sukma mengernyit. ‘Kenapa harus dikasih pembatas segala?’ Batinnya bertanya-tanya.
“Tolong jangan protes lagi, saya sudah sangat lelah dan ingin beristirahat.”
Sukma mendengus, menatap tidak percaya pria yang sudah mulai berbaring di sampingnya dengan posisi membelakanginya. Gadis itu mendesis, kemudian ikut berbaring seraya membelakangi tubuh pria yang kini mulai memejamkan matanya.
‘Ah, kesel!’ serunya Sukma dalam hati. ‘Ini udah berapa minggu sejak nikah? Kok gue kayak dianggurin gini, sih? Bukannya dia yang dulu pengen nikah cepet-cepet, kenapa malah gini!’ Gerutu Sukma dalam hati yang terus berlangsung hingga ia tidak bisa tertidur karena saking kesalnya.
‘Kayaknya mimpiin tuh cowok bukan pertanda baik!’ kesal Sukma.
***
“Kenapa Anda nggak mau nyentuh saya?” tanya Sukma akhirnya yang sudah tidak tahan karena terus diabaikan selama lebih dari 5 minggu.
Setelah menguatkan tekad karena terus dihantui prasangka yang semakin lama semakin mengerikan, di Minggu pagi yang kebetulan Fikri tidak bekerja, Sukma memutuskan untuk menanyakan pertanyaan yang selama ini ingin ditanyakannya.
“Maksud kamu?” Fikri malah terlihat kebingungan, gelas berisi air mineral yang hendak diminumnya diletakan di meja dapur.
“Saya sudah lama menahan untuk tidak bertanya persoalan ini karena tahu jika Anda sangat sibuk,” jelas Sukma. “Tapi lama kelamaan saya malah terus berprasangka buruk kepada Anda, karena setelah terlihat tidak sibuk pun Anda….” Sukma menjeda kalimatnya. “Masih tidak menyentuh saya,” lirihnya.
Fikri hanya diam, ia mengalihkan pandangannya ke arah lain. Sesaat kemudian ia menghela nafas, menatap Sukma dengan ekspresi tenang.
“Kamu ingin saya sentuh?”
“Bukan begitu,” jawab Sukma cepat. ‘Ish, nih cowok. Pura-pura bego apa emang nggak ngerti,’ kesalnya. “Itu bukan inti pertanyaan saya.”
“Terus apa?” tanya Fikri seraya meminum air di gelas yang tadi sempat diletakan di meja. “Bukannya inti pertanyaan kamu tentang saya yang sama sekali tidak menyentuh kamu.”
“Saya ingin menanyakan alasannya, bukan ingin disentuh.”
“Apa bedanya?” balas Fikri dengan santai, ia melangkah mendekati Sukma yang mulai terlihat sangat kesal. “Tidak ada alasan apapun selain mood saya yang sedang tidak ingin menyentuh kamu.”
“Sedang tidak ingin?” sarkas Sukma. “Hanya itu?”
Lagi-lagi Fikri terdiam, menatap mata Sukma yang terlihat marah mendongak menatapnya. ‘Jika saya menyentuh kamu,’ batin Fikri. ‘Berarti saya harus bertanggung jawab penuh atas perbuatan itu, saya tidak mau itu.’
“Memangnya ada alasan lain? Kamu berharap saya memiliki alasan lain?” tanya Fikri dengan begitu santai membuat gadis di hadapannya terlihat semakin kesal.
Terlihat jelas di mata Fikri, jika Sukma sangat marah kali ini.
“Apa Anda g*y?” tanya Sukma akhirnya, sebuah prasangka liar yang sebenarnya tidak mau ditanyakan.
Pupil mata Fikri melebar, kali ini wajahnya yang terlihat kesal. “Kenapa kamu berpikir seperti itu?”
“Saya dengar banyak pria seperti itu yang menikah dengan wanita hanya untuk menutupinya, bukankah Anda salah satunya?” tanya Sukma dengan wajah begitu serius.
Fikri mendengus, ia benar-benar merasa terhina mendengar prasangka Sukma yang satu itu.
“Jika Anda tidak menjawab, berarti benar?” Sukma memastikan.
“Hentikan pemikiran liar kamu,” desis Fikri. “Saya bukan orang seperti itu, saya masih normal.”
“Mana ada pria normal yang meninggalkan istrinya sendirian saat malam pertama, tingkah Anda sangat tidak wajar.”
Tangan Fikri mengepal kuat, menampilkan buku jarinya yang memutih. Tatapannya begitu tajam menatap Sukma, gadis yang kini dengan santai menampilkan wajah seakan menyatakan bahwa prasangkanya benar.
Tanpa banyak kata, Fikri langsung mendekatkan wajahnya dan mendaratkan sebuah ci*man yang membuat Sukma memberontak kuat. Tangannya digunakan untuk mengunci pergerakan tubuh gadis itu, hingga membuat Sukma tidak berdaya dan hanya mengerang seraya terus mencoba mendorong tubuh Fikri yang menempel erat dengan tubuhnya.
Like, komen, and share. Update akan rutin, seminggu 3 bab (Senin, Rabu, dan Sabtu). Maaf karena minggu lalu hanya update sehari saja, sedang sibuk sekali di dunia nyata. Terimakasih dan maafkan.
Plak! Sebuah tamparan mendarat di pipi mulus Fikri, membuatnya meringis namun terkekeh pada akhirnya. Ia menatap Sukma dengan tajam. “Apa yang Anda lakukan!” pekik Sukma seraya mengusap kasar bibirnya yang masih basah, matanya melotot sempurna karena begitu terkejut dengan apa yang dilakukan Fikri barusan. “Saya hanya mengabulkan permintaan kamu, salah lagi?” “Bukan itu,” Sukma tercekat. “Bukan begini, kita sedang bicara. Saya hanya ingin mendengar jawaban, bukan hal seperti itu.” “Saya malas menjawab dengan kalimat panjang lebar,” Fikri melangkah semakin dekat membuat Sukma mundur beberapa langkah. “Jadi saya gunakan tindakan untuk menjawab pertanyaan kamu, itu lebih cepat.” Gigi Sukma bergemeletuk, wajahnya terlihat amat marah. Bukan hanya pada apa yang dilakukan suaminya barusan, namun pada sikap kurang ajar pria yang dulu sempat dianggapnya sebagai pangeran. “Kenapa saya mau menikah dengan pria brengsek seperti Anda!” geram Sukma yang membuat Fikri menatapnya lebih tajam. ‘
Sukma tergesa turun ke lobi, memesan taksi offline agar lebih cepat pergi meninggalkan tempat itu dengan segera. Tidak ada hal yang ingin dilakukannya selain segera sampai rumah, menenangkan tubuhnya yang bergetar hebat setelah mendengar fakta yang sama sekali tidak disangkanya. Makanan mahal yang terlanjur dipesannya, dibiarkan begitu saja. Ia terlalu syok jika harus melanjutkan makan siangnya di kondisi seperti itu. Saat sampai rumah, beberapa kali Sukma hampir saja oleng. Tangannya bergetar hebat kala hendak mengambil air minum di gelas, membuatnya mengurungkan niatnya dan duduk di sofa ruang tengah dengan nafas terengah. “Sial!” umpatnya sambil memegang kepalanya kuat, menjambak rambutnya sendiri namun tidak membuat perasaan Sukma semakin lebih baik. “Harusnya gue tau dari gelagatnya, Fikri nggak mungkin belum nikah.” Sebelumnya, wanita cantik yang wajahnya sangat dikagumi Sukma mengenalkan diri. Bukan perkenalan biasa, sebuah perkenalan yang membuat Sukma melongo. Wanita canti
"Hah? Ma...." Fikri berjalan mendekat, wajahnya didekatkan tepat di telinga Sukma. "Kalau begitu, selamat tidur istriku." Tanpa rasa bersalah, Fikri berjalan menuju kamarnya, meninggalkan Sukma yang mematung dengan seribu tanda tanya di kepalanya. Gadis itu masih mencoba mencerna apa yang dikatakan Fikri sebelumnya, tentang pernikahan siri yang mungkin dilakukannya tanpa sadar. Matanya menatap kosong ke arah lantai yang sebelumnya dijadikan tempat Fikri berdiri, wajah Sukma mirip patung karena tidak menampilkan ekspresi apapun. Datar. 'Ma-maksudnya?' Sukma tidak bereaksi, lebih tepatnya tidak bisa bereaksi. Ia melakukan sebuah kesalahan, kesalahan besar dalam pernikahan. Seharusnya ia memang menolak pernikahaan itu, apapun alasannya. Harusnya ia tidak peduli dengan apa yang dilakukan ibunya, tidak peduli jika undangan sudah tersebar ke para tetangga atau bahkan kerabat jauhnya sudah datang ke rumahnya untuk ikut merayakan hari pernikahannya, tidak peduli jika ia harus menanggung
Sukma bisa bernafas lega, untuk kali ini. Sesuai dengan perkiraannya, Hanan memang memberikan surat undangan pernikahan sekaligus basa basi dengannya yang menikah lebih dulu. "Kirain gue yang ngejutin loe, ternyata loe yang ngejutin gue. Pake nikah dadakan," kekeh Hanan sambil terus menyuap nasi goreng kesukaannya. Sukma ikut terkekeh, suasana hatinya semakin membaik terlebih saat menerima undangan pernikahan Hanan. "Gue juga nggak nyangka, tapi mo gimana, emang udah jodoh kali." 'Jodoh?' cebik Sukma dalam hati. 'Jodoh yang dipaksakan dan sekarang gue nyesel.' "Tapi bener loh, gue bener-bener nggak nyangka. Loe kenalan sama dia dimana?" tanya Hanan penasaran, sudah lama ia memikirkan hal itu. Terlebih, sebelumnya Hanan tidak pernah tahu jika ada pria yang dekat dengan Sukma. Kalaupun ada, Hanan pasti tahu dari Gladis yang entah mengapa selalu memberikan info mengenai Sukma. Mendadak Sukma diam mendengar pertanyan itu, bingung harus menjawab apa. "Ke-kenalan di... mimpi?" Dahi H
"Kalau nggak suka, harusnya jangan senyumin gue. Jadi kan gue nggak salah faham, malu-maluin banget." Gladis masih saja menggerutu, bahkan setelah ketiganya masuk ke dalam bioskop dan duduk di kursi baris ke 3 dari belakang. Sedangkan pemuda yang sedari tadi ditatapnya, duduk di baris ke 5 dari bagian belakang. Jadi, ia bisa melihat dengan jelas tingkah pemuda yang sebelumnya amat menarik perhatiannya. Pemuda itu terlihat mengusap wajah wanita di sampingnya dengan lembut, bahkan sempat mencium bahunya hingga membuat Gladis semakin kesal. "Kalau mau mesra-mesraan, harusnya di kamar hotel. Mesra-mesraan di bioskop," geram Gladis, matanya terus saja menatap tajam ke arah pemuda yang kini mulai merangkul wanita di sampingnya. Gladis terus saja mengeram, ia terlihat amat kesal dengan tingkah dua sejoli yang diketahuinya adalah pasangan itu. Chintya hanya terus menghela nafas, mencoba untuk menghiraukan Gladis yang marah-marah tidak jelas karena tingkah pasangan yang bahkan tidak diketah
Sukma jadi pendiam setelah keluar dari kamar mandi, Gladis dan Chintya jadi kebingungan kala melihat wajah pucat Sukma dan menyangka jika temannya itu kerasukan. "Loe yakin nggak kerasukan?" tanya Gladis sekali lagi, membuat Sukma mendelik dan mendengus kasar. "Kalau gue kerasukan, gue udah cakar muka loe!" Bibir mungil Gladis maju beberapa senti, matanya menatap ke arah Chintya seperti meminta pertolongan. Namun tentu saja, Chintya hanya melemparkan senyum dan mengangkat bahunya. "Lagian loe kenapa? Sakit? Muka loe pucet banget abis dari toilet," Chintya juga merasa khawatir dengan tingkah Sukma yang jadi aneh. Namun ia tidak pernah berfikir konyol seperti Gladis, mengira-ngira jika Sukma kerasukan. Seberapapun Gladis dan Chintya bertanya, Sukma hanya diam dan hanya menimpali seadanya. Bahkan setelah keduanya mengantarkan Sukma ke rumahnya, temannya itu masih tidak mau berbicara dan masuk ke gerbang rumah begitu saja tanpa pamit. "Dia nggak bener-bener kerasukan, kan?" Gladis ma
Tidak ada reaksi dari Fikri membuat Sukma jadi kebingungan, ia ingin sekali mendekat dan melihat reaksi pria itu yang mungkin saja terlalu syok dengan apa yang dikatakannya barusan. 'Gue salah, ya?' batinnya sambil meringis. 'Harusnya gue nunggu waktu yang tepat, seenggaknya sampe gue baikan sama Fikri.' Di detik ini, Sukma mulai merasa menyesal. Meski sangat penasaran, harusnya ia membicarakan hal sepenting itu dalam keadaan tenang. Raut wajahnya mulai tidak karuan, ingin meminta maaf namun egonya menghalangi. "I-itu...," Sukma terlihat merasa amat bersalah. "I-itu mu-mungkin aja saya salah lia...." "Kamu nggak salah liat," Fikri menghela nafas, berbalik dan menatap Sukma dengan wajah yang terlihat biasa. Sukma amat terkejut, karena berbanding dengan reaksi Fikri berbanding dengan perkiraannya. 'Dia sama sekali nggak nyangkal dan malah kelihatan biasa aja?' berarti yang Sukma bertanya-tanya, matanya melongo menatap Fikri yang terlihat menghela nafas sekali lagi. "Ka-kamu...?"
"Ha~, lembur dadakan," oceh Sukma begitu turun dari mobil online pesanannya. Tidak seperti biasanya yang lebih senang menggunakan ojek online karena harganya lebih bersahabat, malam ini Sukma terpaksa mengeluarkan uang lebih untuk memesan mobil online karena ia sangat kelelahan. Padahal jam baru menunjukan pukul 09.00 malam, namun Sukma terlihat seperti karyawan yang melakukan kerja lembur sampai tengah malam. Saat hendak naik lift, Sukma begitu terkejut karena melihat Fikri juga memarkirkan mobil di pekarangan rumah. Sukma segera membenarkan posisinya berjalan, lebih tegak dan tidak loyo seperti sebelumnya. Seperti tidak melihat apapun, Fikri mengabaikan keberadaan Sukma yang berdiri di sampingnya. Begitupun dengan Sukma, ia mencoba mengabaikan Fikri sampai keduanya masuk ke dalam rumah dan berjalan menuju ruang tengah dengan santai. Sampai sesuatu membuat Sukma penasaran, sebuah tanda merah yang jelas terlihat sekilas oleh ekor matanya. Sebuah tanda merah yang menarik perhatiann
"Ada apa lagi?" tanya Chintya dengan wajah lemas, kala menemukan Sukma menatap komputernya dengan tatapan kosong. Tentu saja tidak ada jawaban dari temannya itu, ia terlalu sibuk dengan pemikirannya hingga tidak bisa mendengar apapun suara yang datang dari luar. Selama beberapa hari ini, Sukma merasakan kosong. Meski sudah memiliki suami, ia merasa hidup sendiri. Kadang, rumah yang ia tinggali terasa seperti berhantu. Sukma bahkan sampai menggulung selimut sampai ke kepalanya kala mulai merasakan perasaan aneh, seperti melihat bayangan di jendela atau merasa ada suara yang datang begitu saja. Alhasil, ia jadi tidak bisa tidur dengan nyaman. Kondisi rumahnya sangat berbeda saat ada Fikri, meski keduanya tidur terpisah, namun Sukma merasa aman dan tidak merasakan ada hal yang menakutkan. "Ha~" Kembali terdengar helaan nafas, membuat Chintya berdecak dan mendekat ke meja Sukma. "Woi! Udah jam makan siang nih, jangan bengong aja!" Sukma tersentak, hampir saja terlonjak karena saking
"Ha~, lembur dadakan," oceh Sukma begitu turun dari mobil online pesanannya. Tidak seperti biasanya yang lebih senang menggunakan ojek online karena harganya lebih bersahabat, malam ini Sukma terpaksa mengeluarkan uang lebih untuk memesan mobil online karena ia sangat kelelahan. Padahal jam baru menunjukan pukul 09.00 malam, namun Sukma terlihat seperti karyawan yang melakukan kerja lembur sampai tengah malam. Saat hendak naik lift, Sukma begitu terkejut karena melihat Fikri juga memarkirkan mobil di pekarangan rumah. Sukma segera membenarkan posisinya berjalan, lebih tegak dan tidak loyo seperti sebelumnya. Seperti tidak melihat apapun, Fikri mengabaikan keberadaan Sukma yang berdiri di sampingnya. Begitupun dengan Sukma, ia mencoba mengabaikan Fikri sampai keduanya masuk ke dalam rumah dan berjalan menuju ruang tengah dengan santai. Sampai sesuatu membuat Sukma penasaran, sebuah tanda merah yang jelas terlihat sekilas oleh ekor matanya. Sebuah tanda merah yang menarik perhatiann
Tidak ada reaksi dari Fikri membuat Sukma jadi kebingungan, ia ingin sekali mendekat dan melihat reaksi pria itu yang mungkin saja terlalu syok dengan apa yang dikatakannya barusan. 'Gue salah, ya?' batinnya sambil meringis. 'Harusnya gue nunggu waktu yang tepat, seenggaknya sampe gue baikan sama Fikri.' Di detik ini, Sukma mulai merasa menyesal. Meski sangat penasaran, harusnya ia membicarakan hal sepenting itu dalam keadaan tenang. Raut wajahnya mulai tidak karuan, ingin meminta maaf namun egonya menghalangi. "I-itu...," Sukma terlihat merasa amat bersalah. "I-itu mu-mungkin aja saya salah lia...." "Kamu nggak salah liat," Fikri menghela nafas, berbalik dan menatap Sukma dengan wajah yang terlihat biasa. Sukma amat terkejut, karena berbanding dengan reaksi Fikri berbanding dengan perkiraannya. 'Dia sama sekali nggak nyangkal dan malah kelihatan biasa aja?' berarti yang Sukma bertanya-tanya, matanya melongo menatap Fikri yang terlihat menghela nafas sekali lagi. "Ka-kamu...?"
Sukma jadi pendiam setelah keluar dari kamar mandi, Gladis dan Chintya jadi kebingungan kala melihat wajah pucat Sukma dan menyangka jika temannya itu kerasukan. "Loe yakin nggak kerasukan?" tanya Gladis sekali lagi, membuat Sukma mendelik dan mendengus kasar. "Kalau gue kerasukan, gue udah cakar muka loe!" Bibir mungil Gladis maju beberapa senti, matanya menatap ke arah Chintya seperti meminta pertolongan. Namun tentu saja, Chintya hanya melemparkan senyum dan mengangkat bahunya. "Lagian loe kenapa? Sakit? Muka loe pucet banget abis dari toilet," Chintya juga merasa khawatir dengan tingkah Sukma yang jadi aneh. Namun ia tidak pernah berfikir konyol seperti Gladis, mengira-ngira jika Sukma kerasukan. Seberapapun Gladis dan Chintya bertanya, Sukma hanya diam dan hanya menimpali seadanya. Bahkan setelah keduanya mengantarkan Sukma ke rumahnya, temannya itu masih tidak mau berbicara dan masuk ke gerbang rumah begitu saja tanpa pamit. "Dia nggak bener-bener kerasukan, kan?" Gladis ma
"Kalau nggak suka, harusnya jangan senyumin gue. Jadi kan gue nggak salah faham, malu-maluin banget." Gladis masih saja menggerutu, bahkan setelah ketiganya masuk ke dalam bioskop dan duduk di kursi baris ke 3 dari belakang. Sedangkan pemuda yang sedari tadi ditatapnya, duduk di baris ke 5 dari bagian belakang. Jadi, ia bisa melihat dengan jelas tingkah pemuda yang sebelumnya amat menarik perhatiannya. Pemuda itu terlihat mengusap wajah wanita di sampingnya dengan lembut, bahkan sempat mencium bahunya hingga membuat Gladis semakin kesal. "Kalau mau mesra-mesraan, harusnya di kamar hotel. Mesra-mesraan di bioskop," geram Gladis, matanya terus saja menatap tajam ke arah pemuda yang kini mulai merangkul wanita di sampingnya. Gladis terus saja mengeram, ia terlihat amat kesal dengan tingkah dua sejoli yang diketahuinya adalah pasangan itu. Chintya hanya terus menghela nafas, mencoba untuk menghiraukan Gladis yang marah-marah tidak jelas karena tingkah pasangan yang bahkan tidak diketah
Sukma bisa bernafas lega, untuk kali ini. Sesuai dengan perkiraannya, Hanan memang memberikan surat undangan pernikahan sekaligus basa basi dengannya yang menikah lebih dulu. "Kirain gue yang ngejutin loe, ternyata loe yang ngejutin gue. Pake nikah dadakan," kekeh Hanan sambil terus menyuap nasi goreng kesukaannya. Sukma ikut terkekeh, suasana hatinya semakin membaik terlebih saat menerima undangan pernikahan Hanan. "Gue juga nggak nyangka, tapi mo gimana, emang udah jodoh kali." 'Jodoh?' cebik Sukma dalam hati. 'Jodoh yang dipaksakan dan sekarang gue nyesel.' "Tapi bener loh, gue bener-bener nggak nyangka. Loe kenalan sama dia dimana?" tanya Hanan penasaran, sudah lama ia memikirkan hal itu. Terlebih, sebelumnya Hanan tidak pernah tahu jika ada pria yang dekat dengan Sukma. Kalaupun ada, Hanan pasti tahu dari Gladis yang entah mengapa selalu memberikan info mengenai Sukma. Mendadak Sukma diam mendengar pertanyan itu, bingung harus menjawab apa. "Ke-kenalan di... mimpi?" Dahi H
"Hah? Ma...." Fikri berjalan mendekat, wajahnya didekatkan tepat di telinga Sukma. "Kalau begitu, selamat tidur istriku." Tanpa rasa bersalah, Fikri berjalan menuju kamarnya, meninggalkan Sukma yang mematung dengan seribu tanda tanya di kepalanya. Gadis itu masih mencoba mencerna apa yang dikatakan Fikri sebelumnya, tentang pernikahan siri yang mungkin dilakukannya tanpa sadar. Matanya menatap kosong ke arah lantai yang sebelumnya dijadikan tempat Fikri berdiri, wajah Sukma mirip patung karena tidak menampilkan ekspresi apapun. Datar. 'Ma-maksudnya?' Sukma tidak bereaksi, lebih tepatnya tidak bisa bereaksi. Ia melakukan sebuah kesalahan, kesalahan besar dalam pernikahan. Seharusnya ia memang menolak pernikahaan itu, apapun alasannya. Harusnya ia tidak peduli dengan apa yang dilakukan ibunya, tidak peduli jika undangan sudah tersebar ke para tetangga atau bahkan kerabat jauhnya sudah datang ke rumahnya untuk ikut merayakan hari pernikahannya, tidak peduli jika ia harus menanggung
Sukma tergesa turun ke lobi, memesan taksi offline agar lebih cepat pergi meninggalkan tempat itu dengan segera. Tidak ada hal yang ingin dilakukannya selain segera sampai rumah, menenangkan tubuhnya yang bergetar hebat setelah mendengar fakta yang sama sekali tidak disangkanya. Makanan mahal yang terlanjur dipesannya, dibiarkan begitu saja. Ia terlalu syok jika harus melanjutkan makan siangnya di kondisi seperti itu. Saat sampai rumah, beberapa kali Sukma hampir saja oleng. Tangannya bergetar hebat kala hendak mengambil air minum di gelas, membuatnya mengurungkan niatnya dan duduk di sofa ruang tengah dengan nafas terengah. “Sial!” umpatnya sambil memegang kepalanya kuat, menjambak rambutnya sendiri namun tidak membuat perasaan Sukma semakin lebih baik. “Harusnya gue tau dari gelagatnya, Fikri nggak mungkin belum nikah.” Sebelumnya, wanita cantik yang wajahnya sangat dikagumi Sukma mengenalkan diri. Bukan perkenalan biasa, sebuah perkenalan yang membuat Sukma melongo. Wanita canti
Plak! Sebuah tamparan mendarat di pipi mulus Fikri, membuatnya meringis namun terkekeh pada akhirnya. Ia menatap Sukma dengan tajam. “Apa yang Anda lakukan!” pekik Sukma seraya mengusap kasar bibirnya yang masih basah, matanya melotot sempurna karena begitu terkejut dengan apa yang dilakukan Fikri barusan. “Saya hanya mengabulkan permintaan kamu, salah lagi?” “Bukan itu,” Sukma tercekat. “Bukan begini, kita sedang bicara. Saya hanya ingin mendengar jawaban, bukan hal seperti itu.” “Saya malas menjawab dengan kalimat panjang lebar,” Fikri melangkah semakin dekat membuat Sukma mundur beberapa langkah. “Jadi saya gunakan tindakan untuk menjawab pertanyaan kamu, itu lebih cepat.” Gigi Sukma bergemeletuk, wajahnya terlihat amat marah. Bukan hanya pada apa yang dilakukan suaminya barusan, namun pada sikap kurang ajar pria yang dulu sempat dianggapnya sebagai pangeran. “Kenapa saya mau menikah dengan pria brengsek seperti Anda!” geram Sukma yang membuat Fikri menatapnya lebih tajam. ‘