Meski awalnya tidak percaya dengan lamaran dadakan yang dilayangkan pria yang baru saja dikenalnya, namun Sukma tetap memikirkan lamaran itu dengan serius. Ia bahkan mulai membayangkan membangun rumah tangga dengan Fikri, sebelum tersadar dan memukul kepalanya keras.
“Apa-apaan sih gue, belum juga nikah udah mikir ke yang lain.” Sukma menghela nafas kasar, memeluk gulingnya erat. “Tapi… apa salahnya sih dicoba.”
“Tapi masa nerima lamaran gitu aja, gengsi dong. Tapi…”
Dan masih banyak kalimat tapi lainnya yang membuat Sukma hanya uring-uringan malam itu.
Beberapa hari berlalu, tidak ada kabar dari Fikri membuat Sukma terus saja menghela nafas. Ia merasa lega, namun juga kecewa. Chintya yang duduk di sebelahnya terus saja melirik Sukma, ia merasa ada yang aneh dengan tingkah temannya itu.
“Jangan bilang loe nggak terima gara-gara Hanan tunangan, ya?”
Sukma begidik, saat mendengar bisikan Chintya tepat di telinganya. “Apaan sih, pake bisik-bisik segala.”
“Gue tanya loe nggak terima Hanan tunangan sama cewek lain?”
“Nggak,” jawab Sukma cepat. “Ngapain juga gue mikirin dia, nggak penting.”
Mata Chintya mendelik. “Terus loe kenapa dari tadi hela nafas mulu, kedengeran sampe ke meja gue?”
“Nggak apa-apa, cuma lagi pengen aja.” Sukma menjulurkan lidahnya.
“Dasar,” Chintya mencubit pipi Sukma hingga gadis itu meringis. “Kalau misalkan ada masalah, loe bisa cerita aja ke gue.”
“Gue nggak ada masalah,” jelas Sukma yang langsung mencoba membuka file kerjaannya.
“Tapi gue denger helaan nafas loe dari tadi, bikin risih tau!”
“Ha~” kembali Sukma menghela nafas, kali ini gara-gara Chintya yang merongrongnya dengan pertanyaan aneh.
“Tuh! Loe hela nafas lagi,” Chintya memukul bahu Sukma yang berhasil membuat gadis itu mendelik.
“Gara-gara loe!” kesalnya. “Gangguin mulu.”
‘“Yee!” Chintya ikut kesal, lalu kembali ke mejanya sambil mengoceh karena kesal.
***
Ting tong…
Suara bel berbunyi, membuat Sri -ibu Sukma terkejut dan menghentikan kegiatan membuat kuenya sejenak. Ia meletakkan apron yang digunakan dan membersihkan bagian pakaian yang terkena tepung.
“Bodo ah,” gumamnya sambil beranjak dan membuka pintu.
“Selamat siang,” sapa bu Sri dengan wajah bingung, pemuda tampan dengan senyum ramah berdiri di hadapannya.
Seorang pria dengan perawakan sedang ikut berdiri di belakangnya, tersenyum dengan begitu ramah membuat bu Sri semakin bingung.
‘Bukan debt collector, kan? Si Sukma nggak bikin masalah, kan?’ Batinnya terus menerka.
“Selamat siang, perkenalkan saya Fikri Pradina Makarim.”
“I-iya, saya Sri.”
Bu Sri terlihat ragu, menatap bergantian antara pria yang menyapanya dan yang berdiri di belakangnya. ‘Boleh nih dijadiin mantu,’ batinnya. ‘Seger-seger.’
Meski kebingungan, bu Sri mempersilahkan keduanya masuk seraya menyajikan minuman dan sedikit cemilan.
“Mohon maaf jika kedatangan saya mengganggu,” lembut Fikri sambil mengulas senyum.
“Iya, tidak masalah. Tapi kalau boleh tau, memangnya ada masalah apa ya? Anak saya tidak bikin masalah, kan?”
“Tidak ada masalah, saya kesini karena berniat melamar Sukma Rahayu Anjani secara resmi.”
Kepala bu Sri mengangguk, namun membelalak seketika saat sadar apa yang dikatakan oleh Fikri. “HAH?!”
“Maaf kalau saya terlalu mengejutkan Anda, saya tidak….”
“Me-me-me-melamar?” Gagap bu Sri dengan tidak percaya, matanya melotot sempurna.
“Iya, benar.”
“Anda tidak salah? Tapi Sukma nggak ngomong apa-apa,” panik bu Sri yang langsung berdiri.
“Saya sudah melamar Sukma lebih dulu,” jelas Fikri yang membuat bu Sri langsung terdiam, kemudian duduk setelah merasa agak tenang.
‘Wuah! Berarti Sukma waktu itu nggak bohong,’ batinnya sambil terus menatap Fikri dengan wajah tidak percaya.
“Saya setuju,” bu Sri buka suara yang membuat Fikri terdiam.
“Ma-maaf?”
“Saya sangat setuju Sukma menikah, jadi kapan?” Senyum lebar terlihat mengembang di wajah bu Sri, membuat Fikri jadi bingung termasuk pria lain yang berdiri di belakangnya.
“Oh, saya berniat melaksanakan pernikahan dalam 3 bulan mendatang.”
Senyum bu Sri terlihat semakin lebar, wajahnya terlihat begitu ceria. “Saya setuju, untuk resepsi saya akan….”
“Kami sudah menyiapkan segalanya, tidak perlu khawatir. Ibu tinggal datang saja saat acara berlangsung, ini undangannya.”
“Hah?” lagi-lagi bu Sri sangat terkejut, menatap ke arah undangan yang disodorkan Fikri sambil menelan ludah susah payah/
Fikri menyodorkan undangan, bu Sri menerima dengan tangan gemetar. ‘Memangnya mereka udah ngerencanain pernikahan ini berapa lama?’ Batinnya.
Saat melihat tanggal yang tertera, mata bu Sri kembali membelalak. “I-ini tidak salah? Tanggal 28 Agustus kan… minggu depan?”
“Tidak salah, akad akan dilangsungkan di tanggal itu. Untuk resepsi,” Fikri terlihat ragu. “Akan dilangsungkan setelah pekerjaan saya benar-benar lenggang.”
Mulut bu Sri membulat, ia terlihat faham. ‘Kayaknya dia orang sibuk,’ batinnya sesekali melirik pria yang terus berdiri tanpa bergerak di belakang Fikri.
“Kalau begitu,” Fikri berdiri. “Saya permisi dulu.”
“Kenapa buru-buru sekali?” tanya bu Sri terlihat kebingungan.
“Saya masih ada pekerjaan, maaf jika terburu-buru.”
Kepala bu Sri mengangguk faham, lantas mengantarkan Fikri keluar dan memandangi mobil pria itu meninggalkan pekarangan. Saat menghilang, disaat bersamaan Sukma datang dengan ojol pesanannya.
“Siapa, Bu?” tanya Sukma dengan wajah bingung saat melihat ada mobil mewah yang bertamu ke rumahnya.
Namun bukannya menjawab, ibunya malah senyum-senyum tidak jelas. “Kamu tuh ya,” ucapnya sambil memukul bahu Sukma dengan lembut. “Kalau mau buat kejutan, ya jangan terlalu ngejutin.”
“Hah?” Sukma melongo, berjalan masuk ke dalam rumah mengikuti ibunya dari belakang. “Maksud Ibu apa sih, nggak jelas banget.”
Sukma terus membuntuti, namun ibunya hanya terus tersenyum aneh sambil mengibas-ngibaskan sebuah surat undangan yang dikenal Sukma untuk undangan pernikahan.
“Siapa lagi yang mau nikah?” tanyanya agak kesal. “Dari kemaren kayaknya nggak berenti ada orang nikahan, mana belum gajian lagi.”
“Hehehehe,” ibunya malah cengengesan membuat Sukma semakin bingung.
“Kenapa sih, Bu? Ketawa-ketawa nggak jelas,” ujar Sukma sambil merebut undangan yang ada di tangan ibunya.
‘Mewah banget,’ batinnya seraya membaca nama mempelai yang akan menguras dompetnya kali ini.
“Emang kita punya saudara yang namanya Sukma, Bu?” tanya Sukma yang heran karena nama yang tertera di surat undangan itu tertera nama yang mirip dengan namanya.
“Eyy,” ibunya menyenggol putrinya dengan senyum tidak jelas. “Jangan sok pura-pura, kamu pasti udah tau.”
“Beneran,” dahi Sukma mengernyit. “Aku nggak tau ada saudara aku yang namanya Sukma.”
“Bukan saudara kita yang mau nikah,” balas ibunya masih dengan senyum yang kini berhasil membuat Sukma mendelik.
“Tetangga?” tebaknya. ‘Tapi kayaknya nggak ada tetangga yang namanya Sukma,’ batinnya lagi.
Ibunya masih menggeleng manja, berhasil membuat Sukma hampir mual karena baru kali ini melihat tingkah aneh itu ditujukan kepadanya.
“Nggak usah mesem-mesem deh, Bu!” kesalnya. “Kalau Sukma nggak kenal, Sukma nggak bakal dateng ke acaranya.”
“Harus dateng,” ujar ibunya cepat. ‘Orang dia sendiri pengantennya, mana mungkin nggak dateng,’ cekikik ibunya dalam hati.
“Why?” protes Sukma. “Ngabisin duit aja, mending ditabung.”
“Harus dateng,” ibunya berujar dengan tenang. “Soalnya yang nikah kan, kamu.”
“Ha-hah?” Sukma kembali membaca undangannya, matanya melebar saat melihat isi dan membaca nama lengkap kedua mempelai. “HAH?!” pekiknya.
Like, komen, and share. Update akan rutin, seminggu 3 bab (Senin, Rabu, dan Sabtu) Khusus minggu ini akan update satu bab aja, terimakasih.
“Kenapa Anda seenaknya, merencanakan pernikahan tanpa memberitahu saya!” Suara Sukma membahana memenuhi seluruh ruangan, emosinya naik sampai ubun-ubun kala protesnya hanya ditanggapi wajah datar oleh Fikri. “Ibu kamu setuju, saya juga tidak dengar penolakan dari kamu.” “Tidak menolak bukan berarti setuju!” pekiknya. “Batalkan!” kesalnya. “Tidak bisa,” jawab Fikri enteng. “BATALKAN!” paksanya dengan wajah merah padam, tidak bisa dipungkiri lagi jika Sukma sangat ingin mencakar wajah tampan Fikri kali ini. “Mana mungkin saya batalkan, akadnya akan dimulai beberapa jam lagi.” Sukma membuka mulutnya, oksigen yang masuk ke paru-parunya seakan berkurang drastis. Gadis itu memejamkan mata dan mengepalkan tangan kuat, mencoba meredakan emosi yang benar-benar sudah tidak bisa ditahannya lagi. ‘Ini gara-gara Ibu,’ batinnya kesal. ‘Dia maksa banget pake lemparin banyak dalil anak durhaka segala,’ rutuknya. “Ini gara-gara Ibu, saya cuma ikutin apa keinginan dia.” “Kalau begitu, lanjutka
“Mau kemana?” tanya Sukma dengan wajah bingung, melihat Fikri yang sesaat setelah selesai mandi malah hendak pergi. “Saya masih ada urusan di luar, kamu tidur duluan saja.” ‘Hah?’ Sukma terbengong, menatap kepergian Fikri dengan dahi mengernyit. ‘Bukannya harusnya kita malam pertama-an? Bukan berarti gue ngebet, tapi normalnya kan gitu? Apa dia nggak normal?’ “Astagfirullah,” gumam Sukma sambil memukul kepalanya pelan. “Mikir apa sih gue, bagus kalau misalkan tuh cowok kagak ngebet gituan. Lagian gue juga cape, belum nyiapin mental juga.” Sukma menghela nafas seraya membaringkan tubuhnya di kasur. “Tapi, aneh banget nggak sih?” tanyanya pada diri sendiri. “Biasanya cowok bakal ngebet banget kalau udah sah walaupun nggak suka? Gitu kata temen kantor gue.” Ekor mata Sukma beralih pada jam di dinding yang menunjukkan pukul 11 malam. ‘Urusan apa tengah malem gini?’ Batin Sukma yang membuat dahinya mengerut semakin dalam. ‘Bodo ah,’ kesalnya. ‘Bukan urusan gue.’ Dengan pikiran yang di
Plak! Sebuah tamparan mendarat di pipi mulus Fikri, membuatnya meringis namun terkekeh pada akhirnya. Ia menatap Sukma dengan tajam. “Apa yang Anda lakukan!” pekik Sukma seraya mengusap kasar bibirnya yang masih basah, matanya melotot sempurna karena begitu terkejut dengan apa yang dilakukan Fikri barusan. “Saya hanya mengabulkan permintaan kamu, salah lagi?” “Bukan itu,” Sukma tercekat. “Bukan begini, kita sedang bicara. Saya hanya ingin mendengar jawaban, bukan hal seperti itu.” “Saya malas menjawab dengan kalimat panjang lebar,” Fikri melangkah semakin dekat membuat Sukma mundur beberapa langkah. “Jadi saya gunakan tindakan untuk menjawab pertanyaan kamu, itu lebih cepat.” Gigi Sukma bergemeletuk, wajahnya terlihat amat marah. Bukan hanya pada apa yang dilakukan suaminya barusan, namun pada sikap kurang ajar pria yang dulu sempat dianggapnya sebagai pangeran. “Kenapa saya mau menikah dengan pria brengsek seperti Anda!” geram Sukma yang membuat Fikri menatapnya lebih tajam. ‘
Sukma tergesa turun ke lobi, memesan taksi offline agar lebih cepat pergi meninggalkan tempat itu dengan segera. Tidak ada hal yang ingin dilakukannya selain segera sampai rumah, menenangkan tubuhnya yang bergetar hebat setelah mendengar fakta yang sama sekali tidak disangkanya. Makanan mahal yang terlanjur dipesannya, dibiarkan begitu saja. Ia terlalu syok jika harus melanjutkan makan siangnya di kondisi seperti itu. Saat sampai rumah, beberapa kali Sukma hampir saja oleng. Tangannya bergetar hebat kala hendak mengambil air minum di gelas, membuatnya mengurungkan niatnya dan duduk di sofa ruang tengah dengan nafas terengah. “Sial!” umpatnya sambil memegang kepalanya kuat, menjambak rambutnya sendiri namun tidak membuat perasaan Sukma semakin lebih baik. “Harusnya gue tau dari gelagatnya, Fikri nggak mungkin belum nikah.” Sebelumnya, wanita cantik yang wajahnya sangat dikagumi Sukma mengenalkan diri. Bukan perkenalan biasa, sebuah perkenalan yang membuat Sukma melongo. Wanita canti
"Hah? Ma...." Fikri berjalan mendekat, wajahnya didekatkan tepat di telinga Sukma. "Kalau begitu, selamat tidur istriku." Tanpa rasa bersalah, Fikri berjalan menuju kamarnya, meninggalkan Sukma yang mematung dengan seribu tanda tanya di kepalanya. Gadis itu masih mencoba mencerna apa yang dikatakan Fikri sebelumnya, tentang pernikahan siri yang mungkin dilakukannya tanpa sadar. Matanya menatap kosong ke arah lantai yang sebelumnya dijadikan tempat Fikri berdiri, wajah Sukma mirip patung karena tidak menampilkan ekspresi apapun. Datar. 'Ma-maksudnya?' Sukma tidak bereaksi, lebih tepatnya tidak bisa bereaksi. Ia melakukan sebuah kesalahan, kesalahan besar dalam pernikahan. Seharusnya ia memang menolak pernikahaan itu, apapun alasannya. Harusnya ia tidak peduli dengan apa yang dilakukan ibunya, tidak peduli jika undangan sudah tersebar ke para tetangga atau bahkan kerabat jauhnya sudah datang ke rumahnya untuk ikut merayakan hari pernikahannya, tidak peduli jika ia harus menanggung
Sukma bisa bernafas lega, untuk kali ini. Sesuai dengan perkiraannya, Hanan memang memberikan surat undangan pernikahan sekaligus basa basi dengannya yang menikah lebih dulu. "Kirain gue yang ngejutin loe, ternyata loe yang ngejutin gue. Pake nikah dadakan," kekeh Hanan sambil terus menyuap nasi goreng kesukaannya. Sukma ikut terkekeh, suasana hatinya semakin membaik terlebih saat menerima undangan pernikahan Hanan. "Gue juga nggak nyangka, tapi mo gimana, emang udah jodoh kali." 'Jodoh?' cebik Sukma dalam hati. 'Jodoh yang dipaksakan dan sekarang gue nyesel.' "Tapi bener loh, gue bener-bener nggak nyangka. Loe kenalan sama dia dimana?" tanya Hanan penasaran, sudah lama ia memikirkan hal itu. Terlebih, sebelumnya Hanan tidak pernah tahu jika ada pria yang dekat dengan Sukma. Kalaupun ada, Hanan pasti tahu dari Gladis yang entah mengapa selalu memberikan info mengenai Sukma. Mendadak Sukma diam mendengar pertanyan itu, bingung harus menjawab apa. "Ke-kenalan di... mimpi?" Dahi H
"Kalau nggak suka, harusnya jangan senyumin gue. Jadi kan gue nggak salah faham, malu-maluin banget." Gladis masih saja menggerutu, bahkan setelah ketiganya masuk ke dalam bioskop dan duduk di kursi baris ke 3 dari belakang. Sedangkan pemuda yang sedari tadi ditatapnya, duduk di baris ke 5 dari bagian belakang. Jadi, ia bisa melihat dengan jelas tingkah pemuda yang sebelumnya amat menarik perhatiannya. Pemuda itu terlihat mengusap wajah wanita di sampingnya dengan lembut, bahkan sempat mencium bahunya hingga membuat Gladis semakin kesal. "Kalau mau mesra-mesraan, harusnya di kamar hotel. Mesra-mesraan di bioskop," geram Gladis, matanya terus saja menatap tajam ke arah pemuda yang kini mulai merangkul wanita di sampingnya. Gladis terus saja mengeram, ia terlihat amat kesal dengan tingkah dua sejoli yang diketahuinya adalah pasangan itu. Chintya hanya terus menghela nafas, mencoba untuk menghiraukan Gladis yang marah-marah tidak jelas karena tingkah pasangan yang bahkan tidak diketah
Sukma jadi pendiam setelah keluar dari kamar mandi, Gladis dan Chintya jadi kebingungan kala melihat wajah pucat Sukma dan menyangka jika temannya itu kerasukan. "Loe yakin nggak kerasukan?" tanya Gladis sekali lagi, membuat Sukma mendelik dan mendengus kasar. "Kalau gue kerasukan, gue udah cakar muka loe!" Bibir mungil Gladis maju beberapa senti, matanya menatap ke arah Chintya seperti meminta pertolongan. Namun tentu saja, Chintya hanya melemparkan senyum dan mengangkat bahunya. "Lagian loe kenapa? Sakit? Muka loe pucet banget abis dari toilet," Chintya juga merasa khawatir dengan tingkah Sukma yang jadi aneh. Namun ia tidak pernah berfikir konyol seperti Gladis, mengira-ngira jika Sukma kerasukan. Seberapapun Gladis dan Chintya bertanya, Sukma hanya diam dan hanya menimpali seadanya. Bahkan setelah keduanya mengantarkan Sukma ke rumahnya, temannya itu masih tidak mau berbicara dan masuk ke gerbang rumah begitu saja tanpa pamit. "Dia nggak bener-bener kerasukan, kan?" Gladis ma
"Ada apa lagi?" tanya Chintya dengan wajah lemas, kala menemukan Sukma menatap komputernya dengan tatapan kosong. Tentu saja tidak ada jawaban dari temannya itu, ia terlalu sibuk dengan pemikirannya hingga tidak bisa mendengar apapun suara yang datang dari luar. Selama beberapa hari ini, Sukma merasakan kosong. Meski sudah memiliki suami, ia merasa hidup sendiri. Kadang, rumah yang ia tinggali terasa seperti berhantu. Sukma bahkan sampai menggulung selimut sampai ke kepalanya kala mulai merasakan perasaan aneh, seperti melihat bayangan di jendela atau merasa ada suara yang datang begitu saja. Alhasil, ia jadi tidak bisa tidur dengan nyaman. Kondisi rumahnya sangat berbeda saat ada Fikri, meski keduanya tidur terpisah, namun Sukma merasa aman dan tidak merasakan ada hal yang menakutkan. "Ha~" Kembali terdengar helaan nafas, membuat Chintya berdecak dan mendekat ke meja Sukma. "Woi! Udah jam makan siang nih, jangan bengong aja!" Sukma tersentak, hampir saja terlonjak karena saking
"Ha~, lembur dadakan," oceh Sukma begitu turun dari mobil online pesanannya. Tidak seperti biasanya yang lebih senang menggunakan ojek online karena harganya lebih bersahabat, malam ini Sukma terpaksa mengeluarkan uang lebih untuk memesan mobil online karena ia sangat kelelahan. Padahal jam baru menunjukan pukul 09.00 malam, namun Sukma terlihat seperti karyawan yang melakukan kerja lembur sampai tengah malam. Saat hendak naik lift, Sukma begitu terkejut karena melihat Fikri juga memarkirkan mobil di pekarangan rumah. Sukma segera membenarkan posisinya berjalan, lebih tegak dan tidak loyo seperti sebelumnya. Seperti tidak melihat apapun, Fikri mengabaikan keberadaan Sukma yang berdiri di sampingnya. Begitupun dengan Sukma, ia mencoba mengabaikan Fikri sampai keduanya masuk ke dalam rumah dan berjalan menuju ruang tengah dengan santai. Sampai sesuatu membuat Sukma penasaran, sebuah tanda merah yang jelas terlihat sekilas oleh ekor matanya. Sebuah tanda merah yang menarik perhatiann
Tidak ada reaksi dari Fikri membuat Sukma jadi kebingungan, ia ingin sekali mendekat dan melihat reaksi pria itu yang mungkin saja terlalu syok dengan apa yang dikatakannya barusan. 'Gue salah, ya?' batinnya sambil meringis. 'Harusnya gue nunggu waktu yang tepat, seenggaknya sampe gue baikan sama Fikri.' Di detik ini, Sukma mulai merasa menyesal. Meski sangat penasaran, harusnya ia membicarakan hal sepenting itu dalam keadaan tenang. Raut wajahnya mulai tidak karuan, ingin meminta maaf namun egonya menghalangi. "I-itu...," Sukma terlihat merasa amat bersalah. "I-itu mu-mungkin aja saya salah lia...." "Kamu nggak salah liat," Fikri menghela nafas, berbalik dan menatap Sukma dengan wajah yang terlihat biasa. Sukma amat terkejut, karena berbanding dengan reaksi Fikri berbanding dengan perkiraannya. 'Dia sama sekali nggak nyangkal dan malah kelihatan biasa aja?' berarti yang Sukma bertanya-tanya, matanya melongo menatap Fikri yang terlihat menghela nafas sekali lagi. "Ka-kamu...?"
Sukma jadi pendiam setelah keluar dari kamar mandi, Gladis dan Chintya jadi kebingungan kala melihat wajah pucat Sukma dan menyangka jika temannya itu kerasukan. "Loe yakin nggak kerasukan?" tanya Gladis sekali lagi, membuat Sukma mendelik dan mendengus kasar. "Kalau gue kerasukan, gue udah cakar muka loe!" Bibir mungil Gladis maju beberapa senti, matanya menatap ke arah Chintya seperti meminta pertolongan. Namun tentu saja, Chintya hanya melemparkan senyum dan mengangkat bahunya. "Lagian loe kenapa? Sakit? Muka loe pucet banget abis dari toilet," Chintya juga merasa khawatir dengan tingkah Sukma yang jadi aneh. Namun ia tidak pernah berfikir konyol seperti Gladis, mengira-ngira jika Sukma kerasukan. Seberapapun Gladis dan Chintya bertanya, Sukma hanya diam dan hanya menimpali seadanya. Bahkan setelah keduanya mengantarkan Sukma ke rumahnya, temannya itu masih tidak mau berbicara dan masuk ke gerbang rumah begitu saja tanpa pamit. "Dia nggak bener-bener kerasukan, kan?" Gladis ma
"Kalau nggak suka, harusnya jangan senyumin gue. Jadi kan gue nggak salah faham, malu-maluin banget." Gladis masih saja menggerutu, bahkan setelah ketiganya masuk ke dalam bioskop dan duduk di kursi baris ke 3 dari belakang. Sedangkan pemuda yang sedari tadi ditatapnya, duduk di baris ke 5 dari bagian belakang. Jadi, ia bisa melihat dengan jelas tingkah pemuda yang sebelumnya amat menarik perhatiannya. Pemuda itu terlihat mengusap wajah wanita di sampingnya dengan lembut, bahkan sempat mencium bahunya hingga membuat Gladis semakin kesal. "Kalau mau mesra-mesraan, harusnya di kamar hotel. Mesra-mesraan di bioskop," geram Gladis, matanya terus saja menatap tajam ke arah pemuda yang kini mulai merangkul wanita di sampingnya. Gladis terus saja mengeram, ia terlihat amat kesal dengan tingkah dua sejoli yang diketahuinya adalah pasangan itu. Chintya hanya terus menghela nafas, mencoba untuk menghiraukan Gladis yang marah-marah tidak jelas karena tingkah pasangan yang bahkan tidak diketah
Sukma bisa bernafas lega, untuk kali ini. Sesuai dengan perkiraannya, Hanan memang memberikan surat undangan pernikahan sekaligus basa basi dengannya yang menikah lebih dulu. "Kirain gue yang ngejutin loe, ternyata loe yang ngejutin gue. Pake nikah dadakan," kekeh Hanan sambil terus menyuap nasi goreng kesukaannya. Sukma ikut terkekeh, suasana hatinya semakin membaik terlebih saat menerima undangan pernikahan Hanan. "Gue juga nggak nyangka, tapi mo gimana, emang udah jodoh kali." 'Jodoh?' cebik Sukma dalam hati. 'Jodoh yang dipaksakan dan sekarang gue nyesel.' "Tapi bener loh, gue bener-bener nggak nyangka. Loe kenalan sama dia dimana?" tanya Hanan penasaran, sudah lama ia memikirkan hal itu. Terlebih, sebelumnya Hanan tidak pernah tahu jika ada pria yang dekat dengan Sukma. Kalaupun ada, Hanan pasti tahu dari Gladis yang entah mengapa selalu memberikan info mengenai Sukma. Mendadak Sukma diam mendengar pertanyan itu, bingung harus menjawab apa. "Ke-kenalan di... mimpi?" Dahi H
"Hah? Ma...." Fikri berjalan mendekat, wajahnya didekatkan tepat di telinga Sukma. "Kalau begitu, selamat tidur istriku." Tanpa rasa bersalah, Fikri berjalan menuju kamarnya, meninggalkan Sukma yang mematung dengan seribu tanda tanya di kepalanya. Gadis itu masih mencoba mencerna apa yang dikatakan Fikri sebelumnya, tentang pernikahan siri yang mungkin dilakukannya tanpa sadar. Matanya menatap kosong ke arah lantai yang sebelumnya dijadikan tempat Fikri berdiri, wajah Sukma mirip patung karena tidak menampilkan ekspresi apapun. Datar. 'Ma-maksudnya?' Sukma tidak bereaksi, lebih tepatnya tidak bisa bereaksi. Ia melakukan sebuah kesalahan, kesalahan besar dalam pernikahan. Seharusnya ia memang menolak pernikahaan itu, apapun alasannya. Harusnya ia tidak peduli dengan apa yang dilakukan ibunya, tidak peduli jika undangan sudah tersebar ke para tetangga atau bahkan kerabat jauhnya sudah datang ke rumahnya untuk ikut merayakan hari pernikahannya, tidak peduli jika ia harus menanggung
Sukma tergesa turun ke lobi, memesan taksi offline agar lebih cepat pergi meninggalkan tempat itu dengan segera. Tidak ada hal yang ingin dilakukannya selain segera sampai rumah, menenangkan tubuhnya yang bergetar hebat setelah mendengar fakta yang sama sekali tidak disangkanya. Makanan mahal yang terlanjur dipesannya, dibiarkan begitu saja. Ia terlalu syok jika harus melanjutkan makan siangnya di kondisi seperti itu. Saat sampai rumah, beberapa kali Sukma hampir saja oleng. Tangannya bergetar hebat kala hendak mengambil air minum di gelas, membuatnya mengurungkan niatnya dan duduk di sofa ruang tengah dengan nafas terengah. “Sial!” umpatnya sambil memegang kepalanya kuat, menjambak rambutnya sendiri namun tidak membuat perasaan Sukma semakin lebih baik. “Harusnya gue tau dari gelagatnya, Fikri nggak mungkin belum nikah.” Sebelumnya, wanita cantik yang wajahnya sangat dikagumi Sukma mengenalkan diri. Bukan perkenalan biasa, sebuah perkenalan yang membuat Sukma melongo. Wanita canti
Plak! Sebuah tamparan mendarat di pipi mulus Fikri, membuatnya meringis namun terkekeh pada akhirnya. Ia menatap Sukma dengan tajam. “Apa yang Anda lakukan!” pekik Sukma seraya mengusap kasar bibirnya yang masih basah, matanya melotot sempurna karena begitu terkejut dengan apa yang dilakukan Fikri barusan. “Saya hanya mengabulkan permintaan kamu, salah lagi?” “Bukan itu,” Sukma tercekat. “Bukan begini, kita sedang bicara. Saya hanya ingin mendengar jawaban, bukan hal seperti itu.” “Saya malas menjawab dengan kalimat panjang lebar,” Fikri melangkah semakin dekat membuat Sukma mundur beberapa langkah. “Jadi saya gunakan tindakan untuk menjawab pertanyaan kamu, itu lebih cepat.” Gigi Sukma bergemeletuk, wajahnya terlihat amat marah. Bukan hanya pada apa yang dilakukan suaminya barusan, namun pada sikap kurang ajar pria yang dulu sempat dianggapnya sebagai pangeran. “Kenapa saya mau menikah dengan pria brengsek seperti Anda!” geram Sukma yang membuat Fikri menatapnya lebih tajam. ‘