Bahkan detik ini pun Dyta masih berusaha curi pandang ke arah pak tua sambil melangkah, pria yang sedang duduk itu tak kalah dengannya, pandangan pak tua mengikuti langkah pasangan tersebut. Sekitar 4 langkah saja, pak tua bersuara menahan kepergian mereka.
“Saya seperti pernah melihat kalian,” lontarnya lebih lanjut. “Kalian yang ….”
Dyta tetap yang paling menggebu dalam hal ini, ia segera menyambung. “Bapak ingat kami? Jadi Bapak beneran Pak Kumis yang waktu itu kan?”
Kumis tipis itu memang masih sama, hanya rambut serta pakaian pria itu saja yang tampak berantakan, serta wajah dan tubuhnya agak kumal layaknya orang-orang yang hidupnya di jalanan.
Mendengar kalimat Dyta pak tua menggerakkan seluruh tubuhnya, seperti ingin berdiri, dia memang sedang berusaha bangkit dari posisi duduk. Aldo yang merasa tidak tega baru hendak membantu, tapi dia sudah lebih dulu berhasil menegakkan posisi dengan cukup susah payah.
Sesaat Aldo mengajak pak tua menuju kursi halte yang berada tidak begitu jauh dari tempat mereka berdiri, mendudukkan pria renta itu dengan perlahan, obrolan kecil pun berlangsung setelahnya.Pak tua menceritakan bagaimana dia melewati hari-hari. Aldo dan Dyta menantikan hal ini, karena memang sudah sangat penasaran dengan apa yang terjadi sebenarnya.“Seandainya waktu dapat diulang … saya akan memilih menjadi manusia yang lebih bermanfaat di masa lalu. Tidak akan seangkuh dulu, dengan begitu mudah memperlakukan semua orang bagaikan binatang.”Glek!Pak tua sampai menelan saliva, membayangkan betapa garangnya dia ketika itu. Mentang-mentang dia berkuasa, bisa berbuat seenaknya saja terhadap semua orang!“Tapi coba lihat sekarang ….” Ia melirik dirinya sendiri, yang kini begitu kasihan. “Kalian pasti berpikir ini pantas untukku,” senyumnya lirih.Aldo dan Dyta enggan menanggapi bagian in
Setelah Dyta menuju lantai atas, Aldo juga memilih masuk ke kamarnya tanpa menunggu Tiara memasuki mansion ataupun menghampiri pasangan itu. Namun berbeda dengan Dyta, Aldo bukannya tidak nyaman terhadap salah satu dari mereka atau apapun itu, malahan Aldo akan dengan sangat berani mempertanyakan tentang keasyikan pasangan itu saat ditinggal berduaan, Aldo hanya merasa tak penting mengurusi hal beginian.Lagipula hari ini lumayan melelahkan, dia merasakan seluruh tubuhnya terasa remuk, Aldo butuh beristirahat segera. Hari ini begitu padat padahal awalnya tidak banyak pekerjaan yang dia kerjakan malah bisa pulang lebih awal dari kantor, tapi justru disambut dengan kegiatan tak disangka. Namun baginya cukup menyenangkan dan bermakna pula.Terlebih besok pergi bersama Dyta, Aldo tak ingin menghabiskan sedikit waktu yang tersisa buatnya beristirahat itu lagi. Yah, hanya sedikit saja, hari mulai larut sekitar 6 jam kemudian langit akan kembali terang.***Aldo
“Kalian datang kok nggak bilang-bilang?” protes Atika yang segera menghampiri pasangan itu.“Tante,” sapa Dyta juga sambil mendekati Atika hendak cupika-cupiki seperti biasa.Namun baru 3 langkah Dyta berjalan, Aldo tiba-tiba memanggilnya.“Kamu berdarah, Dyt!” ucapnya panik bukan main.“Berdarah? Mana yang berdarah?” Atika dan Alya tak kalah paniknya.Sedangkan Aldo sudah langsung berlarian ke arah titik kumpul.“Kamu terluka, Dyt? Bagian mana yang sakit?” cecar Atika memutar tubuh Dyta.“Aku nggak tau, Tan … nggak ada yang sakit. Biasa aja kok.”Walaupun begitu, tetap saja Atika merasa perlu mencari tahu tubuh Dyta yang bagian mana yang terluka seperti kata Aldo.Mula-mula mata perempuan paruh baya tersebut langsung tertuju pada kepala bagian belakang Dyta karena gadis itu meraba daerah sana. Namun ia tak menemukan apapun, begitupun dengan D
Sesaat Aldo bergegas menyusul mereka semua memasuki rumah. Di dalam sana justru ada hal tegang lain yang sedang menanti. Aldo terhenyak, dan seketika menghentikan langkahnya saat melihat seseorang di dalam sana.“Kamu ngapain disini?” hardiknya dengan suara terdengar garang, wajahnya sendiri telah berubah sangat dingin.Orang yang dia bentak tak kalah terkejutnya saat melihat wajah Aldo yang berdiri tegak di hadapannya ketika ia menoleh ke kanan.“K-Kak Aldo …,” sebut orang itu gagap.Aldo melangkah beberapa langkah lebih mendekat orang itu baru berbicara lagi.“Berani banget kamu kesini? Mentang-mentang nggak ada aku di rumah ya, huh?!”“M-maaf ….”Sekarang bahkan tangan Aldo telah menempel pada kerah pakaian orang itu, mengangkatnya tinggi hingga tubuh pria tersebut ikut beranjak.“Maaf saja mungkin nggak akan cukup, karena kamu nggak ada kapoknya!”
Aldo tampak duduk lesu di teras belakang, Atika meminta Dyta menghampirinya. Dyta mendekat, dan merebahkan diri duduk di samping Aldo.“Cowok tadi itu siapa sih?”Pertanyaan tersebut yang mengawali pembicaraan pasangan itu.“Aku lagi malas ngomongin dia, bisakah kamu nggak bahas tentangnya?” sahut Aldo ketus.“Alya kayaknya menyukainya.”Walau sudah diperingatkan Aldo, Dyta tak menghiraukan. Dia tetap saja membahas prihal pria tersebut. Usai berucap, Dyta menyodorkan sebotol minuman cola untuk Aldo.“Minumlah, biar kepalamu dingin.”Beruntung kalimatnya itu tidak membuat Aldo yang sedang sensitif itu tersinggung ataupun marah padanya. Sikap Aldo biasa saja, ia justru menerima pemberian Dyta, lalu memutar tutup botol, membuka dan meneguk minuman berwarna merah itu.Cuaca yang cukup panas, serta perjalanan mereka menuju kediaman Eduard menyita banyak waktu, Aldo memang butuh minuman
“Mama! Tolong!” teriak Bagas ketakutan saat melihat wajah ibunya di depan pintu bersama yang lain.Sementara Alya tampak syok melihat pemandangan yang sedang tersaji di hadapannya.“Fadli! Apa yang kamu lakukan sama anakku?” Kedua tangan Alya terangkat menutup mulut.Ternyata apa yang dipikirkan Dyta tadi benar! Fadli ada niat jahat terhadap Bagas, mungkin Alya juga. Saat itu dia sedang membekap Bagas sambil menodongkan sebilah senjata tajam di dekat lehernya. Senyum seringat terbesit di sudut bibirnya.Bagas baru pulang dari sekolah, sebenarnya hari ini libur, karena sekolah mereka sedang ada kegiatan tambahan saja. Bagas diantar oleh bus sekolah seperti biasa, barusan dia turun dari bus, dan mobil sekolah itu juga belum 6 detik lenyap dari pandangan Bagas. Tak disangka ia malah mengalami kejadian demikian.“Fadli! Mau kau apakan cucuku?” Atika tak kalah syoknya.“Lepaskan cucuku! Ternyata Aldo bena
Aldo jelas berhasil, Fadli terlihat besar kepala mendengar permohonan maaf yang dilayangkan Aldo, begitu dramatis baginya. Ia terbahak puas. Aldo membiarkannya merasa senang. Sejenak lagi-lagi Aldo melihat sorot mata yang sangat dia kenal ini.“Tapi mana mungkin?” gumam Aldo mencubit-cubit dagu. Masalahnya Fadli dan orang ini jelas berbeda. Ataukah hanya kebetulan mirip?Duag!Tring … ting … ting ….Lamunan Aldo buyar oleh berbagai bunyi, baik itu suara tendangan yang dilayangkan oleh Erlan tepat pada tangan Fadli, maupun dentingan pisau yang terjatuh. Erlan berhasil melumpuhkan dia. Belum lagi jeritan Fadli saat jagoan kecil yang dia bekap menggigit tangannya kuat-kuat.“Anak pintar!” puji Aldo.Sesungguhnya Aldo dan yang lainnya terlalu meremehkan Fadli soal ini, padahal bahaya masih mengancam. Bagas sedang berlarian menuju ke arah Alya sekarang, sementara Fadli masih berusaha menjangkaunya tanp
“Mau ngomong apa? Kayaknya serius banget.”“Begini … aku kok ngerasa dia memang ada niat jahat sejak awal ya, maksudnya bukan karena ingin membalas perlakuanmu terhadapnya … yah, bisa aja kan dia punya dendam lain misalnya.”“Gini, gini ….” Dyta masih melanjutkan lagi asumsinya. “Coba kamu pikir deh, Do … dia nyulik Bagas iya kan? Terus dia punya pisau … darimana coba dia dapat pisau? Bukankah itu artinya dia sudah memiliki persiapan yang mateng untuk itu semua?”“Ada benernya juga sih,” tanggap Aldo nampak mengerutkan dahi, dan sedikit memiringkan kepalanya, merenungkan ucapan Dyta.“Aku sih ngerasa gitu. Soalnya kalau dia memang tersinggung sama kamu, dia nggak mungkin kan udah siapin pisau.”“Bener, bener,” setuju Aldo sambil mengangguk. Selanjutnya dia masih sempat menggoda Dyta. “Ternyata kacang panjang cerdas juga, ya.&