“Kalian datang kok nggak bilang-bilang?” protes Atika yang segera menghampiri pasangan itu.
“Tante,” sapa Dyta juga sambil mendekati Atika hendak cupika-cupiki seperti biasa.
Namun baru 3 langkah Dyta berjalan, Aldo tiba-tiba memanggilnya.
“Kamu berdarah, Dyt!” ucapnya panik bukan main.
“Berdarah? Mana yang berdarah?” Atika dan Alya tak kalah paniknya.
Sedangkan Aldo sudah langsung berlarian ke arah titik kumpul.
“Kamu terluka, Dyt? Bagian mana yang sakit?” cecar Atika memutar tubuh Dyta.
“Aku nggak tau, Tan … nggak ada yang sakit. Biasa aja kok.”
Walaupun begitu, tetap saja Atika merasa perlu mencari tahu tubuh Dyta yang bagian mana yang terluka seperti kata Aldo.
Mula-mula mata perempuan paruh baya tersebut langsung tertuju pada kepala bagian belakang Dyta karena gadis itu meraba daerah sana. Namun ia tak menemukan apapun, begitupun dengan D
Sesaat Aldo bergegas menyusul mereka semua memasuki rumah. Di dalam sana justru ada hal tegang lain yang sedang menanti. Aldo terhenyak, dan seketika menghentikan langkahnya saat melihat seseorang di dalam sana.“Kamu ngapain disini?” hardiknya dengan suara terdengar garang, wajahnya sendiri telah berubah sangat dingin.Orang yang dia bentak tak kalah terkejutnya saat melihat wajah Aldo yang berdiri tegak di hadapannya ketika ia menoleh ke kanan.“K-Kak Aldo …,” sebut orang itu gagap.Aldo melangkah beberapa langkah lebih mendekat orang itu baru berbicara lagi.“Berani banget kamu kesini? Mentang-mentang nggak ada aku di rumah ya, huh?!”“M-maaf ….”Sekarang bahkan tangan Aldo telah menempel pada kerah pakaian orang itu, mengangkatnya tinggi hingga tubuh pria tersebut ikut beranjak.“Maaf saja mungkin nggak akan cukup, karena kamu nggak ada kapoknya!”
Aldo tampak duduk lesu di teras belakang, Atika meminta Dyta menghampirinya. Dyta mendekat, dan merebahkan diri duduk di samping Aldo.“Cowok tadi itu siapa sih?”Pertanyaan tersebut yang mengawali pembicaraan pasangan itu.“Aku lagi malas ngomongin dia, bisakah kamu nggak bahas tentangnya?” sahut Aldo ketus.“Alya kayaknya menyukainya.”Walau sudah diperingatkan Aldo, Dyta tak menghiraukan. Dia tetap saja membahas prihal pria tersebut. Usai berucap, Dyta menyodorkan sebotol minuman cola untuk Aldo.“Minumlah, biar kepalamu dingin.”Beruntung kalimatnya itu tidak membuat Aldo yang sedang sensitif itu tersinggung ataupun marah padanya. Sikap Aldo biasa saja, ia justru menerima pemberian Dyta, lalu memutar tutup botol, membuka dan meneguk minuman berwarna merah itu.Cuaca yang cukup panas, serta perjalanan mereka menuju kediaman Eduard menyita banyak waktu, Aldo memang butuh minuman
“Mama! Tolong!” teriak Bagas ketakutan saat melihat wajah ibunya di depan pintu bersama yang lain.Sementara Alya tampak syok melihat pemandangan yang sedang tersaji di hadapannya.“Fadli! Apa yang kamu lakukan sama anakku?” Kedua tangan Alya terangkat menutup mulut.Ternyata apa yang dipikirkan Dyta tadi benar! Fadli ada niat jahat terhadap Bagas, mungkin Alya juga. Saat itu dia sedang membekap Bagas sambil menodongkan sebilah senjata tajam di dekat lehernya. Senyum seringat terbesit di sudut bibirnya.Bagas baru pulang dari sekolah, sebenarnya hari ini libur, karena sekolah mereka sedang ada kegiatan tambahan saja. Bagas diantar oleh bus sekolah seperti biasa, barusan dia turun dari bus, dan mobil sekolah itu juga belum 6 detik lenyap dari pandangan Bagas. Tak disangka ia malah mengalami kejadian demikian.“Fadli! Mau kau apakan cucuku?” Atika tak kalah syoknya.“Lepaskan cucuku! Ternyata Aldo bena
Aldo jelas berhasil, Fadli terlihat besar kepala mendengar permohonan maaf yang dilayangkan Aldo, begitu dramatis baginya. Ia terbahak puas. Aldo membiarkannya merasa senang. Sejenak lagi-lagi Aldo melihat sorot mata yang sangat dia kenal ini.“Tapi mana mungkin?” gumam Aldo mencubit-cubit dagu. Masalahnya Fadli dan orang ini jelas berbeda. Ataukah hanya kebetulan mirip?Duag!Tring … ting … ting ….Lamunan Aldo buyar oleh berbagai bunyi, baik itu suara tendangan yang dilayangkan oleh Erlan tepat pada tangan Fadli, maupun dentingan pisau yang terjatuh. Erlan berhasil melumpuhkan dia. Belum lagi jeritan Fadli saat jagoan kecil yang dia bekap menggigit tangannya kuat-kuat.“Anak pintar!” puji Aldo.Sesungguhnya Aldo dan yang lainnya terlalu meremehkan Fadli soal ini, padahal bahaya masih mengancam. Bagas sedang berlarian menuju ke arah Alya sekarang, sementara Fadli masih berusaha menjangkaunya tanp
“Mau ngomong apa? Kayaknya serius banget.”“Begini … aku kok ngerasa dia memang ada niat jahat sejak awal ya, maksudnya bukan karena ingin membalas perlakuanmu terhadapnya … yah, bisa aja kan dia punya dendam lain misalnya.”“Gini, gini ….” Dyta masih melanjutkan lagi asumsinya. “Coba kamu pikir deh, Do … dia nyulik Bagas iya kan? Terus dia punya pisau … darimana coba dia dapat pisau? Bukankah itu artinya dia sudah memiliki persiapan yang mateng untuk itu semua?”“Ada benernya juga sih,” tanggap Aldo nampak mengerutkan dahi, dan sedikit memiringkan kepalanya, merenungkan ucapan Dyta.“Aku sih ngerasa gitu. Soalnya kalau dia memang tersinggung sama kamu, dia nggak mungkin kan udah siapin pisau.”“Bener, bener,” setuju Aldo sambil mengangguk. Selanjutnya dia masih sempat menggoda Dyta. “Ternyata kacang panjang cerdas juga, ya.&
Apapun yang terjadi, tidak akan mengubah pendirian Aldo yang bertujuan untuk mengajak Dyta jalan-jalan hari ini. Tak ada kejadian yang terlalu mengganggu juga, malah Aldo merasa bersyukur adanya kasus seperti ini ketika dia dan Dyta pulang ke Bukittinggi.Jika saja hal itu terjadi tanpa kehadiran mereka, entah apa yang akan terjadi sekarang ini. Mungkin Alya maupun Bagas telah celaka, atau bisa juga Atika maupun Erlan yang mengalaminya. So, big blessed yang Aldo rasakan.Usai makan siang, Aldo dan Dyta pamit pada Atika untuk mengajak Dyta keliling Bukittinggi.“Mami sama Papi nggak ikutan sekalian? Kalian kan juga jarang jalan-jalan, mumpung ada Aldo disini.”“Iya, Tan … nggak apa-apa kok, makin rame kan makin seru,” sambung Dyta yang mengira mungkin saja kedua calon mertuanya itu tak nyaman sama dia.“Lain kali saja,” sahut Erlan.“Iya, benar, lain kali aja,” sambung Atika. “Lagia
“Maafin Aldo, Pi … Aldo janji setelah semuanya beres, Aldo akan baik-baik menata kehidupan Aldo.”“Ayo, Dyt kita jalan sekarang,” ajaknya kemudian. Dia melakukan itu tentu untuk menghindari Erlan maupun Atika.Tangan Erlan terangkat, hendak menahan kepergian putranya, tapi juga ragu hendak melakukannya atau tidak. Mendebatkan hal seperti ini pada waktu yang tidak tepat juga bukan solusi yang tepat. Hingga pada akhirnya, Erlan mengurungkan niatnya, membiarkan Aldo dan Dyta berlalu begitu saja. Pasangan paruh baya itu hanya bisa menatap kepergian anak serta calon menantu mereka dengan tatapan lirih.“Aku khawatir, Erlan … semoga tidak adalagi sesuatu yang buruk terjadi sama keluarga kita,” lontar Atika. Kalimatnya tidak terdengar oleh Aldo dan Dyta pastinya. Ia berkata pelan saja, hanya Erlan yang dapat mendengarnya. Selain itu pasangan muda tersebut bahkan telah lenyap dari pandangan mereka berdua.Erlan me
Tiba lagi di rumah, hari mulai larut. Sebelumnya tentu mereka juga wisata kuliner lebih dulu, nasi kapau fenomenal tak luput dari pilihan mereka. Sehingga sesampainya mereka di rumah, keduanya hanya perlu membersihkan diri, lalu beristirahat.Namun, Aldo yang tidak bisa terlelap memilih keluar dari kamar menuju teras. Disana ternyata juga ada Alya. Aldo lalu mendekatinya secara perlahan.“Malam-malam begini kok sendirian di luar?!” lontar Aldo sambil melangkah.Tentu kehadiran Aldo mengejutkan perempuan itu.“Eh … Kak Aldo belum tidur?”“Nggak bisa tidur, nggak ngantuk.”“Tapi, habis jalan-jalan pasti capek banget.”Aldo tak menjawab, ia lebih kepada merebahkan diri pada kursi panjang yang diduduki Alya, adiknya itu yang kecantikannya hampir menyamai Dyta bergegas menggeser posisinya. Setelahnya ia justru mengalihkan topik.“Soal mereka … kamu kenapa nggak ceri