“Aku rasa ini tempatnya,” ujar Aldo seraya menatap bangunan yang seperti sudah ditinggal lama oleh penghuninya. Memang demikian, menurut penduduk sekitar rumah itu tidak ada yang berani beli karena ada makhluk tak kasat mata. “Ayo kita masuk sebelum hari gelap!” ajak Aldo kemudian. Hari memang sudah lumayan sore.
Aldo berjalan di depan, Dyta membuntutinya. Mereka melangkah dengan sangat pelan, menuju pintu masuk satu-satunya rumah itu sambil celingak-celinguk buat memastikan kondisi dalam keadaan aman. Hawa mistis yang membuat merinding khas rumah kosong sedikit terabaikan, melainkan perhatian mereka lebih kepada mewaspadai manusia berprilaku iblis, yang begitu tega menyekap Alya.
“Kamu yakin ini tempatnya, Do? Keknya nggak ada orang,” ucap Dyta pelan menyerupai berbisik. Sepanjang mereka melangkah, mereka memang tidak melihat siapapun di sana. Bahkan mereka bisa memasuki rumah tersebut dengan leluasa.
“Rumah kosong deka
“Siapa yang melakukan ini, Aya?” tanya Aldo. “Katakan padaku, SIAPA?!” Aldo menaikkan nadanya pada kata terakhir membuat tubuh Alya terlonjak kaget. Ia terlihat ketakutan, sampai menggeser posisinya semakin ke pojok. Melihat hal ini, Dyta bergegas turun tangan.“Aldo, kamu tidak seharusnya bentak Alya. Lihat, kau membuatnya ketakutan.”Aldo menelan saliva, ia sadar, dia memang salah. “Maafin aku,” ucapnya kemudian terdengar lirih. Betapa hancurnya hati Aldo saat ini.Pada detik itu Dyta sedang mencoba mendekat pada Alya, mengimbangi posisi perempuan kecil itu dengan setengah berjongkok. Sementara Alya semakin memepetkan diri ke dinding seolah berharap dapat melarikan diri dari Dyta, hanya saja posisinya sudah sangat terpojok hingga tak dapat kemanapun lagi.“Jangan takut, Alya … ini aku Dyta.” Ia mencoba membujuk.Perlahan, Dyta menurunkan posisinya, dari setengah berjongkok hingga
Beberapa hari berlalu, Aldo perlahan move on dari kejadian pemerkosaan yang menimpa Alya. Walaupun tidak akan pernah dapat menghapus jejak penyesalan tiada tara yang ia rasakan, tapi setidaknya ia mampu berpijak tegar menghadapi hari-hari berikut.Sebab, dia memang tidak boleh terus terpuruk, justru ia harus bangkit demi masa depan keluarganya, demi membalaskan dendam terhadap mereka semua yang sudah menghancurkan keluarga Eduard. Aldo akan memulainya dari usaha kecil-kecilan sesuai saran Dyta, detik itu … bakso gerobakan Aldo resmi dibuka.Sejak saat itu pula, Aldo harus benar-benar menutup telinganya dari berbagai suara yang mengaungkan penghinaan. Orang-orang banyak, mau itu para mahasiswa-i ataupun tetangganya, mereka semua menghina Aldo yang harus menjelma menjadi tukang bakso gerobakan di sela-sela kuliahnya. Tentu saja Recky dan gengnya yang terdepan dalam hal yang satu ini.Aldo mendorong gerobak dari satu tempat ke tempat yang lain demi menjajaka
Beberapa hari lalu, Aldo kembali ke kota dimana ia berasal. 5 tahun sudah sejak kejadian keluarganya diusir dari sana. Hari ini jelas berbeda, Aldo sudah bangkit dari keterpurukan setelah bisnis kecil-kecilannya berkembang pesat menjadi sebuah perusahaan raksasa yang tersebar di berbagai pelosok negeri, bahkan tahun ini mulai merambah ke luar negeri.Semua orang sedang dibuat terperangah ketika ia berjalan menaiki panggung, sebab tak seorang pun yang menyangka OB baru di perusahaan tersebut adalah bos mereka. Yang paling kentara tentu saja Recky serta gengnya.Biasanya, sorakan serta suara tepuk tangan akan menggema memenuhi ruangan saat atasan mereka sedang melintas di kain merah yang tersebar sepanjang menuju panggung. Namun kali ini suasana begitu berbeda, orang-orang justru nampak tegang dan wajah mereka berhiaskan rasa terkejut serta takut, sebab mereka memandang rendah Aldo sebelum ini. Bahkan, MC pun terbengong.Hanya ada beberapa perempuan yang sedari aw
Aldo yang tadinya ingin membongkar jati diri di atas panggung akhirnya berubah pikiran. Ia memilih tetap menyamar saja, sekaligus ingin melihat sejauh apa sikap para karyawannya ini akan memperlakukan dia. Apakah sungguh perusahaannya itu dipenuhi oleh para pencemooh saja, atau masih ada orang baik yang pantas untuk dia pertahankan?Usai mengucap beberapa patah kata saja, Aldo pun menyudahi pidato singkatnya. Sebab, Ia merasa muak dengan kenyataan yang ada. Namun para karyawan justru menganggapnya tak pandai bicara, tak sedikit yang berpikir Tuan Morgan keliru telah mengutus Aldo mewakili dirinya malam itu.“Baru gitu aja udah sombong, dasar OB tidak tau diri!” cibir seorang karyawati saat Aldo menuruni panggung dan sedang melintas di sampingnya yang berhasil menghentikan langkah ketiga pria itu tepat lebih satu langkah darinya.Tentu hal itu memancing emosi bodyguard, tapi Aldo mencegah mereka saat akan menindaki perempuan tersebut. Ia sendiri tak m
Usai berdebat dengan sang menajer, Aldo menyingkir segera, tanpa lupa mengganti pakaiannya terlebih dulu sebelum ia pergi dari perusahaannya itu. Saat menuju pintu keluar sekali lagi dia bertemu dengan si manajernya itu.“Sial, dia lagi,” gumam Aldo.“Nah, itu baru pakaian yang pas untukmu,” hina sang manajer tersenyum miring saat melihat Aldo kembali mengenakan seragam OB. “Kerjaanmu yang tadi sudah selesai?” Imbuhnya bertanya.“Maaf, aku nggak sempat kerjakan karena diminta bertemu pak bos,” sahut Aldo menunjukkan sikap angkuh, membuat si manajer mengernyit.“Cih!” “Atau gini aja, Anda saja yang kerjakan untukku? Nanti aku ajukan biar pak bos nambahin gajimu.”Kalimat Aldo tentu merubah total ekspresi si manajer.“Apa kau bilang? Heh, Miskin! Jangan mentang-mentang kau dekat sama Tuan Morgan, terus kau bisa bersikap seenak ini padaku, bila perlu aku
Jedeg!Aldo sampai terlonjak saat Dave membukakan pintu mobil baginya. Sebab ia terlalu berlarut dalam lamunan singkat.“Silakan, Tuan!”“Makasih Dave.”Ia pun bergegas turun, dan melangkah memasuki kafe seorang diri. Dave tetap tinggal di mobil seperti tadi. Aldo memilih sebuah meja paling pojok sebagai tempat duduknya. Seorang pelayan kafe segera menghampiri.“Ini menunya, silakan Pak mau pesan apa,” ucap perempuan itu sopan. Berbeda jauh dengan perlakuan yang dia dapatkan di perusahaaannya sendiri, walau ia berpenampilan seperti ini, pelayan di sini tetap melayaninya begitu terhormat. Aldo diam-diam memuji keberhasilan pengelola kafe tersebut.“Emh … jus jeruknya boleh 2, gula sama esnya sedikit aja,” sebut Aldo.“Baik, Pak.” Sang pelayan menggoreskan tinta pada nota pesanan. “Adalagi apa, Pak?”“Itu aja.”“Baik, ditunggu
Hari ini, sekembalinya dia ke kota tersebut, selain untuk membalas dendam, ia juga ingin melamar Dyta. Namun, baru saja Aldo mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah dari dalam saku, suara tak asing memenuhi telinganya.“OB melamar pelayan kafe, benar-benar serasi!”Prok … prok … prok.Aldo menoleh pada suara tersebut, dan benar dugaannya, dia mengenal jelas orang itu.“Sialan, kamu kok bisa di sini, Dimas? Bukannya lagi di Australi?”“Haha … tadinya iya, tapi karena mau menghadiri undanganmu aku balik lebih cepat.”“What? Jadi kamu ke kantor tadi?” sebut Aldo agak panik.“Iya nggak … maksudnya tadinya iya, terus nggak sengaja lihat kamu masuk mobil, terus aku ikutin mobilmu sampailah kesini,” terang Dimas mengedikkan bahu.“Oh—” Mulut Aldo membentuk huruf O.“Kamu berpakaian seperti ini buat menghadiri p
“What, suka? Kamu ada-ada aja deh, yang ada aku takut sama dia.”Aldo mengernyit, “Kamu serius? Memang wajah Dimas seserem itu? Alya juga terlihat ketakutan setiap lihat dia.”“Beneran?”“Iya …,” sahut Aldo sambil mencubit-cubit dagu. “Whatever, lupakan dia. Mending bahas tentang kita,” alih Aldo kemudian. “Oh iya, kamu seharian ini ngapain aja?”Malah hal tidak begitu penting yang dibahas oleh Aldo. Selanjutnya mereka pun larut dalam cerita masing-masing.***Sesuai dengan janjinya pada Dyta, Aldo akan kembali pada kehidupannya yang real. Malam ini ia tak lagi menginap di kontrakan sederhana yang dia tempati selama beberapa hari terakhir. Dia akan pulang ke mansionnya, hanya kegiatan di kantor dia masih harus bersandiwara sebentar lagi sampai ia benar-benar menuntaskan musuh-musuhnya.Ting!Notifikasi sebuah pesan masuk menjadi perhatian Aldo ketika