Aldo yang tadinya ingin membongkar jati diri di atas panggung akhirnya berubah pikiran. Ia memilih tetap menyamar saja, sekaligus ingin melihat sejauh apa sikap para karyawannya ini akan memperlakukan dia. Apakah sungguh perusahaannya itu dipenuhi oleh para pencemooh saja, atau masih ada orang baik yang pantas untuk dia pertahankan?
Usai mengucap beberapa patah kata saja, Aldo pun menyudahi pidato singkatnya. Sebab, Ia merasa muak dengan kenyataan yang ada. Namun para karyawan justru menganggapnya tak pandai bicara, tak sedikit yang berpikir Tuan Morgan keliru telah mengutus Aldo mewakili dirinya malam itu.
“Baru gitu aja udah sombong, dasar OB tidak tau diri!” cibir seorang karyawati saat Aldo menuruni panggung dan sedang melintas di sampingnya yang berhasil menghentikan langkah ketiga pria itu tepat lebih satu langkah darinya.
Tentu hal itu memancing emosi bodyguard, tapi Aldo mencegah mereka saat akan menindaki perempuan tersebut. Ia sendiri tak m
Usai berdebat dengan sang menajer, Aldo menyingkir segera, tanpa lupa mengganti pakaiannya terlebih dulu sebelum ia pergi dari perusahaannya itu. Saat menuju pintu keluar sekali lagi dia bertemu dengan si manajernya itu.“Sial, dia lagi,” gumam Aldo.“Nah, itu baru pakaian yang pas untukmu,” hina sang manajer tersenyum miring saat melihat Aldo kembali mengenakan seragam OB. “Kerjaanmu yang tadi sudah selesai?” Imbuhnya bertanya.“Maaf, aku nggak sempat kerjakan karena diminta bertemu pak bos,” sahut Aldo menunjukkan sikap angkuh, membuat si manajer mengernyit.“Cih!” “Atau gini aja, Anda saja yang kerjakan untukku? Nanti aku ajukan biar pak bos nambahin gajimu.”Kalimat Aldo tentu merubah total ekspresi si manajer.“Apa kau bilang? Heh, Miskin! Jangan mentang-mentang kau dekat sama Tuan Morgan, terus kau bisa bersikap seenak ini padaku, bila perlu aku
Jedeg!Aldo sampai terlonjak saat Dave membukakan pintu mobil baginya. Sebab ia terlalu berlarut dalam lamunan singkat.“Silakan, Tuan!”“Makasih Dave.”Ia pun bergegas turun, dan melangkah memasuki kafe seorang diri. Dave tetap tinggal di mobil seperti tadi. Aldo memilih sebuah meja paling pojok sebagai tempat duduknya. Seorang pelayan kafe segera menghampiri.“Ini menunya, silakan Pak mau pesan apa,” ucap perempuan itu sopan. Berbeda jauh dengan perlakuan yang dia dapatkan di perusahaaannya sendiri, walau ia berpenampilan seperti ini, pelayan di sini tetap melayaninya begitu terhormat. Aldo diam-diam memuji keberhasilan pengelola kafe tersebut.“Emh … jus jeruknya boleh 2, gula sama esnya sedikit aja,” sebut Aldo.“Baik, Pak.” Sang pelayan menggoreskan tinta pada nota pesanan. “Adalagi apa, Pak?”“Itu aja.”“Baik, ditunggu
Hari ini, sekembalinya dia ke kota tersebut, selain untuk membalas dendam, ia juga ingin melamar Dyta. Namun, baru saja Aldo mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah dari dalam saku, suara tak asing memenuhi telinganya.“OB melamar pelayan kafe, benar-benar serasi!”Prok … prok … prok.Aldo menoleh pada suara tersebut, dan benar dugaannya, dia mengenal jelas orang itu.“Sialan, kamu kok bisa di sini, Dimas? Bukannya lagi di Australi?”“Haha … tadinya iya, tapi karena mau menghadiri undanganmu aku balik lebih cepat.”“What? Jadi kamu ke kantor tadi?” sebut Aldo agak panik.“Iya nggak … maksudnya tadinya iya, terus nggak sengaja lihat kamu masuk mobil, terus aku ikutin mobilmu sampailah kesini,” terang Dimas mengedikkan bahu.“Oh—” Mulut Aldo membentuk huruf O.“Kamu berpakaian seperti ini buat menghadiri p
“What, suka? Kamu ada-ada aja deh, yang ada aku takut sama dia.”Aldo mengernyit, “Kamu serius? Memang wajah Dimas seserem itu? Alya juga terlihat ketakutan setiap lihat dia.”“Beneran?”“Iya …,” sahut Aldo sambil mencubit-cubit dagu. “Whatever, lupakan dia. Mending bahas tentang kita,” alih Aldo kemudian. “Oh iya, kamu seharian ini ngapain aja?”Malah hal tidak begitu penting yang dibahas oleh Aldo. Selanjutnya mereka pun larut dalam cerita masing-masing.***Sesuai dengan janjinya pada Dyta, Aldo akan kembali pada kehidupannya yang real. Malam ini ia tak lagi menginap di kontrakan sederhana yang dia tempati selama beberapa hari terakhir. Dia akan pulang ke mansionnya, hanya kegiatan di kantor dia masih harus bersandiwara sebentar lagi sampai ia benar-benar menuntaskan musuh-musuhnya.Ting!Notifikasi sebuah pesan masuk menjadi perhatian Aldo ketika
Suara Aldo yang terdengar tak asing membuat manajer itu memiringkan kepala, lalu menggeleng kecil.“Seharusnya aku tidak terlalu banyak berinteraksi sama OB miskin itu, lama-kelamaan bukan hanya suaranya, tapi baunya juga menempel.”Tidak ingin membuat Tuan Morgan menunggu terlalu lama, Haris memasuki ruangan segera.Jegrek!“Selamat pagi, Tuan!” sapa Manajer Haris sopan. “Sesuai dengan janji, saya ingin melaporkan tentang OB baru yang suka membuat ulah di perusahaan ini.”Saat itu ia masih belum melihat wajah Aldo, selain hanya puncak kepalanya saja. Sebab Aldo duduk memunggung di kursi kebesarannya.Karena tak mendapatkan jawaban apapun, Haris agak gugup juga, ia berpikir mungkinkah Tuan Morgan dan Aldo memiliki hubungan baik, lalu big bosnya itu tidak suka ia menjelekkan Aldo di depannya. Namun, hal itu justru membuatnya semakin bertekad untuk menyingkirkan Aldo dari perusahaan tersebut.“T
Cekrek!Haris memotret Aldo yang masih duduk manis di atas kursi kebesaran.“Kita lihat seperti apa reaksi Tuan Morgan saat melihat foto ini. Aku yakin, dia akan langsung mengeluarkan perintah untuk memecatmu,” kata Haris penuh keyakinan.Aldo menaikkan alis, serta menertawai manajernya itu di dalam hati. Yang benar saja tingkah manajer itu jelas begitu menggelitik.Usai menyisipkan foto Aldo pada kotak pesan, Haris menggeser jari jempolnya pada tombol kirim.Ting!Aldo tidak men-silent ponselnya, pesan yang dikirimkan Haris barusan masuk. Walau mungkin hal ini bisa saja sebuah kebetulan, tapi entahlah … Haris merasa ada yang salah, ini terlalu insidental. Tepat pada saat ia mengirim pesan, notifikasi gawai Aldo juga berbunyi.Ia sontak melirik Andini. Perempuan itu terlihat agak bingung melihat raut wajahnya yang berubah tegang. Andini jelas tidak peka akan apa yang dipikirkan Haris.Hingga sejenak, karena s
Selanjutnya hanya terdengar suara derap langkah Dave memasuki ruangan tanpa lupa menutup lagi pintu ruangan Presdir.Ia menatap tajam Haris dan Andini saat melewati mereka."Selamat pagi, Tuan!" Dave menyapa Aldo. "Maaf saya agak telat. Ini surat pemecatan yang Anda minta."Mendengar surat pemecatan, Haris sontak mengangkat wajahnya. Sedangkan Andini sudah lebih dulu melakukannya sejak Dave menyapa Aldo."Tuan … tolong jangan pecat saya, semua ini hanya salah paham. Saya minta maaf sudah bersikap lancang," mohon Haris memelas sembari menatap Aldo dan Dave bergantian dengan keduanya telapak tangan yang didekatkan bersikap memohon.Andini tidak melakukan hal yang sama, ia hanya terbengong seperti merenungkan kejadian yang sedang berlangsung."I-ini …." Kalimat Andini terjeda sejenak karena serak, ia berdehem memulihkan pita suaranya."Pak Haris, Anda bisa menjelaskan semua ini? Bukankah dia Tuan Morgan, t
Deg!Mendengar pernyataan Dave, Andini sampai mundur 2 langkah. Apalagi tatapan Aldo juga begitu dingin, Andini dapat melihat jelas aura kepemimpinan Aldo sekarang, membuatnya reflek menunduk.“M-maafkan saya, Tuan!” ucapnya gagap. Sedikitpun dia tidak berani melihat Aldo, walau hanya mengintip dari sudut atas mata.“Saya juga meminta maaf yang sebesar-besarnya, Tuan Morgan. Tolong jangan pecat kami,” sambung Haris juga sambil menundukkan kepala.Sekian detik Aldo diam, menatap dingin puncak kepala kedua karyawan kurang ajarnya itu. Sebenarnya bukan masalah memaafkan atau tidak, lagian dia juga tidak menyimpan benci terhadap mereka walau mereka menghina dia, jadi tidak ada yang perlu dimaafkan. Ada alasan lain di balik semua ini.“Terlambat!” seru Aldo. “Dave, berikan surat itu pada mereka.“Baik, Tuan,” lembut saja Dave menjawab sambil membungkuk.Keributan tentu segera memenuhi s