Di perjalanan pulang, Dave dan Aldo terlibat perbincangan, masih membicarakan seputaran kasus yang sedang dihadapinya saat ini. Utamanya Dave memastikan rencana Aldo barusan.
“Tuan, Anda yakin mau ke Ciwidey sekarang? Anda dan Nona baru kembali dari Bukittinggi pagi ini, pasti masih lelah.”
“Kelelahan nggak akan bikin mati, kan Dave. Aku mau menyelesaikan urusan ini secepat mungkin,” sahut Aldo sambil tangannya terus mengusap-usap ponsel. Dia sedang bermain game saat itu untuk menghilangkan kepenatan sejenak.
“Siapa bilang lelah tidak bisa bikin meninggal, ada banyak orang yang meninggal karena kelelahan, Tuan.”
“Ah, masa?” Aldo terkekeh. “Jangan lebay! Sejak kenal sama pengawal culun itu kamu jadi suka berlebihan, Dave. Heran!”
Dave sontak mengerutkan wajah, agak kaget Aldo mengaitkan hal ini dengan Tiara. Dia tidak terima.
“Tidak ada hubungannya dengan perempuan itu, Tuan.&r
“Tuan, soal foto tadi, apakah Tuan masih memikirkannya?”Dave jadi teringat akan hal ini setelah mereka membahas panjang lebar tentang geng Recky.“Memangnya kenapa, Dave? Apa ada yang kamu pikirkan tentang itu?”Bukannya menjawab, Aldo justru melempar pertanyaan.“I-iya, Tuan … sebenarnya ….”Walau sangat penasaran dengan apa yang hendak dikatakan Dave, Aldo tetap sabar menunggu kalimat lanjutan dari asistennya itu. Ekspresi Aldo tampak antusias.“Begini, Tuan … bagaimana kalau foto itu ternyata memang fotonya Robert?”Memberikan sedikit jeda, Dave menambahkan lagi, “Masalahnya mayat mereka hilang waktu itu, bagaimana kalau ternyata mereka tidak meninggal?”Aldo tak langsung menjawab, dia terbengong sedari awal Dave menyampaikan pendapatnya. Beberapa detik kedepan Aldo justru terkekeh penuh keraguan. Nyatanya dia memang memiliki asumsinya sendiri.
“Oya? Nggak biasanya Dyta begini.”Aldo jadi berpikir perkataan Dave tadi ada benarnya juga. Mungkin Dyta memang benar-benar kelelahan sampai terlelap selama ini. Sepertinya dia perlu mempertimbangkan lagi soal ke Ciwidey malam ini.Sesaat Aldo malah terbelalak. “Atau jangan-jangan dia sakit?”Tepat pada detik ketika dia selesai berkata, Dyta tiba-tiba muncul di hadapannya.“Siapa bilang aku sakit? Sangat baik malah,” lontarnya yang memang memperlihatkan wajah super fresh karena sudah mendapatkan istirahat cukup.“Eh, kamu udah bangun?” tanggap Aldo agak kaget, kakinya reflek bergerak melewati Bi Imas menghampiri kekasih cantiknya itu.Bukan lagi bangun, tapi Dyta bahkan telah rapi. “Mau kemana berpakaian begitu?” kalimat tersebut lolos begitu saja dari mulut Aldo saat ia telah berdiri tegak hampir tak berjarak di depan Dyta.“Lah, masih nanya … kan kamu mau ngaj
“Ish, kamu ini bener-bener jahil!”“Biarin, biar mereka cepet nikah!”“Dasar!”Pasangan itu lalu terkekeh bersama. Sampai sebuah suara tak asing terdengar menggema menyerbu kuping mereka.“Terus, kalian kapan nikah?” Demikian bunyi dari suara itu.Bagaimana Aldo dan Dyta tidak terkejut, sesungguhnya yang berkata adalah Bi Imas! Aldo sampai menatap asisten rumah tangga itu dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.Demikian juga dengan Bi Imas yang tampak menyentuh bibirnya, ekspresinya itu agak gentar. Sesungguhnya dia bukan dengan sengaja menimpali pembicaraan majikannya ... betapa tidak tahu dirinya dia, Bi Imas juga masih waras!Dia awalnya hanya bergumam, tak disangka malah terdengar jelas di kuping Aldo dan Dyta karena mereka yang sebelumnya sedang sibuk terkekeh ria sempat senyap.“M-maaf, Tuan. Bukan maksud saya lancang. Saya hanya ….”Perempuan par
Aldo benar-benar mengangkat Dyta menuju kamarnya dengan cukup susah payah, ia sampai membanting kekasihnya itu pada ranjang karena kehabisan tenaga. Dyta selalu sangat berat baginya. Napas Aldo ngos-ngosan setelahnya.“Rasain! Udah dibilangin juga, turunin aku ….”“Dan sekarang saatnya kamu membayar semuanya,” tanggap Aldo menyipitkan mata, memasang lagi wajah genit itu sambil menatap intens Dyta.Usai berkata Aldo sudah merangkak menaiki ranjang yang membuat Dyta bersiaga.“Mau apa kamu?”Aldo tak menjawab, tapi bagaikan singa ganas dia langsung meloncat ke arah Dyta serta mendekap perempuan itu erat. Saking cepat gerakannya, Dyta tak sempat menghindar. Selanjutnya Aldo membenamkan wajahnya pada area perut Dyta.“Mau apa sih ih … geli!” respon Dyta berusaha menyingkirkan kepala Aldo. Tanpa lupa menambahkan kalimat ancaman berikut, “Jangan macam-macam!”Ucapan D
“Jangan, Do. Kalau aku hamil gimana?”“Aku akan menikahimu,” sahut Aldo enteng saja tanpa beban.“Tapi ….”“Percayalah padaku, Dyt. Aku sangat mencintaimu.”Aldo tak pedulikan lagi wajah tegang yang masih diperlihatkan Dyta, dia telah mendekatkan wajah ke arah kuping perempuan itu. Sebelum melakukan sesuatu, dia terlebih membisikan sebuah kalimat seperti menanamkan jimat.“I love you so much, Dyta. I will marry you.”Deru napas Aldo menciptakan sensasi geli, tapi juga ada perasaan aneh yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata yang dirasakan oleh Dyta. Entahlah … walau masih sempat menghentikan aksi Aldo sebanyak beberapa kali, Aldo tetap berhasil meruntuhkan benteng pertahanannya.Akhirnya malam itu, segala isi yang ada di dalam ruangan tersebut menjadi saksi bisu kemesraan mereka. Rasa takut yang membuncah di dada Dyta membaur menjadi dengan kenikmatan dun
Sekian detik berselang, Aldo mulai merasa ada yang aneh dengan Dyta yang memunggunginya saat ini. Dia lalu mengendorkan pelukannya.“Dyt, kamu kok diam aja?”Selanjutnya dia juga membalikkan tubuh Dyta yang sedang memunggung menghadap padanya, dan setelahnya Aldo tampak panik. Bagaimana tidak, ternyata Dyta menangis di belakang sana.“Kamu kenapa, Dyt? Ada yang sakit? Aku terlalu kuat ya semalam?”“Bagian mana yang sakit, di situ ya?” Aldo benar-benar panik. “Apa perlu aku belikan obat?”Saat dia baru akan beranjak, Dyta menahannya.“Tidak ada sakit, aku abik-baik aja kok,” lontar perempuan itu.“Baik gimana? Buktinya kamu nangis gitu ….”“Biar aku beliin obat ya, atau salep buat kamu.”Aldo sudah langsung berdiri, dan melangkah. Dia sungguh akan pergi membelikan obat pada Dyta, dia berpikir gara-gara keperkasaannya semalam membuat
Sekitar 3 jam kemudian, Aldo dan Dyta telah rapi dan bersiap berangkat ke Ciwidey. Mereka barusan melangkah keluar dari dalam mansion menuju mobil. Obralan basa-basi terjadi di antara mereka, Aldo yang memulai.“Kamu yakin, Dyt … mau berangkat? Atau besok aja?!”“Yakin kok, memangnya kenapa denganku?”“Ya … siapa tau kamu capek, atau apalah ….”Aldo tidak berani sedikitpun mengungkit soal kejadian semalam, dia sudah cukup kapok takut Dyta seperti tadi lagi. Rasa bersalah masih terus menghantuinya saat ini.“Nggak, aku nggak capek kok. Ayo berangkat sekarang!”“Baiklah kalau begitu.”Akhirnya Aldo pun membukakan pintu mobil bagi Dyta, setelahnya baru dia sendiri mengitari kendaraan mewahnya itu dan turut masuk kedalam sana. Kali ini mereka tidak lagi menggunakan jasa transportasi umum menuju Ciwidey, Aldo membawa mobil.Alunan musik lembut menemani
Aldo dan Dyta turut duduk di teras saat ini menemani sang nenek, saat dipersilakan masuk mereka berkata di luar saja karena sang nenek sepertinya sedang asyik dengan kegiatannya, jadi mereka tak ingin mengacaukannya.“Bi, tolong buatkan 1 gelas kopi sama 1 gelas the hangat!” teriak Sang nenek kemudian.“Nggak perlu repot, Nek. Kalau mau Dyta bisa minta sendiri.”“Kamu ini kayak orang lain aja, Dyt. Nenek nggak merasa direpotin kok.Jika teringat perjumpaan pertama mereka dengan sang nenek, tentu perlakuan yang mereka dapatkan begitu jauh berbeda. Di kala itu Aldo terlihat biasa-biasa saja, sedangkan sekarang ia telah menampakkan siapa dia.Perasaan begini akan hadir di saat-saat seperti ini, terkadang Aldo merasa muak, uang selalu menjadi tolak ukur orang-orang terhadap yang lain.Seperti yang pernah dia katakan terhadap seorang pria yang kebetulan ketemu dengannya kala itu, pria tersebut ingin bunuh diri karena