Aldo dan Dyta turut duduk di teras saat ini menemani sang nenek, saat dipersilakan masuk mereka berkata di luar saja karena sang nenek sepertinya sedang asyik dengan kegiatannya, jadi mereka tak ingin mengacaukannya.
“Bi, tolong buatkan 1 gelas kopi sama 1 gelas the hangat!” teriak Sang nenek kemudian.
“Nggak perlu repot, Nek. Kalau mau Dyta bisa minta sendiri.”
“Kamu ini kayak orang lain aja, Dyt. Nenek nggak merasa direpotin kok.
Jika teringat perjumpaan pertama mereka dengan sang nenek, tentu perlakuan yang mereka dapatkan begitu jauh berbeda. Di kala itu Aldo terlihat biasa-biasa saja, sedangkan sekarang ia telah menampakkan siapa dia.
Perasaan begini akan hadir di saat-saat seperti ini, terkadang Aldo merasa muak, uang selalu menjadi tolak ukur orang-orang terhadap yang lain.
Seperti yang pernah dia katakan terhadap seorang pria yang kebetulan ketemu dengannya kala itu, pria tersebut ingin bunuh diri karena
“Benarkah? Sudah ada harinya? Wah! Nenek turut senang mendengarnya. Sangat bagus!”Jika sang nenek terlihat begitu gembira, Dyta justru menatap Aldo dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Pada saat bersamaan, Jalu tiba-tiba muncul di hadapan mereka. Dia baru baru pulang kerja, hari itu kebetulan pulang lebih cepat.“Wah! Ada tamu ternyata,” ucap pria paruh baya itu disertai tatapan tak suka yang ditujukan pada Aldo maupun Dyta.Sejak pertemuan yang lalu, dia masih menyimpan dendam terhadap pasangan ini. Sedangkan melihat wajah Jalu, Aldo seperti menemukan air di tengah-tengah gurun pasir. Tampak sangat bersemangat. Namun tentu bukan waktu yang tepat juga buat mencecar pria itu dengan pertanyaan yang ingin dia ajukan, bisa-bisa terkesan aneh.“Tuh, Jalu sudah pulang,” ucap sang nenek, dia lalu beralih pada putranya itu, “Aldo nyariin kamu.”“Nyari aku? Buat apa, mau mencari masalah denganku la
“Memangnya mereka nggak lagi di Amerika ya, Nek?”“Nggaklah … Dirly sama dan Sella masih di Indonesia, mereka tidak pernah kemana-mana.”Senyuman tipis seketika merekah di wajah Aldo. Dia pun bergegas menimpali percakapan nenek dan Dyta.“Memangnya mereka tinggal dimana sekarang? Kok nggak pernah kelihatan?” pancing Aldo.“Mereka sekarang ada di Kalimantan, ikut Ivan.”“What? Ikut Om Ivan?” Dyta memastikan. Dia cukup terkejut mendengar jawaban itu.“Iyalah, Dyt.”“Tunggu, tunggu … tapi kata Om jalu, mereka di Amerika waktu itu. Nenek salah infomasi kali.” Dyta masih belum bisa mempercayainya. Dia juga meminta keterangan lebih lanjut dari Jalu, “Benar kan, Om?”“Hah? Ehm ….” Jalu malah gagap. Apalagi tatapan semua orang tertuju padanya, pria paruh baya itu semakin salah tingkah.“Ish, kamu
Empat hari sudah mereka berada di tempat yang sangat indah ini, berliburan begitu lama tanpa wacana! Ciwidey bagi Dyta bagaikan surga, karena keindahannya itu pula neneknya sampai merengek pada kakek agar membeli rumah di Ciwidey dan menetap disana dulu.Bahkan setelah kakek meninggal, dia tetap rela tinggal seorang diri di sana. Dia ingin menghabiskan sisa-sisa umurnya di Ciwidey. Masih untung ada Paman Jalu yang menemaninya, keluarga Dyta pun menyetujui.Sepertinya Aldo juga menyetujuinya bahwa Ciwidey memang sangat menawan. Buktinya dia masih enggan pulang ke Jakarta. Namun entahlah … Aldo bukan belum pernah berwisata di sana bersama keluarganya, anehnya kali ini terasa begitu berbeda.Mungkin lebih tepatnya, dia menikmati kebersamaannya dengan Dyta, bukan hanya sekedar tempatnya saja. Seakan tiada hari esok lagi untuk mereka bersama, Aldo ingin selalu menempel dengan Dyta. Ataukah semua ini ada hubungannya sama kejadian malam itu?Beberapa hari
“Kamu udah gila, Do! Kita baru balik, kamu udah mau berangkat lagi? Apa nggak ada hari lain?” Betapa syoknya Dyta saat tahu.“Nggak, Dyt … aku harus segera temui Dirly. Terus setelah itu aku akan mengurus urusan pernikahan kita,” sahut Aldo dengan entengnya sambil tangannya menggenggam tangan Dyta menyakinkan pujaan hatinya itu.Aldo serius dengan ucapannya di Ciwidey beberapa hari lalu, dia akan segera menikahi Dyta sebulan lagi, usai ia menyelesaikan urusannya dengan para pemerkosa Alya.“Tapi … kamu pasti capek banget, kan? Kita baru balik loh, Do! Apalagi kamu yang bawa mobil tadi!”Dyta jelas tidak akan memberi ijin. Namun memang dasarnya Aldo, kalau sudah berkeinginan mana ada yang dapat menghalanginya. Dia akan ngotot!“Aku nggak apa-apa kok, kamu nggak perlu cemasin aku. Tenang aja, OK!”“Kamu ini bener-bener sulit dikasih tau, ya!”Dyta mulai kesal deti
Senyuman seketika merekah di wajah cantik perempuan itu saat membaca sederetan huruf pada layar yang membentuk kata “Sayangku Memanggil ….” Dyta tak kuasa menahan haru, air matanya sampai menetes di sudut mata yang segera dia hapus, kemudian bergegas mengjawab telepon tersebut. Ia masih harap-harap cemas, hatinya itu berharap Aldo menghubunginya dalam keadaan baik-baok saja, itu saja cukup! “Halo, Do … kamu dimana sekarang?” cerocosnya usai mengusap icon hijau ke atas. “Aku masih di bandara, Dyt. Di sini cuacanya agak kurang baik, makanya penerbangan sedikit terganggu,” terang Aldo begitu saja. Ternyata Dyta terlalu banyak berpikir, buktinya Aldo landing dengan selamat. Ataukah perasaan tak nyaman itu karena ikatan batinnya dengan Aldo dimana pesawat sempat mutar-mutar di atas beberapa waktu lalu ang disebabkan kondisi cuaca kurang baik? Mungkin begitu. “Gitu ya, pantas lama baru nyampe. Aku cemasin kamu tau nggak! Kamu nggak apa-apa, kan?” Se
“Oh iya, katamu mencari Dirly kan, dia juga akan datang ke rumah Kakek Ramdan, aku memintanya kesana duluan tadi,” ungkap Ivan tiba-tiba saat mereka sedang di dalam mobil.Aldo pastinya tampak antusias mendengar nama Dirly disebut, tapi dia tak menanggapi apapun. Lagipula Ivan juga telah mengalihkan topik segera.“Kasian Kakek Ramdan, dia hidup sebatang kara, sudah lama sakit baru sekarang ada yang mengabariku. Saat lihat fotonya yang dikirimkan seseorang, aku sampai menangis. Nggak tega liatnya.”Mendengar kalimat tersebut Aldo jadi penasaran memangnya seperti apa keadaan si Kakek Ramdan ini? Dia melengkungkan alis, tapi juga tak tertarik menanyakan apapun.Sebenarnya Aldo ingin sekali menolak ajakan Ivan, dia benar-benar tidak menyangka ucapan isengnya kala itu akan dianggap serius oleh Ivan, dan mencecar dia ikut dalam aksi sosialnya sekarang ini. Lagipula ini bukan waktu yang tepat buat hal seperti ini, Aldo datang kemari bukan
Tujuan Aldo mendatangi Kalimantan mulanya hanya buat menuntut pembalasan dendam, benar-benar di luar dugaannya akan diajak oleh Ivan melakukan kegiatan sosial begini, sedikitpun Aldo tak pernah terlintas akan dilibatkan Ivan dalam hal ini.Persis seperti yang dikatakan nenek beberapa waktu lalu, tanggapannya terhadap kalimat Dyta yang mempertanyakan keberadaan Sella, ternyata betul sekali, Ivan pasti akan memaksa ikut melakukan kegiatan amal jika berada di dekatnya.Aldo membuktikan sendiri sekarang ini, padahal dia barusan menginjakkan kaki di pulau Kalimantan, tapi sudah langsung disidak oleh Ivan. Apalagi Sella dan Dirly?Aldo masih sempat terbengong di luar sebentar lagi sebelum menyusul Ivan ke dalam rumah Kakek Ramdan. Belum masuk pun bau pesing sudah menyerang hidungnya, entah seperti apa keadaan di dalam sana. Sesaat kemudian, Aldo pun memutuskan masuk.Mula-mula pandangannya langsung tertuju ke arah tempat tidur yang hanya berlapis papan dan kain
“Tidak perlu mengantarku, balik saja ke kantor, lagipula aku masih ada urusan sama dia,” ucap Aldo saat itu.Dia yang dimaksud Aldo tentu saja Dirly. Kebetulan sekali ada kesempatan seperti ini, akhirnya dia punya waktu berdua dengan pria pengkhianat itu juga.Kalimat Aldo terdengar sarkas bagi Ivan, juga caranya menatap Dirly yang begitu tajam, seperti ada sesuatu yang tidak beres di antara mereka. Pamannya Dyta ini sampai melirik Aldo dan Dirly bergantian kala sejenak.Akan tetapi kesinisan itu hanya ada pada wajah Aldo seorang, tidak dengan Dirly. Akhirnya ia menyimpulkan mungkin ada kesalahpahaman yang terjadi diantara mereka.Selain harus segera menemuinya orang yang mencarinya di kantor, Ivan juga merasa perlu memberi waktu bagi kedua anak muda itu waktu berdua untuk menyelesaikan masalah mereka, dia pun menyetujui untuk meninggalkan mereka berdua.Namun dia tetap harus berbasa-basi terlebih dulu, Ivan terbiasa cakap dalam s