Sekian detik berselang, Aldo mulai merasa ada yang aneh dengan Dyta yang memunggunginya saat ini. Dia lalu mengendorkan pelukannya.
“Dyt, kamu kok diam aja?”
Selanjutnya dia juga membalikkan tubuh Dyta yang sedang memunggung menghadap padanya, dan setelahnya Aldo tampak panik. Bagaimana tidak, ternyata Dyta menangis di belakang sana.
“Kamu kenapa, Dyt? Ada yang sakit? Aku terlalu kuat ya semalam?”
“Bagian mana yang sakit, di situ ya?” Aldo benar-benar panik. “Apa perlu aku belikan obat?”
Saat dia baru akan beranjak, Dyta menahannya.
“Tidak ada sakit, aku abik-baik aja kok,” lontar perempuan itu.
“Baik gimana? Buktinya kamu nangis gitu ….”
“Biar aku beliin obat ya, atau salep buat kamu.”
Aldo sudah langsung berdiri, dan melangkah. Dia sungguh akan pergi membelikan obat pada Dyta, dia berpikir gara-gara keperkasaannya semalam membuat
Sekitar 3 jam kemudian, Aldo dan Dyta telah rapi dan bersiap berangkat ke Ciwidey. Mereka barusan melangkah keluar dari dalam mansion menuju mobil. Obralan basa-basi terjadi di antara mereka, Aldo yang memulai.“Kamu yakin, Dyt … mau berangkat? Atau besok aja?!”“Yakin kok, memangnya kenapa denganku?”“Ya … siapa tau kamu capek, atau apalah ….”Aldo tidak berani sedikitpun mengungkit soal kejadian semalam, dia sudah cukup kapok takut Dyta seperti tadi lagi. Rasa bersalah masih terus menghantuinya saat ini.“Nggak, aku nggak capek kok. Ayo berangkat sekarang!”“Baiklah kalau begitu.”Akhirnya Aldo pun membukakan pintu mobil bagi Dyta, setelahnya baru dia sendiri mengitari kendaraan mewahnya itu dan turut masuk kedalam sana. Kali ini mereka tidak lagi menggunakan jasa transportasi umum menuju Ciwidey, Aldo membawa mobil.Alunan musik lembut menemani
Aldo dan Dyta turut duduk di teras saat ini menemani sang nenek, saat dipersilakan masuk mereka berkata di luar saja karena sang nenek sepertinya sedang asyik dengan kegiatannya, jadi mereka tak ingin mengacaukannya.“Bi, tolong buatkan 1 gelas kopi sama 1 gelas the hangat!” teriak Sang nenek kemudian.“Nggak perlu repot, Nek. Kalau mau Dyta bisa minta sendiri.”“Kamu ini kayak orang lain aja, Dyt. Nenek nggak merasa direpotin kok.Jika teringat perjumpaan pertama mereka dengan sang nenek, tentu perlakuan yang mereka dapatkan begitu jauh berbeda. Di kala itu Aldo terlihat biasa-biasa saja, sedangkan sekarang ia telah menampakkan siapa dia.Perasaan begini akan hadir di saat-saat seperti ini, terkadang Aldo merasa muak, uang selalu menjadi tolak ukur orang-orang terhadap yang lain.Seperti yang pernah dia katakan terhadap seorang pria yang kebetulan ketemu dengannya kala itu, pria tersebut ingin bunuh diri karena
“Benarkah? Sudah ada harinya? Wah! Nenek turut senang mendengarnya. Sangat bagus!”Jika sang nenek terlihat begitu gembira, Dyta justru menatap Aldo dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Pada saat bersamaan, Jalu tiba-tiba muncul di hadapan mereka. Dia baru baru pulang kerja, hari itu kebetulan pulang lebih cepat.“Wah! Ada tamu ternyata,” ucap pria paruh baya itu disertai tatapan tak suka yang ditujukan pada Aldo maupun Dyta.Sejak pertemuan yang lalu, dia masih menyimpan dendam terhadap pasangan ini. Sedangkan melihat wajah Jalu, Aldo seperti menemukan air di tengah-tengah gurun pasir. Tampak sangat bersemangat. Namun tentu bukan waktu yang tepat juga buat mencecar pria itu dengan pertanyaan yang ingin dia ajukan, bisa-bisa terkesan aneh.“Tuh, Jalu sudah pulang,” ucap sang nenek, dia lalu beralih pada putranya itu, “Aldo nyariin kamu.”“Nyari aku? Buat apa, mau mencari masalah denganku la
“Memangnya mereka nggak lagi di Amerika ya, Nek?”“Nggaklah … Dirly sama dan Sella masih di Indonesia, mereka tidak pernah kemana-mana.”Senyuman tipis seketika merekah di wajah Aldo. Dia pun bergegas menimpali percakapan nenek dan Dyta.“Memangnya mereka tinggal dimana sekarang? Kok nggak pernah kelihatan?” pancing Aldo.“Mereka sekarang ada di Kalimantan, ikut Ivan.”“What? Ikut Om Ivan?” Dyta memastikan. Dia cukup terkejut mendengar jawaban itu.“Iyalah, Dyt.”“Tunggu, tunggu … tapi kata Om jalu, mereka di Amerika waktu itu. Nenek salah infomasi kali.” Dyta masih belum bisa mempercayainya. Dia juga meminta keterangan lebih lanjut dari Jalu, “Benar kan, Om?”“Hah? Ehm ….” Jalu malah gagap. Apalagi tatapan semua orang tertuju padanya, pria paruh baya itu semakin salah tingkah.“Ish, kamu
Empat hari sudah mereka berada di tempat yang sangat indah ini, berliburan begitu lama tanpa wacana! Ciwidey bagi Dyta bagaikan surga, karena keindahannya itu pula neneknya sampai merengek pada kakek agar membeli rumah di Ciwidey dan menetap disana dulu.Bahkan setelah kakek meninggal, dia tetap rela tinggal seorang diri di sana. Dia ingin menghabiskan sisa-sisa umurnya di Ciwidey. Masih untung ada Paman Jalu yang menemaninya, keluarga Dyta pun menyetujui.Sepertinya Aldo juga menyetujuinya bahwa Ciwidey memang sangat menawan. Buktinya dia masih enggan pulang ke Jakarta. Namun entahlah … Aldo bukan belum pernah berwisata di sana bersama keluarganya, anehnya kali ini terasa begitu berbeda.Mungkin lebih tepatnya, dia menikmati kebersamaannya dengan Dyta, bukan hanya sekedar tempatnya saja. Seakan tiada hari esok lagi untuk mereka bersama, Aldo ingin selalu menempel dengan Dyta. Ataukah semua ini ada hubungannya sama kejadian malam itu?Beberapa hari
“Kamu udah gila, Do! Kita baru balik, kamu udah mau berangkat lagi? Apa nggak ada hari lain?” Betapa syoknya Dyta saat tahu.“Nggak, Dyt … aku harus segera temui Dirly. Terus setelah itu aku akan mengurus urusan pernikahan kita,” sahut Aldo dengan entengnya sambil tangannya menggenggam tangan Dyta menyakinkan pujaan hatinya itu.Aldo serius dengan ucapannya di Ciwidey beberapa hari lalu, dia akan segera menikahi Dyta sebulan lagi, usai ia menyelesaikan urusannya dengan para pemerkosa Alya.“Tapi … kamu pasti capek banget, kan? Kita baru balik loh, Do! Apalagi kamu yang bawa mobil tadi!”Dyta jelas tidak akan memberi ijin. Namun memang dasarnya Aldo, kalau sudah berkeinginan mana ada yang dapat menghalanginya. Dia akan ngotot!“Aku nggak apa-apa kok, kamu nggak perlu cemasin aku. Tenang aja, OK!”“Kamu ini bener-bener sulit dikasih tau, ya!”Dyta mulai kesal deti
Senyuman seketika merekah di wajah cantik perempuan itu saat membaca sederetan huruf pada layar yang membentuk kata “Sayangku Memanggil ….” Dyta tak kuasa menahan haru, air matanya sampai menetes di sudut mata yang segera dia hapus, kemudian bergegas mengjawab telepon tersebut. Ia masih harap-harap cemas, hatinya itu berharap Aldo menghubunginya dalam keadaan baik-baok saja, itu saja cukup! “Halo, Do … kamu dimana sekarang?” cerocosnya usai mengusap icon hijau ke atas. “Aku masih di bandara, Dyt. Di sini cuacanya agak kurang baik, makanya penerbangan sedikit terganggu,” terang Aldo begitu saja. Ternyata Dyta terlalu banyak berpikir, buktinya Aldo landing dengan selamat. Ataukah perasaan tak nyaman itu karena ikatan batinnya dengan Aldo dimana pesawat sempat mutar-mutar di atas beberapa waktu lalu ang disebabkan kondisi cuaca kurang baik? Mungkin begitu. “Gitu ya, pantas lama baru nyampe. Aku cemasin kamu tau nggak! Kamu nggak apa-apa, kan?” Se
“Oh iya, katamu mencari Dirly kan, dia juga akan datang ke rumah Kakek Ramdan, aku memintanya kesana duluan tadi,” ungkap Ivan tiba-tiba saat mereka sedang di dalam mobil.Aldo pastinya tampak antusias mendengar nama Dirly disebut, tapi dia tak menanggapi apapun. Lagipula Ivan juga telah mengalihkan topik segera.“Kasian Kakek Ramdan, dia hidup sebatang kara, sudah lama sakit baru sekarang ada yang mengabariku. Saat lihat fotonya yang dikirimkan seseorang, aku sampai menangis. Nggak tega liatnya.”Mendengar kalimat tersebut Aldo jadi penasaran memangnya seperti apa keadaan si Kakek Ramdan ini? Dia melengkungkan alis, tapi juga tak tertarik menanyakan apapun.Sebenarnya Aldo ingin sekali menolak ajakan Ivan, dia benar-benar tidak menyangka ucapan isengnya kala itu akan dianggap serius oleh Ivan, dan mencecar dia ikut dalam aksi sosialnya sekarang ini. Lagipula ini bukan waktu yang tepat buat hal seperti ini, Aldo datang kemari bukan