Aku berusaha untuk memejamkan mata, namun hasilnya nihil. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Setelah menjenguk Vino di rumah sakit tadi, aku langsung kembali ke rumah dan tiba sekitar jam tujuh malam. Aku yang sudah kelelahan langsung membaringkan tubuh di atas kasur. Kupikir setelahnya akan mudah bagiku untuk tidur, tetapi ternyata tidak. Pikiranku terus berkelana ke kejadian aneh mengenai pria tampan itu, pemilik kedai kopi yang ternyata seorang dokter juga.
Suatu hal yang normal memang untuk memiliki pekerjaan lebih dari satu, bisa saja pria tampan itu memiliki pekerjaan utama sebagai dokter dan pekerjaan sampingannya mengelola kedai kopi. Namun, yang membuatku bingung setengah mati hingga menuduh diriku sendiri gila adalah karena tidak ada satupun orang yang mengingat sosok pria itu. Tadi sebelum pergi dari ruang rawat inap Vino, aku menyempatkan diri menemui perawat untuk menanyakan keberadaan dokter itu. Namun, hal yang mengejutkan kembali kudengar. Tidak ada dokter seperti yang kusebutkan. Lagi-lagi, aku merasa berhalusinasi. Padahal dengan jelas aku mendengar suaranya, bahkan tangannya yang menyentuh wajahku masih dapat kurasakan. Atau aku benar-benar sudah gila?
***
Cahaya matahari yang menyelip dari sela-sela gorden membuat kedua mataku terbuka karena silau. Aku menguap lantas merentangkan kedua tangan. Saat menatap ke arah jam dinding di kamar, betapa terkejutnya aku ternyata sudah jam sepuluh. Astaga, tidak pernah aku bangun sesiang ini. Pasti semuanya gara-gara susah tidur tadi malam.
Ponsel yang berdering dan menunjukkan nama “Papa” membuatku bergegas meraih ponsel lantas mengangkat panggilan.
“Halo, Pa,” sapaku dengan suara serak khas baru bangun tidur.
“El, Papa mau minta tolong,” ujar Papa dari seberang sana. Intonasi bicaranya terdengar gusar.
Dengan sigap aku bangkit dari atas ranjang. “Minta tolong apa, Pa?”
“Tolong ambilkan map berwarna merah yang ada di atas meja kerja Papa. Tadi Papa lupa tidak membawanya, padahal isi map itu penting untuk rapat sebentar lagi.”
“Oke, Pa. El ke sana sekarang.”
Aku bergegas memasuki kamar mandi untuk membasuh wajah dan menggosok gigi, kemudian berlari kembali ke kamar untuk berganti pakaian. Mendengar kalau map itu cukup penting dan mendesak, aku pun berlari menuju ruang kerja Papa lantas mengambil map yang dimaksud.
Tanganku bergerak cepat untuk memesan ojek online. Sambil menanti ojek online, aku memakai masker untuk menutupi setengah wajahku. Ketika motor dari driver ojek online terlihat, aku langsung bergegas menaikinya.
Hanya membutuhkan waktu sekitar setengah jam untuk sampai di perusahaan tempat Papa bekerja. Biasanya tidak sampai setengah jam jika berangkat pagi-pagi sekali, tetapi jika sudah siang seperti ini maka jalanan akan macet dan menyebabkan lebih lama sampai ke perusahaan tempat Papa bekerja.
Setelah membayar driver ojek online, aku memasuki lobi di perusahaan lantas duduk di salah satu kursi yang berada di sana. Aku mengirim pesan kepada Papa untuk memberi kabar kalau aku sudah sampai. Selesai mengirim pesan, kepalaku mendongak hendak mengamati sekeliling. Tiba-tiba saja bola mataku menangkap pandang sosok pria berjas yang tengah diikuti oleh beberapa orang di belakangnya. Ketika sosok pria berjas itu menurunkan maskernya sambil berbicara kepada orang di dekatnya, seketika aku langsung melotot. Pria tampan itu lagi? Bagaimana bisa?
“El, sudah sampai ternyata.”
Suara dari Papa membuatku beralih memandangnya. “Pa, itu siapa?” tanyaku sambil menunjuk ke arah pria tampan itu.
“Yang lagi ngomong sambil nurunin maskernya?”
“Iya,” sahutku tak sabar.
“Oh, itu CEO di sini. Dia atasan Papa.”
Aku mematung di tempat dengan tubuh kaku. Tak berselang lama kepalaku mulai terasa pening memikirkan semua keanehan ini. Pemilik kedai kopi, dokter, CEO, lalu setelah itu apa lagi? Apakah setelahnya orang-orang juga tidak akan mengingat sosok itu?
***
Aku jatuh sakit, demam selama berhari-hari. Keanehan itu kembali terjadi. Esoknya aku menanyakan Papa mengenai CEO di perusahaannya, lebih tepatnya menanyakan ciri-ciri dari pria tampan itu. Namun, hasilnya sama. Papa berkata tidak ada CEO yang seperti itu di perusahaannya. Bahkan, Papa merasa tidak pernah melihat karyawan yang seperti aku sebutkan.
Kepalaku berdenyut nyeri setiap memikirkan keanehan itu. Mengapa hanya aku yang dapat mengingat sosok pria tampan itu? Siapa sebenarnya sosok pria tampan itu? Bagaimana mungkin dia memiliki pekerjaan yang begitu banyak? Apa tujuannya? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu terus berkelebat di kepalaku hingga membuatku kembali jatuh sakit.
“El.”
Suara Mama yang terdengar diikuti dengan sosoknya yang memasuki kamarku membuat lamunanku buyar. Aku beranjak duduk di atas kasur dengan punggung menyandar ke sandaran ranjang. “Kenapa, Ma?”
Mama meletakkan nampan dengan semangkuk bubur ke hadapanku. “Makan dulu. Besok kamu harus ke kampus kan? Jadi cepatlah sehat.”
Aku mendengkus. Benar juga, besok aku harus mengunjungi kampus untuk mencetak kartu tanda mahasiswa atau KTM. Sebenarnya sangat malas kalau harus ke sana, tetapi mau bagaimana lagi, aku pun membutuhkan KTM untuk beberapa keperluan.
Aku mulai menyuap bubur ke dalam mulut, kemudian menelannya dengan malas. Suhu tubuhku masih tinggi saat ini dan lidahku terasa pahit untuk mencecap makanan. Namun, apa boleh buat, aku harus makan agar bisa lekas sembuh. Dan yang terpenting sepertinya aku harus melupakan sosok pria tampan itu mulai sekarang agar hidupku bisa lebih tenang. Satu hal yang saat ini kuharapkan adalah tidak bertemu dengannya lagi.
***
Sepatu putih yang aku kenakan menginjakkan kaki di kampus. Terlihat beberapa mahasiswa baru berlalu-lalang dengan jarak aman. Masker yang mereka kenakan membuatku kesulitan untuk mengenali wajah mereka, termasuk mencari teman sekelasku yang baru beberapa hari lalu berkenalan melalui W******p.
Menghela napas karena tak kunjung menemukan sosok kenalanku, pada akhirnya aku memutuskan untuk langsung menuju gedung program studiku. Info yang beredar menyatakan bahwa mahasiswa baru harus mengambil KTM ke dosen pembimbing akademik masing-masing, jadilah kini aku tengah menuju ruangan dosen pembimbing akademikku.
Terlihat sebuah ruangan yang bertuliskan Rendy Mahardika. Ada beberapa mahasiswa yang mengantre di sana untuk mengambil KTM. Aku pun turut mengantre dengan sabar.
Giliranku tiba. Aku menghadap dosen tersebut lantas menyerahkan beberapa berkas yang harus ditunjukkan. Kulihat dosenku itu memeriksa satu per satu berkas dengan kepala menunduk. Meskipun dia tengah menunduk dan wajahnya tertutup masker, namun dapat kutebak kalau dia tampan. Tidak hanya aku yang berspekulasi seperti itu, namun beberapa mahasiswa yang tadi berbisik-bisik di dekatku pun mengakui hal itu.
“Bukti pembayaran UKT-mu?” ujar dosenku sambil mengangkat kepalanya.
Detik itulah aku langsung terpaku di tempat dengan mata membulat. Napasku tertahan selama beberapa detik ketika melihat netra cokelat terang yang tidak asing di mataku. Dan suara itu, aku yakin suara yang sama dengan sosok pria tampan itu.
Aku menelan ludah ketika satu kesimpulan tercetak di kepalaku. Jadi pria tampan itu ternyata dosen pembimbing akademikku? Astaga, rasanya aku nyaris pingsan mengetahui banyaknya profesi yang dia ambil dalam waktu singkat. Aku tidak ingin jatuh sakit hingga nyaris gila kalau-kalau tidak ada satupun orang yang mengingat sosoknya setelah ini.
“Elisa. Kamu mendengar saya?” panggil pria tampan itu.
Mataku menyorot tajam. Aku tidak mau mati penasaran, jadi hari ini juga aku harus mendapatkan kejelasan akan sosok pria itu. Tanganku terangkat lantas menurunkan masker yang kukenakan. “Bapak ingat saya?”
Dapat kulihat bola mata dosenku membesar selama beberapa detik, kemudian kembali normal seperti semula. “Tidak. Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?”
“Apa maksud dari perkataan Bapak saat di rumah sakit? Saat itu Bapak meminta saya untuk melupakan semuanya. Melupakan apa?” tanyaku balik. Sejujurnya aku nyaris gugup saat melihat kilat tajam di netra cokelat terang Pak Rendy. Namun, sekuat tenaga aku berusaha untuk berani.
Hal yang tak kuduga terjadi. Pak Rendy berdiri dari duduknya. “Ikut saya,” ujarnya lantas melangkah keluar ruangan, meninggalkan tanda tanya di antara banyaknya mahasiswa yang masih mengantre di sana.
Aku menurut lantas mengikuti langkah Pak Rendy menuju tangga darurat. Kami berdua berdiri berhadapan dengan pandangan yang tak lepas satu sama lain. Aku menatap Pak Rendy dengan sorot penuh selidik.
“Siapa sebenarnya Pak Rendy?” tanyaku tanpa berbasa-basi.
“Saya dosen kamu.”
Jawabannya membuatku mendengkus kesal. Ternyata dia tidak mau mengaku? Dengan nekat aku berjinjit lantas menurunkan masker yang dia kenakan. Mulut Pak Rendy terbuka seperti hendak mengeluarkan kalimat protes, namun aku lebih dulu berujar, “Bapak pasti tahu bukan itu yang saya maksud. Tiga tahun lalu Bapak seorang pemilik kedai kopi. Tahun ini saya lihat Bapak sebagai dokter, CEO di perusahaan Papa saya, dan sekarang dosen saya. Ini tidak masuk akal, apalagi semua orang tidak ada yang mengingat Bapak.” Baru kusadari ternyata aku berbicara dengan menggebu hingga napasku terdengar memburu. Aku kembali mengulang pertanyaan sebelumnya, “Jadi, siapa sebenarnya Pak Rendy?”
Wajah tampan di hadapanku tampak datar, namun dapat kulihat bola matanya menunjukkan riak kaget selama beberapa detik. Pak Rendy bungkam, dia mengamati wajahku dengan bola mata yang bergerak-gerak seolah tengah mencari sesuatu.
“Apa Bapak bukan manusia?” Entah bagaimana satu kesimpulan itu tercetak di otakku.
Menatap cukup lama bola mataku, Pak Rendy lantas mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dia mengerutkan keningnya sebelum kembali menatapku. “Bagaimana bisa kamu mengingat saya?”
“Apakah seharusnya saya tidak bisa mengingat Bapak?” tanyaku balik.
“Bagaimana bisa hal itu tidak mempan di kamu?” lirih Pak Rendy. Lebih tepatnya seperti bertanya kepada dirinya sendiri.
Sejujurnya aku sangat bingung dengan semua ini hingga rasanya kepalaku kembali berdenyut nyeri. Aku bingung ini adalah kenyataan atau ilusi. Apalagi saat kuamati dengan seksama, wajah tampan Pak Rendy tidak berubah sedikitpun setelah tiga tahun berlalu. Tidak ada kerutan, malah terlihat semakin tampan dan segar. Spekulasiku beberapa saat yang lalu yang menanyakan bahwa dia bukan manusia muncul kembali di kepalaku.
Tiba-tiba satu ide gila terbesit di kepalaku. “Kalau Pak Rendy tidak bisa menjawab pertanyaan saya tidak apa-apa. Cukup tangkap tubuh saya.”
“Apa maksud—”
Sebelum Pak Rendy menyelesaikan kalimatnya, aku sudah lebih dulu memundurkan tubuhku, kemudian melempar tubuhku sendiri ke belakang. Aku memejamkan mata saat merasakan tubuhku mulai melayang jatuh dari atas tangga. Di detik kesekian kurasakan ada tangan yang meraih pinggangku. Kedua mataku terbuka dan betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa tubuhku melayang dalam gendongan Pak Rendy. Mataku membulat sempurna karena terkejut dan napasku tertahan selama beberapa detik saat menyadari tubuh kami melayang di udara. Namun, tak berselang lama aku mengulas senyum penuh kemenangan. “Jadi tebakan saya benar. Pak Rendy bukan manusia.”
Tanganku mengalung di leher Pak Rendy dengan mata terpejam erat saat kurasakan Pak Rendy membawa tubuh kami turun. Setelah mendengar suara sepatu Pak Rendy yang seperti mengetuk dasar, barulah kedua mataku kembali terbuka. Hal pertama yang tertangkap oleh penglihatanku membuat bola mataku membulat seketika. Aku tidak berada di kampus, melainkan di suatu gang sepi dengan gedung pencakar langit yang terlihat menjulang di depan sana.“Saya tidak mau mengambil risiko dengan terbang di tengah keramaian kampus,” tutur Pak Rendy seolah tahu apa yang tengah kupikirkan.Aku mendongak untuk menatap wajah Pak Rendy. Dari jarak sedekat ini aku kembali dibuat terpana untuk kesekian kalinya oleh ketampanan pria itu. Dengan cepat aku beralih menatap ke arah lain. “Turunkan saya.”Tanpa berucap, kurasakan Pak Rendy menurunkan tubuhku dari gendongannya dengan pelan. Begitu sepatuku menapak paving block, hembusan napas lega keluar dari mulutku. Ba
Aku mengupas apel dengan tatapan kosong. Pikiranku melayang ke kejadian beberapa jam yang lalu. Kejadian yang membuatku nyaris pingsan jika mengingatnya. Apakah aku sudah gila? Apakah kejadian tadi nyata? Dosenku ternyata adalah alien?“Woi! Ngupas apelnya yang benar! Bisa kena pisau jari lo!”Seruan dari Vino membuat lamunanku buyar. Aku bergegas menatap Vino lantas meletakkan pisau dan apel ke atas piring. “Vin, gue mau tanya.”Mendengar intonasi bicaraku yang terdengar serius, raut Vino pun berubah serius. Dia mendekat ke arahku lantas duduk di sebelahku. “Tanya apa?”“Lo percaya sama alien nggak?”Vino terdiam selama beberapa detik, kemudian tangannya terangkat dan menjitak kepalaku."Duh!” ringisku.“Gue kira pertanyaan lo serius. Malah bercanda.”“Ih! Gue nggak bercanda! Sebenarnya gue habis ketemu sama alien,” bisikku di kalimat terakhir seolah
“Ya?!” kejutku usai mendengar ucapan Pak Rendy. Tinggal bersamanya? Dia pasti sudah gila! Bagaimana kalau aku khilaf dan menyerangnya? Bisa bahaya hidup seatap dengan pria tampan.Bola mata Pak Rendy memandangku dengan bias geli.Aku mengerjap dengan raut bingung. “Bapak kenapa lihatin saya kayak gitu?”“Kamu takut khilaf dan menyerang saya?” tanya Pak Rendy. Kini sudut bibirnya berkedut seperti menahan tawa.Mataku melotot mendengar pertanyaannya. “Bapak bisa membaca pikiran?!” pekikku. Saking kagetnya aku sampai beranjak berdiri.“Bisa kalau saya ingin,” jawab Pak Rendy sambil meraih kedua tanganku, kemudian menarikku kembali duduk di sebelahnya.“Tapi Bapak tidak sopan sudah membaca pikiran saya tanpa izin,” jengkelku. Apakah selama ini dia selalu membaca pikiranku? Bahkan di awal pertemuan kami saat di kedai kopi tiga tahun yang lalu?“Kamu benar, itu pe
Pertanyaan Pak Rendy dan matanya yang masih menyorot lekat ke arahku entah mengapa malah membuat wajahku memanas. Aku memalingkan wajah ke arah lain saat satu asumsi aneh tercetak di kepalaku. Tidak, itu tidak mungkin.Suara kursi yang didorong membuat pikiranku buyar. Aku kembali menatap ke arah Pak Rendy yang beranjak berdiri. Mataku bergerak mengikuti sosok Pak Rendy yang berjalan mendekat ke arahku. Aku menelan ludah saat melihat Pak Rendy berdiri tepat di sebelahku yang kini terduduk kaku di atas kursi.“Mandilah dan berganti pakaian, sebentar lagi saya akan mengajar di kelas kamu,” ujar Pak Rendy dengan menepuk puncak kepalaku dua kali.“Ya?” Aku mengerjap bingung bercampur kaget mendapatkan perlakuan tak terduga dari Pak Rendy. “Bukannya Pak Rendy mengajar mahasiswa semester tiga?”“Mulai hari ini saya akan mengajar di kelas kamu. Jangan sampai tertidur,” ancam Pak Rendy dengan menyunggingkan sudut bi
“Susah sekali membawamu kembali,” tutur salah satu pria berjas dengan berjalan maju diikuti oleh rekan-rekannya di belakang.Pak Rendy melangkah mundur membuatku secara otomatis ikut melangkahkan kakiku ke belakang. “Kalian salah paham,” tuturnya.“Oh, ya?”Dapat kudengar dengkusan singkat dari Pak Rendy. “Kalian belum mendengarkan penjelasanku.”Aku mendongak ke arah Pak Rendy lantas menatap ke arah gerombolan pria berjas di depan sana. Apa yang sebenarnya sedang mereka bicarakan?“Kami tidak butuh penjelasanmu itu, sudah terlalu lama kami mencarimu. Cukup menurut dan ikut kami kembali. Jika tidak, kami terpaksa menggunakan cara kasar.”Perkataan dari pria berjas itu membuat satu asumsi langsung tercipta di kepalaku. Aku kembali menatap Pak Rendy dengan mata membulat. Apakah pria itu—“Tidak merespon ya? Baiklah, kami memutuskan akan menggunakan cara kasar.&rdquo
Bungkam. Itulah respon Pak Rendy atas dua pertanyaanku saat di mobil. Tak hanya itu, saat ini raut wajah pria itu terlihat dingin. Dia tidak berbicara apapun padaku selepas kami sampai di apartemennya, bahkan hingga malam tiba. Saat aku menghampirinya dan hendak bertanya sesuatu, dia langsung menghindar pergi memasuki kamarnya atau ruang kerjanya. Apakah pertanyaanku saat di mobil telah menyinggungnya?Helaan napas panjang keluar dari mulutku. Aku jadi tidak dapat fokus mengerjakan tugas kuliah. Menyandarkan tubuh ke sandaran sofa, aku lantas memilih untuk menyalakan televisi yang berada di depanku. Melihat televisi yang menayangkan burger, pizza, dan cola seketika perutku langsung berbunyi. Aku menelan ludah ketika menyadari kalau diriku merasa lapar, baru kuingat kalau belum makan malam.Tepat setelah itu terdengar suara pintu terbuka dari ruang kerja Pak Rendy. Bola mataku bergerak mengikuti Pak Rendy yang kini berjalan memasuki kamarnya lantas memakai jaket, sepert
Pak Rendy merawatku hingga hari berganti malam. Dia tetap berada di kamarku, duduk di sebelahku sambil mengganti kompresan di keningku. Demamku pun sudah turun. Berkat minum obat dan makan, kondisiku sudah lebih baik saat ini. Tadinya aku nyaris tidak mau makan sama sekali karena perutku terasa sangat tidak enak, namun Pak Rendy dengan telaten menyuapiku. Bahkan, saat ini pria itu pun tengah menyuapiku untuk makan malam.“Dua sendok lagi habis,” ucap Pak Rendy seraya menunjukkan semangkuk bubur yang tersisa sedikit.Aku menelan bubur sambil menatap Pak Rendy dengan raut bingung. Apa sebenarnya motif pria itu merawatku? Mengapa dia tampak peduli padaku? Sejak aku mengetahui identitasnya, aku mendapati beberapa tindakannya yang menunjukkan kepeduliannya padaku, entah apa alasannya.Mulutku terbuka saat Pak Rendy kembali menyodorkan sesendok bubur, dengan cepat aku menelannya hingga sendok terakhir tersuap ke mulutku.“Minum,” ujar Pa
Ketika kedua mataku terbuka, tidak kudapati Pak Rendy di sebelahku. Aku mengernyit, bertanya-tanya ke mana perginya pria itu? Namun, saat bau masakan tercium, masuk ke dalam kamar yang pintunya terbuka, aku langsung mendapatkan satu kesimpulan. Sepertinya Pak Rendy sedang memasak.Aku bangkit dari atas kasur dengan malas, kemudian melangkah menuju kamar mandi di dalam kamar ini. Mencuci muka lantas menyikat gigi. Tepat saat aku sedang menyikat gigi, dapat kulihat melalui cermin di depanku kalau Pak Rendy melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Pria itu berjalan mendekat ke arahku lantas memeluk tubuhku dari belakang. Aku sempat tertegun sesaat, namun setelahnya aku dapat menutupi keterkejutan dengan pelototan.“Ngapain peluk-peluk?” tanyaku dengan mulut penuh busa, kemudian aku lanjut menggosok gigi.Pak Rendy tak menjawab, pria itu malah menatapku lekat melalui cermin. Ditatap seperti itu langsung membuat debar jantungku menggila, apalagi iris cokelat
“Kamu sudah siap untuk bertemu dengan Rendy?”Aku menoleh ke arah Edwin, menatap iris biru terangnya. “Ya, aku siap.”Bagaimanapun, aku harus siap menghadapi ini. Mungkin, pertemuanku dengan Pak Rendy kali ini akan menjadi pertemuan terakhir kami. Dia akan kembali ke planetnya dan aku tetap berada di bumi. Ah, mirisnya, kisah cintaku hanya bertahan sebentar.“Kalau kamu belum siap, kami bisa menundanya.”Bungkam, aku tak menanggapi ucapan Edwin. Sebenarnya, aku memang belum benar-benar siap untuk berpisah dengan Pak Rendy. Namun, mau bagaimana lagi? Hubungan kami tidak akan berhasil, sudah seharusnya kami berpisah, lebih cepat lebih baik, agar perasaanku tidak semakin mendalam.Aku menatap lurus ke depan, saat ini aku berada di dalam mobil yang dikemudikan oleh Daniel dengan Edwin yang duduk di sebelahku dan Arden yang berada di sebelah Daniel. Para pria berjas yang lain mengikuti dari mobil yang berada di belaka
Aku sarapan dengan tidak berselera, makanku tidak habis, padahal aku paling suka makan dan sulit untuk menolak makanan. Entahlah, sepertinya pembicaraan tadi malam masih berefek besar padaku, saking terkejutnya sampai tidak bisa berhenti terpikirkan tentang hal itu. Jujur saja, aku merasa dikhianati oleh Pak Rendy.“Mau keluar?”Pertanyaan itu terdengar berbarengan dengan munculnya Edwin. Aku terpaku sesaat melihat Edwin dalam setelah non formalnya, kaus berwarna hitam dengan bawahan celana jeans. Berdehem lantas mengalihkan pandangan ke arah lain, aku mengangguk-angguk.Aku berjalan mengikuti langkah Edwin keluar ruangan ini. Keluar dari ruangan tadi, aku seperti berada di ruang tengah yang amat luas, sama seperti ruang tengah di rumah-rumah besar. Saat itulah aku mendapatkan kesimpulan kalau mereka menyewa rumah untuk markas, atau merampas rumah? Ah, sepertinya pilihan pertama lebih masuk akal mengingat mereka tidak boleh melukai makhluk dari plane
Kelopak mataku terbuka perlahan. Hal pertama yang kulihat adalah ruangan dengan alat-alat dan beberapa komputer di sekitarnya. Di mana ini?Sekelebat ingatan langsung memasuki kepalaku tatkala beberapa pria berjas datang dan berjalan mendekat ke arahku. Sontak, aku yang tadinya dalam posisi berbaring di sofa langsung beranjak duduk dan memandang mereka dengan sorot tajam.“Di mana saya? Kalian menculik saya?” tuduhku.Salah satu pria berjas yang memiliki iris berwarna biru terang beranjak duduk di sofa yang berada di hadapanku. “Kau berada di markas kami dan kami tidak menculikmu, hanya meminjam sebentar,” ucapnya diikuti senyum tipis.Oh, astaga, nyaris saja aku tepesona. Jadi benar kalau alien memang tampan-tampan?Aku menggeleng saat menyadari apa yang baru saja kupikirkan. “Apa tujuan kalian membawa saya ke sini?” tanyaku dengan lebih tenang, apalagi saat aku teringat ucapan Pak Rendy kalau mereka tidak mungk
Keningku menempel di kening Pak Rendy. Napas kami yang tak beraturan saling bersahutan. Aku membuka kedua mata perlahan dan tepat saat itulah kedua netra hitamku langsung bertemu pandang dengan netra cokelat terang Pak Rendy. Dapat kulihat netra cokelat terang Pak Rendy bergerak turun menatap bibirku, kemudian tangan pria itu terulur dan mengelap sisa saliva di bibirku. “Bibir kamu bengkak,” beri tahu Pak Rendy, seolah aku tidak tahu saja. “Salah siapa coba?” kesalku dengan memutar bola mata. Aku lantas melepaskan diri dari pelukannya, bergerak sedikit menjauh. Pak Rendy tertawa singkat. “Salah saya dan kamu juga tentunya.” Aku berdecak mendengar ucapannya. Dasar alien menyebalkan, untung sayang. Di tengah perbincangan kami, terdengar dering ponsel. Yang jelas, itu bukan berasal dari ponselku karena aku tidak mengaktifkan nada dering ponsel. Terbukti karena setelahnya Pak Rendy mengeluarkan ponsel dari saku celananya. “Dari siapa?” tan
Berulang kali aku duduk lalu kembali berdiri setiap kali ada mobil yang mirip dengan mobil Pak Rendy lewat. Saat ini aku tengah berada di halte dekat kampus, menuggu Pak Rendy yang katanya akan menjemputku, tetapi sampai sekarang pria itu belum terlihat, padahal aku sudah mengirimnya pesan sejak tadi.Sebuah mobil berwarna putih berhenti tepat di depanku. Aku mengernyit, itu bukan mobil Pak Rendy, selain itu tidak ada orang lain di halte ini selain aku, lalu sedang apa mobil itu berhenti di depanku?Kaca mobil terbuka dan menampilkan sosok lelaki dengan masker berwarna hitam. Ketika lelaki itu menurunkan masker dan menampilkan wajah seseorang yang tengah tersenyum, aku langsung membalas senyumnya. “Lo kenapa berhenti di situ, Vin?”Gavin melongokkan kepalanya. “Lo belum pulang?”Aku menggeleng sebagai jawaban.“Mau bareng?” tawar Gavin.“Nggak deh, entar ngerepotin,” tolakku.“Eman
Ketika kedua mataku terbuka, tidak kudapati Pak Rendy di sebelahku. Aku mengernyit, bertanya-tanya ke mana perginya pria itu? Namun, saat bau masakan tercium, masuk ke dalam kamar yang pintunya terbuka, aku langsung mendapatkan satu kesimpulan. Sepertinya Pak Rendy sedang memasak.Aku bangkit dari atas kasur dengan malas, kemudian melangkah menuju kamar mandi di dalam kamar ini. Mencuci muka lantas menyikat gigi. Tepat saat aku sedang menyikat gigi, dapat kulihat melalui cermin di depanku kalau Pak Rendy melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Pria itu berjalan mendekat ke arahku lantas memeluk tubuhku dari belakang. Aku sempat tertegun sesaat, namun setelahnya aku dapat menutupi keterkejutan dengan pelototan.“Ngapain peluk-peluk?” tanyaku dengan mulut penuh busa, kemudian aku lanjut menggosok gigi.Pak Rendy tak menjawab, pria itu malah menatapku lekat melalui cermin. Ditatap seperti itu langsung membuat debar jantungku menggila, apalagi iris cokelat
Pak Rendy merawatku hingga hari berganti malam. Dia tetap berada di kamarku, duduk di sebelahku sambil mengganti kompresan di keningku. Demamku pun sudah turun. Berkat minum obat dan makan, kondisiku sudah lebih baik saat ini. Tadinya aku nyaris tidak mau makan sama sekali karena perutku terasa sangat tidak enak, namun Pak Rendy dengan telaten menyuapiku. Bahkan, saat ini pria itu pun tengah menyuapiku untuk makan malam.“Dua sendok lagi habis,” ucap Pak Rendy seraya menunjukkan semangkuk bubur yang tersisa sedikit.Aku menelan bubur sambil menatap Pak Rendy dengan raut bingung. Apa sebenarnya motif pria itu merawatku? Mengapa dia tampak peduli padaku? Sejak aku mengetahui identitasnya, aku mendapati beberapa tindakannya yang menunjukkan kepeduliannya padaku, entah apa alasannya.Mulutku terbuka saat Pak Rendy kembali menyodorkan sesendok bubur, dengan cepat aku menelannya hingga sendok terakhir tersuap ke mulutku.“Minum,” ujar Pa
Bungkam. Itulah respon Pak Rendy atas dua pertanyaanku saat di mobil. Tak hanya itu, saat ini raut wajah pria itu terlihat dingin. Dia tidak berbicara apapun padaku selepas kami sampai di apartemennya, bahkan hingga malam tiba. Saat aku menghampirinya dan hendak bertanya sesuatu, dia langsung menghindar pergi memasuki kamarnya atau ruang kerjanya. Apakah pertanyaanku saat di mobil telah menyinggungnya?Helaan napas panjang keluar dari mulutku. Aku jadi tidak dapat fokus mengerjakan tugas kuliah. Menyandarkan tubuh ke sandaran sofa, aku lantas memilih untuk menyalakan televisi yang berada di depanku. Melihat televisi yang menayangkan burger, pizza, dan cola seketika perutku langsung berbunyi. Aku menelan ludah ketika menyadari kalau diriku merasa lapar, baru kuingat kalau belum makan malam.Tepat setelah itu terdengar suara pintu terbuka dari ruang kerja Pak Rendy. Bola mataku bergerak mengikuti Pak Rendy yang kini berjalan memasuki kamarnya lantas memakai jaket, sepert
“Susah sekali membawamu kembali,” tutur salah satu pria berjas dengan berjalan maju diikuti oleh rekan-rekannya di belakang.Pak Rendy melangkah mundur membuatku secara otomatis ikut melangkahkan kakiku ke belakang. “Kalian salah paham,” tuturnya.“Oh, ya?”Dapat kudengar dengkusan singkat dari Pak Rendy. “Kalian belum mendengarkan penjelasanku.”Aku mendongak ke arah Pak Rendy lantas menatap ke arah gerombolan pria berjas di depan sana. Apa yang sebenarnya sedang mereka bicarakan?“Kami tidak butuh penjelasanmu itu, sudah terlalu lama kami mencarimu. Cukup menurut dan ikut kami kembali. Jika tidak, kami terpaksa menggunakan cara kasar.”Perkataan dari pria berjas itu membuat satu asumsi langsung tercipta di kepalaku. Aku kembali menatap Pak Rendy dengan mata membulat. Apakah pria itu—“Tidak merespon ya? Baiklah, kami memutuskan akan menggunakan cara kasar.&rdquo