Share

Bab 5-Tawaran

Penulis: Ainjae
last update Terakhir Diperbarui: 2021-12-24 13:39:59

Aku mengupas apel dengan tatapan kosong. Pikiranku melayang ke kejadian beberapa jam yang lalu. Kejadian yang membuatku nyaris pingsan jika mengingatnya. Apakah aku sudah gila? Apakah kejadian tadi nyata? Dosenku ternyata adalah alien?

“Woi! Ngupas apelnya yang benar! Bisa kena pisau jari lo!”

Seruan dari Vino membuat lamunanku buyar. Aku bergegas menatap Vino lantas meletakkan pisau dan apel ke atas piring. “Vin, gue mau tanya.”

Mendengar intonasi bicaraku yang terdengar serius, raut Vino pun berubah serius. Dia mendekat ke arahku lantas duduk di sebelahku. “Tanya apa?”

“Lo percaya sama alien nggak?”

Vino terdiam selama beberapa detik, kemudian tangannya terangkat dan menjitak kepalaku.

"Duh!” ringisku.

“Gue kira pertanyaan lo serius. Malah bercanda.”

“Ih! Gue nggak bercanda! Sebenarnya gue habis ketemu sama alien,” bisikku di kalimat terakhir seolah ada orang lain di sini yang bisa mendengar obrolan kami. Padahal hanya ada aku dan Vino.

Vino menggeleng pelan dengan matanya yang menyorot iba padaku. “El, lo stres gara-gara kuliah online? Yuk, gue temenin ke dokter.”

Aku memberengut usai mendengar ucapan Vino. Seharusnya aku tidak bercerita kepada sepupuku itu atau kepada orang lain di luar sana. Mereka pasti tidak akan percaya dengan apa yang kuucapkan tentang Pak Rendy, kecuali mereka melihat kemampuan Pak Rendy secara langsung.

“Lo lanjutin deh ngupas apelnya, gue udah kepingin,” ujar Vino lantas berkutat pada ponselnya. Dia kembali fokus bermain game online.

Bibirku mencebik, namun aku menurut untuk mengupas apel. Sebenarnya hari ini aku memutuskan untuk menginap di apartemen Vino. Memang bukan apartemen yang besar seperti milik Pak Rendy, tetapi setidaknya ada kamar untuk tidur. Aku merasa lelah secara jiwa dan raga akibat kejadian hari ini, karena itulah aku memutuskan untuk menumpang istirahat di apartemen Vino sebelum kembali ke rumah.

Aku mengambil sepiring apel yang sudah dikupas dan dipotong. “Nih, dimakan,” sodorku kepada Vino.

Vino tersenyum senang. “Thanks, sister. Besok pagi sebelum pergi dari apartemen gue, jangan lupa bersih-bersih dulu ya.”

Aku melongo tak percaya. “Ini bocah udah dikasih jantung malah minta hati! Awas lo ya!” seruku seraya mengangkat pisau di tangan.

Tawa Vino terdengar menggelegar. Sepupuku itu lantas mengambil sepiring apel dan membawanya memasuki kamar. Sebelum menutup pintu kamar, dia melongokkan kepalanya lantas menatapku. “Oh, iya, satu lagi. Entar malem jangan lupa ke supermarket buat beli bahan masakan sama jajanan.”

“VINO!!!” teriakku kesal. 

***

Aku melangkahkan kaki di trotoar dengan malas. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam dan saat ini aku tengah berjalan menuju supermarket yang letaknya tidak terlalu jauh dari apartemen Vino. Ingin sekali aku menolak perintah Vino, namun sebagai sepupu yang tahu diri karena sudah merepotkan Vino dengan menginap di apartemennya, maka aku pun berusaha untuk bersikap baik dan patuh padanya. Walaupun ujung-ujungnya diperintah terus-menerus seperti ini.

Masker yang sempat kuturunkan langsung kuangkat kembali saat tiba di supermarket yang ramai. Sebelum masuk ke dalam, aku mencuci tangan terlebih dahulu lantas melakukan cek suhu. Sampai di dalam supermarket itu, aku melangkah dengan cepat, mencari bahan untuk dimasak dan jajanan favorit Vino.

Setengah jam berlalu dan aku telah selesai dengan belanjaan di keranjang. Merasa lelah dan ingin segera merebahkan tubuh ke atas kasur, aku berjalan cepat untuk membayar semua barang yang kubeli lantas melangkah keluar dari supermarket. 

Ingin lebih cepat sampai di apartemen Vino, maka aku memutuskan untuk melewati sebuah gang. Jika melewati trotoar di jalan raya membutuhkan waktu sekitar dua puluh menit, sedangkan melewati gang hanya membutuhkan waktu sekitar lima belas menit, bahkan bisa lebih cepat dari itu.

Aku merinding sesaat ketika melihat kondisi gang yang terlihat sepi. Tidak semua lampu jalan di gang tersebut menyala. Terlihat gelap dan cukup menakutkan, namun aku berusaha untuk berpikir positif. Lagi pula, jam baru akan menunjukkan pukul sembilan malam, di jalan raya saja masih ramai, jadi aku yakin kalau di gang ini tidak akan ada orang jahat.

Aku melangkah di gang tersebut sambil bersenandung ria. Menit demi menit terus berlalu dan tidak ada satupun orang yang melewati gang ini. Entah mengapa perasaanku tiba-tiba tidak enak. Aku pun mengeratkan genggaman pada keresek yang berisi barang belanjaan lantas berjalan dengan langkah cepat.

Bruk!

Sesuatu yang terdengar jatuh dari arah belakang membuat langkahku terhenti. Menelan ludah, aku lantas memutar tubuh ke belakang. Terlihat di depan sana ada beberapa pria berjas yang berjalan mendekat ke arahku. Pria-pria itu mirip dengan pria berjas yang kulihat tadi siang saat bersama Pak Rendy. Ketika menyadari ada yang tidak beres, aku langsung berbalik dan berlari sekuat tenaga.

Aku tidak menoleh ke belakang sedikitpun, memilih untuk terus berlari secepat mungkin agar lekas sampai di jalan raya. Bodohnya, karena tidak melihat-lihat, kakiku tersandung batu. Tubuhku langsung terhuyung ke depan dengan lutut dan tangan yang lebih dulu mencium aspal. Panik, aku langsung berdiri, tidak mempedulikan barang belanjaanku yang kini berserakan di atas aspal.

Ketika akan kembali berlari, aku meringis saat merasakan perih di lutut dan tanganku. Aku menatap ke arah lutut dan telapak tanganku yang mengeluarkan darah. 

“Percuma saja kau berlari.”

Aku mendongak dan mataku membulat sempurna saat melihat pria-pria berjas itu kini telah berada di hadapanku. Satu kesimpulan yang tercetak di kepalaku membuatku menelan ludah. Apakah mereka makhluk sejenis Pak Rendy yang bisa berteleportasi? Mampuslah aku.

Dengan menahan rasa sakit di lutut, aku berjalan mundur perlahan hendak kembali berlari. Namun, kedua tanganku lebih dulu dicengkeram oleh mereka. 

“Siapa kalian?! Lepaskan saya!” teriakku sambil berusaha memberontak.

“Tenanglah, kami hanya ingin berbicara sebentar,” ujar pria berjas lain yang tidak memegang kedua tanganku. Dia mendekat ke arahku lantas menunduk. “Di mana keberadaannya?”

Aku mengernyit. “Apa maksud anda?”

“Jangan pura-pura tidak mengerti. Aku tahu kalau kau bersamanya sejak tadi siang.”

Paham ke mana arah pembicaraan pria itu dan siapa yang mereka cari, aku langsung menutup mulut rapat-rapat. Mataku menyorot tajam ke arah mereka dengan tangan yang berusaha memberontak. Meskipun usahaku sepertinya sia-sia, setidaknya aku harus terlihat berani saat ini.

“Aku tidak tahu maksud anda,” dustaku.

“Tidak mau memberitahu ya?” ujar pria di depanku. Meskipun wajahnya tak dapat kulihat karena terhalang masker, namun dapat kubayangkan wajah menyeramkannya yang tengah menyeringai kepadaku.

Pria itu terus berjalan mendekat ke arahku. Tiba-tiba saja nyaliku menciut. Aku tidak bisa bela diri dan jika dikeroyok oleh banyak pria seperti ini, tentu saja aku akan kalah. Pasrah, aku memejamkan kedua mata erat-erat.

Aku tersentak kaget saat merasakan ada tangan yang menarik turun maskerku. Sepertinya itu tangan dari pria di hadapanku. Beberapa detik kemudian kurasakan sebuah tangan yang meraih daguku dan mengangkat wajahku. Mataku memejam semakin erat.

“Jauhkan tanganmu darinya!”

Suara yang familier di telingaku membuat kedua mataku terbuka. Aku terbelalak melihat Pak Rendy berada di depan sana. Dia berjalan ke arahku dengan netra cokelat terangnya yang menyorot tajam.

“Lepaskan gadis itu,” ucap Pak Rendy.

“Wah, ternyata aku tidak salah menangkap umpan,” ujar pria berjas itu seraya menjauhkan tangannya dari daguku. Dia lantas beralih menatap Pak Rendy. “Sudah siap pulang?”

Rahang Pak Rendy mengetat dengan mata yang tertuju pada kedua tanganku yang masih dicengkeram oleh dua pria berjas. Tiba-tiba saja dengan gerakan yang begitu cepat kulihat Pak Rendy melayangkan tinjunya ke arah dua pria yang mencengkeram tanganku, kemudian dengan gerakan cepat pula dia berhasil meraih tubuhku ke dalam dekapannya. Dalam hitungan detik, portal lingkaran itu terlihat dan Pak Rendy menggendongku lantas memasuki portal sebelum para pria berjas itu menyusul kami. 

Aku menghembuskan napas lega saat kami tiba di apartemen milik Pak Rendy. Aku mendongak untuk menatap wajah Pak Rendy yang tampak menatap lurus ke depan. Pak Rendy menggendongku lantas meletakkan tubuhku ke atas sofa. Dapat kulihat matanya memandang ke arah lututku yang berdarah. Entah perasaanku saja atau benar adanya, bola mata Pak Rendy berkilat marah, dia menggertakkan giginya sesaat.

“Mereka melukaimu?” tanyanya seraya menatapku.

Aku menggeleng. “Saya terjatuh saat berusaha kabur.”

Pak Rendy tak berucap apapun, dia menegakkan tubuhnya lantas berjalan menuju salah satu ruangan. Tak berselang lama dia kembali dengan membawa kotak P3K. Pak Rendy beranjak duduk di sebelahku lantas membuka kotak P3K.

Aku terkesiap kaget saat Pak Rendy meraih kedua telapak tanganku. Dengan telaten dia mulai membersihkan luka yang berada di sana. Ternyata dia menyadari kalau telapak tanganku juga terluka. Selesai dengan luka di telapak tanganku, Pak Rendy beralih mengobati kedua lututku yang masih mengeluarkan darah. 

“Sshhh ... ” ringisku saat Pak Rendy mengoleskan salep ke lututku. Rasanya lebih perih daripada saat dioleskan ke luka di telapak tanganku.

“Tahan sebentar,” ucap Pak Rendy.

Aku mengangguk, kemudian menggigit bibirku saat rasa perih itu kembali hadir. Pandangan mataku tak beralih dari Pak Rendy yang kini tengah menutup luka di lututku dengan hati-hati. Setelah luka ditutup dengan kain kasa, Pak Rendy mengelus lututku dengan pelan. Tindakannya membuat dadaku berdesir. Aku mengalihkan pandangan ke arah lain untuk meminimalisir perasaan yang kembali hadir. Aku sadar kalau rasa ini masih ada untuk Pak Rendy sejak tiga tahun lalu. Dia adalah cinta pertamaku dan ternyata sampai sekarang aku masih menyukainya. Bodoh, aku jatuh cinta pada makhluk asing yang bukan manusia.

“Seandainya saya mempunyai kemampuan untuk menyembuhkan luka. Sayangnya saya tidak punya itu,” ucap Pak Rendy. Kini kurasakan dia meraih tanganku lantas menggenggamnya pelan.

Aku kembali menatapnya. Saat itulah aku tertegun mendapati sorot matanya yang melembut. “Maaf, kamu jadi terlibat dengan masalah saya.”

Aku bungkam, tidak tahu harus bicara apa. 

“Saya bilang di awal kalau hidup kamu tidak akan tenang setelah ini. Dan itu benar-benar terjadi. Kamu sudah terlibat dengan saya, maka ucapkan selamat tinggal pada kehidupan normalmu.”

Napasku tertahan sesaat setelah mendengar ucapan Pak Rendy yang satu itu. 

Masih dengan menggenggam tanganku, kini sorot mata Pak Rendy berubah tajam. “Mulai sekarang kamu harus tinggal satu atap dengan saya, Elisa.”

Bab terkait

  • Pria Misterius Itu Bukan Manusia   Bab 6-Tinggal Bersama

    “Ya?!” kejutku usai mendengar ucapan Pak Rendy. Tinggal bersamanya? Dia pasti sudah gila! Bagaimana kalau aku khilaf dan menyerangnya? Bisa bahaya hidup seatap dengan pria tampan.Bola mata Pak Rendy memandangku dengan bias geli.Aku mengerjap dengan raut bingung. “Bapak kenapa lihatin saya kayak gitu?”“Kamu takut khilaf dan menyerang saya?” tanya Pak Rendy. Kini sudut bibirnya berkedut seperti menahan tawa.Mataku melotot mendengar pertanyaannya. “Bapak bisa membaca pikiran?!” pekikku. Saking kagetnya aku sampai beranjak berdiri.“Bisa kalau saya ingin,” jawab Pak Rendy sambil meraih kedua tanganku, kemudian menarikku kembali duduk di sebelahnya.“Tapi Bapak tidak sopan sudah membaca pikiran saya tanpa izin,” jengkelku. Apakah selama ini dia selalu membaca pikiranku? Bahkan di awal pertemuan kami saat di kedai kopi tiga tahun yang lalu?“Kamu benar, itu pe

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-29
  • Pria Misterius Itu Bukan Manusia   Bab 7-Mereka Lagi

    Pertanyaan Pak Rendy dan matanya yang masih menyorot lekat ke arahku entah mengapa malah membuat wajahku memanas. Aku memalingkan wajah ke arah lain saat satu asumsi aneh tercetak di kepalaku. Tidak, itu tidak mungkin.Suara kursi yang didorong membuat pikiranku buyar. Aku kembali menatap ke arah Pak Rendy yang beranjak berdiri. Mataku bergerak mengikuti sosok Pak Rendy yang berjalan mendekat ke arahku. Aku menelan ludah saat melihat Pak Rendy berdiri tepat di sebelahku yang kini terduduk kaku di atas kursi.“Mandilah dan berganti pakaian, sebentar lagi saya akan mengajar di kelas kamu,” ujar Pak Rendy dengan menepuk puncak kepalaku dua kali.“Ya?” Aku mengerjap bingung bercampur kaget mendapatkan perlakuan tak terduga dari Pak Rendy. “Bukannya Pak Rendy mengajar mahasiswa semester tiga?”“Mulai hari ini saya akan mengajar di kelas kamu. Jangan sampai tertidur,” ancam Pak Rendy dengan menyunggingkan sudut bi

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-01
  • Pria Misterius Itu Bukan Manusia   Bab 8-Curiga

    “Susah sekali membawamu kembali,” tutur salah satu pria berjas dengan berjalan maju diikuti oleh rekan-rekannya di belakang.Pak Rendy melangkah mundur membuatku secara otomatis ikut melangkahkan kakiku ke belakang. “Kalian salah paham,” tuturnya.“Oh, ya?”Dapat kudengar dengkusan singkat dari Pak Rendy. “Kalian belum mendengarkan penjelasanku.”Aku mendongak ke arah Pak Rendy lantas menatap ke arah gerombolan pria berjas di depan sana. Apa yang sebenarnya sedang mereka bicarakan?“Kami tidak butuh penjelasanmu itu, sudah terlalu lama kami mencarimu. Cukup menurut dan ikut kami kembali. Jika tidak, kami terpaksa menggunakan cara kasar.”Perkataan dari pria berjas itu membuat satu asumsi langsung tercipta di kepalaku. Aku kembali menatap Pak Rendy dengan mata membulat. Apakah pria itu—“Tidak merespon ya? Baiklah, kami memutuskan akan menggunakan cara kasar.&rdquo

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-11
  • Pria Misterius Itu Bukan Manusia   Bab 9-Perhatian Rendy

    Bungkam. Itulah respon Pak Rendy atas dua pertanyaanku saat di mobil. Tak hanya itu, saat ini raut wajah pria itu terlihat dingin. Dia tidak berbicara apapun padaku selepas kami sampai di apartemennya, bahkan hingga malam tiba. Saat aku menghampirinya dan hendak bertanya sesuatu, dia langsung menghindar pergi memasuki kamarnya atau ruang kerjanya. Apakah pertanyaanku saat di mobil telah menyinggungnya?Helaan napas panjang keluar dari mulutku. Aku jadi tidak dapat fokus mengerjakan tugas kuliah. Menyandarkan tubuh ke sandaran sofa, aku lantas memilih untuk menyalakan televisi yang berada di depanku. Melihat televisi yang menayangkan burger, pizza, dan cola seketika perutku langsung berbunyi. Aku menelan ludah ketika menyadari kalau diriku merasa lapar, baru kuingat kalau belum makan malam.Tepat setelah itu terdengar suara pintu terbuka dari ruang kerja Pak Rendy. Bola mataku bergerak mengikuti Pak Rendy yang kini berjalan memasuki kamarnya lantas memakai jaket, sepert

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-12
  • Pria Misterius Itu Bukan Manusia   Bab 10-Kiss and Bed

    Pak Rendy merawatku hingga hari berganti malam. Dia tetap berada di kamarku, duduk di sebelahku sambil mengganti kompresan di keningku. Demamku pun sudah turun. Berkat minum obat dan makan, kondisiku sudah lebih baik saat ini. Tadinya aku nyaris tidak mau makan sama sekali karena perutku terasa sangat tidak enak, namun Pak Rendy dengan telaten menyuapiku. Bahkan, saat ini pria itu pun tengah menyuapiku untuk makan malam.“Dua sendok lagi habis,” ucap Pak Rendy seraya menunjukkan semangkuk bubur yang tersisa sedikit.Aku menelan bubur sambil menatap Pak Rendy dengan raut bingung. Apa sebenarnya motif pria itu merawatku? Mengapa dia tampak peduli padaku? Sejak aku mengetahui identitasnya, aku mendapati beberapa tindakannya yang menunjukkan kepeduliannya padaku, entah apa alasannya.Mulutku terbuka saat Pak Rendy kembali menyodorkan sesendok bubur, dengan cepat aku menelannya hingga sendok terakhir tersuap ke mulutku.“Minum,” ujar Pa

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-12
  • Pria Misterius Itu Bukan Manusia   Bab 11-Teman Baru

    Ketika kedua mataku terbuka, tidak kudapati Pak Rendy di sebelahku. Aku mengernyit, bertanya-tanya ke mana perginya pria itu? Namun, saat bau masakan tercium, masuk ke dalam kamar yang pintunya terbuka, aku langsung mendapatkan satu kesimpulan. Sepertinya Pak Rendy sedang memasak.Aku bangkit dari atas kasur dengan malas, kemudian melangkah menuju kamar mandi di dalam kamar ini. Mencuci muka lantas menyikat gigi. Tepat saat aku sedang menyikat gigi, dapat kulihat melalui cermin di depanku kalau Pak Rendy melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Pria itu berjalan mendekat ke arahku lantas memeluk tubuhku dari belakang. Aku sempat tertegun sesaat, namun setelahnya aku dapat menutupi keterkejutan dengan pelototan.“Ngapain peluk-peluk?” tanyaku dengan mulut penuh busa, kemudian aku lanjut menggosok gigi.Pak Rendy tak menjawab, pria itu malah menatapku lekat melalui cermin. Ditatap seperti itu langsung membuat debar jantungku menggila, apalagi iris cokelat

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-13
  • Pria Misterius Itu Bukan Manusia   Bab 12-I Like Your Lips

    Berulang kali aku duduk lalu kembali berdiri setiap kali ada mobil yang mirip dengan mobil Pak Rendy lewat. Saat ini aku tengah berada di halte dekat kampus, menuggu Pak Rendy yang katanya akan menjemputku, tetapi sampai sekarang pria itu belum terlihat, padahal aku sudah mengirimnya pesan sejak tadi.Sebuah mobil berwarna putih berhenti tepat di depanku. Aku mengernyit, itu bukan mobil Pak Rendy, selain itu tidak ada orang lain di halte ini selain aku, lalu sedang apa mobil itu berhenti di depanku?Kaca mobil terbuka dan menampilkan sosok lelaki dengan masker berwarna hitam. Ketika lelaki itu menurunkan masker dan menampilkan wajah seseorang yang tengah tersenyum, aku langsung membalas senyumnya. “Lo kenapa berhenti di situ, Vin?”Gavin melongokkan kepalanya. “Lo belum pulang?”Aku menggeleng sebagai jawaban.“Mau bareng?” tawar Gavin.“Nggak deh, entar ngerepotin,” tolakku.“Eman

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-13
  • Pria Misterius Itu Bukan Manusia   Bab 13-Penculikan

    Keningku menempel di kening Pak Rendy. Napas kami yang tak beraturan saling bersahutan. Aku membuka kedua mata perlahan dan tepat saat itulah kedua netra hitamku langsung bertemu pandang dengan netra cokelat terang Pak Rendy. Dapat kulihat netra cokelat terang Pak Rendy bergerak turun menatap bibirku, kemudian tangan pria itu terulur dan mengelap sisa saliva di bibirku. “Bibir kamu bengkak,” beri tahu Pak Rendy, seolah aku tidak tahu saja. “Salah siapa coba?” kesalku dengan memutar bola mata. Aku lantas melepaskan diri dari pelukannya, bergerak sedikit menjauh. Pak Rendy tertawa singkat. “Salah saya dan kamu juga tentunya.” Aku berdecak mendengar ucapannya. Dasar alien menyebalkan, untung sayang. Di tengah perbincangan kami, terdengar dering ponsel. Yang jelas, itu bukan berasal dari ponselku karena aku tidak mengaktifkan nada dering ponsel. Terbukti karena setelahnya Pak Rendy mengeluarkan ponsel dari saku celananya. “Dari siapa?” tan

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-23

Bab terbaru

  • Pria Misterius Itu Bukan Manusia   Bab 16-Sorot Kecewa di Matanya

    “Kamu sudah siap untuk bertemu dengan Rendy?”Aku menoleh ke arah Edwin, menatap iris biru terangnya. “Ya, aku siap.”Bagaimanapun, aku harus siap menghadapi ini. Mungkin, pertemuanku dengan Pak Rendy kali ini akan menjadi pertemuan terakhir kami. Dia akan kembali ke planetnya dan aku tetap berada di bumi. Ah, mirisnya, kisah cintaku hanya bertahan sebentar.“Kalau kamu belum siap, kami bisa menundanya.”Bungkam, aku tak menanggapi ucapan Edwin. Sebenarnya, aku memang belum benar-benar siap untuk berpisah dengan Pak Rendy. Namun, mau bagaimana lagi? Hubungan kami tidak akan berhasil, sudah seharusnya kami berpisah, lebih cepat lebih baik, agar perasaanku tidak semakin mendalam.Aku menatap lurus ke depan, saat ini aku berada di dalam mobil yang dikemudikan oleh Daniel dengan Edwin yang duduk di sebelahku dan Arden yang berada di sebelah Daniel. Para pria berjas yang lain mengikuti dari mobil yang berada di belaka

  • Pria Misterius Itu Bukan Manusia   Bab 15-Membantu Mereka

    Aku sarapan dengan tidak berselera, makanku tidak habis, padahal aku paling suka makan dan sulit untuk menolak makanan. Entahlah, sepertinya pembicaraan tadi malam masih berefek besar padaku, saking terkejutnya sampai tidak bisa berhenti terpikirkan tentang hal itu. Jujur saja, aku merasa dikhianati oleh Pak Rendy.“Mau keluar?”Pertanyaan itu terdengar berbarengan dengan munculnya Edwin. Aku terpaku sesaat melihat Edwin dalam setelah non formalnya, kaus berwarna hitam dengan bawahan celana jeans. Berdehem lantas mengalihkan pandangan ke arah lain, aku mengangguk-angguk.Aku berjalan mengikuti langkah Edwin keluar ruangan ini. Keluar dari ruangan tadi, aku seperti berada di ruang tengah yang amat luas, sama seperti ruang tengah di rumah-rumah besar. Saat itulah aku mendapatkan kesimpulan kalau mereka menyewa rumah untuk markas, atau merampas rumah? Ah, sepertinya pilihan pertama lebih masuk akal mengingat mereka tidak boleh melukai makhluk dari plane

  • Pria Misterius Itu Bukan Manusia   Bab 14-Identitas Rendy yang Sebenarnya

    Kelopak mataku terbuka perlahan. Hal pertama yang kulihat adalah ruangan dengan alat-alat dan beberapa komputer di sekitarnya. Di mana ini?Sekelebat ingatan langsung memasuki kepalaku tatkala beberapa pria berjas datang dan berjalan mendekat ke arahku. Sontak, aku yang tadinya dalam posisi berbaring di sofa langsung beranjak duduk dan memandang mereka dengan sorot tajam.“Di mana saya? Kalian menculik saya?” tuduhku.Salah satu pria berjas yang memiliki iris berwarna biru terang beranjak duduk di sofa yang berada di hadapanku. “Kau berada di markas kami dan kami tidak menculikmu, hanya meminjam sebentar,” ucapnya diikuti senyum tipis.Oh, astaga, nyaris saja aku tepesona. Jadi benar kalau alien memang tampan-tampan?Aku menggeleng saat menyadari apa yang baru saja kupikirkan. “Apa tujuan kalian membawa saya ke sini?” tanyaku dengan lebih tenang, apalagi saat aku teringat ucapan Pak Rendy kalau mereka tidak mungk

  • Pria Misterius Itu Bukan Manusia   Bab 13-Penculikan

    Keningku menempel di kening Pak Rendy. Napas kami yang tak beraturan saling bersahutan. Aku membuka kedua mata perlahan dan tepat saat itulah kedua netra hitamku langsung bertemu pandang dengan netra cokelat terang Pak Rendy. Dapat kulihat netra cokelat terang Pak Rendy bergerak turun menatap bibirku, kemudian tangan pria itu terulur dan mengelap sisa saliva di bibirku. “Bibir kamu bengkak,” beri tahu Pak Rendy, seolah aku tidak tahu saja. “Salah siapa coba?” kesalku dengan memutar bola mata. Aku lantas melepaskan diri dari pelukannya, bergerak sedikit menjauh. Pak Rendy tertawa singkat. “Salah saya dan kamu juga tentunya.” Aku berdecak mendengar ucapannya. Dasar alien menyebalkan, untung sayang. Di tengah perbincangan kami, terdengar dering ponsel. Yang jelas, itu bukan berasal dari ponselku karena aku tidak mengaktifkan nada dering ponsel. Terbukti karena setelahnya Pak Rendy mengeluarkan ponsel dari saku celananya. “Dari siapa?” tan

  • Pria Misterius Itu Bukan Manusia   Bab 12-I Like Your Lips

    Berulang kali aku duduk lalu kembali berdiri setiap kali ada mobil yang mirip dengan mobil Pak Rendy lewat. Saat ini aku tengah berada di halte dekat kampus, menuggu Pak Rendy yang katanya akan menjemputku, tetapi sampai sekarang pria itu belum terlihat, padahal aku sudah mengirimnya pesan sejak tadi.Sebuah mobil berwarna putih berhenti tepat di depanku. Aku mengernyit, itu bukan mobil Pak Rendy, selain itu tidak ada orang lain di halte ini selain aku, lalu sedang apa mobil itu berhenti di depanku?Kaca mobil terbuka dan menampilkan sosok lelaki dengan masker berwarna hitam. Ketika lelaki itu menurunkan masker dan menampilkan wajah seseorang yang tengah tersenyum, aku langsung membalas senyumnya. “Lo kenapa berhenti di situ, Vin?”Gavin melongokkan kepalanya. “Lo belum pulang?”Aku menggeleng sebagai jawaban.“Mau bareng?” tawar Gavin.“Nggak deh, entar ngerepotin,” tolakku.“Eman

  • Pria Misterius Itu Bukan Manusia   Bab 11-Teman Baru

    Ketika kedua mataku terbuka, tidak kudapati Pak Rendy di sebelahku. Aku mengernyit, bertanya-tanya ke mana perginya pria itu? Namun, saat bau masakan tercium, masuk ke dalam kamar yang pintunya terbuka, aku langsung mendapatkan satu kesimpulan. Sepertinya Pak Rendy sedang memasak.Aku bangkit dari atas kasur dengan malas, kemudian melangkah menuju kamar mandi di dalam kamar ini. Mencuci muka lantas menyikat gigi. Tepat saat aku sedang menyikat gigi, dapat kulihat melalui cermin di depanku kalau Pak Rendy melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Pria itu berjalan mendekat ke arahku lantas memeluk tubuhku dari belakang. Aku sempat tertegun sesaat, namun setelahnya aku dapat menutupi keterkejutan dengan pelototan.“Ngapain peluk-peluk?” tanyaku dengan mulut penuh busa, kemudian aku lanjut menggosok gigi.Pak Rendy tak menjawab, pria itu malah menatapku lekat melalui cermin. Ditatap seperti itu langsung membuat debar jantungku menggila, apalagi iris cokelat

  • Pria Misterius Itu Bukan Manusia   Bab 10-Kiss and Bed

    Pak Rendy merawatku hingga hari berganti malam. Dia tetap berada di kamarku, duduk di sebelahku sambil mengganti kompresan di keningku. Demamku pun sudah turun. Berkat minum obat dan makan, kondisiku sudah lebih baik saat ini. Tadinya aku nyaris tidak mau makan sama sekali karena perutku terasa sangat tidak enak, namun Pak Rendy dengan telaten menyuapiku. Bahkan, saat ini pria itu pun tengah menyuapiku untuk makan malam.“Dua sendok lagi habis,” ucap Pak Rendy seraya menunjukkan semangkuk bubur yang tersisa sedikit.Aku menelan bubur sambil menatap Pak Rendy dengan raut bingung. Apa sebenarnya motif pria itu merawatku? Mengapa dia tampak peduli padaku? Sejak aku mengetahui identitasnya, aku mendapati beberapa tindakannya yang menunjukkan kepeduliannya padaku, entah apa alasannya.Mulutku terbuka saat Pak Rendy kembali menyodorkan sesendok bubur, dengan cepat aku menelannya hingga sendok terakhir tersuap ke mulutku.“Minum,” ujar Pa

  • Pria Misterius Itu Bukan Manusia   Bab 9-Perhatian Rendy

    Bungkam. Itulah respon Pak Rendy atas dua pertanyaanku saat di mobil. Tak hanya itu, saat ini raut wajah pria itu terlihat dingin. Dia tidak berbicara apapun padaku selepas kami sampai di apartemennya, bahkan hingga malam tiba. Saat aku menghampirinya dan hendak bertanya sesuatu, dia langsung menghindar pergi memasuki kamarnya atau ruang kerjanya. Apakah pertanyaanku saat di mobil telah menyinggungnya?Helaan napas panjang keluar dari mulutku. Aku jadi tidak dapat fokus mengerjakan tugas kuliah. Menyandarkan tubuh ke sandaran sofa, aku lantas memilih untuk menyalakan televisi yang berada di depanku. Melihat televisi yang menayangkan burger, pizza, dan cola seketika perutku langsung berbunyi. Aku menelan ludah ketika menyadari kalau diriku merasa lapar, baru kuingat kalau belum makan malam.Tepat setelah itu terdengar suara pintu terbuka dari ruang kerja Pak Rendy. Bola mataku bergerak mengikuti Pak Rendy yang kini berjalan memasuki kamarnya lantas memakai jaket, sepert

  • Pria Misterius Itu Bukan Manusia   Bab 8-Curiga

    “Susah sekali membawamu kembali,” tutur salah satu pria berjas dengan berjalan maju diikuti oleh rekan-rekannya di belakang.Pak Rendy melangkah mundur membuatku secara otomatis ikut melangkahkan kakiku ke belakang. “Kalian salah paham,” tuturnya.“Oh, ya?”Dapat kudengar dengkusan singkat dari Pak Rendy. “Kalian belum mendengarkan penjelasanku.”Aku mendongak ke arah Pak Rendy lantas menatap ke arah gerombolan pria berjas di depan sana. Apa yang sebenarnya sedang mereka bicarakan?“Kami tidak butuh penjelasanmu itu, sudah terlalu lama kami mencarimu. Cukup menurut dan ikut kami kembali. Jika tidak, kami terpaksa menggunakan cara kasar.”Perkataan dari pria berjas itu membuat satu asumsi langsung tercipta di kepalaku. Aku kembali menatap Pak Rendy dengan mata membulat. Apakah pria itu—“Tidak merespon ya? Baiklah, kami memutuskan akan menggunakan cara kasar.&rdquo

DMCA.com Protection Status