Share

Bab 2-Seorang Dokter

Penulis: Ainjae
last update Terakhir Diperbarui: 2021-12-24 13:19:07

Sekarang, tahun 2021.

Mataku menatap layar laptop tanpa berkedip. Tertera kata “selamat” dan “lulus” di sana. Dengan cepat aku beranjak dari duduk lantas berlari ke arah ruang tengah di mana orang tuaku berada.

“Mama! Papa! El lulus SBMPTN!” teriakku dengan girang sambil berjoget-joget.

Kupikir Mama dan Papa akan sama senangnya denganku, minimal mengulas senyum bangga. Namun, respon mereka yang terdiam dengan raut bingung membuatku langsung menghentikan gerakan badan yang masih berjoget ria.

“Kamu lulus di pilihan pertama atau kedua?” tanya Papa, kini raut wajahnya tampak serius.

Mataku mengerjap saat mendengar pertanyaan Papa yang satu itu, kemudian cengiran lebar terpampang di wajahku. “El lupa belum cek lulus di pilihan berapa.” Perkataanku membuat Mama dan Papa menggeleng heran. Masih mempertahankan cengiran di wajah, aku berlari menuju kamar untuk mengecek di pilihan berapa aku lolos, kemudian kembali berlari ke ruang tengah menghadap Mama dan Papa. “El, lulus di pilihan kedua, program studi Ilmu Sejarah.”

Mama dan Papa melotot usai mendengar perkataanku. “Ilmu Sejarah?!” pekik mereka secara bersamaan.

Aku menggaruk leher yang cukup gatal, efek belum mandi seharian. “Iya,” cicitku.

Papa menghela napas. “Kamu mengambil pilihan kedua Ilmu Sejarah tapi tidak memberitahu Papa atau Mama? Papa kira kamu mengambil program studi Manajemen untuk pilihan kedua.”

Mama yang berada di sebelah Papa mengangguk, kemudian beralih menatapku dengan sorot tajamnya. “Lagian, kok bisa kamu ambil Ilmu Sejarah padahal tahu sendiri waktu kelas sepuluh dulu nilai sejarahmu paling rendah di kelas?”

Aku langsung bungkam usai mendengar pertanyaan Mama yang satu itu. Benar juga, mengapa aku mengambil program studi yang ada bau-bau sejarahnya padahal aku tidak terlalu menyukai sejarah? Namun, karena sudah terlanjur diterima, maka aku pun akan berusaha untuk meyakinkan orang tuaku agar diperbolehkan kuliah di program studi tersebut. Aku malas kalau harus belajar lagi dan mengikuti tes masuk perguruan tinggi lagi.

“Waktu itu Mama sama Papa bilang terserah El mau ambil apa buat pilihan kedua, ya udah deh El ambil Ilmu Sejarah. Mama benar sih kalau dulu nilai sejarah El rendah, tapi sekarang El udah suka sama sejarah kok. Jadi nggak masalah kan kuliah di program studi itu?” ujarku panjang-lebar. Wow, aku takjub dengan diriku yang bisa berbohong selancar ini.

Mama dan Papa saling pandang selama beberapa detik, kemudian kulihat raut pasrah di wajah kedua orang tuaku. “Ya sudah, terserah kamu saja,” ucap Papa pada akhirnya.

Aku mengulas senyum senang. Masih dengan perasaan gembira, aku berlari-lari memasuki kamar untuk pamer ke kenalanku yang lain kalau aku sudah diterima di perguruan tinggi.

***

Virus corona yang menyerang sejak tahun 2020 membuat aktivitas sehari-hari cukup menyulitkan, terutama bagiku yang tidak suka memakai masker. Rasanya sesak dan gerah. Namun, apa boleh buat, itu sudah aturan resmi dan untuk meminimalisir penularan virus juga.

Aku membenarkan letak masker di wajah lantas melangkah memasuki kedai kopi yang selalu kukunjungi dalam tiga tahun belakangan ini. Seperti biasa, aku memesan americano lantas beranjak duduk di salah satu kursi. Pandangan mataku mengendar, menatap seisi kedai kopi yang tidak banyak berubah setelah tiga tahun berlalu. Namun, ada satu hal yang selalu kuharapkan setiap berkunjung ke kedai kopi ini yaitu bertemu kembali dengan pria tampan itu. Sayang seribu kali sayang, harapanku tidak pernah terkabulkan, bahkan tidak ada satupun yang mengingat sosok pria tampan itu. Atau jangan-jangan tebakanku tiga tahun lalu benar bahwa aku hanya berhalusinasi?

Sedang asyik-asyiknya melamun, aku dikejutkan dengan suara dari dering ponsel. Mendengkus singkat, aku lantas mengangkat panggilan.

“Apa lo?!” seruku kesal kepada Vino, sepupuku yang umurnya satu tahun lebih tua dariku.

“Galak amat lo! Kalau ada orang telepon tuh salam dulu,” ujar Vino dari seberang sana, terdengar sok bijak.

“Cepat lo mau ngomong apa, gue lagi nggak mau basa-basi.”

“Bantuin gue, please.”

Aku mengernyit saat mendengar suara Vino yang tampak begitu memohon. “Bantuin apa? Ngerjain tugas kuliah? Maaf aja ya, kita beda program studi.”

“Bukan, bukan itu. Bantuin gue sekarang, El, gue lagi di rumah sakit habis kecelakaan. Terus—”

What?! Kecelakaan?! Gue kabarin Tante Wanda sekarang,” ucapku dan dengan tergesa mencari nomor Mama Vino.

“Eh! Jangan!” cegat Vino, terdengar panik. “Gue bakal diomel kalau Mama tahu gue kecelakaan.”

Aku terdiam sejenak untuk berpikir. Setelah paham dengan situasinya, aku pun berdecak heran. “Lo pasti kecelakaan gara-gara kebut-kebutan lagi di jalan?” tebakku.

“Iya sih,” lirih Vino dari seberang sana.

Aku mendengkus. “Lo butuh bantuan apa?”

“Tolong bawain beberapa baju gue. Stok baju gue menipis terus gue nggak sempat balik ke rumah, kondisi juga lagi kayak gini.”

“Loh, lo lagi nggak di rumah? Berarti sekarang posisi lo di luar kota?”

“Hm. Gue kan udah kuliah tatap muka mulai semester ini, program studi gue udah blended learning,” jelas Vino.

Aku mengangguk-angguk. “Kalau gitu gue ke sana besok.” Sebagai sepupu yang baik hati, aku harus membantunya bukan? Apalagi aku dan Vino sama-sama anak tunggal, jadilah kami sering mengandalkan satu sama lain.

“Oke. Thank you sister!”

Setelah berucap terima kasih, Vino langsung menutup panggilan. Aku melotot kesal dibuatnya.

***

Aku melangkah keluar dari gerbong kereta, kemudian berjalan keluar dari area stasiun untuk memesan ojek online. Hari ini aku benar-benar akan mengunjungi Vino yang tengah dirawat di rumah sakit. Dikarenakan sepupuku berkuliah di luar kota, jadilah aku harus menaiki kereta untuk sampai di sana. Sebenarnya kami berkuliah di kampus yang sama hanya saja berbeda program studi, karena itulah dia sudah mulai kuliah tatap muka tetapi aku belum.

Ojek online yang kutumpangi memasuki area sebuah rumah sakit besar. Setelah beranjak turun dan membayar kepada sang driver, aku melangkah memasuki area rumah sakit sambil membuka ponsel untuk mengecek keberadaan kamar rawat Vino. Sampai di ruang rawat inap yang sesuai dengan milik Vino, aku pun membuka pintu dan melangkah masuk.

Terlihat sepupuku tengah asyik memainkan game online di ponselnya. Melihat hal tersebut membuatku geram. Sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku. Dengan langkah cepat aku mendekat ke arah Vino lantas memukul kepalanya dengan tasku.

“Aduh!” kejut Vino sambil mengusap kepalanya. Ia hendak mengeluarkan kata-kata kotor, namun saat melihat bahwa akulah yang datang, mulutnya langsung tertutup dan senyum manis terukir di sana. “Eh, Elisa yang cantik udah datang.”

“Nih, barang yang lo minta,” tuturku lantas meletakkan tas besar berisi baju-baju milik Vino. Pandanganku kembali tertuju pada Vino yang mendapatkan luka lecet di wajahnya, bahkan bagian tangan dan kakinya diperban. “Luka lo parah?”

“Nggak tahu, kata dokter hasilnya bakal dikasih tahu hari ini. Eh, lo jadi wali gue ya, El? Entar nemuin dokternya.”

Sebenarnya aku kesal disuruh-suruh. Aku ingin kembali melayangkan pukulan ke kepala Vino. Namun, mengingat kondisi lelaki itu sedang tidak baik-baik saja, aku pun mengurungkan niat.

“Nemuin dokternya jam berapa?”

Tepat usai aku bertanya, muncullah seorang perawat yang memasuki kamar Vino. Perawat itu menatapku sekilas lantas beralih menatap Vino. “Apakah wali pasien sudah datang?”

Vino mengalihkan pandangan dari layar ponsel lantas menunjukku. “Itu wali saya.”

Perawat itu beralih menatapku. “Kalau begitu silakan ikut saya untuk menemui dokter.”

Aku mengangguk patuh. Sebelum keluar dari ruang rawat inap Vino, aku melayangkan tatapan tajam ke arahnya yang dibalas raut tak peduli dari Vino.

Perawat itu mengetuk pintu yang kuyakini adalah ruangan dari sang dokter. Setelah dipersilakan untuk masuk, kami pun melangkah memasuki ruangan itu. Saat itulah bola mataku membesar menatap dokter yang berada di hadapanku. Pandanganku terfokuskan pada netra cokelat terang milik sang dokter.

“Silakan duduk,” ucap dokter itu sambil menunjuk kursi di depannya.

Suara itu. Aku yakin itu suara yang sama dengan pria tampan yang kutemui di kedai kopi tiga tahun lalu. Meskipun suara dari sang dokter tak terdengar begitu jelas karena terhalang masker, namun aku benar-benar yakin kalau itu suara yang sama.

Pintu ruangan ditutup oleh sang perawat disusul dengan kepergian sang perawat. Kini hanya ada aku dan dokter itu. Aku beranjak duduk di depan dokter itu dengan mata yang menyorot lekat ke arahnya.

“Anda wali dari pasien Alvino Atmaja. Benar begitu?”

Aku mengangguk-angguk. Suaranya yang kembali memasuki indra pendengaranku membuat jantungku berdegup kencang dengan pandangan mata yang tak dapat teralihkan dari sosok dokter itu. Entah bagaimana aku bisa seyakin ini bahwa dia pasti pria yang sama dengan pemilik kedai kopi.

Sang dokter mulai menjelaskan kondisi Vino, namun aku tak peduli karena saat ini fokusku tertuju pada sosoknya. Kuamati wajahnya yang tertutup masker. Alis tebalnya, bulu mata lentiknya, dan yang paling mencolok adalah bola mata cokelat terangnya.

“ ... dengan kondisi tersebut, Alvino dapat dipulangkan besok.”

Aku membuyarkan lamunan saat menyadari sang dokter telah selesai berbicara. “Ah, ya, terima kasih,” ucapku kaku.

Dokter itu beranjak dari duduk dan mempersilakanku untuk keluar dari ruangannya. Aku turut berdiri dan kini posisi kami berhadapan. Tiba-tiba ide gila terpikirkan olehku. Aku ingin membuktikan bahwa diriku tidak berhalusinasi tiga tahun lalu dan bahwa sosok pria tampan itu benar-benar ada.

Dengan gerakan cepat tanganku terangkat lantas menarik turun masker yang dikenakan dokter itu. Masker terlepas dari wajahnya dan dapat kulihat sorot kaget dari sang dokter. Namun, aku tak peduli karena yang jelas aku lebih terkejut saat ini. Persis di hadapanku, berdiri sosok pria tampan itu, sosok yang sama dengan pemilik kedai kopi yang kulihat tiga tahun lalu.

“Anda pemilik kedai kopi di Jalan Merdeka kan? Saya yakin pernah melihat anda tiga tahun lalu. Jadi, anda juga seorang dokter?” serbuku dengan pertanyaan. Rasa penasaranku begitu besar saat ini.

Dapat kulihat bola mata dokter itu membulat sempurna. “Bagaimana bisa kamu ... ” Dia menghentikan ucapannya, memandangku dengan bola mata yang bergerak gelisah.

Aku tersenyum dari balik maskerku. “Jadi saya tidak sedang berhalusinasi,” ujarku, entah dokter itu mengerti atau tidak. “Saya sempat menanyakan keberadaan Pak Dokter ke beberapa karyawan di kedai kopi itu, tapi tidak ada yang mengetahui, bahkan mereka mengaku tidak pernah bertemu dengan Pak Dokter.”

Mulutku terbuka hendak kembali berujar, namun hal yang tak terduga terjadi setelahnya. Dokter itu meraih wajahku dengan kedua tangannya. Sontak, aku menahan napas karena terkejut.

Netra cokelat terang milik dokter itu menyorot tajam tepat ke dalam netra hitam pekatku. “Tatap mata saya dan lupakan semuanya.”

Beberapa detik kami terdiam dalam posisi yang sama, kemudian dokter itu menjauhkan tangannya dari wajahku lantas berjalan cepat keluar ruangan. Sedangkan aku terdiam di tempat dengan kening berkerut. Apa yang dimaksud oleh dokter itu? Apa pula maksudnya melupakan semuanya?

Bab terkait

  • Pria Misterius Itu Bukan Manusia   Bab 3-Bukan Manusia

    Aku berusaha untuk memejamkan mata, namun hasilnya nihil. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Setelah menjenguk Vino di rumah sakit tadi, aku langsung kembali ke rumah dan tiba sekitar jam tujuh malam. Aku yang sudah kelelahan langsung membaringkan tubuh di atas kasur. Kupikir setelahnya akan mudah bagiku untuk tidur, tetapi ternyata tidak. Pikiranku terus berkelana ke kejadian aneh mengenai pria tampan itu, pemilik kedai kopi yang ternyata seorang dokter juga.Suatu hal yang normal memang untuk memiliki pekerjaan lebih dari satu, bisa saja pria tampan itu memiliki pekerjaan utama sebagai dokter dan pekerjaan sampingannya mengelola kedai kopi. Namun, yang membuatku bingung setengah mati hingga menuduh diriku sendiri gila adalah karena tidak ada satupun orang yang mengingat sosok pria itu. Tadi sebelum pergi dari ruang rawat inap Vino, aku menyempatkan diri menemui perawat untuk menanyakan keberadaan dokter itu. Namun, hal yang mengejutkan kembali kudengar. T

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-24
  • Pria Misterius Itu Bukan Manusia   Bab 4-Alien

    Tanganku mengalung di leher Pak Rendy dengan mata terpejam erat saat kurasakan Pak Rendy membawa tubuh kami turun. Setelah mendengar suara sepatu Pak Rendy yang seperti mengetuk dasar, barulah kedua mataku kembali terbuka. Hal pertama yang tertangkap oleh penglihatanku membuat bola mataku membulat seketika. Aku tidak berada di kampus, melainkan di suatu gang sepi dengan gedung pencakar langit yang terlihat menjulang di depan sana.“Saya tidak mau mengambil risiko dengan terbang di tengah keramaian kampus,” tutur Pak Rendy seolah tahu apa yang tengah kupikirkan.Aku mendongak untuk menatap wajah Pak Rendy. Dari jarak sedekat ini aku kembali dibuat terpana untuk kesekian kalinya oleh ketampanan pria itu. Dengan cepat aku beralih menatap ke arah lain. “Turunkan saya.”Tanpa berucap, kurasakan Pak Rendy menurunkan tubuhku dari gendongannya dengan pelan. Begitu sepatuku menapak paving block, hembusan napas lega keluar dari mulutku. Ba

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-24
  • Pria Misterius Itu Bukan Manusia   Bab 5-Tawaran

    Aku mengupas apel dengan tatapan kosong. Pikiranku melayang ke kejadian beberapa jam yang lalu. Kejadian yang membuatku nyaris pingsan jika mengingatnya. Apakah aku sudah gila? Apakah kejadian tadi nyata? Dosenku ternyata adalah alien?“Woi! Ngupas apelnya yang benar! Bisa kena pisau jari lo!”Seruan dari Vino membuat lamunanku buyar. Aku bergegas menatap Vino lantas meletakkan pisau dan apel ke atas piring. “Vin, gue mau tanya.”Mendengar intonasi bicaraku yang terdengar serius, raut Vino pun berubah serius. Dia mendekat ke arahku lantas duduk di sebelahku. “Tanya apa?”“Lo percaya sama alien nggak?”Vino terdiam selama beberapa detik, kemudian tangannya terangkat dan menjitak kepalaku."Duh!” ringisku.“Gue kira pertanyaan lo serius. Malah bercanda.”“Ih! Gue nggak bercanda! Sebenarnya gue habis ketemu sama alien,” bisikku di kalimat terakhir seolah

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-24
  • Pria Misterius Itu Bukan Manusia   Bab 6-Tinggal Bersama

    “Ya?!” kejutku usai mendengar ucapan Pak Rendy. Tinggal bersamanya? Dia pasti sudah gila! Bagaimana kalau aku khilaf dan menyerangnya? Bisa bahaya hidup seatap dengan pria tampan.Bola mata Pak Rendy memandangku dengan bias geli.Aku mengerjap dengan raut bingung. “Bapak kenapa lihatin saya kayak gitu?”“Kamu takut khilaf dan menyerang saya?” tanya Pak Rendy. Kini sudut bibirnya berkedut seperti menahan tawa.Mataku melotot mendengar pertanyaannya. “Bapak bisa membaca pikiran?!” pekikku. Saking kagetnya aku sampai beranjak berdiri.“Bisa kalau saya ingin,” jawab Pak Rendy sambil meraih kedua tanganku, kemudian menarikku kembali duduk di sebelahnya.“Tapi Bapak tidak sopan sudah membaca pikiran saya tanpa izin,” jengkelku. Apakah selama ini dia selalu membaca pikiranku? Bahkan di awal pertemuan kami saat di kedai kopi tiga tahun yang lalu?“Kamu benar, itu pe

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-29
  • Pria Misterius Itu Bukan Manusia   Bab 7-Mereka Lagi

    Pertanyaan Pak Rendy dan matanya yang masih menyorot lekat ke arahku entah mengapa malah membuat wajahku memanas. Aku memalingkan wajah ke arah lain saat satu asumsi aneh tercetak di kepalaku. Tidak, itu tidak mungkin.Suara kursi yang didorong membuat pikiranku buyar. Aku kembali menatap ke arah Pak Rendy yang beranjak berdiri. Mataku bergerak mengikuti sosok Pak Rendy yang berjalan mendekat ke arahku. Aku menelan ludah saat melihat Pak Rendy berdiri tepat di sebelahku yang kini terduduk kaku di atas kursi.“Mandilah dan berganti pakaian, sebentar lagi saya akan mengajar di kelas kamu,” ujar Pak Rendy dengan menepuk puncak kepalaku dua kali.“Ya?” Aku mengerjap bingung bercampur kaget mendapatkan perlakuan tak terduga dari Pak Rendy. “Bukannya Pak Rendy mengajar mahasiswa semester tiga?”“Mulai hari ini saya akan mengajar di kelas kamu. Jangan sampai tertidur,” ancam Pak Rendy dengan menyunggingkan sudut bi

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-01
  • Pria Misterius Itu Bukan Manusia   Bab 8-Curiga

    “Susah sekali membawamu kembali,” tutur salah satu pria berjas dengan berjalan maju diikuti oleh rekan-rekannya di belakang.Pak Rendy melangkah mundur membuatku secara otomatis ikut melangkahkan kakiku ke belakang. “Kalian salah paham,” tuturnya.“Oh, ya?”Dapat kudengar dengkusan singkat dari Pak Rendy. “Kalian belum mendengarkan penjelasanku.”Aku mendongak ke arah Pak Rendy lantas menatap ke arah gerombolan pria berjas di depan sana. Apa yang sebenarnya sedang mereka bicarakan?“Kami tidak butuh penjelasanmu itu, sudah terlalu lama kami mencarimu. Cukup menurut dan ikut kami kembali. Jika tidak, kami terpaksa menggunakan cara kasar.”Perkataan dari pria berjas itu membuat satu asumsi langsung tercipta di kepalaku. Aku kembali menatap Pak Rendy dengan mata membulat. Apakah pria itu—“Tidak merespon ya? Baiklah, kami memutuskan akan menggunakan cara kasar.&rdquo

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-11
  • Pria Misterius Itu Bukan Manusia   Bab 9-Perhatian Rendy

    Bungkam. Itulah respon Pak Rendy atas dua pertanyaanku saat di mobil. Tak hanya itu, saat ini raut wajah pria itu terlihat dingin. Dia tidak berbicara apapun padaku selepas kami sampai di apartemennya, bahkan hingga malam tiba. Saat aku menghampirinya dan hendak bertanya sesuatu, dia langsung menghindar pergi memasuki kamarnya atau ruang kerjanya. Apakah pertanyaanku saat di mobil telah menyinggungnya?Helaan napas panjang keluar dari mulutku. Aku jadi tidak dapat fokus mengerjakan tugas kuliah. Menyandarkan tubuh ke sandaran sofa, aku lantas memilih untuk menyalakan televisi yang berada di depanku. Melihat televisi yang menayangkan burger, pizza, dan cola seketika perutku langsung berbunyi. Aku menelan ludah ketika menyadari kalau diriku merasa lapar, baru kuingat kalau belum makan malam.Tepat setelah itu terdengar suara pintu terbuka dari ruang kerja Pak Rendy. Bola mataku bergerak mengikuti Pak Rendy yang kini berjalan memasuki kamarnya lantas memakai jaket, sepert

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-12
  • Pria Misterius Itu Bukan Manusia   Bab 10-Kiss and Bed

    Pak Rendy merawatku hingga hari berganti malam. Dia tetap berada di kamarku, duduk di sebelahku sambil mengganti kompresan di keningku. Demamku pun sudah turun. Berkat minum obat dan makan, kondisiku sudah lebih baik saat ini. Tadinya aku nyaris tidak mau makan sama sekali karena perutku terasa sangat tidak enak, namun Pak Rendy dengan telaten menyuapiku. Bahkan, saat ini pria itu pun tengah menyuapiku untuk makan malam.“Dua sendok lagi habis,” ucap Pak Rendy seraya menunjukkan semangkuk bubur yang tersisa sedikit.Aku menelan bubur sambil menatap Pak Rendy dengan raut bingung. Apa sebenarnya motif pria itu merawatku? Mengapa dia tampak peduli padaku? Sejak aku mengetahui identitasnya, aku mendapati beberapa tindakannya yang menunjukkan kepeduliannya padaku, entah apa alasannya.Mulutku terbuka saat Pak Rendy kembali menyodorkan sesendok bubur, dengan cepat aku menelannya hingga sendok terakhir tersuap ke mulutku.“Minum,” ujar Pa

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-12

Bab terbaru

  • Pria Misterius Itu Bukan Manusia   Bab 16-Sorot Kecewa di Matanya

    “Kamu sudah siap untuk bertemu dengan Rendy?”Aku menoleh ke arah Edwin, menatap iris biru terangnya. “Ya, aku siap.”Bagaimanapun, aku harus siap menghadapi ini. Mungkin, pertemuanku dengan Pak Rendy kali ini akan menjadi pertemuan terakhir kami. Dia akan kembali ke planetnya dan aku tetap berada di bumi. Ah, mirisnya, kisah cintaku hanya bertahan sebentar.“Kalau kamu belum siap, kami bisa menundanya.”Bungkam, aku tak menanggapi ucapan Edwin. Sebenarnya, aku memang belum benar-benar siap untuk berpisah dengan Pak Rendy. Namun, mau bagaimana lagi? Hubungan kami tidak akan berhasil, sudah seharusnya kami berpisah, lebih cepat lebih baik, agar perasaanku tidak semakin mendalam.Aku menatap lurus ke depan, saat ini aku berada di dalam mobil yang dikemudikan oleh Daniel dengan Edwin yang duduk di sebelahku dan Arden yang berada di sebelah Daniel. Para pria berjas yang lain mengikuti dari mobil yang berada di belaka

  • Pria Misterius Itu Bukan Manusia   Bab 15-Membantu Mereka

    Aku sarapan dengan tidak berselera, makanku tidak habis, padahal aku paling suka makan dan sulit untuk menolak makanan. Entahlah, sepertinya pembicaraan tadi malam masih berefek besar padaku, saking terkejutnya sampai tidak bisa berhenti terpikirkan tentang hal itu. Jujur saja, aku merasa dikhianati oleh Pak Rendy.“Mau keluar?”Pertanyaan itu terdengar berbarengan dengan munculnya Edwin. Aku terpaku sesaat melihat Edwin dalam setelah non formalnya, kaus berwarna hitam dengan bawahan celana jeans. Berdehem lantas mengalihkan pandangan ke arah lain, aku mengangguk-angguk.Aku berjalan mengikuti langkah Edwin keluar ruangan ini. Keluar dari ruangan tadi, aku seperti berada di ruang tengah yang amat luas, sama seperti ruang tengah di rumah-rumah besar. Saat itulah aku mendapatkan kesimpulan kalau mereka menyewa rumah untuk markas, atau merampas rumah? Ah, sepertinya pilihan pertama lebih masuk akal mengingat mereka tidak boleh melukai makhluk dari plane

  • Pria Misterius Itu Bukan Manusia   Bab 14-Identitas Rendy yang Sebenarnya

    Kelopak mataku terbuka perlahan. Hal pertama yang kulihat adalah ruangan dengan alat-alat dan beberapa komputer di sekitarnya. Di mana ini?Sekelebat ingatan langsung memasuki kepalaku tatkala beberapa pria berjas datang dan berjalan mendekat ke arahku. Sontak, aku yang tadinya dalam posisi berbaring di sofa langsung beranjak duduk dan memandang mereka dengan sorot tajam.“Di mana saya? Kalian menculik saya?” tuduhku.Salah satu pria berjas yang memiliki iris berwarna biru terang beranjak duduk di sofa yang berada di hadapanku. “Kau berada di markas kami dan kami tidak menculikmu, hanya meminjam sebentar,” ucapnya diikuti senyum tipis.Oh, astaga, nyaris saja aku tepesona. Jadi benar kalau alien memang tampan-tampan?Aku menggeleng saat menyadari apa yang baru saja kupikirkan. “Apa tujuan kalian membawa saya ke sini?” tanyaku dengan lebih tenang, apalagi saat aku teringat ucapan Pak Rendy kalau mereka tidak mungk

  • Pria Misterius Itu Bukan Manusia   Bab 13-Penculikan

    Keningku menempel di kening Pak Rendy. Napas kami yang tak beraturan saling bersahutan. Aku membuka kedua mata perlahan dan tepat saat itulah kedua netra hitamku langsung bertemu pandang dengan netra cokelat terang Pak Rendy. Dapat kulihat netra cokelat terang Pak Rendy bergerak turun menatap bibirku, kemudian tangan pria itu terulur dan mengelap sisa saliva di bibirku. “Bibir kamu bengkak,” beri tahu Pak Rendy, seolah aku tidak tahu saja. “Salah siapa coba?” kesalku dengan memutar bola mata. Aku lantas melepaskan diri dari pelukannya, bergerak sedikit menjauh. Pak Rendy tertawa singkat. “Salah saya dan kamu juga tentunya.” Aku berdecak mendengar ucapannya. Dasar alien menyebalkan, untung sayang. Di tengah perbincangan kami, terdengar dering ponsel. Yang jelas, itu bukan berasal dari ponselku karena aku tidak mengaktifkan nada dering ponsel. Terbukti karena setelahnya Pak Rendy mengeluarkan ponsel dari saku celananya. “Dari siapa?” tan

  • Pria Misterius Itu Bukan Manusia   Bab 12-I Like Your Lips

    Berulang kali aku duduk lalu kembali berdiri setiap kali ada mobil yang mirip dengan mobil Pak Rendy lewat. Saat ini aku tengah berada di halte dekat kampus, menuggu Pak Rendy yang katanya akan menjemputku, tetapi sampai sekarang pria itu belum terlihat, padahal aku sudah mengirimnya pesan sejak tadi.Sebuah mobil berwarna putih berhenti tepat di depanku. Aku mengernyit, itu bukan mobil Pak Rendy, selain itu tidak ada orang lain di halte ini selain aku, lalu sedang apa mobil itu berhenti di depanku?Kaca mobil terbuka dan menampilkan sosok lelaki dengan masker berwarna hitam. Ketika lelaki itu menurunkan masker dan menampilkan wajah seseorang yang tengah tersenyum, aku langsung membalas senyumnya. “Lo kenapa berhenti di situ, Vin?”Gavin melongokkan kepalanya. “Lo belum pulang?”Aku menggeleng sebagai jawaban.“Mau bareng?” tawar Gavin.“Nggak deh, entar ngerepotin,” tolakku.“Eman

  • Pria Misterius Itu Bukan Manusia   Bab 11-Teman Baru

    Ketika kedua mataku terbuka, tidak kudapati Pak Rendy di sebelahku. Aku mengernyit, bertanya-tanya ke mana perginya pria itu? Namun, saat bau masakan tercium, masuk ke dalam kamar yang pintunya terbuka, aku langsung mendapatkan satu kesimpulan. Sepertinya Pak Rendy sedang memasak.Aku bangkit dari atas kasur dengan malas, kemudian melangkah menuju kamar mandi di dalam kamar ini. Mencuci muka lantas menyikat gigi. Tepat saat aku sedang menyikat gigi, dapat kulihat melalui cermin di depanku kalau Pak Rendy melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Pria itu berjalan mendekat ke arahku lantas memeluk tubuhku dari belakang. Aku sempat tertegun sesaat, namun setelahnya aku dapat menutupi keterkejutan dengan pelototan.“Ngapain peluk-peluk?” tanyaku dengan mulut penuh busa, kemudian aku lanjut menggosok gigi.Pak Rendy tak menjawab, pria itu malah menatapku lekat melalui cermin. Ditatap seperti itu langsung membuat debar jantungku menggila, apalagi iris cokelat

  • Pria Misterius Itu Bukan Manusia   Bab 10-Kiss and Bed

    Pak Rendy merawatku hingga hari berganti malam. Dia tetap berada di kamarku, duduk di sebelahku sambil mengganti kompresan di keningku. Demamku pun sudah turun. Berkat minum obat dan makan, kondisiku sudah lebih baik saat ini. Tadinya aku nyaris tidak mau makan sama sekali karena perutku terasa sangat tidak enak, namun Pak Rendy dengan telaten menyuapiku. Bahkan, saat ini pria itu pun tengah menyuapiku untuk makan malam.“Dua sendok lagi habis,” ucap Pak Rendy seraya menunjukkan semangkuk bubur yang tersisa sedikit.Aku menelan bubur sambil menatap Pak Rendy dengan raut bingung. Apa sebenarnya motif pria itu merawatku? Mengapa dia tampak peduli padaku? Sejak aku mengetahui identitasnya, aku mendapati beberapa tindakannya yang menunjukkan kepeduliannya padaku, entah apa alasannya.Mulutku terbuka saat Pak Rendy kembali menyodorkan sesendok bubur, dengan cepat aku menelannya hingga sendok terakhir tersuap ke mulutku.“Minum,” ujar Pa

  • Pria Misterius Itu Bukan Manusia   Bab 9-Perhatian Rendy

    Bungkam. Itulah respon Pak Rendy atas dua pertanyaanku saat di mobil. Tak hanya itu, saat ini raut wajah pria itu terlihat dingin. Dia tidak berbicara apapun padaku selepas kami sampai di apartemennya, bahkan hingga malam tiba. Saat aku menghampirinya dan hendak bertanya sesuatu, dia langsung menghindar pergi memasuki kamarnya atau ruang kerjanya. Apakah pertanyaanku saat di mobil telah menyinggungnya?Helaan napas panjang keluar dari mulutku. Aku jadi tidak dapat fokus mengerjakan tugas kuliah. Menyandarkan tubuh ke sandaran sofa, aku lantas memilih untuk menyalakan televisi yang berada di depanku. Melihat televisi yang menayangkan burger, pizza, dan cola seketika perutku langsung berbunyi. Aku menelan ludah ketika menyadari kalau diriku merasa lapar, baru kuingat kalau belum makan malam.Tepat setelah itu terdengar suara pintu terbuka dari ruang kerja Pak Rendy. Bola mataku bergerak mengikuti Pak Rendy yang kini berjalan memasuki kamarnya lantas memakai jaket, sepert

  • Pria Misterius Itu Bukan Manusia   Bab 8-Curiga

    “Susah sekali membawamu kembali,” tutur salah satu pria berjas dengan berjalan maju diikuti oleh rekan-rekannya di belakang.Pak Rendy melangkah mundur membuatku secara otomatis ikut melangkahkan kakiku ke belakang. “Kalian salah paham,” tuturnya.“Oh, ya?”Dapat kudengar dengkusan singkat dari Pak Rendy. “Kalian belum mendengarkan penjelasanku.”Aku mendongak ke arah Pak Rendy lantas menatap ke arah gerombolan pria berjas di depan sana. Apa yang sebenarnya sedang mereka bicarakan?“Kami tidak butuh penjelasanmu itu, sudah terlalu lama kami mencarimu. Cukup menurut dan ikut kami kembali. Jika tidak, kami terpaksa menggunakan cara kasar.”Perkataan dari pria berjas itu membuat satu asumsi langsung tercipta di kepalaku. Aku kembali menatap Pak Rendy dengan mata membulat. Apakah pria itu—“Tidak merespon ya? Baiklah, kami memutuskan akan menggunakan cara kasar.&rdquo

DMCA.com Protection Status