Suatu hari di tahun 2018.
“Sialan!” umpatku dengan kepala mendongak, menatap langit terang di atas sana.
Bagaimana bisa nilai sejarahku yang paling rendah di kelas? Padahal aku rajin belajar setiap mau ulangan. Walaupun belajarku H-1 ulangan, tetapi tetap saja belajar. Justru teman-teman lelakiku yang tidak belajar sama sekali malah mendapatkan nilai yang lebih tinggi dariku. Namun, sekali lagi, mengapa nilaiku yang paling rendah?
Aku melajukan motor saat lampu lalu lintas berubah hijau. Menyetir sambil berpikir, akhirnya aku memutuskan untuk mampir ke sebuah kedai kopi. Aku butuh menenangkan diri sebelum mendapatkan amukan dari orang tuaku. Menurutku sesuatu yang berkafein seperti kopi dapat merangsang produksi hormon endorfinku. Aku tahu kalau diriku sok tahu padahal bukan anak IPA yang belajar Biologi. Ngomong-ngomong soal orang tua, aku harus bersiap-siap diomel nantinya karena orang tuaku merupakan sosok yang gila nilai dan pemerhati akademik anaknya.
Memarkirkan motor di area tempat parkir, melepaskan helm, kemudian beranjak turun dari atas motor. Aku melangkah dengan wajah masam ke arah pintu masuk. Sedang berjalan dengan tenang, tiba-tiba saja ada segerombol lelaki yang menyalip langkahku, mendesak dan menabrakku hingga tubuhku terhuyung ke belakang.
“Aaaa!!!” teriakku dengan mata terpejam erat, bersiap untuk jatuh di atas tanah. Namun, tubuhku justru terasa melayang.
Perlahan aku membuka kedua mata. Hal pertama yang tertangkap oleh indra penglihatanku adalah iris cokelat terang dari seorang pria. Aku menahan napas dengan bola mata membesar. Apakah aku bermimpi? Bagaimana bisa pria yang setampan malaikat—oke, aku belum pernah melihat malaikat—tengah menatapku dengan jarak yang begitu dekat?
“Kamu tidak apa-apa?”
Suara berat nan seksi memasuki indra pendengaranku. Tersadar dari keterpanaan, aku mengangguk-angguk lantas bergegas untuk melepaskan diri dari rengkuhannya. Oh my God! Barusan pinggangku direngkuh oleh pria tampan!
“Uhm … terima kasih. Saya permisi,” ucapku dengan cepat, kemudian berlari-lari kecil memasuki kedai kopi.
Sambil mengantre untuk memesan, diam-diam aku melirik ke arah pria tadi. Dia memang pria tertampan yang pernah kutemui.Walaupun umurnya terlihat seperti akhir dua puluhan, namun wajahnya tidak tampak tua sama sekali, dan kesan maskulinnya sangat terasa. Bukannya aku menyukai pria tua, tetapi pria itu sungguh menarik perhatianku.
Pria itu terlihat berbicara dengan salah satu karyawan yang ada di sana. Entah apa yang mereka bicarakan, namun raut wajahnya terlihat begitu serius. Wajah pria itu tampak tegas, alisnya tebal, dan mata tajamnya yang beriris cokelat terang sungguh menambah poin plus. Badannya tinggi, postur tubuhnya tegap, dan ototnya tercetak jelas di balik kaos pendek yang dia kenakan. Astaga, sepertinya aku sudah gila. Tidak pernah aku mengamati orang asing sampai sedetail ini.
Sedang asyik-asyiknya mengamati, tiba-tiba saja pria itu melirik ke samping yang otomatis membuat pandangan kami bertemu. Seolah ada magnet di mata pria itu, aku tak dapat mengalihkan pandangan darinya. Kami bertatapan selama beberapa detik hingga pria itu memutus kontak mata lebih dulu.
“Mau pesan apa?”
“Americano satu,” ucapku masih dengan memandang ke arah pria itu. Biarlah kalau aku dicap sebagai gadis SMA yang aneh dan tak tahu malu karena memandangi orang asing terus-menurus, bahkan aku yakin kalau mataku tidak berkedip.
Terdengar pria tampan itu memanggil karyawan yang lain. Samar-samar aku dapat mendengar percakapan mereka.
“Jangan lupa stok kopinya,” ucap pria tampan itu.
“Oke, Bos,” sahut karyawan tersebut.
Aku mengangguk-angguk saat mendapatkan satu kesimpulan di kepalaku. Pria itu pasti pemilik cafe ini. Sudah diputuskan, aku akan ke tempat ini setiap hari.
***
“ELISA!!!”
Teriakan Mama menggema hingga seolah mampu menggetarkan seisi rumah. Aku mengambil langkah seribu untuk berlari memasuki kamar lantas menguncinya. Baru saja aku menunjukkan nilai ulangan sejarah. Sebagai anak yang jujur, aku juga memberitahu kalau nilaiku yang paling rendah di kelas. Langsung saja Mama mendidih dengan mata yang melotot tanda akan mengamuk, kemudian di detik selanjutnya teriakan terdengar.
“Mengapa kamu tidak pernah mendengarkan Mama untuk belajar dengan serius? Kamu sudah SMA dan sebentar lagi akan naik ke kelas sebelas, mau jadi apa kalau nilaimu jelek melulu?” omel Mama dari balik pintu kamarku.
Aku duduk di atas kasur sambil memeluk lutut. Bibirku mengerucut usai mendengar ucapan Mama. Omelan Mama selalu berhasil menusukku tepat ke jantung.
“Kamu mau kuliah kan?” tanya Mama.
Aku terdiam mendengar pertanyaan yang satu itu.“Jawab Mama, El!”
“Mau, Ma!” sahutku dengan cepat.
“Bagus. Kalau begitu tingkatkan nilai kamu. Awas saja kalau kelas sebelas dan dua belas nanti Mama melihat nilaimu jelek!” seru Mama, terdengar menggebu-gebu.
Masih dengan bibir mengerucut, aku memilih untuk mengangguk-angguk walaupun Mama tak melihatnya.
“Jawab Mama, Elisa! Kalau tidak uang sangumu akan Mama potong!” ancam Mama.
Mendengar kata uang sangu yang akan dipotong, sontak aku berdiri dari kasur dan berlari menuju pintu kamar, kemudian membukanya dengan cepat. “Siap! Ma! Jangan potong uang sangu El!” ucapku sambil memberi gestur hormat.
Mama berdecak heran, dia geleng-geleng kepala melihatku.
***
Terjadi lagi. Beberapa hari usai diomel oleh Mama dengan ancaman uang sanguku yang akan dipotong, hari ini aku kembali mendapatkan hasil nilai ulangan yang rendah. Memang bukan yang terendah di kelas, tetapi berada di bawah kriteria ketuntasan minimum.
Aku menelan ludah dengan susah payah sembari menatap hasil ulangan geografi yang menunjukkan angka lima diikuti bulatan seperti telur di sebelahnya. Nilai ulangan kali ini lebih parah dari nilai ulangan sejarah. Ingin kutenggelam ke rawa-rawa detik ini juga.
“Nilai lo berapa, El?” tanya Amel, teman sebangkuku.
“Seratus,” jawabku. “Tapi dikurangi lima puluh.”
Amel tertawa kencang mendengar ucapanku. “Gue kira beneran seratus. Ada-ada aja lo, makanya belajar kayak gue,” sombongnya dengan tangan terangkat menunjukkan hasil ulangan miliknya yang berangka sembilan puluh.
Aku mendengkus kesal, memilih untuk tidak menanggapinya.
“Ya elah, jangan marah. Gue traktir lo hari ini deh buat ngerayain nilai gue yang bagus. Mau nggak?” tawar Amel.
Mendengar kata traktir membuat mataku berbinar seketika. “Mau! Tapi gue yang milih tempatnya ya?”
“Oke.”
Aku tersenyum senang, mulai membayangkan tempat yang akan kukunjungi. Tentu saja kedai kopi waktu itu. Semoga saja aku bisa bertemu kembali dengan sang pria tampan. Ah, aku sudah tidak sabar.
Selama pembelajaran jam terakhir berlangsung, aku tidak berhenti mengulas senyum. Kepalaku terbayang-bayang dengan sosok pria tampan beriris cokelat, seorang pemilik kedai kopi yang kudatangi waktu itu. Sebenarnya aku belum ke sana lagi sejak hari itu. Alasannya? Sibuk belajar karena tuntutan Mama. Namun, hasilnya nilaiku tetap saja jelek, mungkin otakku memang sudah dirancang terbatas sejak aku lahir, jadi tidak bisa berpikir yang berat-berat. Perlu diketahui kalau soal ulangan di sekolahku berat-berat.
“Yuk, lo ikutin motor gue dari belakang ya?” ujarku pada Amel yang dibalas anggukan oleh gadis itu.
Aku mulai menyalakan kendaraan. Motorku mulai melaju membelah jalan raya yang padat di sore hari. Polusi udara tidak kuhiraukan, bunyi klakson dari kendaraan lain kuabaikan, dan mata yang kelilipan debu kubiarkan. Semua itu karena rasa bahagia yang meningkat pesat. Tentu saja aku bahagia, siapa yang tidak senang saat akan bertemu dengan seorang pria tampan? Dengan memandangnya saja pasti bisa membuat hari-hariku berubah cerah, seperti mentari yang memancar terang sore hari ini.
Motorku terparkir mulus di area tempat parkir kedai kopi. Aku beranjak turun dan melangkah menuju pintu kedai kopi dengan tergesa.
“Woi! Tungguin gue!”
Langkahku langsung terhenti saat mendengar suara seseorang. Menoleh ke belakang, aku baru menyadari ada sosok Amel yang datang bersamaku. “Cepat! Lambat amat lo!”
Amel memberengut, namun gadis itu tidak menghiraukanku. Usai melepas helm, dia malah asyik merapikan rambut dengan mengaca pada spion motor. Parahnya, dia malah menggunakan kaca spion motorku hingga dibengkokkkan. Sudah dibuat bengkok, tidak dikembalikan seperti sebelumnya pula. Menyebalkan sekali, untung teman.
“Yuk,” ajak Amel lantas berjalan di sebelahku. “El, kenapa lo milih kedai kopi? Sejak kapan lo suka ngopi kayak bapak-bapak?”
“Dih! Nggak cuma bapak-bapak yang doyan ngopi kali! Anak-anak muda zaman now juga banyak yang penikmat kopi. Gue adalah salah satunya,” tunjukku ke arah diri sendiri.
Amel mencebikkan bibirnya dan aku meresponnya dengan tertawa. Ketika memasuki kedai kopi, pandanganku langsung mengedar untuk mencari sosok pria tampan yang jujur saja tak pernah berhenti terbayang-bayang di kepalaku.
“Saya pesan americano satu,” ucapku dengan pandangan masih terfokus ke arah lain.
“Saya juga, samain aja,” ujar Amel di sebelahku.
Tak kunjung menemukan sosok pria tampan itu, aku memberanikan diri untuk bertanya kepada karyawan yang ada di depanku. “Maaf, mau nanya. Bos kalian nggak datang hari ini?”
“Bos kami?” beo karyawan itu.
Aku mengangguk. “Ya. Laki-laki yang tinggi itu loh.”
Karyawan itu mengernyit usai mendengar ucapanku. “Bos kami bukan laki-laki, tapi perempuan.”
“Hah?” kejutku dengan mata membulat.
“Bos kami perempuan, pemilik kedai kopi ini. Beliau sudah lama tidak hadir ke sini, sedang sibuk di luar negeri sejak tahun lalu.”
Mataku mengerjap dengan raut bingung yang terpampang di wajahku. Belum menyerah, aku kembali bertanya, “Anda ingat tidak dengan laki-laki tampan yang tinggi, matanya cokelat, dan beberapa hari yang lalu ngomong sama salah satu karyawan di sini?”
Karyawan itu terdiam sejenak. “Tidak ada laki-laki seperti itu yang pernah berkunjung ke sini.”
Sontak, aku terdiam kaku di tempat. Ini aneh. Waktu itu aku tidak sedang berhalusinasi bukan?
Sekarang, tahun 2021.Mataku menatap layar laptop tanpa berkedip. Tertera kata “selamat” dan “lulus” di sana. Dengan cepat aku beranjak dari duduk lantas berlari ke arah ruang tengah di mana orang tuaku berada.“Mama! Papa! El lulus SBMPTN!” teriakku dengan girang sambil berjoget-joget.Kupikir Mama dan Papa akan sama senangnya denganku, minimal mengulas senyum bangga. Namun, respon mereka yang terdiam dengan raut bingung membuatku langsung menghentikan gerakan badan yang masih berjoget ria.“Kamu lulus di pilihan pertama atau kedua?” tanya Papa, kini raut wajahnya tampak serius.Mataku mengerjap saat mendengar pertanyaan Papa yang satu itu, kemudian cengiran lebar terpampang di wajahku. “El lupa belum cek lulus di pilihan berapa.” Perkataanku membuat Mama dan Papa menggeleng heran. Masih mempertahankan cengiran di wajah, aku berlari menuju kamar untuk mengecek di pilihan berapa aku lolos,
Aku berusaha untuk memejamkan mata, namun hasilnya nihil. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Setelah menjenguk Vino di rumah sakit tadi, aku langsung kembali ke rumah dan tiba sekitar jam tujuh malam. Aku yang sudah kelelahan langsung membaringkan tubuh di atas kasur. Kupikir setelahnya akan mudah bagiku untuk tidur, tetapi ternyata tidak. Pikiranku terus berkelana ke kejadian aneh mengenai pria tampan itu, pemilik kedai kopi yang ternyata seorang dokter juga.Suatu hal yang normal memang untuk memiliki pekerjaan lebih dari satu, bisa saja pria tampan itu memiliki pekerjaan utama sebagai dokter dan pekerjaan sampingannya mengelola kedai kopi. Namun, yang membuatku bingung setengah mati hingga menuduh diriku sendiri gila adalah karena tidak ada satupun orang yang mengingat sosok pria itu. Tadi sebelum pergi dari ruang rawat inap Vino, aku menyempatkan diri menemui perawat untuk menanyakan keberadaan dokter itu. Namun, hal yang mengejutkan kembali kudengar. T
Tanganku mengalung di leher Pak Rendy dengan mata terpejam erat saat kurasakan Pak Rendy membawa tubuh kami turun. Setelah mendengar suara sepatu Pak Rendy yang seperti mengetuk dasar, barulah kedua mataku kembali terbuka. Hal pertama yang tertangkap oleh penglihatanku membuat bola mataku membulat seketika. Aku tidak berada di kampus, melainkan di suatu gang sepi dengan gedung pencakar langit yang terlihat menjulang di depan sana.“Saya tidak mau mengambil risiko dengan terbang di tengah keramaian kampus,” tutur Pak Rendy seolah tahu apa yang tengah kupikirkan.Aku mendongak untuk menatap wajah Pak Rendy. Dari jarak sedekat ini aku kembali dibuat terpana untuk kesekian kalinya oleh ketampanan pria itu. Dengan cepat aku beralih menatap ke arah lain. “Turunkan saya.”Tanpa berucap, kurasakan Pak Rendy menurunkan tubuhku dari gendongannya dengan pelan. Begitu sepatuku menapak paving block, hembusan napas lega keluar dari mulutku. Ba
Aku mengupas apel dengan tatapan kosong. Pikiranku melayang ke kejadian beberapa jam yang lalu. Kejadian yang membuatku nyaris pingsan jika mengingatnya. Apakah aku sudah gila? Apakah kejadian tadi nyata? Dosenku ternyata adalah alien?“Woi! Ngupas apelnya yang benar! Bisa kena pisau jari lo!”Seruan dari Vino membuat lamunanku buyar. Aku bergegas menatap Vino lantas meletakkan pisau dan apel ke atas piring. “Vin, gue mau tanya.”Mendengar intonasi bicaraku yang terdengar serius, raut Vino pun berubah serius. Dia mendekat ke arahku lantas duduk di sebelahku. “Tanya apa?”“Lo percaya sama alien nggak?”Vino terdiam selama beberapa detik, kemudian tangannya terangkat dan menjitak kepalaku."Duh!” ringisku.“Gue kira pertanyaan lo serius. Malah bercanda.”“Ih! Gue nggak bercanda! Sebenarnya gue habis ketemu sama alien,” bisikku di kalimat terakhir seolah
“Ya?!” kejutku usai mendengar ucapan Pak Rendy. Tinggal bersamanya? Dia pasti sudah gila! Bagaimana kalau aku khilaf dan menyerangnya? Bisa bahaya hidup seatap dengan pria tampan.Bola mata Pak Rendy memandangku dengan bias geli.Aku mengerjap dengan raut bingung. “Bapak kenapa lihatin saya kayak gitu?”“Kamu takut khilaf dan menyerang saya?” tanya Pak Rendy. Kini sudut bibirnya berkedut seperti menahan tawa.Mataku melotot mendengar pertanyaannya. “Bapak bisa membaca pikiran?!” pekikku. Saking kagetnya aku sampai beranjak berdiri.“Bisa kalau saya ingin,” jawab Pak Rendy sambil meraih kedua tanganku, kemudian menarikku kembali duduk di sebelahnya.“Tapi Bapak tidak sopan sudah membaca pikiran saya tanpa izin,” jengkelku. Apakah selama ini dia selalu membaca pikiranku? Bahkan di awal pertemuan kami saat di kedai kopi tiga tahun yang lalu?“Kamu benar, itu pe
Pertanyaan Pak Rendy dan matanya yang masih menyorot lekat ke arahku entah mengapa malah membuat wajahku memanas. Aku memalingkan wajah ke arah lain saat satu asumsi aneh tercetak di kepalaku. Tidak, itu tidak mungkin.Suara kursi yang didorong membuat pikiranku buyar. Aku kembali menatap ke arah Pak Rendy yang beranjak berdiri. Mataku bergerak mengikuti sosok Pak Rendy yang berjalan mendekat ke arahku. Aku menelan ludah saat melihat Pak Rendy berdiri tepat di sebelahku yang kini terduduk kaku di atas kursi.“Mandilah dan berganti pakaian, sebentar lagi saya akan mengajar di kelas kamu,” ujar Pak Rendy dengan menepuk puncak kepalaku dua kali.“Ya?” Aku mengerjap bingung bercampur kaget mendapatkan perlakuan tak terduga dari Pak Rendy. “Bukannya Pak Rendy mengajar mahasiswa semester tiga?”“Mulai hari ini saya akan mengajar di kelas kamu. Jangan sampai tertidur,” ancam Pak Rendy dengan menyunggingkan sudut bi
“Susah sekali membawamu kembali,” tutur salah satu pria berjas dengan berjalan maju diikuti oleh rekan-rekannya di belakang.Pak Rendy melangkah mundur membuatku secara otomatis ikut melangkahkan kakiku ke belakang. “Kalian salah paham,” tuturnya.“Oh, ya?”Dapat kudengar dengkusan singkat dari Pak Rendy. “Kalian belum mendengarkan penjelasanku.”Aku mendongak ke arah Pak Rendy lantas menatap ke arah gerombolan pria berjas di depan sana. Apa yang sebenarnya sedang mereka bicarakan?“Kami tidak butuh penjelasanmu itu, sudah terlalu lama kami mencarimu. Cukup menurut dan ikut kami kembali. Jika tidak, kami terpaksa menggunakan cara kasar.”Perkataan dari pria berjas itu membuat satu asumsi langsung tercipta di kepalaku. Aku kembali menatap Pak Rendy dengan mata membulat. Apakah pria itu—“Tidak merespon ya? Baiklah, kami memutuskan akan menggunakan cara kasar.&rdquo
Bungkam. Itulah respon Pak Rendy atas dua pertanyaanku saat di mobil. Tak hanya itu, saat ini raut wajah pria itu terlihat dingin. Dia tidak berbicara apapun padaku selepas kami sampai di apartemennya, bahkan hingga malam tiba. Saat aku menghampirinya dan hendak bertanya sesuatu, dia langsung menghindar pergi memasuki kamarnya atau ruang kerjanya. Apakah pertanyaanku saat di mobil telah menyinggungnya?Helaan napas panjang keluar dari mulutku. Aku jadi tidak dapat fokus mengerjakan tugas kuliah. Menyandarkan tubuh ke sandaran sofa, aku lantas memilih untuk menyalakan televisi yang berada di depanku. Melihat televisi yang menayangkan burger, pizza, dan cola seketika perutku langsung berbunyi. Aku menelan ludah ketika menyadari kalau diriku merasa lapar, baru kuingat kalau belum makan malam.Tepat setelah itu terdengar suara pintu terbuka dari ruang kerja Pak Rendy. Bola mataku bergerak mengikuti Pak Rendy yang kini berjalan memasuki kamarnya lantas memakai jaket, sepert
“Kamu sudah siap untuk bertemu dengan Rendy?”Aku menoleh ke arah Edwin, menatap iris biru terangnya. “Ya, aku siap.”Bagaimanapun, aku harus siap menghadapi ini. Mungkin, pertemuanku dengan Pak Rendy kali ini akan menjadi pertemuan terakhir kami. Dia akan kembali ke planetnya dan aku tetap berada di bumi. Ah, mirisnya, kisah cintaku hanya bertahan sebentar.“Kalau kamu belum siap, kami bisa menundanya.”Bungkam, aku tak menanggapi ucapan Edwin. Sebenarnya, aku memang belum benar-benar siap untuk berpisah dengan Pak Rendy. Namun, mau bagaimana lagi? Hubungan kami tidak akan berhasil, sudah seharusnya kami berpisah, lebih cepat lebih baik, agar perasaanku tidak semakin mendalam.Aku menatap lurus ke depan, saat ini aku berada di dalam mobil yang dikemudikan oleh Daniel dengan Edwin yang duduk di sebelahku dan Arden yang berada di sebelah Daniel. Para pria berjas yang lain mengikuti dari mobil yang berada di belaka
Aku sarapan dengan tidak berselera, makanku tidak habis, padahal aku paling suka makan dan sulit untuk menolak makanan. Entahlah, sepertinya pembicaraan tadi malam masih berefek besar padaku, saking terkejutnya sampai tidak bisa berhenti terpikirkan tentang hal itu. Jujur saja, aku merasa dikhianati oleh Pak Rendy.“Mau keluar?”Pertanyaan itu terdengar berbarengan dengan munculnya Edwin. Aku terpaku sesaat melihat Edwin dalam setelah non formalnya, kaus berwarna hitam dengan bawahan celana jeans. Berdehem lantas mengalihkan pandangan ke arah lain, aku mengangguk-angguk.Aku berjalan mengikuti langkah Edwin keluar ruangan ini. Keluar dari ruangan tadi, aku seperti berada di ruang tengah yang amat luas, sama seperti ruang tengah di rumah-rumah besar. Saat itulah aku mendapatkan kesimpulan kalau mereka menyewa rumah untuk markas, atau merampas rumah? Ah, sepertinya pilihan pertama lebih masuk akal mengingat mereka tidak boleh melukai makhluk dari plane
Kelopak mataku terbuka perlahan. Hal pertama yang kulihat adalah ruangan dengan alat-alat dan beberapa komputer di sekitarnya. Di mana ini?Sekelebat ingatan langsung memasuki kepalaku tatkala beberapa pria berjas datang dan berjalan mendekat ke arahku. Sontak, aku yang tadinya dalam posisi berbaring di sofa langsung beranjak duduk dan memandang mereka dengan sorot tajam.“Di mana saya? Kalian menculik saya?” tuduhku.Salah satu pria berjas yang memiliki iris berwarna biru terang beranjak duduk di sofa yang berada di hadapanku. “Kau berada di markas kami dan kami tidak menculikmu, hanya meminjam sebentar,” ucapnya diikuti senyum tipis.Oh, astaga, nyaris saja aku tepesona. Jadi benar kalau alien memang tampan-tampan?Aku menggeleng saat menyadari apa yang baru saja kupikirkan. “Apa tujuan kalian membawa saya ke sini?” tanyaku dengan lebih tenang, apalagi saat aku teringat ucapan Pak Rendy kalau mereka tidak mungk
Keningku menempel di kening Pak Rendy. Napas kami yang tak beraturan saling bersahutan. Aku membuka kedua mata perlahan dan tepat saat itulah kedua netra hitamku langsung bertemu pandang dengan netra cokelat terang Pak Rendy. Dapat kulihat netra cokelat terang Pak Rendy bergerak turun menatap bibirku, kemudian tangan pria itu terulur dan mengelap sisa saliva di bibirku. “Bibir kamu bengkak,” beri tahu Pak Rendy, seolah aku tidak tahu saja. “Salah siapa coba?” kesalku dengan memutar bola mata. Aku lantas melepaskan diri dari pelukannya, bergerak sedikit menjauh. Pak Rendy tertawa singkat. “Salah saya dan kamu juga tentunya.” Aku berdecak mendengar ucapannya. Dasar alien menyebalkan, untung sayang. Di tengah perbincangan kami, terdengar dering ponsel. Yang jelas, itu bukan berasal dari ponselku karena aku tidak mengaktifkan nada dering ponsel. Terbukti karena setelahnya Pak Rendy mengeluarkan ponsel dari saku celananya. “Dari siapa?” tan
Berulang kali aku duduk lalu kembali berdiri setiap kali ada mobil yang mirip dengan mobil Pak Rendy lewat. Saat ini aku tengah berada di halte dekat kampus, menuggu Pak Rendy yang katanya akan menjemputku, tetapi sampai sekarang pria itu belum terlihat, padahal aku sudah mengirimnya pesan sejak tadi.Sebuah mobil berwarna putih berhenti tepat di depanku. Aku mengernyit, itu bukan mobil Pak Rendy, selain itu tidak ada orang lain di halte ini selain aku, lalu sedang apa mobil itu berhenti di depanku?Kaca mobil terbuka dan menampilkan sosok lelaki dengan masker berwarna hitam. Ketika lelaki itu menurunkan masker dan menampilkan wajah seseorang yang tengah tersenyum, aku langsung membalas senyumnya. “Lo kenapa berhenti di situ, Vin?”Gavin melongokkan kepalanya. “Lo belum pulang?”Aku menggeleng sebagai jawaban.“Mau bareng?” tawar Gavin.“Nggak deh, entar ngerepotin,” tolakku.“Eman
Ketika kedua mataku terbuka, tidak kudapati Pak Rendy di sebelahku. Aku mengernyit, bertanya-tanya ke mana perginya pria itu? Namun, saat bau masakan tercium, masuk ke dalam kamar yang pintunya terbuka, aku langsung mendapatkan satu kesimpulan. Sepertinya Pak Rendy sedang memasak.Aku bangkit dari atas kasur dengan malas, kemudian melangkah menuju kamar mandi di dalam kamar ini. Mencuci muka lantas menyikat gigi. Tepat saat aku sedang menyikat gigi, dapat kulihat melalui cermin di depanku kalau Pak Rendy melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Pria itu berjalan mendekat ke arahku lantas memeluk tubuhku dari belakang. Aku sempat tertegun sesaat, namun setelahnya aku dapat menutupi keterkejutan dengan pelototan.“Ngapain peluk-peluk?” tanyaku dengan mulut penuh busa, kemudian aku lanjut menggosok gigi.Pak Rendy tak menjawab, pria itu malah menatapku lekat melalui cermin. Ditatap seperti itu langsung membuat debar jantungku menggila, apalagi iris cokelat
Pak Rendy merawatku hingga hari berganti malam. Dia tetap berada di kamarku, duduk di sebelahku sambil mengganti kompresan di keningku. Demamku pun sudah turun. Berkat minum obat dan makan, kondisiku sudah lebih baik saat ini. Tadinya aku nyaris tidak mau makan sama sekali karena perutku terasa sangat tidak enak, namun Pak Rendy dengan telaten menyuapiku. Bahkan, saat ini pria itu pun tengah menyuapiku untuk makan malam.“Dua sendok lagi habis,” ucap Pak Rendy seraya menunjukkan semangkuk bubur yang tersisa sedikit.Aku menelan bubur sambil menatap Pak Rendy dengan raut bingung. Apa sebenarnya motif pria itu merawatku? Mengapa dia tampak peduli padaku? Sejak aku mengetahui identitasnya, aku mendapati beberapa tindakannya yang menunjukkan kepeduliannya padaku, entah apa alasannya.Mulutku terbuka saat Pak Rendy kembali menyodorkan sesendok bubur, dengan cepat aku menelannya hingga sendok terakhir tersuap ke mulutku.“Minum,” ujar Pa
Bungkam. Itulah respon Pak Rendy atas dua pertanyaanku saat di mobil. Tak hanya itu, saat ini raut wajah pria itu terlihat dingin. Dia tidak berbicara apapun padaku selepas kami sampai di apartemennya, bahkan hingga malam tiba. Saat aku menghampirinya dan hendak bertanya sesuatu, dia langsung menghindar pergi memasuki kamarnya atau ruang kerjanya. Apakah pertanyaanku saat di mobil telah menyinggungnya?Helaan napas panjang keluar dari mulutku. Aku jadi tidak dapat fokus mengerjakan tugas kuliah. Menyandarkan tubuh ke sandaran sofa, aku lantas memilih untuk menyalakan televisi yang berada di depanku. Melihat televisi yang menayangkan burger, pizza, dan cola seketika perutku langsung berbunyi. Aku menelan ludah ketika menyadari kalau diriku merasa lapar, baru kuingat kalau belum makan malam.Tepat setelah itu terdengar suara pintu terbuka dari ruang kerja Pak Rendy. Bola mataku bergerak mengikuti Pak Rendy yang kini berjalan memasuki kamarnya lantas memakai jaket, sepert
“Susah sekali membawamu kembali,” tutur salah satu pria berjas dengan berjalan maju diikuti oleh rekan-rekannya di belakang.Pak Rendy melangkah mundur membuatku secara otomatis ikut melangkahkan kakiku ke belakang. “Kalian salah paham,” tuturnya.“Oh, ya?”Dapat kudengar dengkusan singkat dari Pak Rendy. “Kalian belum mendengarkan penjelasanku.”Aku mendongak ke arah Pak Rendy lantas menatap ke arah gerombolan pria berjas di depan sana. Apa yang sebenarnya sedang mereka bicarakan?“Kami tidak butuh penjelasanmu itu, sudah terlalu lama kami mencarimu. Cukup menurut dan ikut kami kembali. Jika tidak, kami terpaksa menggunakan cara kasar.”Perkataan dari pria berjas itu membuat satu asumsi langsung tercipta di kepalaku. Aku kembali menatap Pak Rendy dengan mata membulat. Apakah pria itu—“Tidak merespon ya? Baiklah, kami memutuskan akan menggunakan cara kasar.&rdquo