Setelah dua hari dari pemberian saran dari sang psikiater, Jane kembali ke jadwal rutinnya yang padat dan menguras tenaga. Hari ini menjadi pengawas beberapa kelas modeling di agensi dan juga juri— itupun jika sempat dan ia mau. Bukan rahasia umum jika Jane mendapatkan perlakuan istimewa dari sang pemilik agensi.
Thomas terlalu percaya padanya dan tak jarang membuat Jane berlaku sesuka hati hingga sering membuat dongkol staf dan pelatih lainnya. Jane mengenal dirinya sendiri bahkan lebih baik dari siapapun. Itulah poin kenapa ia tak terlalu memusingkan pendapat orang lain. Ia seperti membentengi diri dari pengaruh siapapun setelah trauma berkepanjangan yang pernah ia terima di masa lalu.
“Jane, jika penilaianmu mematok tingkat sempurna, pelatihan ini akan berakhir sia-sia. Mereka perlu berlatih lagi untuk bisa mencapai level yang sama dengan apa yang kau inginkan,” keluh wanita yang kini nampak murung. Namanya Dona, salah satu pelatih senior di agensi itu.
Hampir dua bulan ia melatih dua puluh trainee dan hari ini adalah evaluasi bulanan dengan Jane sebagai juri. Sudah tentu ia akan mengeluh karena kandidat yang menurutnya berpotensi malah dipandang tak berbakat oleh Jane.
“Jika kau hanya menginginkan mereka berlenggak lenggok di atas papan, tanpa ingin membuat mereka bertanggung jawab atas penampilan mereka. Kau tidak perlu merekrut dan melatih siapapun, bahkan aku yakin staf di sini mampu melakukan itu. Ekspresi mereka hanya pamer muka yang padahal jauh di bawah rata-rata, terlalu angkuh, dan tak bernilai, tak sesuai dengan tema yang diberikan yakni elegan. Elegan dengan raut wajah seperti itu? ” ucap Jane dengan pedas sembari menunjuk pada satu trainee yang menurut Dona cukup berbakat.
Peserta di depannya yang mendengar kalimat itu menunjukkan berbagai ekspresi. Ada yang langsung menunjukkan ketidaksukaannya pada Jane secara blak-blakan, ada juga yang menunduk sedih, terlebih gadis yang baru saja dijadikan sasaran makian.
Tangan wanita itu bersedekap, berjalan mendekat ke semua peserta satu persatu.
“Apa motivasimu menjadi model?” tanyanya pada seorang peserta dengan nomor dada 09 tak lain adalah gadis yang sempat ia tunjuk. Penampilan gadis itu begitu anggun dengan gaun biru panjang, rambutnya yang ditata sedemikian rupa membuat kesan cantik yang alami untuknya.
Meskipun tadi menunjukkan wajah sedih, gadis itu kini dengan kesan percaya diri menatap Jane yang tak menampilkan ekspresi apapun.
“Saya sudah berlatih menjadi model sejak usia dua belas tahun, ibu saya adalah salah satu model majalah di tahun sembilan puluhan dan saya ingin menjadi seperti ibu saya,” jawabnya dengan percaya diri. Berharap ia masih memiliki harapan untuk bertahan.
Jane yang melihatnya hanya mengangguk.
Pertanyaan yang sama ia berikan ke semua peserta dan jawaban mereka bermacam-macam, bahkan ada yang hanya menjawab jika ia hanya ingin menjadi model karena suruhan orang taunya. Namun, itu jawaban yang menurut Jane cukup menarik yang didapat dari peserta nomor terakhir.
Jane berjalan kembali mendekati Dona.
“Aku ingin nomor 05, 07, 012, 013, 015, dan 020 untuk dipersiapkan dievaluasi bulan depan,” ucapnya dengan suara lantang sebelum kemudian pergi dari ruangan karena merasa jika tugasnya sudah selesai.
Bahkan wanita dengan gaun hitam selutut itu tak berbalik ketika Dona bertanya alasan ia memilih acak nomor peserta, wajah Jane tak menunjukkan jika ia benar-benar serius. Meskipun ucapannya tegas dan seakan tak bisa dibantah.
Sementara model-model yang ditunjukkan menunjukkan wajah shocknya. Terlebih peserta nomor 015 adalah peserta yang menurut Dona memiliki wajah yang terkesan biasa saja namun ia juga tahu jika Jane tidak pernah salah memilih calon bintang mereka.
Wanita itu menghela nafas dan kembali memperbaiki ekspresi wajahnya. Berdehem dan menatap satu persatu trainee yang ada di depannya.
“Nomor yang Jane sebut, tolong tinggal di sini untuk mendengar beberapa peraturan baru yang akan kalian jalani dan untuk yang tidak disebutkan, saya tahu kalian pasti kecewa–” ucap Dona dan meringis melihat peserta yang tadi menjawab tentang pertanyaan Jane pertama kali langsung mengusap air matanya.
“Tapi saya yakin kalian akan sukses di luar perusahaan ini, terimakasih atas waktu kalian.”
*****
“Jasmine mengatakan jika kau akan mengambil cuti sebulan, apa itu benar, Kak?”
Jane yang tengah mengoles lipstik merona di bibir plumnya menoleh. Menatap Lucas yang kini duduk di sampingnya. Mereka kini berada di ruangan milik Jane .Tempat yang memang disediakan khusus untuknya beristirahat sebelum melanjutkan jadwal.
“Ya, aku berencana mengajakmu.”
Lucas memandang wanita di depannya dengan ekspresi sedih yang ia buat sedemikain rupa.
“Kau tahu, Kak. Akhir minggu ini aku harus mengantar adikku test di akademi dan yeah, ibuku tidak ada yang merawatnya,” jawabnya dengan suara pelan.
Jane menutup lipstiknya, sekitar sepuluh menit lagi ia akan mengisi kursi juri di kelas model B.
“Bukan masalah kalau kau tidak ikut. Aku akan menjalani liburan dengan Jasmin. Wanita itu setengah gila menerorku setiap malam hanya demi untuk tidak membatalkan rencana liburan dadakan.”
Lucas masih terdiam, ia merasa tak begitu membantu dan sudah tentu Jane menyadari itu.
“Jangan pikirkan apapun, aku bisa mengurus diriku sendiri dan ku harap ibumu segera sembuh dan adikmu bisa lolos tes,” ucap Jane cuek. Ia melirik jam tangannya dan ternyata kelas tempatnya menjadi juri sebentar lagi dimulai.
Lucas tersenyum.
“Terima Kasih kak, kau sangat baik.”
Jane terkekeh dan tak menanggapi ucapan asistennya. Ia hanya berlalu keluar dari ruangannya menuju lantai tiga.
Ruangan itu tak berbeda jauh dengan ruangan sebelumnya. Hanya saja kelas itu peserta melakukan peragaan busana dengan busana-busana khusus yang sudah disiapkan. Tepat ketika masuk, beberapa peserta masih di make-up dan sebagian lagi menunggu giliran.
Tatapannya menyapu area yang akan digunakan. Beberapa tempat foto yang akan digunakan juga sudah tertata rapi, staf melakukan pekerjaan dengan baik hari ini. Sampai kemudian ia mengerutkan dahi, menatap dua orang peserta yang nampak cekcok di sisi kanan ruangan.
Jane tak menghampiri mereka, hanya menatap bagaimana dua orang itu nampak terlihat seperti merebutkan gaun yang mungkin akan digunakan. Ia tak melakukan apapun, bahkan ketika salah satu staf ingin menegur, Jane melarangnya.
“Aku tidak ingin dua orang itu ikut dalam latihan hari ini dan dua minggu kedepan, masukkan mereka ke ruang kedisiplinan.”
Seruan itu membuat suasana yang tadinya berisik karena banyak aktivitas menjadi sunyi.
“Nona, itu tidak mungkin. Mereka berdua memiliki poin paling tinggi ketimbang yang lain berdasarkan evaluasi bulan ini,” ucap salah satu staf.
Dahi Jane mengerut.
“Tidak. Aku tidak akan memberikan penilaian pada mereka sebelum mereka masuk ke ruang kedisiplinan,” ucap Jane tegas.
“Kenapa Anda melakukan itu padaku?” tanya salah satu gadis yang tadi sempat cekcok. Ia merasa tidak terima lantaran dikeluarkan hari ini. Pandangannya beralih pada gadis yang tadi bertengkar dengannya hanya karena mereka menyukai gaun yang sama.
“Mia mengambil gaunku, padahal aku sudah memilihnya lebih dulu. Jika Anda ingin membawanya ke ruang kedisiplinan itu jauh lebih bagus.”
Gadis bernama Mia menatap tak suka.
“Aku memang tak memilihnya, tapi bukankah beberapa saat yang lalu kau yang meminta untuk bertukar dengan gaun milikku. Jangan—”
“Stop!” ucap Jane keras.
“Hari ini aku yang menjadi juri kalian dan belum apa-apa kalian sudah mulai meributkan hal sepele. Pergi ke ruang kedisiplinan atau nilai evaluasi kalian bulan ini merah semua,” tegasnya langsung membuat semua peserta menunduk takut. Sementara dua gadis itu dengan tampang pucat juga memilih keluar ruangan menuju ruang kedisiplinan yang dimaksud.
Hari masih terlalu pagi untuk sebuah kabar berita yang tak terlalu penting mengganggu hari Jane. Wanita itu menatap tak berminat pada barisan kata clickbait yang nampak panas dan menggoda untuk siapa saja yang haus akan gosip murahan. Disertai sebuah gambar blur wajah dua orang. Kabar itu berhembus hanya karena pakaian yang dikenakan mirip dengan miliknya yang bahkan dirinya sendiri tidak tahu di mana dan kapan memakai pakaian yang ditunjukkan ke dalam berita infotainment pagi. Ia dan pria yang digosipkan dengannya hari ini memang saling mengenal di masa lalu. Meskipun tidak sampai menjalin hubungan. Tapi Jane sendiri tak ingin banyak orang tahu jika mereka saling mengenal atau mengkonfirmasi pada media karena itu sama halnya dengan bunuh diri.“Beberapa orang menelepon dan menanyakan tentang kebenaran berita,” ucap Lucas. Pemuda itu membawa dua buah gelas dengan aroma kopi yang pekat. Satu untuk Jane dan satu lagi untuknya. Sebuah rutinitas yang ia lakukan semenjak kerja dengan wa
“Jadi kau menolaknya?” Tanya Jasmine. Jane tak perlu menjawab pertanyaan itu lantaran sudah terlalu jelas jawabannya. Pandangannya fokus pada pemandangan di luar kereta, suara gesekan mesin yang terdengar sangat nyaring namun tak membuat suasana kereta teredam. Ini adalah pengalaman kabur paling mengesankan yang mungkin akan menghancurkan karirnya. Namun siapa yang akan peduli, jika Jane dikeluarkan dari perusahaan hiburan tempat ia bernaung saat ini, maka ada kontrak lain yang tengah menunggunya untuk ditandatangani dan untuk Jasmine, wanita itu terlampau nekat dan bahkan ia memang berencana membangkang pada ibunya. “Lagi pula apa pria itu tidak tahu siapa dirimu, kenapa berani sekali menawarimu hal semacam itu,” gerutu Jasmine.“Yeah, semua laki-laki memang sama saja.”Kekehan Jasmine terdengar tapi masih kurang nyaring ketimbang pembicaraan segerombolan wanita-wanita tua yang duduk di kursi belakang mereka. Dua wanita yang memiliki pekerjaan sebagai seorang model itu tengah
Mereka sampai pukul lima sore dengan keadaan langit yang menguning. Beberapa anak berlarian di pinggir pantai yang tampak bersih dan indah. Jane menghela nafas setelah sampai di pekarangan penginapan yang kata si supir adalah tempat yang mereka tuju. Jasmine masih terlihat ngantuk, namun wanita itu tetap memutar lensanya ketika melihat bunga-bunga indah di pekarangan penginapan. “Orang-orang mengira kita adalah dua orang mahasiswi yang tengah melakukan study tour jika kau tetap seperti itu,” ucap Jane sembari meletakkan kopernya. Ia kemudian duduk di salah atau kursi yang ada di sana. Ketika ia mencoba membuka ponsel, ternyata tidak ada jaringan internet di tempat itu. Sesuatu yang kelewat bagus. Secara otomatis keberadaannya tidak akan terlacak.“Di sini tidak ada jaringan.”“Ah, benarkah.” Jasmine membuka ponselnya. “Kau benar.” Jane hampir saja menarik satu batang rokok di saku tasnya. Namun hal itu ia urungkan ketika mendengar suara berisik dari dalam rumah. Jasmine juga segera
Jane pikir pertemuan itu adalah pertemuan pertama dan terakhir, mungkin ia tak akan bertemu pria bermata coklat itu lagi ketika ia ak berkunjung ke kafe, tapi ternyata dugaan itu salah. Ia kembali bertemu dengan pria itu di pagi yang bahkan belum menunjukkan senyum cerahnya. Langi masihi gelap, suasana sekitar masih sunyi meskipun deburan ombak laut di ujung terdengar samar. Jane tidak bisa tidur memilih untuk keluar setelah menghabiskan puluhan lembar halaman novel yang direkomendasikan oleh Lilibet. Oleh karena itu, wanita tersebut kini berdiri tegak dengan jaket hangatnya ketika ia bertemu dengan pria bermata coklat yang kini tengah mengangkat beberapa kotak styrofoam yang sudah pasti isinya ikan atau hewan laut lainnya. Pria itu terlihat menarik dengan bisepnya yang kuat ketika mengangkat barang-barang. Rambut yang berwarna hitam nampak menari ketika terkena angin dan Jane yang sejak tadi hanya berdiri diam merasa bodoh sendiri lantaran memperhatikan pria itu. Dirinya adalah seo
“Aku tidak ingat kau kenal dekat dengan pemuda pemilik kafe. Like, what?!! Bagaimana bisa dengan percayanya kau pergi dengannya di pagi buta,” kata Jasmine seraya berkutat dengan kamera kesayangannya. Kaki gadis itu sesekali menendang pasir putih di bawahnya, sesekali juga menggerutu lantaran bidikannya tidak tepat. "Tak sengaja. Ia ingin mengajakku ke tempat yang tepat melihat matahari terbit," jelas Jane. Jasmine kembali menggerutu tentang seberapa bahaya jika mereka berkeliaran sendirian, terlebih tempat asing yang belum mereka kenal. Jane memilih untuk mengabaikan celoteh Jasmine, ia hanya ingin menikmati suasana pantai dengan damai. Di sekeliling mereka tidak banyak orang berlalu lalang, hanya beberapa wanita yang ang nampak berbincang dan berpisah dengan orang lain. Hanya orang-orang yang sama dengannya yang ada di pantai ini. Sudah tentu kebisingan tidak akan cocok untuknya. Pandangannya mengedar, melihat beberapa anak-anak yang ang nampak bermain pasir dan membentuknya m
Menjadi model atau apapun yang berkaitan dengan bidikan kamera, tidak semenyenangkan yang orang lain bayangkan. Bahkan untuk mereka yang setiap hari hilir mudik di layar televisi, pekerjaan ini tidak seindah apa yang terpampang di depan kamera. Banyak orang bicara dalam sebuah siaran televisi atau podcast, tentang bagaimana rasanya menjadi seorang yang menjadi pusat perhatian. Jane kira, orang-orang yang bicara tentang rumitnya hidup di tengah dunia hiburan adalah orang yang terlampau berani, Jane masih sering kali ketakutan untuk berbicara pada dunia jika dirinya tidak sesempurna yang mereka pikirkan di depan kamera. Apa yang ada di depan kamera, tidak selalu sama dengan apa yang ada di belakang kamera. Banyak rules yang sebenarnya harus dipelajari terlebih dahulu. Meskipun begitu, masih banyak orang berlomba-lomba melakukan segala hal untuk bisa masuk industri hiburan, bukan masalah, mereka akan tahu bagaimana industri itu berjalan ketika sudah masuk dan menjalani. Seberapa gelap
Sore hari tidak terlalu bagus seperti biasanya. Jane dan Jasmine berjalan di area sekitar penginapan. Sebenarnya kegiatan yang mereka lalui di tempat itu memang hanya dua hal, menikmati suasana pantai dan berbelanja. Namun kali ini dan dari kemarin, mereka tidak pergi ke pasar atau tempat aksesoris sama sekali. Selain karena bahan makanan yang masih melimpah, dua wanita itu ingin menghabiskan waktunya untuk bersantai benar-benar menikmati suasana sekitar yang masih segar, jauh berbeda dengan tempat tinggal mereka di kota. Suara tali tambang yang sengaja nelayan pasang untuk menangkap ikan membuat Jane mengalihkan perhatian. Sekumpulan laki-laki dewasa dengan topi bundar menarik tambang bersama-sama, sebelum disauti dengan suara gemuruh kegembiraan lantaran jaring mereka memberikan hasil yang lumayan. Jane ikut tersenyum tanpa sadar ketika melihat salah satu diantara mereka nampak melompat-lompat kecil dengan ucapan syukur yang tak terputus. Jasmine melihat kawannya dengan heran.
Ketika masih di usia sekolah dulu, Jane sering melihat ayah dan ibunya bertengkar. Sebagai anak kecil, tentu hal semacam itu terdengar menyeramkan. Terlebih ketika ayahnya sudah mulai melempar barang-barang rumah ke ibunya. Beberapa kali, ia melihat ibunya terlihat memar di bagian wajah dan juga tubuh lainnya. Ibunya sering menangis ketika malam hari tanpa sepengetahuan ayahnya dan saat itu Jane masih belum tahu sebenarnya apa yang terjadi terhadap keluarganya sampai kemudian ia masuk usia remaja. Tidak bisa dikatakan remaja sebenarnya, karena masa ia baru saja keluar dari sekolah dasar gratis yang ada di kawasan kumuh. Jane yang bahkan belum memahami apa yang terjadi di lingkungan dengan baik, secara mengejutkan menjadi pelampiasan kemarahan ibunya. Mungkin terdengar aneh ketika Jane menjadi pelampiasan ibunya yang telah memendam amarah itu sejak lama. Jane tidak habis pikir bagaimana sang ibu memukulnya sama seperti ayahnya memukul ibunya.“Kau anak pembawa sial! seharusnya kau t
‘Halo?’ Sebuah suara berat terdengar di seberang sana. Jane memperbaiki posisi duduknya. Ia tengah berada di halaman belakang kafe saat ini. Tempat itu adalah tempat yang penuh kenangan untuknya, lantaran disana ia pernah menanam bunga bersama Maya, ibu Vincent. ‘Halo? Tolong katakan sesuatu jika memang ada sesuatu yang penting.’ “Apakah Anda suami wanita yang bernama Luis?” Suara benda bergeser di seberang yang terdengar nyaring membuat Jane sejenak menjauhkan ponselnya. ‘Ya, ini siapa? Apakah Anda tengah bersama wanita gila itu?’ saut di sebarang, suara pria itu terdengar keras dan tak bersahabat. “Saya tahu keberadaannya. Bisa Anda sedikit ceritakan apa yang terjadi tentang Anda dan Lusi?” tanya Jane dengan tenang. Terdengar helaian nafas di seberang sana. ‘Siapa Anda? Aku tdiak mungkin menceritakan perkara rumah tangga ku pada orang asing,’ saut laki-laki itu. Jane kembali melihat sekitar, kafe nampak sibuk dan ia tak menemukan akan adanya gangguan untuk hal ini. “Na
‘Halo?’ Sebuah suara berat terdengar di seberang sana.Jane memperbaiki posisi duduknya. Ia tengah berada di halaman belakang kafe saat ini. Tempat itu adalah tempat yang penuh kenangan untuknya, lantaran disana ia pernah menanam bunga bersama Maya, ibu Vincent.‘Halo? Tolong katakan sesuatu jika memang ada sesuatu yang penting.’“Apakah Anda suami wanita yang bernama Luis?”Suara benda bergeser di seberang yang terdengar nyaring membuat Jane sejenak menjauhkan ponselnya.‘Ya, ini siapa? Apakah Anda tengah bersama wanita gila itu?’ saut di sebarang, suara pria itu terdengar keras dan tak bersahabat.“Saya tahu keberadaannya. Bisa Anda sedikit ceritakan apa yang terjadi tentang Anda dan Lusi?” tanya Jane dengan tenang.Terdengar helaian nafas di seberang sana.‘Siapa Anda? Aku tdiak mungkin menceritakan perkara ru
Sore hari yang terik, tidak diduga pria yang baru diketahui Jane bernama Kevin itu benar-benar datang ke pesisir. Pakaiannya nampak rapi, Jane bisa melihat aura karismatik menguar dari pria itu. Namun, yang membedakan adalah struktur wajahnya yang memang lebih ke barat-baratan.Pria itu nampak kalem, bahkan lebih kalem dari pada apa yang Jane duga sebelumnya. Tak ada raut marah, yang ditemukan Jane adalah kerinduan pada sang putra yang barang kali telah lama tidak bertemu.Leo, anak kecil itu terlihat nyaman dipelukan ayahnya yang belum mengeluarkan suara apapun ketika datang. Anak kecil itu sepertinya juga tahu betul siapa orang tau aslinya. Sementara itu, Lusi nampak membuang muka, duduk di single sofa yang berada dekat dengannya.“Jadi—apakah kau akan tetap disini? Jika iya, aku akan membawa Leo bersamaku,” ucap pria matang itu dengan mantap.Pandangan mata Lusi nampak memicing, namun bibirnya tidak mengatakan apapun.“Kau tak keberatan jika anakmu dibawa ayahnya?” tanya Jane, men
‘Halo?’ Sebuah suara berat terdengar di seberang sana. Jane memperbaiki posisi duduknya. Ia tengah berada di halaman belakang kafe saat ini. Tempat itu adalah tempat yang penuh kenangan untuknya, lantaran disana ia pernah menanam bunga bersama Maya, ibu Vincent. ‘Halo? Tolong katakan sesuatu jika memang ada sesuatu yang penting.’ “Apakah Anda suami wanita yang bernama Luis?” Suara benda bergeser di seberang yang terdengar nyaring membuat Jane sejenak menjauhkan ponselnya. ‘Ya, ini siapa? Apakah Anda tengah bersama wanita gila itu?’ saut di sebarang, suara pria itu terdengar keras dan tak bersahabat. “Saya tahu keberadaannya. Bisa Anda sedikit ceritakan apa yang terjadi tentang Anda dan Lusi?” tanya Jane dengan tenang. Terdengar helaian nafas di seberang sana. ‘Siapa Anda? Aku tdiak mungkin menceritakan perkara rumah tangga ku pada orang asing,’ saut laki-laki itu. Jane kembali melihat sekitar, kafe nampak sibuk dan ia tak menemukan akan adanya gangguan untuk hal ini. “Nam
‘Lusi? Aku seperti tidak asing dengan nama itu,’ ucap Lilibet di seberang. Jane kini tengah berada di halaman belakang penginapan. Ia sudah cukup muak dengan apa yang dilakukan Lusi dengan anaknya. Yeah, Jane cukup paham memang jika ia tak seharunya cemburu dan jengkel dengan bayi kecil yang belum tahu apa-apa itu. Namun, wanita itu juga tak bisa membendung kekesalannya lantaran sang ibu dari bayi itu sangat mengganggu waktu liburannya dengan Vincent. “Bisakah kau tanya pada teman-temanmu di Inggris?” ‘Ya, tunggu sebentar. Memangnnya apa yang terjadi?’ Terdengar suara ketikan di seberang, sepertinya Lilibet benar-benar tengah menanyakan tentang siapa wanita asing itu. “Dia dan anaknya benar-benar mengganggu waktuku dan Vincent. Sejak kedatangannya kemari, wanita itu selalu membawa anaknya kemari dengan alasan jika anaknya tengah mencari Vincent,” keluh Jene. ‘Ah, sepertinya kau memang selalu memiliki banyak rintangan ketika ingin menjalani hubungan dengan Vincent secara biasa,’
“Aku sering melihat foto kakak,” ucap seorang anak yang Jane temui di dekat pantai hari ini. Sekitar satu jam semenjak Jane memilih untuk berdiam diri di gazebo yang ada di pinggir pantai. Suasana yang masih cukup suram untuk dirinya dan sekitar, membuatnya memilih untuk pergi lebih jauh. Ujung kakinya menyentuh pasir yang lembut, pasir yang terasa nyaman untuk kaki telanjangnya. Beberapa hewan kecil nampak berlarian dengan bebar, tanpa memikirkan tentang apa yang akan terjadi jika mereka keluar dari sarang. Suasan yang tadinya tenang bagi Jane yang masih dilanda kemarahan, harus dirusak dengan kedatangan seorang gadis kecil yang asing baginya. Bajunya kumal dengan beberapa jahitan tak rapi di sekitar lengan. Kancing bajunya juga taksama antara satu dengan lainnya. Jane masih terdiam, memperhatikan si bocah cilik yang kini tengah bercoleteh tentang dirinya yang masih duduk di bangku sekolah dasar dan juga teman-temannya yang sering menjahili dirinya. “Apakah—kau takut ketika teman-t
“Kami mengenalnya dan kebetulan kafe ini miliknya,” ucap seorang wnaita berseragam yang nampak memandang secarik kertas di tangan. Suasa kafe tak terlalu ramai hari ini lantaran gerimis di pagi buta. Suasana masih cukup dingin untuk berkatifitas di luar. Meskipun demikian kafe wajib buka sesuai dengan jamnya, tak ada alasan untuk menunda meskipun sang bos tidak ada di tempat. Pandangan wanita yang tadi datang merambah sekitar. Beberapa orang nampak berlalu lalang di dalam kafe yang terlihat sangat menarik di mata. Di antara bangunan yang berjejer di tepian pantai yang tenang itu, bangunan kafe yang menurutnya memang sangat menarik. Ia tersenyum kecil ketika menyadari siapa yang mungkin mendekorasinya. Sementara itu, si pegawai kafe nampak melirik kecil pada wanita yang masih sibuk dengan pikirannya sendiri, ia kemudian kembali memandang pada sebuah foto yang tentu saja baginya sangat tidak asing. Itu foto Vincent, pria yang tak lain adalah bosnya dan juga pemilik salah stau pengin
Pukul dua siang, mereka sampai di penginapan. Jane melihat sekitar, menghela nafas ketika suasana di ruangan itu tidak banyak berubah. Meskipun di beberapa bagian terdapat debu yang menempel. Lampu gantung di ruang makan, salah satu hal yang menarik perhatiannya lantaran benda itu pernah ia beli untuk hadiah ibu Vincent. Jane juga tidak melewatkan sebuah bunga hidup yang terlihat nampak terawatdi tralis jendela. Bunga-bunga yang kini sayangnya belum berbunga itu adalah tumbuhan kesayangan Maya. Jane masih ingat betul bagaimana perempuan baya itu sangat semangat menjelaskan jenis bunga dan cara menanamnya dengan media air. Pandangan Jane kini tertuju ke luar jendela dapur, di tangan kanannya segelas air putih yang telah berhasil menghalau dahaga sudah di tegak setengah. Grep Jane tersentak namun tak memberikan respon yang berarti. Hanya menyentuh kulit sang pria yang terasa kasar. “Kenapa diam saja, hmm? Ada masalah?” Jane memalingkan wajahnya, menadapati tatapan penasaran dari Vi
Tumpukan barang-barang sudah memenuhi ruang tamu apartemen Jane. Beberapa barang lain yang kemungkinan tidak akan dibawa juga sudah terbungkus lapisan plastik. Tak ada yang tersisa, dipastikan semuanya tetap rapi dan tidak berdebu karena Jane membencinya. Sejujurnya ia tengah memikirkan rencana apa yang akan ia lakukan setelah liburan panjang, kembali bekerja di perusahaan agensi Thomas atau memilih untuk mencari pekerjaan lain yang mungkin sesuai dengan passionnya. Sebagai seseorang yang telah memiliki nama, wanita itu tak terlalu ambil pusing tentang pekerjaan. Menghela nafas pelan setelah selesai dengan acara berkemas, Jane merebahkan tubuhnya di pinggir karpet. Memiringkan tubuh dan menatap dua koper besar yang akan ia bawa yang kini teronggok di ujung ruangan. Tak Pandangan yang tadinya hanya tertuju pada benda mati kini teralihkan pada sosok pria yang selalu menemaninya. Selalu ada untuknya dan kini bahkan rela meminta izin untuk menyelesaikan tugas akhir dari jarak jauh. Se