“Dia hanya kelelahan." “Apa? Jane bahkan hanya berkeliling dan tidak melakukan kegiatan apapun. Bagaimana bisa kau bilang jika dia hanya kelelahan?” “Jika kau tak percaya padaku, kau bisa membawanya ke kota untuk dirujuk.” Percakapan itu terdengar di telinga Jane. Dengan pelan, Jane mengerjakan matanya. Buram, putih dan abu-abu sebelum kemudian sedikit demi sedikit semua menjadi terlihat lebih jelas. Lampu kamar? Kamarnya di penginapan. Lalu pandangannya beralih pada lampu tidur kecil yang memang selalu ada di dekat kasurnya. Ia menoleh ketika merasakan elusan pelan ia terima di punggung tangan. “Kau sudah sadar?” Kenapa—pertanyaan sederhana itu terdengar menenangkan. Bagaimana bisa pertanyaan sederhana seperti itu terasa hangat seperti duduk di dekat tungku api di musim dingin. Vincent, pemuda itu menggenggam tangannya erat, namun hal itu membuat Jane segera menarik tangannya hingga terlepas. Bersentuhan intens dengan orang lain cukup menakutkan untuknya. Selama ini ia
Jika berbicara tentang masa lalu Jane bingung harus memulainya dari mana. Dari yang pahit atau yang paling pahit, kah? Wanita itu sering berpikir jika sebenarnya tidak akan ada yang tertarik dengan sebuah kisah kelam. Namun, siapa yang menduga jika ternyata kisah sedih bisa mendongkrak seseorang untuk lebih bersimpati. Jujur Jane tak membutuhkan hal semacam itu. Ia mungkin akan menceritakan sedikit tentang masa lalunya, bukan untuk dikasihani. Namun, hanya untuk pengingat bahwa kupu-kupu cantik pun pernah direndahkan lantaran dulunya hanya seekor ulat menjijikkan. Saat itu umur Jane masih dua belas tahun. Jane tinggal di sebuah kawasan kumuh. Suasana di daerah itu selalu terlihat mendung dan murung. Lingkungan terpinggirkan dan barangkali dilupakan oleh orang-orang berkuasa. Daerah yang penuh timbunan sampah yang mana ternyata memiliki banyak manusia yang mendiaminya.Jane tidak pernah menginginkan dirinya dilahirkan di situasi yang cukup bisa dikatakan buruk. Sebagai anak, ia ti
"Aku mendengar kau sakit oleh karena itu langsung terbang kemari meskipun tidak bisa lama-lama disini. Dia jam lagi aku harus kembali ke kota.”Jane menghela nafas dan mengangguk. Tatapannya tertuju pada pot bunga kecil yang ada di tengah meja. “Kau kenal Vincent?”Lilibet yang tadinya hendak minum lemon teanya harus tertunda saat ia mendengar nama seseorang yang tak asing baginya. Dahinya mengkerut sebelum kemudian terkekeh. “Wah, kau sudah bertemu dengn pria itu? ya, dia temanku.”“Jadi penginapan ini milik ibunya? miliknya?”Lilibet mengangguk. “Yap, secara tidak langsung memang milik Vinct. Aku penasaran bagaimana kalian bisa bertemu, maksudku pria itu cukup cuek terhadap wanita.”Jane mengedikkan bahunya.“Pertemuan yang tidak berkesan, aku berkunjung ke kafe miliknya dan yeah pertemuan yang tidak disengaja lainnya terjadi.”“Sayang sekali, ku kira kau bertemu dengnnya dengan cara yang romantis, mungkin.”“Dia sudah memiliki calon istri.”“Wow, benarkah? Aku merasa kau terliha
Naomi, tahun ini wanita itu berumur dua puluh lima tahun dan sejak tiga tahun lalu mendapatkan tugas untuk bekerja di sebuah klinik kesehatan yang bertempat di sebuah pelosok.Tempat itu, jujur bukan tempat yang selama ini ia impikan ketika memilih terjun di dunia kesehatan. Naomi benar-benar menyesal ketika surat tawaran kerja ia tandatangani tanpa pikir panjang lantaran terlalu tenggelam dalam euforia kelulusan dengan predikat bagus. Penyesalan benar dirasakan. Kawasan pantai itu sebenarnya tidak buruk sama sekali, bisa dikatakan indah dan masih asri, belum banyak orang-orang luar ke sana. Sayangnya bagi Naomi yang sejak bayi sudah menikmati kecepatan teknologi, hidup di tempat itu adalah neraka baginya. Jaringan internet dan komunikasi cukup buruk, ditambah penduduk di area itu cukup sensitif dengan pendatang. Sampai beberapa bulan kemudian ia bertugas, barulah Naomi merasakan kenyaman di pesisir tempat ia bekerja. "Nona, bisakah Anda datang ke rumah saya—" Naomi yang saat itu
“Jadi kau tertarik padanya?”Vincent yang tadi sempat berniat meninjau pendapatan kafe memilih untuk mengurungkan niatnya. Pandangan matanya kembali pada Jeremy yang nampak berpikir. Ia memang baru saja menceritakan pada Jeremy apa yang dirasakan pada wanita asing yang bahkan belum sebulan ia kenal. “Apa kau pikir aku tertarik padanya?”Jeremy berdecak. “Sangat terlihat dari caramu menceritakan tentang Jane, kau terlihat konyol. Maksudku, sadar tidak jika ini pertama kalinya kau menceritakan soal wanita padaku?”Vincent tertegun, ia baru menyadarinya. Tentu saja dirinya belum pernah bercerita tentang wanita manapun lantaran selama ini, ia disibukkan dengan perkembangan kafe. “Oy, sadar tidak jika selama ini kau juga tidak penah menceritakan apapun tentang Naomi,” kata Jeremy mencoba memancing reaksi apa yang ditunjukkan kawannya dan ternyata sesuai dengan ekpektasinya. Vincent terlihat bingung. “Kenapa aku harus menceritakan tentang Naomi, bukankah ia juga menghabiskan banyak wak
“Jadi sebenarnya apa yang membuat Jane sering terserang panik?” tanya Vincent. Pertanyaan itu kemungkinan terdengar lancang mengingat hubungan mereka tidak terlalu dekat. Jasmine yang tadi duduk di samping Jane yang masih tertidur setelah lelah menangis menghela nafas dan beranjak. Temannya itu memang sering terserang demam jika paiknya kambuh. "Sebaiknya kita keluar,” ucap wanita itu dan Vincent mengangguk. Ia melirik Jane yang masih terlelap sebelum keluar kamar mengikuti Jasmine. Vincent duduk di sofa tepat di depan Jasmine. Pria itu memperhatikan sekitar. Melihat apa yang kurang dan apa yang perlu diperbaiki dari penginapan milik ibunya itu.“Aku cukup terkejut ketika tahu kau pemilik penginapan ini.”Vincent menggaruk pelipisnya dan terkekeh.“Masih milik ibuku, terlalu dini untuk mengakui. Aku hanya bertugas membenarkan beberapa hal jika ada kerusakan. Kau bisa mengatakan padaku jika ada sesuatu yang bermasalah disini.”Jasmine mengangguk. Ujung matanya memperhatikan Vincen
Angin berhembus tipis, membuat helai rambut wanita itu menjadi berantakan. Namun si pemilik enggan merapikannya. Ia hanya ingin membiarkan rambutnya tersapu angin. Kepalanya menunduk, melihat pasir putih yang ada di bawah kaki. Nampak kasar namun tidak menyakitkan. Jane tersenyum kecil ketika ia melihat ada beberapa kepiting kecil yang nampak berlarian kembali ke rumah mereka ketika ia melangkah. Air laut pagi itu tidak dingin seperti biasanya. Dalam hati wanita itu bertanya-tanya apakah hari ini sudah memasuki musim panas?Jane tidak tahu, lantaran ia juga tidak pernah mencari tahu tentang seberapa lama ia meninggalkan gemerlap dunia hiburan yang sudah membesarkan namanya. Ketika ingat hal itu, ia merindukan Lucas, pemuda yang tak pernah mengeluh akan pekerjaannya, ia merindukan Thomas, pria tua mata keranjang namun sangat menyayanginya, dan LIlibet, ah wanita itu meskipun baru bertemu dengannya beberapa hari lalu. Ia juga merindukan omelannya. Jane kembali tidak bisa menyembunyik
Jane kebingungan ketika melihat Jasmine yang nampak berantakan dan langsung memasuki kamar ketika datang. Ia tak menyapanya dengan riang seperti biasanya. Membuatnya enggan mengatakan apa yang ingin disampaikan terkait dengan surat yang didapat dari Lukas. Ujung matanya melirik pada pria yang juga sama berantakannya, tengah menggelepar bak ikan kekurangan air di daratan di atas sofa ruang tamu. Jeremy yang biasanya rapi, hari ini juga terlihat kacau.“Kalian bertengkar?”Pria itu terlonjak, matanya membulat, dan bahunya menegang. Namun ketika menemukan tatapan bingung Jane ia memilih memperbaiki posisi duduknya dan mengalihkan pandangan ke arah kamar Jasmine yang tertutup. Telapak tangannya yang lebar meraup wajahnya dan mengeram rendah.Dahi Jane mengerut ketika di tengah kebingungannya ia menemukan sesuatu yang janggal. Beberapa bekas keunguan nampak terlihat jelas ada di leher pria itu, kulitnya yang memang putih membuatnya nampak sekali bahkan meskipun mengenakan jaket akan percu
‘Halo?’ Sebuah suara berat terdengar di seberang sana. Jane memperbaiki posisi duduknya. Ia tengah berada di halaman belakang kafe saat ini. Tempat itu adalah tempat yang penuh kenangan untuknya, lantaran disana ia pernah menanam bunga bersama Maya, ibu Vincent. ‘Halo? Tolong katakan sesuatu jika memang ada sesuatu yang penting.’ “Apakah Anda suami wanita yang bernama Luis?” Suara benda bergeser di seberang yang terdengar nyaring membuat Jane sejenak menjauhkan ponselnya. ‘Ya, ini siapa? Apakah Anda tengah bersama wanita gila itu?’ saut di sebarang, suara pria itu terdengar keras dan tak bersahabat. “Saya tahu keberadaannya. Bisa Anda sedikit ceritakan apa yang terjadi tentang Anda dan Lusi?” tanya Jane dengan tenang. Terdengar helaian nafas di seberang sana. ‘Siapa Anda? Aku tdiak mungkin menceritakan perkara rumah tangga ku pada orang asing,’ saut laki-laki itu. Jane kembali melihat sekitar, kafe nampak sibuk dan ia tak menemukan akan adanya gangguan untuk hal ini. “Na
‘Halo?’ Sebuah suara berat terdengar di seberang sana.Jane memperbaiki posisi duduknya. Ia tengah berada di halaman belakang kafe saat ini. Tempat itu adalah tempat yang penuh kenangan untuknya, lantaran disana ia pernah menanam bunga bersama Maya, ibu Vincent.‘Halo? Tolong katakan sesuatu jika memang ada sesuatu yang penting.’“Apakah Anda suami wanita yang bernama Luis?”Suara benda bergeser di seberang yang terdengar nyaring membuat Jane sejenak menjauhkan ponselnya.‘Ya, ini siapa? Apakah Anda tengah bersama wanita gila itu?’ saut di sebarang, suara pria itu terdengar keras dan tak bersahabat.“Saya tahu keberadaannya. Bisa Anda sedikit ceritakan apa yang terjadi tentang Anda dan Lusi?” tanya Jane dengan tenang.Terdengar helaian nafas di seberang sana.‘Siapa Anda? Aku tdiak mungkin menceritakan perkara ru
Sore hari yang terik, tidak diduga pria yang baru diketahui Jane bernama Kevin itu benar-benar datang ke pesisir. Pakaiannya nampak rapi, Jane bisa melihat aura karismatik menguar dari pria itu. Namun, yang membedakan adalah struktur wajahnya yang memang lebih ke barat-baratan.Pria itu nampak kalem, bahkan lebih kalem dari pada apa yang Jane duga sebelumnya. Tak ada raut marah, yang ditemukan Jane adalah kerinduan pada sang putra yang barang kali telah lama tidak bertemu.Leo, anak kecil itu terlihat nyaman dipelukan ayahnya yang belum mengeluarkan suara apapun ketika datang. Anak kecil itu sepertinya juga tahu betul siapa orang tau aslinya. Sementara itu, Lusi nampak membuang muka, duduk di single sofa yang berada dekat dengannya.“Jadi—apakah kau akan tetap disini? Jika iya, aku akan membawa Leo bersamaku,” ucap pria matang itu dengan mantap.Pandangan mata Lusi nampak memicing, namun bibirnya tidak mengatakan apapun.“Kau tak keberatan jika anakmu dibawa ayahnya?” tanya Jane, men
‘Halo?’ Sebuah suara berat terdengar di seberang sana. Jane memperbaiki posisi duduknya. Ia tengah berada di halaman belakang kafe saat ini. Tempat itu adalah tempat yang penuh kenangan untuknya, lantaran disana ia pernah menanam bunga bersama Maya, ibu Vincent. ‘Halo? Tolong katakan sesuatu jika memang ada sesuatu yang penting.’ “Apakah Anda suami wanita yang bernama Luis?” Suara benda bergeser di seberang yang terdengar nyaring membuat Jane sejenak menjauhkan ponselnya. ‘Ya, ini siapa? Apakah Anda tengah bersama wanita gila itu?’ saut di sebarang, suara pria itu terdengar keras dan tak bersahabat. “Saya tahu keberadaannya. Bisa Anda sedikit ceritakan apa yang terjadi tentang Anda dan Lusi?” tanya Jane dengan tenang. Terdengar helaian nafas di seberang sana. ‘Siapa Anda? Aku tdiak mungkin menceritakan perkara rumah tangga ku pada orang asing,’ saut laki-laki itu. Jane kembali melihat sekitar, kafe nampak sibuk dan ia tak menemukan akan adanya gangguan untuk hal ini. “Nam
‘Lusi? Aku seperti tidak asing dengan nama itu,’ ucap Lilibet di seberang. Jane kini tengah berada di halaman belakang penginapan. Ia sudah cukup muak dengan apa yang dilakukan Lusi dengan anaknya. Yeah, Jane cukup paham memang jika ia tak seharunya cemburu dan jengkel dengan bayi kecil yang belum tahu apa-apa itu. Namun, wanita itu juga tak bisa membendung kekesalannya lantaran sang ibu dari bayi itu sangat mengganggu waktu liburannya dengan Vincent. “Bisakah kau tanya pada teman-temanmu di Inggris?” ‘Ya, tunggu sebentar. Memangnnya apa yang terjadi?’ Terdengar suara ketikan di seberang, sepertinya Lilibet benar-benar tengah menanyakan tentang siapa wanita asing itu. “Dia dan anaknya benar-benar mengganggu waktuku dan Vincent. Sejak kedatangannya kemari, wanita itu selalu membawa anaknya kemari dengan alasan jika anaknya tengah mencari Vincent,” keluh Jene. ‘Ah, sepertinya kau memang selalu memiliki banyak rintangan ketika ingin menjalani hubungan dengan Vincent secara biasa,’
“Aku sering melihat foto kakak,” ucap seorang anak yang Jane temui di dekat pantai hari ini. Sekitar satu jam semenjak Jane memilih untuk berdiam diri di gazebo yang ada di pinggir pantai. Suasana yang masih cukup suram untuk dirinya dan sekitar, membuatnya memilih untuk pergi lebih jauh. Ujung kakinya menyentuh pasir yang lembut, pasir yang terasa nyaman untuk kaki telanjangnya. Beberapa hewan kecil nampak berlarian dengan bebar, tanpa memikirkan tentang apa yang akan terjadi jika mereka keluar dari sarang. Suasan yang tadinya tenang bagi Jane yang masih dilanda kemarahan, harus dirusak dengan kedatangan seorang gadis kecil yang asing baginya. Bajunya kumal dengan beberapa jahitan tak rapi di sekitar lengan. Kancing bajunya juga taksama antara satu dengan lainnya. Jane masih terdiam, memperhatikan si bocah cilik yang kini tengah bercoleteh tentang dirinya yang masih duduk di bangku sekolah dasar dan juga teman-temannya yang sering menjahili dirinya. “Apakah—kau takut ketika teman-t
“Kami mengenalnya dan kebetulan kafe ini miliknya,” ucap seorang wnaita berseragam yang nampak memandang secarik kertas di tangan. Suasa kafe tak terlalu ramai hari ini lantaran gerimis di pagi buta. Suasana masih cukup dingin untuk berkatifitas di luar. Meskipun demikian kafe wajib buka sesuai dengan jamnya, tak ada alasan untuk menunda meskipun sang bos tidak ada di tempat. Pandangan wanita yang tadi datang merambah sekitar. Beberapa orang nampak berlalu lalang di dalam kafe yang terlihat sangat menarik di mata. Di antara bangunan yang berjejer di tepian pantai yang tenang itu, bangunan kafe yang menurutnya memang sangat menarik. Ia tersenyum kecil ketika menyadari siapa yang mungkin mendekorasinya. Sementara itu, si pegawai kafe nampak melirik kecil pada wanita yang masih sibuk dengan pikirannya sendiri, ia kemudian kembali memandang pada sebuah foto yang tentu saja baginya sangat tidak asing. Itu foto Vincent, pria yang tak lain adalah bosnya dan juga pemilik salah stau pengin
Pukul dua siang, mereka sampai di penginapan. Jane melihat sekitar, menghela nafas ketika suasana di ruangan itu tidak banyak berubah. Meskipun di beberapa bagian terdapat debu yang menempel. Lampu gantung di ruang makan, salah satu hal yang menarik perhatiannya lantaran benda itu pernah ia beli untuk hadiah ibu Vincent. Jane juga tidak melewatkan sebuah bunga hidup yang terlihat nampak terawatdi tralis jendela. Bunga-bunga yang kini sayangnya belum berbunga itu adalah tumbuhan kesayangan Maya. Jane masih ingat betul bagaimana perempuan baya itu sangat semangat menjelaskan jenis bunga dan cara menanamnya dengan media air. Pandangan Jane kini tertuju ke luar jendela dapur, di tangan kanannya segelas air putih yang telah berhasil menghalau dahaga sudah di tegak setengah. Grep Jane tersentak namun tak memberikan respon yang berarti. Hanya menyentuh kulit sang pria yang terasa kasar. “Kenapa diam saja, hmm? Ada masalah?” Jane memalingkan wajahnya, menadapati tatapan penasaran dari Vi
Tumpukan barang-barang sudah memenuhi ruang tamu apartemen Jane. Beberapa barang lain yang kemungkinan tidak akan dibawa juga sudah terbungkus lapisan plastik. Tak ada yang tersisa, dipastikan semuanya tetap rapi dan tidak berdebu karena Jane membencinya. Sejujurnya ia tengah memikirkan rencana apa yang akan ia lakukan setelah liburan panjang, kembali bekerja di perusahaan agensi Thomas atau memilih untuk mencari pekerjaan lain yang mungkin sesuai dengan passionnya. Sebagai seseorang yang telah memiliki nama, wanita itu tak terlalu ambil pusing tentang pekerjaan. Menghela nafas pelan setelah selesai dengan acara berkemas, Jane merebahkan tubuhnya di pinggir karpet. Memiringkan tubuh dan menatap dua koper besar yang akan ia bawa yang kini teronggok di ujung ruangan. Tak Pandangan yang tadinya hanya tertuju pada benda mati kini teralihkan pada sosok pria yang selalu menemaninya. Selalu ada untuknya dan kini bahkan rela meminta izin untuk menyelesaikan tugas akhir dari jarak jauh. Se