Share

BAB 5

Author: vee
last update Last Updated: 2023-07-06 03:26:57

Mereka sampai pukul lima sore dengan keadaan langit yang menguning. Beberapa anak berlarian di pinggir pantai yang tampak bersih dan indah. Jane menghela nafas setelah sampai di pekarangan penginapan yang kata si supir adalah tempat yang mereka tuju. Jasmine masih terlihat ngantuk, namun wanita itu tetap memutar lensanya ketika melihat bunga-bunga indah di pekarangan penginapan. 

“Orang-orang mengira kita adalah dua orang mahasiswi yang tengah melakukan study tour jika kau tetap seperti itu,” ucap Jane sembari meletakkan kopernya. 

Ia kemudian duduk di salah atau kursi yang ada di sana. Ketika ia mencoba membuka ponsel, ternyata tidak ada jaringan internet di tempat itu. Sesuatu yang kelewat bagus. Secara otomatis keberadaannya tidak akan terlacak.

“Di sini tidak ada jaringan.”

“Ah, benarkah.” Jasmine membuka ponselnya. “Kau benar.” 

Jane hampir saja menarik satu batang rokok di saku tasnya. Namun hal itu ia urungkan ketika mendengar suara berisik dari dalam rumah. Jasmine juga segera menutup kameranya. 

Mereka bertatapan. 

“Astaga apa kalian yang dikatakan Lilibet? yang akan menginap di sini?”

Jasmine melepas maskernya, dengan sunggingan senyum kecil mengangguk. Jane juga berdiri dan melepas maskernya.

“Ya, kami adalah orang yang akan berlibur dan menginap di sini.”

Dilihat dari reaksi sang wanita itu terlihat sekali jika ia tak mengenali Jane dan Jasmine.

“Saya Maya dan pemilik penginapan ini, mari masuk. Nona-nona cantik ini pasti butuh istirahat sebelum berjalan-jalan,” ucapnya dan membantu membawa koper Jane yang memang terletak lebih dekat dengan pitu. Mereka berdua masuk dengan perasaan yang cukup takjub melihat isi dari penginapan tersebut. 

Penginapan itu di dalamnya terasa sejuk. Dari mulai lantai tembok hingga langit-langit terlihat dari kayu yang memang didesain sedemikian rupa. Semuanya di cat warna coklat mengkilap dengan beberapa ornamen antik yang ada di dinding. Sangat unik. Sofanya terlihat bersih dan Jane bisa mencium bau ruangan itu seperti jeruk segar. Salah satu buah yang ia cintai. 

“Sedikit informasi jika pantai di sini memang hanya diperuntukan khusus untuk seseorang yang memiliki permasalahan sama dengan Anda, Nona.”

Maya menatap Jane yang masih berdiri diam di tempat.

“Tapi tenang saja, semuanya aman di tempat ini. Lilibet juga berpesan pada Anda untuk tidak memikirkan pekerjaan Anda di kota,” jelasnya lagi. Wanita itu kemudian membuka dua kamar yang ada di sana.

Jane pikir pria tua tadi hanya bergurau ketika menjelaskan tentang pantai yang akan mereka kunjungi. Ia tak menyangka jika ini adalah salah satu proses penyembuhannya. Jasmine yang tahu tentang temannya hanya bisa mengelus pelan pundak Jane.

“Di sini adalah tiga kamar, kamar utama paling besar dan—hmm atas nama nona Jane,” ucap wanita itu sembari menatap Jane kembali.

“Kamar mandi sudah disiapkan di dalam kamar, dapur di sebelah kiri semua sudah dipersiapkan,” jelasnya sembari menunjuk satu per satu ruangan yang dia jelaskan.

“Tak jauh dari sini ada sebuah kafe, kalian bisa memesan makanan manis di sana. Oh, ada pasar tradisional juga jika nona-nona ingin berbelanja.”

Jasmine mendengar penjelasan itu sambil mengambil langkah menuju kamar yang berada tepat di depan kamar utama. Tidak buruk sama sekali dan terasa nyaman meskipun tampilannya tak jauh berbeda dengan ruang tamu. 

Maya izin pergi kembali ke rumahnya ketika selesai menjelaskan. Wanita itu juga mengatakan jika mereka bisa membawa masing-masing kunci yang ada di pintu ketika hendak keluar. Jane menjatuhkan tubuhnya ke sofa, kemudian melepas kemejanya. Menyisakan kaos tanpa lengan ketat. 

“Kau harus menikmati hari-harimu di sini,” ucap Jasmine yang kini sudah berganti dengan kaos kebesaran dan celana pendek. Rambut pirangnya yang tadi tergerai, kini tergulung rapi. Ia ikut duduk di samping Jane dan pandangan mereka terarah ke luar jendela. View-nya benar-benar tepat. Mereka berdua terdiam, pikiran-pikiran aneh yang tadi melayang-layang di kepala Jane juga menghilang ketika wanita itu mengagumi betapa indahnya sunset di tempat itu. 

“Tempat ini begitu indah dan menenangkan,” gumam Jasmine dan dalam diamnya, Jane mengiyakan ucapan temannya tersebut. 

*****

Suasana di sebuah kafe nampak seperti biasa. Pengunjung kebanyakan adalah orang-orang asing yang tak berasal dari area pantai itu. Mereka nampak lebih hidup ketimbang saat-saat mereka datang. 

“Ku dengar ada pendatang baru, kemungkinan adalah salah satu pasien hasil rekomendasi,” ucap seorang pria dengan pakaian santainya.

Menyesap pelan late yang baru ia pesan. Posisi duduknya yang berada di bar kafe membuat ia bisa melihat seluruh aktivitas di kafe. Sebenarnya bar tidak diperuntukan untuk pelanggan dan pria itu adalah pelanggan yang memang tidak tahu malu. 

Sementara pemilik kafe juga tidak mempermasalahkannya. Mereka adalah teman sebaya dan terlalu sering melihat tingkah seenaknya dari temannya, Jeremy.

Vincent, pemuda berusia dua puluh sembilan tahun, berpakaian tak kalah santai.  Fitur wajahnya yang tegas membuat tak banyak orang menatapnya dengan berani, hidungnya tinggi dengan tatapan matanya yang tajam.

“Sampai kapan tempat ini menjadi tempat pembuangan orang-orang gila.”

“Vincent, mulutmu benar-benar perlu dilakban,” ucap Jeremy  menatap temannya dengan sinis.  Vincent hanya mendengus, kadang kala ia muak sendiri melihat kafenya dipenuhi oleh pasien depresi yang bahkan kadang kala terlihat lebih menyedihkan meskipun pakaiannya terlihat mewah.  

“Sudahlah, jangan berbicara begitu. Aku tau kau juga peduli dengan mereka. Secara tidak langsung, kafemu ini membantu mereka meringankan beban pikiran mereka,” ucap Jeremy dengan senyuman yang hanya ditanggapi helain nafas oleh sanga kawan.

Vincent memang orang asli tempat itu, namun dua tahun lalu ia menjadi lulusan terbaik di universitas Kanada, tempatnya menimba ilmu. Ketimbang mencari pekerjaan di luar daerah seperti saran orang terdekatnya. Pria itu malah melipir ke pinggir pantai yang sepi dan membangun kafe dengan makanan sehat. 

Ia tidak tahu motivasi apa yang mendasari dan menjadi konteks dari apa yang ia lakukan. Hanya  mengikuti insting jika kafenya akan banyak pelanggannya. Semua terbukti sekarang, meskipun ada yang diluar prediksinya. 

“Aku pernah melihatnya, namuan sebagai orang yang tidak ingin membuatnya risih lebih baik untuk pura-pura tidak tahu.”

“Maksudmu?” 

Jeremy menatap keluar jendela, tepat pada dua orang wanita dengan pakaian santai yang tampaknya memang akan menuju kafe Vincent.

“Mereka berdua adalah model populer di kota dan yeah, sayangnya berakhir di tempat ini.”

******

Jane memandang sekeliling kafe. Tatapannya tertuju pada beberapa furniture unik yang ada di dinding. Tembok yang menghadap ke laut sebagian besar dibuat dari kaca. Tak terlalu silau lantaran di depan ada tanaman hias yang mampu menghalau sinar matahari meskipun tidak sampai menutupi keindahan pantainya. 

Kafe itu memiliki pengunjung yang lumayan. Pelayan juga terlihat melayani dengan ramah pada setiap meja yang mereka hampiri. Satu hal yang membuat Jane cukup meyakini jika tempat itu memang ‘khusus’ adalah sebagai besar pengunjung duduk sendirian dan tak melakukan apapun selain menikmati kue manis dan melihat pemandangan sore pantai. Definisi dari refreshing sesungguhnya. 

“Kau pesen apa?”

Jane tersentak, tak menyadari jika mereka telah sampai di depan meja pemesanan. Pandangannya tertuju pada beberapa makanan manis yang ada di depannya. Anehnya di depan etalase ada catatan kecil yang berisi kandungan dari setiap kue dan roti yang ada. 

“Kue rasa blueberry dan coklat yang rendah lemak,” ucapnya sembari mendongak. 

Tatapannya bertemu dengan milik pemuda dibalik meja pemesanan. Retina pemuda itu berwarna coklat menyala, namun terbingkai oleh tatapan tajam nan dingin. Ketimbang manis, mata itu menjadi elegan dan misterius. Jane agak terkejut ketika Jasmine tak sengaja menyenggol bahunya ketika bergeser untuk melihat menu lain di etalase.

“Tuan, aku ingin kue rasa stroberi ini dan minuman apa yang ingin kau pesan?” tanya Jasmine lagi.

“Huh, ah, yah aku terserah padamu,” ucap Jane. 

Jasmine kemudian menyebutkan lemon tea dan Jane tak keberatan. Ia hanya menambahkan jika minuman miliknya tidak perlu diberi gula atau pemanis apapun. Sang pria tak berkomentar apapun, selain mencatat pesanan dan setelahnya dua wanita itu memilih meja yang sekiranya membuat mereka nyaman. Meja pojok dengan dua meja di barisan itu menjadi pilihan Jane dan Jasmine menyetujui usulan sang teman. 

Tatapan mata Jane melayang ke arah lautan. Matahari terbenam terlihat cantik dari tempatnya duduk. Suara ombak di lautan benar-benar sebuah bunyi yang menenangkan pikirannya,secara pribadi hal itu membuat dirinya merasa nyaman dan rileks. 

“Jane?”

Jane mengalihkan perhatian pada Jasmine. Alis kanannya terangkat. Menunggu kalimat yang akan dikatakan sang teman setelah memanggilnya. Namun wanita berambut pirang itu malah menunjuk satu objek di belakang Jane. 

“Ada apa?”

“Kalau lihat pria itu, entah kenapa dia menatap meja kita terus. Aku menyadarinya sejak masuk ke kafe tadi,” ucap Jasmine dengan nada sedikit berbisik.

Jane membalikkan badan. Wanita itu dengan sangat mudah menemukan sosok pria dengan pakaian santai yang kini masih memperhatikan mereka. Kemungkinan, ia belum sadar jika Jane dan Jasmine menyadari apa yang dilakukannya. Hal itu semakin aneh ketika sang pemuda asing melempar senyum. Jane menatapnya aneh. Merasa terganggu dengan perilaku tersebut, ia pun beranjak dari kursi dan hendak menghampiri pria asing dengan kaos abu-abu yang menurutnya cukup mencurigakan. Jasmine sempat ingin menahannya namun keburu Jane melangkah cepat. 

“Maaf apakah Anda mengenal kami?” 

Sang pria yang mendapat pertanyaan itu  terlihat terkejut di tempat duduknya. Mata sipitnya agak melebar ketika menyadari salah satu wanita yang tadi secara tidak sadar ia perhatikan kini berdiri di depannya dengan kedua tangan terlipat di depan dada dan jangan lupakan tatapan curiga Jane. 

“Ah, maaf  jika mengganggu liburan kalian. Saya salah satu penggemar kalian,” ucap pria itu.

Jane tak memberikan respon berarti kecuali tatapannya yang datar. Pria itu terlampau payah berbohong dan ia hanya ingin memastikan jika pria asing yang kini terlihat salah tingkah itu buka haters atau paparazi. Jane datang hanya untut menyegarkan pikiran, bukan malah menciptakan masalah baru.  

“Maaf, Nona. Saya memang bukan penggemar Anda. Kebetulan saya tahu Anda karena saya seorang photografer dulu dan serius, saya tak memiliki niat buruk atau niat apapun. Hanya terpesona melihat dua wanita can—ah maksud saya melihat dua model populer ada di pantai kecil ini,” jelasnya. Tangannya secara spontan bergerak random sekana menunjukkan jika ia tidak berbohong dengan penjelasan tersebut.

Beberapa orang yang ada di sekitar mereka tak tertarik dengan obrolan tersebut, terbukti tak ada yang menengok atau bahkan melirik. Semua terfokus pada kegiatan masing-masing. 

Raut wajah Jane yang tadi penuh kerutan dengan tatapan tajam,  kini berangsur melunak. Namun ia tak mengurai lipatan tangannya. Belum juga ia menanggapi penjelasan sang pria. Suara asing mengintrupsi mereka. 

“Ada apa ini, Jer?”

Jane berbalik dan saat itu juga tatapannya  bertemu kembali dengan pria bermata coklat yang sebelumnya berada di balik meja pemesanan. Ada sesuatu yang cukup menarik perhatian Jane. Jika tadi pemuda itu menggunakan atribut karyawan. Kini lebih terlihat seperti pemilik kafe, pikir Jane. Penampilan pria itu  dengan kemeja putih tergulung ke siku dan celana pendek membuatnya terlihat lebih maskulin.

“Tidak ada apa-apa. Ini salahku karena mengganggu kenyamanan mereka,” ucap Jeremy, merasa bersalah lantaran tatapannya yang memang terbiasa jelalatan membuat temannya kerepotan. Mungkin beberapa pelanggan merasa terganggu dengan Jane dan dirinya meskipun tak secara terang-terangan.

Pandangan Vincent beralih pada Jane yang nampak mengalihkan pandangan pada  temannya yang kini mengayunkan tangannya menunjuk pada meja yang berisi makanan yang telah ia esan. Jane menghela nafas, mengurai lipatan tangannya dan menatap Jeremy. Gerakan-gerakan itu tertangkap dengan muda pada indra penglihatan Vincent.

“Lain kali bisa kau jaga pandanganmu, karena itu cukup mengganggu.”

“Maaf, Nona Jane.” 

Jane mendengus, tatapannya kembali bertemu dengan milik Vincent sebelum ia berlalu menuju mejanya. DI sana ia sudah disambut respon heboh kawannya.

“Astaga aku tidak tahu di tempat seperti ini ada pangeran tampan,” komentar Jasmine yang sudah pasti ditunjukkan pada  dua pria yang tengah berbincang. 

“Sudahlah, ayo makan dan kembali ke penginapan sebelum gelap.”

“Huh, selalu saja. Kalau membicarakan orang tampan, kau selalu mengalihkan perhatian,” ucap Jasmine sebelum kemudian fokus pada pesanannya. Memakannya pelan-pelan sesuai dengan table manner yang pernah ia pelajari. Jane pun demikian, menikmati makanan manisnya dan pemandangan sore pantai yang begitu indah. 

Di ujung sana, langit menjadi ke ungungan dengan orange yang mendominasi. Laut di pantai itu begitu tenang dan pasir putihnya yang menawan. Ia tak menyesal psikiaternya menyuruhnya untuk datang ke tempat itu. Meskipun di beberapa menit ia akan kepikiran tentang nasib Lucas, namun ia hanya berharap pemuda itu tidak mendapatkan teror dari perusahaan terlebih Lucas juga tengah sibuk dengan keluarganya. 

Ting

Suara dentingan pintu masuk membuat Jane mengalihkan perhatian. Pintu masuk memang berada lurus dari jangkauan mata Jane. Seorang gadis dengan dress putih selutut berjalan riang ke dalam kafe dengan bingkisan di tangannya. Ia terlihat ramah dengan senyuman yang tak luntur dan sapaan yang terus diterimanya dari pelayan dan pengunjung, sampai kemudian langkahnya agak cepat ketika menghampiri meja yang tadi sempat Jane datangi. Pemuda bermata coklat menyambutnya dengan senyuman dan  pelukan hangat. 

Jane mengalihkan pandangan ketika menyadari kelakuannya dan memilih kembali menikmati cake yang dia pesan. 

“Yahhh, dia ternyata punya kekasih,” ucap Jasmine dramatis, sambari menunjuk dengan garpu, Jane yang melihat itu tentu langsung menepis lengan temannya. 

“Tapi, gadis itu terlihat terlalu sederhana untuk pria panas berbaju putih itu.”

“Kau—kebiasaanmu mengomentari penampilan orang benar-benar mirip ibumu,” ucap Jane sinis. Membuat Jasmine langsung tertawa. 

Suaranya nyaring membuat kedua pria yang tadi sibuk dengan isi bingkisan langsung mengalihkan perhatian mereka. 

“Mereka orang baru?” tanya gadis yang berdiri di antara kedua pria itu. Namanya Naomi, wanita yang berprofesi sebagai perawat di pesisir dan mungkin satu-satunya wanita yang dekat dengan Vincent

“Ya, mereka pendatang baru,” jawab Jeremy.  

Ia menggeleng kecil dan menahan seringai ketika mendapati sang kawan malah terpaku pada satu sosok yang kini tengah kembali berbincang dengan temannya di temani semburat indah matahari sore di luar kafe. 

Related chapters

  • Pria Menyebalkan Itu Penawarku   BAB 6

    Jane pikir pertemuan itu adalah pertemuan pertama dan terakhir, mungkin ia tak akan bertemu pria bermata coklat itu lagi ketika ia ak berkunjung ke kafe, tapi ternyata dugaan itu salah. Ia kembali bertemu dengan pria itu di pagi yang bahkan belum menunjukkan senyum cerahnya. Langi masihi gelap, suasana sekitar masih sunyi meskipun deburan ombak laut di ujung terdengar samar. Jane tidak bisa tidur memilih untuk keluar setelah menghabiskan puluhan lembar halaman novel yang direkomendasikan oleh Lilibet. Oleh karena itu, wanita tersebut kini berdiri tegak dengan jaket hangatnya ketika ia bertemu dengan pria bermata coklat yang kini tengah mengangkat beberapa kotak styrofoam yang sudah pasti isinya ikan atau hewan laut lainnya. Pria itu terlihat menarik dengan bisepnya yang kuat ketika mengangkat barang-barang. Rambut yang berwarna hitam nampak menari ketika terkena angin dan Jane yang sejak tadi hanya berdiri diam merasa bodoh sendiri lantaran memperhatikan pria itu. Dirinya adalah seo

    Last Updated : 2023-07-07
  • Pria Menyebalkan Itu Penawarku   BAB 7

    “Aku tidak ingat kau kenal dekat dengan pemuda pemilik kafe. Like, what?!! Bagaimana bisa dengan percayanya kau pergi dengannya di pagi buta,” kata Jasmine seraya berkutat dengan kamera kesayangannya. Kaki gadis itu sesekali menendang pasir putih di bawahnya, sesekali juga menggerutu lantaran bidikannya tidak tepat. "Tak sengaja. Ia ingin mengajakku ke tempat yang tepat melihat matahari terbit," jelas Jane. Jasmine kembali menggerutu tentang seberapa bahaya jika mereka berkeliaran sendirian, terlebih tempat asing yang belum mereka kenal. Jane memilih untuk mengabaikan celoteh Jasmine, ia hanya ingin menikmati suasana pantai dengan damai. Di sekeliling mereka tidak banyak orang berlalu lalang, hanya beberapa wanita yang ang nampak berbincang dan berpisah dengan orang lain. Hanya orang-orang yang sama dengannya yang ada di pantai ini. Sudah tentu kebisingan tidak akan cocok untuknya. Pandangannya mengedar, melihat beberapa anak-anak yang ang nampak bermain pasir dan membentuknya m

    Last Updated : 2023-07-08
  • Pria Menyebalkan Itu Penawarku   BAB 8

    Menjadi model atau apapun yang berkaitan dengan bidikan kamera, tidak semenyenangkan yang orang lain bayangkan. Bahkan untuk mereka yang setiap hari hilir mudik di layar televisi, pekerjaan ini tidak seindah apa yang terpampang di depan kamera. Banyak orang bicara dalam sebuah siaran televisi atau podcast, tentang bagaimana rasanya menjadi seorang yang menjadi pusat perhatian. Jane kira, orang-orang yang bicara tentang rumitnya hidup di tengah dunia hiburan adalah orang yang terlampau berani, Jane masih sering kali ketakutan untuk berbicara pada dunia jika dirinya tidak sesempurna yang mereka pikirkan di depan kamera. Apa yang ada di depan kamera, tidak selalu sama dengan apa yang ada di belakang kamera. Banyak rules yang sebenarnya harus dipelajari terlebih dahulu. Meskipun begitu, masih banyak orang berlomba-lomba melakukan segala hal untuk bisa masuk industri hiburan, bukan masalah, mereka akan tahu bagaimana industri itu berjalan ketika sudah masuk dan menjalani. Seberapa gelap

    Last Updated : 2023-07-11
  • Pria Menyebalkan Itu Penawarku   BAB 9

    Sore hari tidak terlalu bagus seperti biasanya. Jane dan Jasmine berjalan di area sekitar penginapan. Sebenarnya kegiatan yang mereka lalui di tempat itu memang hanya dua hal, menikmati suasana pantai dan berbelanja. Namun kali ini dan dari kemarin, mereka tidak pergi ke pasar atau tempat aksesoris sama sekali. Selain karena bahan makanan yang masih melimpah, dua wanita itu ingin menghabiskan waktunya untuk bersantai benar-benar menikmati suasana sekitar yang masih segar, jauh berbeda dengan tempat tinggal mereka di kota. Suara tali tambang yang sengaja nelayan pasang untuk menangkap ikan membuat Jane mengalihkan perhatian. Sekumpulan laki-laki dewasa dengan topi bundar menarik tambang bersama-sama, sebelum disauti dengan suara gemuruh kegembiraan lantaran jaring mereka memberikan hasil yang lumayan. Jane ikut tersenyum tanpa sadar ketika melihat salah satu diantara mereka nampak melompat-lompat kecil dengan ucapan syukur yang tak terputus. Jasmine melihat kawannya dengan heran.

    Last Updated : 2023-07-13
  • Pria Menyebalkan Itu Penawarku   BAB 10

    Ketika masih di usia sekolah dulu, Jane sering melihat ayah dan ibunya bertengkar. Sebagai anak kecil, tentu hal semacam itu terdengar menyeramkan. Terlebih ketika ayahnya sudah mulai melempar barang-barang rumah ke ibunya. Beberapa kali, ia melihat ibunya terlihat memar di bagian wajah dan juga tubuh lainnya. Ibunya sering menangis ketika malam hari tanpa sepengetahuan ayahnya dan saat itu Jane masih belum tahu sebenarnya apa yang terjadi terhadap keluarganya sampai kemudian ia masuk usia remaja. Tidak bisa dikatakan remaja sebenarnya, karena masa ia baru saja keluar dari sekolah dasar gratis yang ada di kawasan kumuh. Jane yang bahkan belum memahami apa yang terjadi di lingkungan dengan baik, secara mengejutkan menjadi pelampiasan kemarahan ibunya. Mungkin terdengar aneh ketika Jane menjadi pelampiasan ibunya yang telah memendam amarah itu sejak lama. Jane tidak habis pikir bagaimana sang ibu memukulnya sama seperti ayahnya memukul ibunya.“Kau anak pembawa sial! seharusnya kau t

    Last Updated : 2023-07-14
  • Pria Menyebalkan Itu Penawarku   BAB 11

    “Dia hanya kelelahan." “Apa? Jane bahkan hanya berkeliling dan tidak melakukan kegiatan apapun. Bagaimana bisa kau bilang jika dia hanya kelelahan?” “Jika kau tak percaya padaku, kau bisa membawanya ke kota untuk dirujuk.” Percakapan itu terdengar di telinga Jane. Dengan pelan, Jane mengerjakan matanya. Buram, putih dan abu-abu sebelum kemudian sedikit demi sedikit semua menjadi terlihat lebih jelas. Lampu kamar? Kamarnya di penginapan. Lalu pandangannya beralih pada lampu tidur kecil yang memang selalu ada di dekat kasurnya. Ia menoleh ketika merasakan elusan pelan ia terima di punggung tangan. “Kau sudah sadar?” Kenapa—pertanyaan sederhana itu terdengar menenangkan. Bagaimana bisa pertanyaan sederhana seperti itu terasa hangat seperti duduk di dekat tungku api di musim dingin. Vincent, pemuda itu menggenggam tangannya erat, namun hal itu membuat Jane segera menarik tangannya hingga terlepas. Bersentuhan intens dengan orang lain cukup menakutkan untuknya. Selama ini ia

    Last Updated : 2023-07-16
  • Pria Menyebalkan Itu Penawarku   BAB 12

    Jika berbicara tentang masa lalu Jane bingung harus memulainya dari mana. Dari yang pahit atau yang paling pahit, kah? Wanita itu sering berpikir jika sebenarnya tidak akan ada yang tertarik dengan sebuah kisah kelam. Namun, siapa yang menduga jika ternyata kisah sedih bisa mendongkrak seseorang untuk lebih bersimpati. Jujur Jane tak membutuhkan hal semacam itu. Ia mungkin akan menceritakan sedikit tentang masa lalunya, bukan untuk dikasihani. Namun, hanya untuk pengingat bahwa kupu-kupu cantik pun pernah direndahkan lantaran dulunya hanya seekor ulat menjijikkan. Saat itu umur Jane masih dua belas tahun. Jane tinggal di sebuah kawasan kumuh. Suasana di daerah itu selalu terlihat mendung dan murung. Lingkungan terpinggirkan dan barangkali dilupakan oleh orang-orang berkuasa. Daerah yang penuh timbunan sampah yang mana ternyata memiliki banyak manusia yang mendiaminya.Jane tidak pernah menginginkan dirinya dilahirkan di situasi yang cukup bisa dikatakan buruk. Sebagai anak, ia ti

    Last Updated : 2023-07-16
  • Pria Menyebalkan Itu Penawarku   BAB 13

    "Aku mendengar kau sakit oleh karena itu langsung terbang kemari meskipun tidak bisa lama-lama disini. Dia jam lagi aku harus kembali ke kota.”Jane menghela nafas dan mengangguk. Tatapannya tertuju pada pot bunga kecil yang ada di tengah meja. “Kau kenal Vincent?”Lilibet yang tadinya hendak minum lemon teanya harus tertunda saat ia mendengar nama seseorang yang tak asing baginya. Dahinya mengkerut sebelum kemudian terkekeh. “Wah, kau sudah bertemu dengn pria itu? ya, dia temanku.”“Jadi penginapan ini milik ibunya? miliknya?”Lilibet mengangguk. “Yap, secara tidak langsung memang milik Vinct. Aku penasaran bagaimana kalian bisa bertemu, maksudku pria itu cukup cuek terhadap wanita.”Jane mengedikkan bahunya.“Pertemuan yang tidak berkesan, aku berkunjung ke kafe miliknya dan yeah pertemuan yang tidak disengaja lainnya terjadi.”“Sayang sekali, ku kira kau bertemu dengnnya dengan cara yang romantis, mungkin.”“Dia sudah memiliki calon istri.”“Wow, benarkah? Aku merasa kau terliha

    Last Updated : 2023-07-18

Latest chapter

  • Pria Menyebalkan Itu Penawarku   BAB 89

    ‘Halo?’ Sebuah suara berat terdengar di seberang sana. Jane memperbaiki posisi duduknya. Ia tengah berada di halaman belakang kafe saat ini. Tempat itu adalah tempat yang penuh kenangan untuknya, lantaran disana ia pernah menanam bunga bersama Maya, ibu Vincent. ‘Halo? Tolong katakan sesuatu jika memang ada sesuatu yang penting.’ “Apakah Anda suami wanita yang bernama Luis?” Suara benda bergeser di seberang yang terdengar nyaring membuat Jane sejenak menjauhkan ponselnya. ‘Ya, ini siapa? Apakah Anda tengah bersama wanita gila itu?’ saut di sebarang, suara pria itu terdengar keras dan tak bersahabat. “Saya tahu keberadaannya. Bisa Anda sedikit ceritakan apa yang terjadi tentang Anda dan Lusi?” tanya Jane dengan tenang. Terdengar helaian nafas di seberang sana. ‘Siapa Anda? Aku tdiak mungkin menceritakan perkara rumah tangga ku pada orang asing,’ saut laki-laki itu. Jane kembali melihat sekitar, kafe nampak sibuk dan ia tak menemukan akan adanya gangguan untuk hal ini. “Na

  • Pria Menyebalkan Itu Penawarku   BAB 89

    ‘Halo?’ Sebuah suara berat terdengar di seberang sana.Jane memperbaiki posisi duduknya. Ia tengah berada di halaman belakang kafe saat ini. Tempat itu adalah tempat yang penuh kenangan untuknya, lantaran disana ia pernah menanam bunga bersama Maya, ibu Vincent.‘Halo? Tolong katakan sesuatu jika memang ada sesuatu yang penting.’“Apakah Anda suami wanita yang bernama Luis?”Suara benda bergeser di seberang yang terdengar nyaring membuat Jane sejenak menjauhkan ponselnya.‘Ya, ini siapa? Apakah Anda tengah bersama wanita gila itu?’ saut di sebarang, suara pria itu terdengar keras dan tak bersahabat.“Saya tahu keberadaannya. Bisa Anda sedikit ceritakan apa yang terjadi tentang Anda dan Lusi?” tanya Jane dengan tenang.Terdengar helaian nafas di seberang sana.‘Siapa Anda? Aku tdiak mungkin menceritakan perkara ru

  • Pria Menyebalkan Itu Penawarku   BAB 90

    Sore hari yang terik, tidak diduga pria yang baru diketahui Jane bernama Kevin itu benar-benar datang ke pesisir. Pakaiannya nampak rapi, Jane bisa melihat aura karismatik menguar dari pria itu. Namun, yang membedakan adalah struktur wajahnya yang memang lebih ke barat-baratan.Pria itu nampak kalem, bahkan lebih kalem dari pada apa yang Jane duga sebelumnya. Tak ada raut marah, yang ditemukan Jane adalah kerinduan pada sang putra yang barang kali telah lama tidak bertemu.Leo, anak kecil itu terlihat nyaman dipelukan ayahnya yang belum mengeluarkan suara apapun ketika datang. Anak kecil itu sepertinya juga tahu betul siapa orang tau aslinya. Sementara itu, Lusi nampak membuang muka, duduk di single sofa yang berada dekat dengannya.“Jadi—apakah kau akan tetap disini? Jika iya, aku akan membawa Leo bersamaku,” ucap pria matang itu dengan mantap.Pandangan mata Lusi nampak memicing, namun bibirnya tidak mengatakan apapun.“Kau tak keberatan jika anakmu dibawa ayahnya?” tanya Jane, men

  • Pria Menyebalkan Itu Penawarku   BAB 89

    ‘Halo?’ Sebuah suara berat terdengar di seberang sana. Jane memperbaiki posisi duduknya. Ia tengah berada di halaman belakang kafe saat ini. Tempat itu adalah tempat yang penuh kenangan untuknya, lantaran disana ia pernah menanam bunga bersama Maya, ibu Vincent. ‘Halo? Tolong katakan sesuatu jika memang ada sesuatu yang penting.’ “Apakah Anda suami wanita yang bernama Luis?” Suara benda bergeser di seberang yang terdengar nyaring membuat Jane sejenak menjauhkan ponselnya. ‘Ya, ini siapa? Apakah Anda tengah bersama wanita gila itu?’ saut di sebarang, suara pria itu terdengar keras dan tak bersahabat. “Saya tahu keberadaannya. Bisa Anda sedikit ceritakan apa yang terjadi tentang Anda dan Lusi?” tanya Jane dengan tenang. Terdengar helaian nafas di seberang sana. ‘Siapa Anda? Aku tdiak mungkin menceritakan perkara rumah tangga ku pada orang asing,’ saut laki-laki itu. Jane kembali melihat sekitar, kafe nampak sibuk dan ia tak menemukan akan adanya gangguan untuk hal ini. “Nam

  • Pria Menyebalkan Itu Penawarku   BAB 88

    ‘Lusi? Aku seperti tidak asing dengan nama itu,’ ucap Lilibet di seberang. Jane kini tengah berada di halaman belakang penginapan. Ia sudah cukup muak dengan apa yang dilakukan Lusi dengan anaknya. Yeah, Jane cukup paham memang jika ia tak seharunya cemburu dan jengkel dengan bayi kecil yang belum tahu apa-apa itu. Namun, wanita itu juga tak bisa membendung kekesalannya lantaran sang ibu dari bayi itu sangat mengganggu waktu liburannya dengan Vincent. “Bisakah kau tanya pada teman-temanmu di Inggris?” ‘Ya, tunggu sebentar. Memangnnya apa yang terjadi?’ Terdengar suara ketikan di seberang, sepertinya Lilibet benar-benar tengah menanyakan tentang siapa wanita asing itu. “Dia dan anaknya benar-benar mengganggu waktuku dan Vincent. Sejak kedatangannya kemari, wanita itu selalu membawa anaknya kemari dengan alasan jika anaknya tengah mencari Vincent,” keluh Jene. ‘Ah, sepertinya kau memang selalu memiliki banyak rintangan ketika ingin menjalani hubungan dengan Vincent secara biasa,’

  • Pria Menyebalkan Itu Penawarku   BAB 87

    “Aku sering melihat foto kakak,” ucap seorang anak yang Jane temui di dekat pantai hari ini. Sekitar satu jam semenjak Jane memilih untuk berdiam diri di gazebo yang ada di pinggir pantai. Suasana yang masih cukup suram untuk dirinya dan sekitar, membuatnya memilih untuk pergi lebih jauh. Ujung kakinya menyentuh pasir yang lembut, pasir yang terasa nyaman untuk kaki telanjangnya. Beberapa hewan kecil nampak berlarian dengan bebar, tanpa memikirkan tentang apa yang akan terjadi jika mereka keluar dari sarang. Suasan yang tadinya tenang bagi Jane yang masih dilanda kemarahan, harus dirusak dengan kedatangan seorang gadis kecil yang asing baginya. Bajunya kumal dengan beberapa jahitan tak rapi di sekitar lengan. Kancing bajunya juga taksama antara satu dengan lainnya. Jane masih terdiam, memperhatikan si bocah cilik yang kini tengah bercoleteh tentang dirinya yang masih duduk di bangku sekolah dasar dan juga teman-temannya yang sering menjahili dirinya. “Apakah—kau takut ketika teman-t

  • Pria Menyebalkan Itu Penawarku   BAB 86

    “Kami mengenalnya dan kebetulan kafe ini miliknya,” ucap seorang wnaita berseragam yang nampak memandang secarik kertas di tangan. Suasa kafe tak terlalu ramai hari ini lantaran gerimis di pagi buta. Suasana masih cukup dingin untuk berkatifitas di luar. Meskipun demikian kafe wajib buka sesuai dengan jamnya, tak ada alasan untuk menunda meskipun sang bos tidak ada di tempat. Pandangan wanita yang tadi datang merambah sekitar. Beberapa orang nampak berlalu lalang di dalam kafe yang terlihat sangat menarik di mata. Di antara bangunan yang berjejer di tepian pantai yang tenang itu, bangunan kafe yang menurutnya memang sangat menarik. Ia tersenyum kecil ketika menyadari siapa yang mungkin mendekorasinya. Sementara itu, si pegawai kafe nampak melirik kecil pada wanita yang masih sibuk dengan pikirannya sendiri, ia kemudian kembali memandang pada sebuah foto yang tentu saja baginya sangat tidak asing. Itu foto Vincent, pria yang tak lain adalah bosnya dan juga pemilik salah stau pengin

  • Pria Menyebalkan Itu Penawarku   BAB 85

    Pukul dua siang, mereka sampai di penginapan. Jane melihat sekitar, menghela nafas ketika suasana di ruangan itu tidak banyak berubah. Meskipun di beberapa bagian terdapat debu yang menempel. Lampu gantung di ruang makan, salah satu hal yang menarik perhatiannya lantaran benda itu pernah ia beli untuk hadiah ibu Vincent. Jane juga tidak melewatkan sebuah bunga hidup yang terlihat nampak terawatdi tralis jendela. Bunga-bunga yang kini sayangnya belum berbunga itu adalah tumbuhan kesayangan Maya. Jane masih ingat betul bagaimana perempuan baya itu sangat semangat menjelaskan jenis bunga dan cara menanamnya dengan media air. Pandangan Jane kini tertuju ke luar jendela dapur, di tangan kanannya segelas air putih yang telah berhasil menghalau dahaga sudah di tegak setengah. Grep Jane tersentak namun tak memberikan respon yang berarti. Hanya menyentuh kulit sang pria yang terasa kasar. “Kenapa diam saja, hmm? Ada masalah?” Jane memalingkan wajahnya, menadapati tatapan penasaran dari Vi

  • Pria Menyebalkan Itu Penawarku   BAB 84

    Tumpukan barang-barang sudah memenuhi ruang tamu apartemen Jane. Beberapa barang lain yang kemungkinan tidak akan dibawa juga sudah terbungkus lapisan plastik. Tak ada yang tersisa, dipastikan semuanya tetap rapi dan tidak berdebu karena Jane membencinya. Sejujurnya ia tengah memikirkan rencana apa yang akan ia lakukan setelah liburan panjang, kembali bekerja di perusahaan agensi Thomas atau memilih untuk mencari pekerjaan lain yang mungkin sesuai dengan passionnya. Sebagai seseorang yang telah memiliki nama, wanita itu tak terlalu ambil pusing tentang pekerjaan. Menghela nafas pelan setelah selesai dengan acara berkemas, Jane merebahkan tubuhnya di pinggir karpet. Memiringkan tubuh dan menatap dua koper besar yang akan ia bawa yang kini teronggok di ujung ruangan. Tak Pandangan yang tadinya hanya tertuju pada benda mati kini teralihkan pada sosok pria yang selalu menemaninya. Selalu ada untuknya dan kini bahkan rela meminta izin untuk menyelesaikan tugas akhir dari jarak jauh. Se

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status