“Jadi kau menolaknya?” Tanya Jasmine.
Jane tak perlu menjawab pertanyaan itu lantaran sudah terlalu jelas jawabannya.
Pandangannya fokus pada pemandangan di luar kereta, suara gesekan mesin yang terdengar sangat nyaring namun tak membuat suasana kereta teredam.
Ini adalah pengalaman kabur paling mengesankan yang mungkin akan menghancurkan karirnya. Namun siapa yang akan peduli, jika Jane dikeluarkan dari perusahaan hiburan tempat ia bernaung saat ini, maka ada kontrak lain yang tengah menunggunya untuk ditandatangani dan untuk Jasmine, wanita itu terlampau nekat dan bahkan ia memang berencana membangkang pada ibunya.
“Lagi pula apa pria itu tidak tahu siapa dirimu, kenapa berani sekali menawarimu hal semacam itu,” gerutu Jasmine.
“Yeah, semua laki-laki memang sama saja.”
Kekehan Jasmine terdengar tapi masih kurang nyaring ketimbang pembicaraan segerombolan wanita-wanita tua yang duduk di kursi belakang mereka.
Dua wanita yang memiliki pekerjaan sebagai seorang model itu tengah berada di dalam kereta ekonomi. Sebuah kesengajaan dan ide gila yang tercetus di kepala Jasmine selesai subuh, tepat ketika Jane ingin memesan pesawat eksklusif.
Sebuah rencana dan cita-cita masa lalu Jasmine tentang pengalaman menjadi orang biasa meskipun dalam kantong tas kecil yang melekat di tubuhnya ada jutaan dolar cash yang dibawa.
Jasmine membenahi posisi masker yang menutupi sebagian wajahnya. Ia menoleh ke arah kursi samping di barisannya, memandang seorang anak kecil yang terlihat tertarik dengan sepotong kue yang memang sengaja ia bawa. Dirinya dan Jane sudah menghabiskan setengah, kini tinggal sepotong dengan krim yang belepotan.
“Kau mau ini adik manis?” tanya Jasmine tak kira tempat.
Jane hanya melirik anak laki-laki yang takut-takut menatap ibunya tertidur. Mereka duduk bersebelahan dan membuat kedua wanita itu dengan leluasa menatap sang anak dan ibu dengan barang bawaan mereka. Nampak sekali mereka tengah melakukan perjalanan jauh jika dilihat dari dua koper yang ada di bawah kursi dan terselip di depan mereka.
“Berikan saja, sepertinya dia kelaparan,” ucapan Jane dan membuang muka.
Ia benci tatapan mata anak kecil itu. Jane pernah merasakan tidak memiliki uang dan kelaparan. Tatapan mata anak itu mengingatkannya pada apa yang pernah ia lalui di masa lalu. Tatapan mata anak-anak yang ingin dikasihani dan haus kasih sayang. Jika diingat-ingat rasanya Jane sudah melakukan banyak hal untuk merubah nasib buruknya sejak lahir.
“Apa yang kau makan?”
Suara asing itu membuat Jane kembali memandang sepasang anak dan ibu. Wanita itu kini sudah bangun dari tidurnya. Matanya terlihat lelah dan kantung mata sangat jelas terlihat. Jika dilihat, ia terlihat lebih muda ketimbang dirinya.
“Anak Anda sepertinya menginginkan kue milik saya, tinggal sepotong. Tapi saya jamin itu masih enak dimakan,” ucap Jasmine secara terang-terangan
Jane hanya menatap kedua orang itu tanpa memiliki minat menjelaskan satu dua hal. Karena memang tidak ada yang perlu dijelaskan lagi.
Anak kecil itu menatap ibunya takut-takut, bahkan kunyahannya terhenti. Membuat kedua pipinya menggembung dengan mata bulat yang nampak ketakutan.
“Apa Anda juga mau, saya masih menyisakan beberapa roti manis,” ucap Jasmine kemudian sembari mengeluarkan dua roti dengan namanya tertera di depan bungkus roti.
Sang ibu yang masih terlihat bingung itu mengalihkan perhatian ke anaknya dan berganti pada dua wanita berpakaian tertutup.
“Ah, maafkan anak saya. Hmm, sebenarnya kami memang belum makan dari kemarin,” ucapnya dengan lugu bahkan terdengar polos di telinga kedua wanita dewasa itu.
Dari cara canggung wanita itu menarik sang anak mendekat dan merasa tak enak hati ketika menerima roti dari Jasmine, perkiraan Jane kemungkinan besar tidak meleset. Wanita itu adalah ibu muda dengan satu anak, kemungkinan besar perekonomian mereka cukup buruk.
Jane menghela nafas dan kembali membuang pandangan ke luar jendela. Ia benci dengan sikapnya yang senang mengamati orang-orang. Ia tidak banyak bicara jika dibandingkan Jasmine, namun satu kelebihannya adalah pandai memahami situasi dan memahami suasana hati orang lain. Itu menyebalkan dan sering Jane memilih bersikap abai dan acuh tak acuhnya. Namun sayangnya kali ini ia tak bisa mengabaikan bagaimana bocah laki-laki itu terlihat kesulitan menelan bagian terakhir kue.
“Kau bisa berikan ini,” ucap Jane setelah pertukaran pendapat dengan dirinya sendiri tentang apakah ia akan memberikan botol minumnya atau tidak.
“Kebaikan hati Nona akan terganti,” ucap Jasmine dengan kerlingan nakal, sebuah kebiasaan yang akan dikeluarkan ketika Jane berubah lebih perhatian ketimbang dirinya.
Jasmine memberikan satu botol air minum dengan logo brand minuman mahal ke sang anak yang langsung diterima dengan tangan kanan, sedikit menunduk untuk menunjukkan rasa terimakasih, hebatnya anak itu segera mengoper air minumnya pada sang ibu sebelum ia sendiri yang meminumnya.
Setelahnya, Jane dan Jasmine kembali ke perbincangan mereka. Membiarkan kedua orang asing itu beristirahat. Sang anak kini sudah tertidur pulas di pangkuan ibunya dan begitu pula ibunya yang kini terlihat lebih segar ketimbang beberapa saat lalu.
“Menurut berita, Jake memang akan menikahi artis muda dan gadis itu adalah anak rekan bisnisnya. Ada kemungkinan jika itu pernikahan bisnis. Aku tidak tahu kenapa orang sekarang senang sekali menikah dengan cara seperti itu. Sepertinya pernikahan sudah tidak memiliki harga diri lagi,” gumam Jasmine dengan nada provokatif.
Jane terkekeh, baginya menikah memang tidak berharga.
“Jadi apa yang harus kulakukan untuk menghadapi orang seperti dia?”
Jasmine mengerutkan dahi, mata menyipit seakan tengah berpikir keras. Setelahnya ia berdehem keras membuat beberapa orang menatap mereka. Jane memilih menyimpan tawanya ketimbang mendapatkan pukulan dari sang teman. Memang apa yang bisa diandalkan dari otak kosong milik Jasmine. Meskipun wajahnya rupawan, wanita di sampingnya itu memiliki cara pikir yang cukup tak berguna.
“Aku mungkin memiliki jawaban setelah kita liburan satu bulan kedepan, hehehe.”
Benar perkiraan Jane.
*****
Perjalanan memakan waktu hampir lima jam dengan kereta. Membuat Jane yang memang belum terbiasa harus mual beberapa kali setelah keluar peron kereta. Jasmine yang setia menunggui sang teman hanya menggerutu, namun tangannya selalu memijat pangkal leher Jane yang kini kembali memuntahkan cairan perut.
Rasa pahit langsung memenuhi rongga mulut, dengan segera ia berkumur dengan air minum lain yang memang dibawa sebagai jaga-jaga. Satu botol yang diberikan pada orang asing di dalam kereta tentu hanya salah satunya.
Jane menegakkan badan dari posisinya yang tadi membungkuk. Kemudian mengusap ujung bibirnya dengan tisu dan membuangnya ke tempat sampah yang memang disediakan. Pandangannya menyebar pada sebagian besar orang-orang yang lalu lalang keluar peron. Keadaan menurut Jane cukup kacau atau memang dirinya yang tak terbiasa dengan bau menyengat keringat orang lain, wajah berantakan, dan baju kumal yang mereka kenakan.
Namun lamunan itu tak bertahan lama ketika seorang pria tua dengan pakaian yang tak kalah lusuh mendekat. Pria itu tersenyum teduh seakan menunjukkan jika ia tak memiliki niat jahat pada dua wanita muda dengan pakaian tertutup di depannya.
“Saya memiliki jasa antar barang dan itu mobil saya yang bisa mengantar kalian. Jadi ada yang bisa saya bantu?”
Jasmine menarik ujung kemeja hijau yang Jane kenakan. Wanita itu terlihat risih meskipun tatapannya tetap tegak.
Sementara Jane memperhatikan pria itu dan mobil pick up yang ada tak jauh dari posisi mereka. Tak ada mobil lain di sana.
Jane merogoh saku jeansnya dan mengeluarkan satu kupon liburan.
“Bisakah Anda mengantar kami ke tempat ini.”
Sang sopir terlihat tak berani memegang kertas di depannya. Ia hanya mengamati alamat yang tertera. Setelahnya seulas senyum ramah diperlihatkan.
“Kebetulan sekali, tempat itu satu jalur dengan tempat tinggal saya. Saya bisa mengantar kalian.”
Jasmin melepas tarikannya dan memberikan satu koper besarnya pada sang pria yang langsung dibawa dengan langkah ringan. Dari belakang Jane menyeret koper miliknya. Pria itu meletakkan koper dan mbarang bawaan lain kedua wanita itu di belakang. Sementara Jane dan Jasmine duduk di depan.
“Jadi kalian dari kota?” tanya pria itu ketika mereka sudah ada di dalam mobil.
“Ya kami dari kota, kebetulan libur kerja jadi memutuskan berlibur setelah seorang rekan memberikan kami kupon liburan gratis,” jelas Jane.
Pria itu mengangguk dan mengatakan jika ia merasa beruntung bisa mengantar mereka.
“Tempat itu sebenarnya bukan tempat liburan. Setahu saya banyak warga yang kurang setuju jika dikunjungi karena ada kemungkinan bisa merusak lingkungan,” ucap sang sopir.
Dahi Jane mengernyit, tak paham dengan maksud dari penjelasan singkat tersebut.
“Namun kemudian, sekitar satu tahu lalu. Ada krisis perekonomian menimpa penduduk pantai dan mau tidak mau jalan satu-satunya adalah memperbolehkan pantai tersebut sebagai tempat wisata. Kalau tidak salah, sebenarnya hanya khusus untuk orang-orang yang memiliki masalah.”
“Maksudnya?” tanya Jane cepat. Si sopir tersenyum kecil.
“Kebanyakan yang pergi ke pantai tersebut memiliki stres berlebihan dan kesana untuk menyegarkan pikiran sekaligus untuk terapi.”
Mereka sampai pukul lima sore dengan keadaan langit yang menguning. Beberapa anak berlarian di pinggir pantai yang tampak bersih dan indah. Jane menghela nafas setelah sampai di pekarangan penginapan yang kata si supir adalah tempat yang mereka tuju. Jasmine masih terlihat ngantuk, namun wanita itu tetap memutar lensanya ketika melihat bunga-bunga indah di pekarangan penginapan. “Orang-orang mengira kita adalah dua orang mahasiswi yang tengah melakukan study tour jika kau tetap seperti itu,” ucap Jane sembari meletakkan kopernya. Ia kemudian duduk di salah atau kursi yang ada di sana. Ketika ia mencoba membuka ponsel, ternyata tidak ada jaringan internet di tempat itu. Sesuatu yang kelewat bagus. Secara otomatis keberadaannya tidak akan terlacak.“Di sini tidak ada jaringan.”“Ah, benarkah.” Jasmine membuka ponselnya. “Kau benar.” Jane hampir saja menarik satu batang rokok di saku tasnya. Namun hal itu ia urungkan ketika mendengar suara berisik dari dalam rumah. Jasmine juga segera
Jane pikir pertemuan itu adalah pertemuan pertama dan terakhir, mungkin ia tak akan bertemu pria bermata coklat itu lagi ketika ia ak berkunjung ke kafe, tapi ternyata dugaan itu salah. Ia kembali bertemu dengan pria itu di pagi yang bahkan belum menunjukkan senyum cerahnya. Langi masihi gelap, suasana sekitar masih sunyi meskipun deburan ombak laut di ujung terdengar samar. Jane tidak bisa tidur memilih untuk keluar setelah menghabiskan puluhan lembar halaman novel yang direkomendasikan oleh Lilibet. Oleh karena itu, wanita tersebut kini berdiri tegak dengan jaket hangatnya ketika ia bertemu dengan pria bermata coklat yang kini tengah mengangkat beberapa kotak styrofoam yang sudah pasti isinya ikan atau hewan laut lainnya. Pria itu terlihat menarik dengan bisepnya yang kuat ketika mengangkat barang-barang. Rambut yang berwarna hitam nampak menari ketika terkena angin dan Jane yang sejak tadi hanya berdiri diam merasa bodoh sendiri lantaran memperhatikan pria itu. Dirinya adalah seo
“Aku tidak ingat kau kenal dekat dengan pemuda pemilik kafe. Like, what?!! Bagaimana bisa dengan percayanya kau pergi dengannya di pagi buta,” kata Jasmine seraya berkutat dengan kamera kesayangannya. Kaki gadis itu sesekali menendang pasir putih di bawahnya, sesekali juga menggerutu lantaran bidikannya tidak tepat. "Tak sengaja. Ia ingin mengajakku ke tempat yang tepat melihat matahari terbit," jelas Jane. Jasmine kembali menggerutu tentang seberapa bahaya jika mereka berkeliaran sendirian, terlebih tempat asing yang belum mereka kenal. Jane memilih untuk mengabaikan celoteh Jasmine, ia hanya ingin menikmati suasana pantai dengan damai. Di sekeliling mereka tidak banyak orang berlalu lalang, hanya beberapa wanita yang ang nampak berbincang dan berpisah dengan orang lain. Hanya orang-orang yang sama dengannya yang ada di pantai ini. Sudah tentu kebisingan tidak akan cocok untuknya. Pandangannya mengedar, melihat beberapa anak-anak yang ang nampak bermain pasir dan membentuknya m
Menjadi model atau apapun yang berkaitan dengan bidikan kamera, tidak semenyenangkan yang orang lain bayangkan. Bahkan untuk mereka yang setiap hari hilir mudik di layar televisi, pekerjaan ini tidak seindah apa yang terpampang di depan kamera. Banyak orang bicara dalam sebuah siaran televisi atau podcast, tentang bagaimana rasanya menjadi seorang yang menjadi pusat perhatian. Jane kira, orang-orang yang bicara tentang rumitnya hidup di tengah dunia hiburan adalah orang yang terlampau berani, Jane masih sering kali ketakutan untuk berbicara pada dunia jika dirinya tidak sesempurna yang mereka pikirkan di depan kamera. Apa yang ada di depan kamera, tidak selalu sama dengan apa yang ada di belakang kamera. Banyak rules yang sebenarnya harus dipelajari terlebih dahulu. Meskipun begitu, masih banyak orang berlomba-lomba melakukan segala hal untuk bisa masuk industri hiburan, bukan masalah, mereka akan tahu bagaimana industri itu berjalan ketika sudah masuk dan menjalani. Seberapa gelap
Sore hari tidak terlalu bagus seperti biasanya. Jane dan Jasmine berjalan di area sekitar penginapan. Sebenarnya kegiatan yang mereka lalui di tempat itu memang hanya dua hal, menikmati suasana pantai dan berbelanja. Namun kali ini dan dari kemarin, mereka tidak pergi ke pasar atau tempat aksesoris sama sekali. Selain karena bahan makanan yang masih melimpah, dua wanita itu ingin menghabiskan waktunya untuk bersantai benar-benar menikmati suasana sekitar yang masih segar, jauh berbeda dengan tempat tinggal mereka di kota. Suara tali tambang yang sengaja nelayan pasang untuk menangkap ikan membuat Jane mengalihkan perhatian. Sekumpulan laki-laki dewasa dengan topi bundar menarik tambang bersama-sama, sebelum disauti dengan suara gemuruh kegembiraan lantaran jaring mereka memberikan hasil yang lumayan. Jane ikut tersenyum tanpa sadar ketika melihat salah satu diantara mereka nampak melompat-lompat kecil dengan ucapan syukur yang tak terputus. Jasmine melihat kawannya dengan heran.
Ketika masih di usia sekolah dulu, Jane sering melihat ayah dan ibunya bertengkar. Sebagai anak kecil, tentu hal semacam itu terdengar menyeramkan. Terlebih ketika ayahnya sudah mulai melempar barang-barang rumah ke ibunya. Beberapa kali, ia melihat ibunya terlihat memar di bagian wajah dan juga tubuh lainnya. Ibunya sering menangis ketika malam hari tanpa sepengetahuan ayahnya dan saat itu Jane masih belum tahu sebenarnya apa yang terjadi terhadap keluarganya sampai kemudian ia masuk usia remaja. Tidak bisa dikatakan remaja sebenarnya, karena masa ia baru saja keluar dari sekolah dasar gratis yang ada di kawasan kumuh. Jane yang bahkan belum memahami apa yang terjadi di lingkungan dengan baik, secara mengejutkan menjadi pelampiasan kemarahan ibunya. Mungkin terdengar aneh ketika Jane menjadi pelampiasan ibunya yang telah memendam amarah itu sejak lama. Jane tidak habis pikir bagaimana sang ibu memukulnya sama seperti ayahnya memukul ibunya.“Kau anak pembawa sial! seharusnya kau t
“Dia hanya kelelahan." “Apa? Jane bahkan hanya berkeliling dan tidak melakukan kegiatan apapun. Bagaimana bisa kau bilang jika dia hanya kelelahan?” “Jika kau tak percaya padaku, kau bisa membawanya ke kota untuk dirujuk.” Percakapan itu terdengar di telinga Jane. Dengan pelan, Jane mengerjakan matanya. Buram, putih dan abu-abu sebelum kemudian sedikit demi sedikit semua menjadi terlihat lebih jelas. Lampu kamar? Kamarnya di penginapan. Lalu pandangannya beralih pada lampu tidur kecil yang memang selalu ada di dekat kasurnya. Ia menoleh ketika merasakan elusan pelan ia terima di punggung tangan. “Kau sudah sadar?” Kenapa—pertanyaan sederhana itu terdengar menenangkan. Bagaimana bisa pertanyaan sederhana seperti itu terasa hangat seperti duduk di dekat tungku api di musim dingin. Vincent, pemuda itu menggenggam tangannya erat, namun hal itu membuat Jane segera menarik tangannya hingga terlepas. Bersentuhan intens dengan orang lain cukup menakutkan untuknya. Selama ini ia
Jika berbicara tentang masa lalu Jane bingung harus memulainya dari mana. Dari yang pahit atau yang paling pahit, kah? Wanita itu sering berpikir jika sebenarnya tidak akan ada yang tertarik dengan sebuah kisah kelam. Namun, siapa yang menduga jika ternyata kisah sedih bisa mendongkrak seseorang untuk lebih bersimpati. Jujur Jane tak membutuhkan hal semacam itu. Ia mungkin akan menceritakan sedikit tentang masa lalunya, bukan untuk dikasihani. Namun, hanya untuk pengingat bahwa kupu-kupu cantik pun pernah direndahkan lantaran dulunya hanya seekor ulat menjijikkan. Saat itu umur Jane masih dua belas tahun. Jane tinggal di sebuah kawasan kumuh. Suasana di daerah itu selalu terlihat mendung dan murung. Lingkungan terpinggirkan dan barangkali dilupakan oleh orang-orang berkuasa. Daerah yang penuh timbunan sampah yang mana ternyata memiliki banyak manusia yang mendiaminya.Jane tidak pernah menginginkan dirinya dilahirkan di situasi yang cukup bisa dikatakan buruk. Sebagai anak, ia ti
‘Halo?’ Sebuah suara berat terdengar di seberang sana. Jane memperbaiki posisi duduknya. Ia tengah berada di halaman belakang kafe saat ini. Tempat itu adalah tempat yang penuh kenangan untuknya, lantaran disana ia pernah menanam bunga bersama Maya, ibu Vincent. ‘Halo? Tolong katakan sesuatu jika memang ada sesuatu yang penting.’ “Apakah Anda suami wanita yang bernama Luis?” Suara benda bergeser di seberang yang terdengar nyaring membuat Jane sejenak menjauhkan ponselnya. ‘Ya, ini siapa? Apakah Anda tengah bersama wanita gila itu?’ saut di sebarang, suara pria itu terdengar keras dan tak bersahabat. “Saya tahu keberadaannya. Bisa Anda sedikit ceritakan apa yang terjadi tentang Anda dan Lusi?” tanya Jane dengan tenang. Terdengar helaian nafas di seberang sana. ‘Siapa Anda? Aku tdiak mungkin menceritakan perkara rumah tangga ku pada orang asing,’ saut laki-laki itu. Jane kembali melihat sekitar, kafe nampak sibuk dan ia tak menemukan akan adanya gangguan untuk hal ini. “Na
‘Halo?’ Sebuah suara berat terdengar di seberang sana.Jane memperbaiki posisi duduknya. Ia tengah berada di halaman belakang kafe saat ini. Tempat itu adalah tempat yang penuh kenangan untuknya, lantaran disana ia pernah menanam bunga bersama Maya, ibu Vincent.‘Halo? Tolong katakan sesuatu jika memang ada sesuatu yang penting.’“Apakah Anda suami wanita yang bernama Luis?”Suara benda bergeser di seberang yang terdengar nyaring membuat Jane sejenak menjauhkan ponselnya.‘Ya, ini siapa? Apakah Anda tengah bersama wanita gila itu?’ saut di sebarang, suara pria itu terdengar keras dan tak bersahabat.“Saya tahu keberadaannya. Bisa Anda sedikit ceritakan apa yang terjadi tentang Anda dan Lusi?” tanya Jane dengan tenang.Terdengar helaian nafas di seberang sana.‘Siapa Anda? Aku tdiak mungkin menceritakan perkara ru
Sore hari yang terik, tidak diduga pria yang baru diketahui Jane bernama Kevin itu benar-benar datang ke pesisir. Pakaiannya nampak rapi, Jane bisa melihat aura karismatik menguar dari pria itu. Namun, yang membedakan adalah struktur wajahnya yang memang lebih ke barat-baratan.Pria itu nampak kalem, bahkan lebih kalem dari pada apa yang Jane duga sebelumnya. Tak ada raut marah, yang ditemukan Jane adalah kerinduan pada sang putra yang barang kali telah lama tidak bertemu.Leo, anak kecil itu terlihat nyaman dipelukan ayahnya yang belum mengeluarkan suara apapun ketika datang. Anak kecil itu sepertinya juga tahu betul siapa orang tau aslinya. Sementara itu, Lusi nampak membuang muka, duduk di single sofa yang berada dekat dengannya.“Jadi—apakah kau akan tetap disini? Jika iya, aku akan membawa Leo bersamaku,” ucap pria matang itu dengan mantap.Pandangan mata Lusi nampak memicing, namun bibirnya tidak mengatakan apapun.“Kau tak keberatan jika anakmu dibawa ayahnya?” tanya Jane, men
‘Halo?’ Sebuah suara berat terdengar di seberang sana. Jane memperbaiki posisi duduknya. Ia tengah berada di halaman belakang kafe saat ini. Tempat itu adalah tempat yang penuh kenangan untuknya, lantaran disana ia pernah menanam bunga bersama Maya, ibu Vincent. ‘Halo? Tolong katakan sesuatu jika memang ada sesuatu yang penting.’ “Apakah Anda suami wanita yang bernama Luis?” Suara benda bergeser di seberang yang terdengar nyaring membuat Jane sejenak menjauhkan ponselnya. ‘Ya, ini siapa? Apakah Anda tengah bersama wanita gila itu?’ saut di sebarang, suara pria itu terdengar keras dan tak bersahabat. “Saya tahu keberadaannya. Bisa Anda sedikit ceritakan apa yang terjadi tentang Anda dan Lusi?” tanya Jane dengan tenang. Terdengar helaian nafas di seberang sana. ‘Siapa Anda? Aku tdiak mungkin menceritakan perkara rumah tangga ku pada orang asing,’ saut laki-laki itu. Jane kembali melihat sekitar, kafe nampak sibuk dan ia tak menemukan akan adanya gangguan untuk hal ini. “Nam
‘Lusi? Aku seperti tidak asing dengan nama itu,’ ucap Lilibet di seberang. Jane kini tengah berada di halaman belakang penginapan. Ia sudah cukup muak dengan apa yang dilakukan Lusi dengan anaknya. Yeah, Jane cukup paham memang jika ia tak seharunya cemburu dan jengkel dengan bayi kecil yang belum tahu apa-apa itu. Namun, wanita itu juga tak bisa membendung kekesalannya lantaran sang ibu dari bayi itu sangat mengganggu waktu liburannya dengan Vincent. “Bisakah kau tanya pada teman-temanmu di Inggris?” ‘Ya, tunggu sebentar. Memangnnya apa yang terjadi?’ Terdengar suara ketikan di seberang, sepertinya Lilibet benar-benar tengah menanyakan tentang siapa wanita asing itu. “Dia dan anaknya benar-benar mengganggu waktuku dan Vincent. Sejak kedatangannya kemari, wanita itu selalu membawa anaknya kemari dengan alasan jika anaknya tengah mencari Vincent,” keluh Jene. ‘Ah, sepertinya kau memang selalu memiliki banyak rintangan ketika ingin menjalani hubungan dengan Vincent secara biasa,’
“Aku sering melihat foto kakak,” ucap seorang anak yang Jane temui di dekat pantai hari ini. Sekitar satu jam semenjak Jane memilih untuk berdiam diri di gazebo yang ada di pinggir pantai. Suasana yang masih cukup suram untuk dirinya dan sekitar, membuatnya memilih untuk pergi lebih jauh. Ujung kakinya menyentuh pasir yang lembut, pasir yang terasa nyaman untuk kaki telanjangnya. Beberapa hewan kecil nampak berlarian dengan bebar, tanpa memikirkan tentang apa yang akan terjadi jika mereka keluar dari sarang. Suasan yang tadinya tenang bagi Jane yang masih dilanda kemarahan, harus dirusak dengan kedatangan seorang gadis kecil yang asing baginya. Bajunya kumal dengan beberapa jahitan tak rapi di sekitar lengan. Kancing bajunya juga taksama antara satu dengan lainnya. Jane masih terdiam, memperhatikan si bocah cilik yang kini tengah bercoleteh tentang dirinya yang masih duduk di bangku sekolah dasar dan juga teman-temannya yang sering menjahili dirinya. “Apakah—kau takut ketika teman-t
“Kami mengenalnya dan kebetulan kafe ini miliknya,” ucap seorang wnaita berseragam yang nampak memandang secarik kertas di tangan. Suasa kafe tak terlalu ramai hari ini lantaran gerimis di pagi buta. Suasana masih cukup dingin untuk berkatifitas di luar. Meskipun demikian kafe wajib buka sesuai dengan jamnya, tak ada alasan untuk menunda meskipun sang bos tidak ada di tempat. Pandangan wanita yang tadi datang merambah sekitar. Beberapa orang nampak berlalu lalang di dalam kafe yang terlihat sangat menarik di mata. Di antara bangunan yang berjejer di tepian pantai yang tenang itu, bangunan kafe yang menurutnya memang sangat menarik. Ia tersenyum kecil ketika menyadari siapa yang mungkin mendekorasinya. Sementara itu, si pegawai kafe nampak melirik kecil pada wanita yang masih sibuk dengan pikirannya sendiri, ia kemudian kembali memandang pada sebuah foto yang tentu saja baginya sangat tidak asing. Itu foto Vincent, pria yang tak lain adalah bosnya dan juga pemilik salah stau pengin
Pukul dua siang, mereka sampai di penginapan. Jane melihat sekitar, menghela nafas ketika suasana di ruangan itu tidak banyak berubah. Meskipun di beberapa bagian terdapat debu yang menempel. Lampu gantung di ruang makan, salah satu hal yang menarik perhatiannya lantaran benda itu pernah ia beli untuk hadiah ibu Vincent. Jane juga tidak melewatkan sebuah bunga hidup yang terlihat nampak terawatdi tralis jendela. Bunga-bunga yang kini sayangnya belum berbunga itu adalah tumbuhan kesayangan Maya. Jane masih ingat betul bagaimana perempuan baya itu sangat semangat menjelaskan jenis bunga dan cara menanamnya dengan media air. Pandangan Jane kini tertuju ke luar jendela dapur, di tangan kanannya segelas air putih yang telah berhasil menghalau dahaga sudah di tegak setengah. Grep Jane tersentak namun tak memberikan respon yang berarti. Hanya menyentuh kulit sang pria yang terasa kasar. “Kenapa diam saja, hmm? Ada masalah?” Jane memalingkan wajahnya, menadapati tatapan penasaran dari Vi
Tumpukan barang-barang sudah memenuhi ruang tamu apartemen Jane. Beberapa barang lain yang kemungkinan tidak akan dibawa juga sudah terbungkus lapisan plastik. Tak ada yang tersisa, dipastikan semuanya tetap rapi dan tidak berdebu karena Jane membencinya. Sejujurnya ia tengah memikirkan rencana apa yang akan ia lakukan setelah liburan panjang, kembali bekerja di perusahaan agensi Thomas atau memilih untuk mencari pekerjaan lain yang mungkin sesuai dengan passionnya. Sebagai seseorang yang telah memiliki nama, wanita itu tak terlalu ambil pusing tentang pekerjaan. Menghela nafas pelan setelah selesai dengan acara berkemas, Jane merebahkan tubuhnya di pinggir karpet. Memiringkan tubuh dan menatap dua koper besar yang akan ia bawa yang kini teronggok di ujung ruangan. Tak Pandangan yang tadinya hanya tertuju pada benda mati kini teralihkan pada sosok pria yang selalu menemaninya. Selalu ada untuknya dan kini bahkan rela meminta izin untuk menyelesaikan tugas akhir dari jarak jauh. Se