“Aku tidak ingat kau kenal dekat dengan pemuda pemilik kafe. Like, what?!! Bagaimana bisa dengan percayanya kau pergi dengannya di pagi buta,” kata Jasmine seraya berkutat dengan kamera kesayangannya.
Kaki gadis itu sesekali menendang pasir putih di bawahnya, sesekali juga menggerutu lantaran bidikannya tidak tepat.
"Tak sengaja. Ia ingin mengajakku ke tempat yang tepat melihat matahari terbit," jelas Jane.
Jasmine kembali menggerutu tentang seberapa bahaya jika mereka berkeliaran sendirian, terlebih tempat asing yang belum mereka kenal.
Jane memilih untuk mengabaikan celoteh Jasmine, ia hanya ingin menikmati suasana pantai dengan damai.
Di sekeliling mereka tidak banyak orang berlalu lalang, hanya beberapa wanita yang ang nampak berbincang dan berpisah dengan orang lain. Hanya orang-orang yang sama dengannya yang ada di pantai ini. Sudah tentu kebisingan tidak akan cocok untuknya.
Pandangannya mengedar, melihat beberapa anak-anak yang ang nampak bermain pasir dan membentuknya menjadi gunung, namun tak lama gunung pasir itu diserbu ombak pendek. Mereka tertawa seakan apa yang terjadi barusan bukan masalah besar. Mereka bisa membangun gunung pasir kembali setelah airnya kembali.
Jane masih menatapnya, anak-anak itu mampu tertawa bahagia bahkan mereka tak berhati-hati, bisa saja arus air laut yang kencang datang tiba-tiba dan membawa mereka hanyut kelautan lepas, jauh ke ujung.
Jane menggeleng. Pemikiran seperti itu terlalu berlebihan dan membuatnya pusing.
“Heh, kau baik, Jane?” tanya Jasmine sembari memegangi lengan kawannya yang terlihat pucat.
Jane menoleh dan menghela nafas. Pandangannya ia buang ke arah Jasmine yang memandangnya khawair. Ia tersenyum, berusaha membuat sang kawan tak khawatir.
“Aku baik, jangan khawatir, mungkin ini hanya karena aku belum tidur sejak kemarin. Lilibet melarang meminum oba—”
“Aku tak akan mengizinkanmu minum obat itu, Jane. Kau tak akan sembuh jika terus mengkonsumsi pil anti depresan dan obat tidur. Kau bisa mat—ah maksudku kau bisa bertambah buruk. Kondisimu bisa tambah buruk.”
Jane terkekeh melihat Jasmine kelabakan mengoreksi kata.
Benar kata Jasmine, ia bisa saja mati lantaran overdosis obat. Jika memang ada jadwal yang padat, Jane tak memiliki pilihan lain, tapi kini mereka tengah liburan jadi ia tak membawa obat apapun. Wanita itu tersentak merasakan air laut mengenai kakinya.
“Ayo berteduh, mataharinya semakin menggila. Oh, aku tak ingin kulitku beda warna,” keluh Jasmine dan menarik Jane ke sebuah tempat istirahat yang memang disediakan di pinggir pantai.
Tempat itu hanya sebuah kerangka bangunan dengan atap jerami dan disangga dengan empa bambu. Di bagian bawah terdapat anyaman bambu yang berfungsi sebagai tempa duduk.
“Tempat ini benar-benar indah,” gumam Jane sembari melihat pemandangan lautan, menikmati betapa biru dan bersihnya air itu.
Ombak-ombak yang menggulung membuat fokus Jane tak teralihkan. Sayangnya, tak lama kemudian dahi Jane mengernyit dan nafasnya memendek. Ia melihat sebuah ombak yang membuat air laut terlihat gelap. Kemudian sebuah kilasan samar terlintas diingatan Jane. Sebuah ingatan yang sungguh tak pernah ingin ia ingat kembali.
Plak!
Jane tersentak ketika seseorang menepuk pundaknya dan saat ia menoleh, senyuman wanita asing ia dapatkan.
“Maaf lancang, aku sering menemukan orang sepertimu di area ini, oleh karena itu aku membantumu sadar dari sesuatu yang tak seharusnya kau ingat.”
Ucapan itu terdengar menghina di telinga Jane, tak ingin membuat masalah, ia hanya tersenyum.
“Aku belum pernah melihat kalian, apa kalian orang baru?”
“Ya, kami orang baru,” ucap Jasmine tanpa senyum.
Sebuah tanda jika kawannya itu juga merasa tak nyaman dengan kehadiran wanita yang pernah mereka lihat di kafe kemarin sore.
“Perkenalkan, Naomi. Seorang perawat,” ucap wanita itu dengan uluran tangan.
Jane membalasnya dengan senyuman tipis.
“Jane.”
Jabatan tangan terlepas bahkan sebelum ombak kedua menerpa pantai. Jane melengos membuang wajah ke arah pepohonan kelapa, sementara Naomi hanya tersenyum kecil seakan ia tadi tidak pernah menancapkan kuku ibu jari ke punggung tangan sang model.
Jane ingin marah akan apa yang dilakukan wanita yang menurutnya masih sangat asing, tapi Jane tahu tipe orang seperti Naomi hanya menguras emosi saja.
“Aku Jasmine dan kurasa, kau tak perlu berjabat tangan denganku.”
Naomi terkekeh kecil seakan apa yang dikatakan Jasmine lucu. Pandangan wanita itu kembali tertarik pada Jane yang kini kembali menghadap lautan dan mengabaikan keberadaannya.
Naomi berdehem.
“Ku dengar, tadi pagi, kau pergi dengan Vincent, benar?”
Jasmine adalah orang yang pertama kali memberi respon.
“Kau tahu?”
“Tentu saja, apapun tentang Vincent aku tahu. Tapi—”
Gadis itu menggantungkan ucapannya dan sudah pasti membuat Jane menatapnya, menunggu kalimat apa yang akan dilontarkan, ah, lebih tepatnya omong kosong apa yang hendak Naomi utarakan pada mereka.
“Kau tak berniat merebutnya, Kan?” tanyanya dengan tampang curiga.
Jane yang mendengar pertanyaan itu langsung berdiri dari posisi duduknya. Menghadap langsung pada Naomi, membuat tinggi mereka terlihat sangat berbeda. Jane adalah model, sudah tentu tubuhnya tinggi semampai, sementara Naomi memiliki tubuh yang mungil.
Alis kanan Jane terangkat, menatap Naomi yang berseragam perawat dengan tas kerjanya dari ujung kaki Samapi ujung kepala, sebelum kembali ke wajah wanita itu.
"Apakah kau tidak pernah belajar tentang cara menangani pasien dengan baik dan benar?"
"Huh?"
Jane terkekeh melihat raut bingung wanita itu.
"Ketimbang seorang perawat, kau lebih terlihat wanita pengangguran yang gampang cemburu pada wanita lain. Padahal kau tahu sendiri jika aku di sini tidak hanya berlibur," ejek Jane membuat raut wajah Naomi menjadi muram.
"Aku tak mengenal dirimu, begitu pula denganmu, Nona. Oh, ngomong-ngomong kau dan pria mu itu sangat mirip. Kalian sama-sama sok tahu. Jasmine ayo pergi."
Jane berjalan menjauh dan diikuti oleh Jasmine. Sebelum menggandeng lengan Jane, Jasmine sempat melambaikan tangan kirinya pada Naomi dengan wajah mengejek.
Sementara si wanita perawat hanya bisa berdecak kesal, merasa ia akan mendapatkan saingan. Tangannya meremas tas peralatannya dengan kuat sebelum memilih kembali berangkat ke tempat kerjanya.
*****
Hari semakin siang, insiden yang terjadi pagi tadi terlupakan begitu saja ketika Jane dan Jasmine mengunjungi pusat oleh-oleh. Mereka melihat beberapa orang lokal menjual alat-alat memasak juga bahan makanan, tak lupa pernak-pernik yang menurut Jane biasa saja.
Sementara Jasmine, kawannya itu sudah membawa satu plastik pernak-pernik yang menurutnya lucu. Padahal liburan mereka masih panjang.
"Jane lihat ini!"
Panggilan dari Jasmine membuat Jane yang tadi memperhatikan beberapa tas anyaman menoleh dan hal itulah yang membuatnya menabrak seseorang yang mungkin tengah melamun ketika berjalan.
Brak
"Ah, maaf," ucap orang tersebut yang ternyata seorang pria.
Jane yang terdorong ke belakang menghela nafas, mencoba mengontrol dirinya agar tak memaki atau mengatakan hal-hal tak pantas di depan umum.
Ketika mendongak, yang ia temukan adalah wajah seorang pria asing yang menatapnya bersalah.
"Maaf, Nona. Saya tidak melihat Anda karena tengah membaca pesan," ucapnya.
"Ya, bagus menyadari kesalahan. Jangan diulangi lagi, Tuan. Jalanan ini bukan milik Anda," ucap Jane dengan ketus.
Ia hendak berbalik mengikuti Jasmine ke tempat gerabah. Tapi pria itu kembali memanggilnya.
"Maaf, bisakah saya tahu nama Anda, Nona?"
Jane menoleh dan kali ini ia tersenyum kecil.
"Saya tidak pernah memperkenalkan diri pada orang asing."
Jane kembali ingin melangkah, namun kali ini pria asing itu mencekal pergelangan tangannya.
"Nona—"
"Hey, dude! Lepaskan tangan kawanku. Kau tidak dengar dia tadi menolak menyebutkan namanya karena kau orang asing?"
Jeremy dengan kamera bergelantung di leher nampak keren lantaran muncul di tengah terik matahari, menyelamatkan Jane yang kini mencoba mengatur nafasnya. Ia tak suka keramaian dan pengganggu itu seharusnya cepat disingkirkan.
Melihat Jeremy yang nampak menantang, pria asing tersebut berlalu pergi ke tengah kerumunan di persimpangan kanan. Sementara Jane yang tadi membelakangi mereka kembali berbalik dan ia cukup menyesal.
"Kita bertemu lagi, Nona," ucap Jeremy sedikit riang.
"Ya dan terima kasih telah menolongku."
Jeremy mengibaskan tangannya.
"Apakah aku boleh memotretmu, kau mungkin harus tahu aku seorang—eh, aku sudah mengatakan profesiku kemarin?"
Jane mengangguk.
"Bagus, bagaimana jika Nona jadi modelku hari ini?"
"Aku saja!"
Suara Jasmine menengahi pembicaraan mereka, wanita itu sudah mengenakan kain pantai untuk menutupi sebagian pahanya. Juga hiasan rambut dari karang.
"Wow, kau cukup—fashionable dengan mahkota kerang," komentar Jeremy sembari menunjuk hiasan kerang yang ada di kepala Jasmine.
Wanita itu tak tersipu ataupun malu-malu, Jasmin malah mencari spot yang tepat dan bergaya seperti ketika ia tengah melakukan pemotretan di jalanan.
"Ayo, angkat kameramu, kawan!"
Jeremy tersentak mendapat teriakan tersebut. Ia akhirnya juga mencari posisi yang tepat.
"Temanmu sungguh tak sopan, nona Jane," gerutu Jeremy sebelum memberi aba-aba.
Jane yang tadi hanya mendengarkan mereka kini tersenyum meskipun samar. Ah, akhirnya ada hal yang membuat mood-nya kembali baik hari ini.
Menjadi model atau apapun yang berkaitan dengan bidikan kamera, tidak semenyenangkan yang orang lain bayangkan. Bahkan untuk mereka yang setiap hari hilir mudik di layar televisi, pekerjaan ini tidak seindah apa yang terpampang di depan kamera. Banyak orang bicara dalam sebuah siaran televisi atau podcast, tentang bagaimana rasanya menjadi seorang yang menjadi pusat perhatian. Jane kira, orang-orang yang bicara tentang rumitnya hidup di tengah dunia hiburan adalah orang yang terlampau berani, Jane masih sering kali ketakutan untuk berbicara pada dunia jika dirinya tidak sesempurna yang mereka pikirkan di depan kamera. Apa yang ada di depan kamera, tidak selalu sama dengan apa yang ada di belakang kamera. Banyak rules yang sebenarnya harus dipelajari terlebih dahulu. Meskipun begitu, masih banyak orang berlomba-lomba melakukan segala hal untuk bisa masuk industri hiburan, bukan masalah, mereka akan tahu bagaimana industri itu berjalan ketika sudah masuk dan menjalani. Seberapa gelap
Sore hari tidak terlalu bagus seperti biasanya. Jane dan Jasmine berjalan di area sekitar penginapan. Sebenarnya kegiatan yang mereka lalui di tempat itu memang hanya dua hal, menikmati suasana pantai dan berbelanja. Namun kali ini dan dari kemarin, mereka tidak pergi ke pasar atau tempat aksesoris sama sekali. Selain karena bahan makanan yang masih melimpah, dua wanita itu ingin menghabiskan waktunya untuk bersantai benar-benar menikmati suasana sekitar yang masih segar, jauh berbeda dengan tempat tinggal mereka di kota. Suara tali tambang yang sengaja nelayan pasang untuk menangkap ikan membuat Jane mengalihkan perhatian. Sekumpulan laki-laki dewasa dengan topi bundar menarik tambang bersama-sama, sebelum disauti dengan suara gemuruh kegembiraan lantaran jaring mereka memberikan hasil yang lumayan. Jane ikut tersenyum tanpa sadar ketika melihat salah satu diantara mereka nampak melompat-lompat kecil dengan ucapan syukur yang tak terputus. Jasmine melihat kawannya dengan heran.
Ketika masih di usia sekolah dulu, Jane sering melihat ayah dan ibunya bertengkar. Sebagai anak kecil, tentu hal semacam itu terdengar menyeramkan. Terlebih ketika ayahnya sudah mulai melempar barang-barang rumah ke ibunya. Beberapa kali, ia melihat ibunya terlihat memar di bagian wajah dan juga tubuh lainnya. Ibunya sering menangis ketika malam hari tanpa sepengetahuan ayahnya dan saat itu Jane masih belum tahu sebenarnya apa yang terjadi terhadap keluarganya sampai kemudian ia masuk usia remaja. Tidak bisa dikatakan remaja sebenarnya, karena masa ia baru saja keluar dari sekolah dasar gratis yang ada di kawasan kumuh. Jane yang bahkan belum memahami apa yang terjadi di lingkungan dengan baik, secara mengejutkan menjadi pelampiasan kemarahan ibunya. Mungkin terdengar aneh ketika Jane menjadi pelampiasan ibunya yang telah memendam amarah itu sejak lama. Jane tidak habis pikir bagaimana sang ibu memukulnya sama seperti ayahnya memukul ibunya.“Kau anak pembawa sial! seharusnya kau t
“Dia hanya kelelahan." “Apa? Jane bahkan hanya berkeliling dan tidak melakukan kegiatan apapun. Bagaimana bisa kau bilang jika dia hanya kelelahan?” “Jika kau tak percaya padaku, kau bisa membawanya ke kota untuk dirujuk.” Percakapan itu terdengar di telinga Jane. Dengan pelan, Jane mengerjakan matanya. Buram, putih dan abu-abu sebelum kemudian sedikit demi sedikit semua menjadi terlihat lebih jelas. Lampu kamar? Kamarnya di penginapan. Lalu pandangannya beralih pada lampu tidur kecil yang memang selalu ada di dekat kasurnya. Ia menoleh ketika merasakan elusan pelan ia terima di punggung tangan. “Kau sudah sadar?” Kenapa—pertanyaan sederhana itu terdengar menenangkan. Bagaimana bisa pertanyaan sederhana seperti itu terasa hangat seperti duduk di dekat tungku api di musim dingin. Vincent, pemuda itu menggenggam tangannya erat, namun hal itu membuat Jane segera menarik tangannya hingga terlepas. Bersentuhan intens dengan orang lain cukup menakutkan untuknya. Selama ini ia
Jika berbicara tentang masa lalu Jane bingung harus memulainya dari mana. Dari yang pahit atau yang paling pahit, kah? Wanita itu sering berpikir jika sebenarnya tidak akan ada yang tertarik dengan sebuah kisah kelam. Namun, siapa yang menduga jika ternyata kisah sedih bisa mendongkrak seseorang untuk lebih bersimpati. Jujur Jane tak membutuhkan hal semacam itu. Ia mungkin akan menceritakan sedikit tentang masa lalunya, bukan untuk dikasihani. Namun, hanya untuk pengingat bahwa kupu-kupu cantik pun pernah direndahkan lantaran dulunya hanya seekor ulat menjijikkan. Saat itu umur Jane masih dua belas tahun. Jane tinggal di sebuah kawasan kumuh. Suasana di daerah itu selalu terlihat mendung dan murung. Lingkungan terpinggirkan dan barangkali dilupakan oleh orang-orang berkuasa. Daerah yang penuh timbunan sampah yang mana ternyata memiliki banyak manusia yang mendiaminya.Jane tidak pernah menginginkan dirinya dilahirkan di situasi yang cukup bisa dikatakan buruk. Sebagai anak, ia ti
"Aku mendengar kau sakit oleh karena itu langsung terbang kemari meskipun tidak bisa lama-lama disini. Dia jam lagi aku harus kembali ke kota.”Jane menghela nafas dan mengangguk. Tatapannya tertuju pada pot bunga kecil yang ada di tengah meja. “Kau kenal Vincent?”Lilibet yang tadinya hendak minum lemon teanya harus tertunda saat ia mendengar nama seseorang yang tak asing baginya. Dahinya mengkerut sebelum kemudian terkekeh. “Wah, kau sudah bertemu dengn pria itu? ya, dia temanku.”“Jadi penginapan ini milik ibunya? miliknya?”Lilibet mengangguk. “Yap, secara tidak langsung memang milik Vinct. Aku penasaran bagaimana kalian bisa bertemu, maksudku pria itu cukup cuek terhadap wanita.”Jane mengedikkan bahunya.“Pertemuan yang tidak berkesan, aku berkunjung ke kafe miliknya dan yeah pertemuan yang tidak disengaja lainnya terjadi.”“Sayang sekali, ku kira kau bertemu dengnnya dengan cara yang romantis, mungkin.”“Dia sudah memiliki calon istri.”“Wow, benarkah? Aku merasa kau terliha
Naomi, tahun ini wanita itu berumur dua puluh lima tahun dan sejak tiga tahun lalu mendapatkan tugas untuk bekerja di sebuah klinik kesehatan yang bertempat di sebuah pelosok.Tempat itu, jujur bukan tempat yang selama ini ia impikan ketika memilih terjun di dunia kesehatan. Naomi benar-benar menyesal ketika surat tawaran kerja ia tandatangani tanpa pikir panjang lantaran terlalu tenggelam dalam euforia kelulusan dengan predikat bagus. Penyesalan benar dirasakan. Kawasan pantai itu sebenarnya tidak buruk sama sekali, bisa dikatakan indah dan masih asri, belum banyak orang-orang luar ke sana. Sayangnya bagi Naomi yang sejak bayi sudah menikmati kecepatan teknologi, hidup di tempat itu adalah neraka baginya. Jaringan internet dan komunikasi cukup buruk, ditambah penduduk di area itu cukup sensitif dengan pendatang. Sampai beberapa bulan kemudian ia bertugas, barulah Naomi merasakan kenyaman di pesisir tempat ia bekerja. "Nona, bisakah Anda datang ke rumah saya—" Naomi yang saat itu
“Jadi kau tertarik padanya?”Vincent yang tadi sempat berniat meninjau pendapatan kafe memilih untuk mengurungkan niatnya. Pandangan matanya kembali pada Jeremy yang nampak berpikir. Ia memang baru saja menceritakan pada Jeremy apa yang dirasakan pada wanita asing yang bahkan belum sebulan ia kenal. “Apa kau pikir aku tertarik padanya?”Jeremy berdecak. “Sangat terlihat dari caramu menceritakan tentang Jane, kau terlihat konyol. Maksudku, sadar tidak jika ini pertama kalinya kau menceritakan soal wanita padaku?”Vincent tertegun, ia baru menyadarinya. Tentu saja dirinya belum pernah bercerita tentang wanita manapun lantaran selama ini, ia disibukkan dengan perkembangan kafe. “Oy, sadar tidak jika selama ini kau juga tidak penah menceritakan apapun tentang Naomi,” kata Jeremy mencoba memancing reaksi apa yang ditunjukkan kawannya dan ternyata sesuai dengan ekpektasinya. Vincent terlihat bingung. “Kenapa aku harus menceritakan tentang Naomi, bukankah ia juga menghabiskan banyak wak
‘Halo?’ Sebuah suara berat terdengar di seberang sana. Jane memperbaiki posisi duduknya. Ia tengah berada di halaman belakang kafe saat ini. Tempat itu adalah tempat yang penuh kenangan untuknya, lantaran disana ia pernah menanam bunga bersama Maya, ibu Vincent. ‘Halo? Tolong katakan sesuatu jika memang ada sesuatu yang penting.’ “Apakah Anda suami wanita yang bernama Luis?” Suara benda bergeser di seberang yang terdengar nyaring membuat Jane sejenak menjauhkan ponselnya. ‘Ya, ini siapa? Apakah Anda tengah bersama wanita gila itu?’ saut di sebarang, suara pria itu terdengar keras dan tak bersahabat. “Saya tahu keberadaannya. Bisa Anda sedikit ceritakan apa yang terjadi tentang Anda dan Lusi?” tanya Jane dengan tenang. Terdengar helaian nafas di seberang sana. ‘Siapa Anda? Aku tdiak mungkin menceritakan perkara rumah tangga ku pada orang asing,’ saut laki-laki itu. Jane kembali melihat sekitar, kafe nampak sibuk dan ia tak menemukan akan adanya gangguan untuk hal ini. “Na
‘Halo?’ Sebuah suara berat terdengar di seberang sana.Jane memperbaiki posisi duduknya. Ia tengah berada di halaman belakang kafe saat ini. Tempat itu adalah tempat yang penuh kenangan untuknya, lantaran disana ia pernah menanam bunga bersama Maya, ibu Vincent.‘Halo? Tolong katakan sesuatu jika memang ada sesuatu yang penting.’“Apakah Anda suami wanita yang bernama Luis?”Suara benda bergeser di seberang yang terdengar nyaring membuat Jane sejenak menjauhkan ponselnya.‘Ya, ini siapa? Apakah Anda tengah bersama wanita gila itu?’ saut di sebarang, suara pria itu terdengar keras dan tak bersahabat.“Saya tahu keberadaannya. Bisa Anda sedikit ceritakan apa yang terjadi tentang Anda dan Lusi?” tanya Jane dengan tenang.Terdengar helaian nafas di seberang sana.‘Siapa Anda? Aku tdiak mungkin menceritakan perkara ru
Sore hari yang terik, tidak diduga pria yang baru diketahui Jane bernama Kevin itu benar-benar datang ke pesisir. Pakaiannya nampak rapi, Jane bisa melihat aura karismatik menguar dari pria itu. Namun, yang membedakan adalah struktur wajahnya yang memang lebih ke barat-baratan.Pria itu nampak kalem, bahkan lebih kalem dari pada apa yang Jane duga sebelumnya. Tak ada raut marah, yang ditemukan Jane adalah kerinduan pada sang putra yang barang kali telah lama tidak bertemu.Leo, anak kecil itu terlihat nyaman dipelukan ayahnya yang belum mengeluarkan suara apapun ketika datang. Anak kecil itu sepertinya juga tahu betul siapa orang tau aslinya. Sementara itu, Lusi nampak membuang muka, duduk di single sofa yang berada dekat dengannya.“Jadi—apakah kau akan tetap disini? Jika iya, aku akan membawa Leo bersamaku,” ucap pria matang itu dengan mantap.Pandangan mata Lusi nampak memicing, namun bibirnya tidak mengatakan apapun.“Kau tak keberatan jika anakmu dibawa ayahnya?” tanya Jane, men
‘Halo?’ Sebuah suara berat terdengar di seberang sana. Jane memperbaiki posisi duduknya. Ia tengah berada di halaman belakang kafe saat ini. Tempat itu adalah tempat yang penuh kenangan untuknya, lantaran disana ia pernah menanam bunga bersama Maya, ibu Vincent. ‘Halo? Tolong katakan sesuatu jika memang ada sesuatu yang penting.’ “Apakah Anda suami wanita yang bernama Luis?” Suara benda bergeser di seberang yang terdengar nyaring membuat Jane sejenak menjauhkan ponselnya. ‘Ya, ini siapa? Apakah Anda tengah bersama wanita gila itu?’ saut di sebarang, suara pria itu terdengar keras dan tak bersahabat. “Saya tahu keberadaannya. Bisa Anda sedikit ceritakan apa yang terjadi tentang Anda dan Lusi?” tanya Jane dengan tenang. Terdengar helaian nafas di seberang sana. ‘Siapa Anda? Aku tdiak mungkin menceritakan perkara rumah tangga ku pada orang asing,’ saut laki-laki itu. Jane kembali melihat sekitar, kafe nampak sibuk dan ia tak menemukan akan adanya gangguan untuk hal ini. “Nam
‘Lusi? Aku seperti tidak asing dengan nama itu,’ ucap Lilibet di seberang. Jane kini tengah berada di halaman belakang penginapan. Ia sudah cukup muak dengan apa yang dilakukan Lusi dengan anaknya. Yeah, Jane cukup paham memang jika ia tak seharunya cemburu dan jengkel dengan bayi kecil yang belum tahu apa-apa itu. Namun, wanita itu juga tak bisa membendung kekesalannya lantaran sang ibu dari bayi itu sangat mengganggu waktu liburannya dengan Vincent. “Bisakah kau tanya pada teman-temanmu di Inggris?” ‘Ya, tunggu sebentar. Memangnnya apa yang terjadi?’ Terdengar suara ketikan di seberang, sepertinya Lilibet benar-benar tengah menanyakan tentang siapa wanita asing itu. “Dia dan anaknya benar-benar mengganggu waktuku dan Vincent. Sejak kedatangannya kemari, wanita itu selalu membawa anaknya kemari dengan alasan jika anaknya tengah mencari Vincent,” keluh Jene. ‘Ah, sepertinya kau memang selalu memiliki banyak rintangan ketika ingin menjalani hubungan dengan Vincent secara biasa,’
“Aku sering melihat foto kakak,” ucap seorang anak yang Jane temui di dekat pantai hari ini. Sekitar satu jam semenjak Jane memilih untuk berdiam diri di gazebo yang ada di pinggir pantai. Suasana yang masih cukup suram untuk dirinya dan sekitar, membuatnya memilih untuk pergi lebih jauh. Ujung kakinya menyentuh pasir yang lembut, pasir yang terasa nyaman untuk kaki telanjangnya. Beberapa hewan kecil nampak berlarian dengan bebar, tanpa memikirkan tentang apa yang akan terjadi jika mereka keluar dari sarang. Suasan yang tadinya tenang bagi Jane yang masih dilanda kemarahan, harus dirusak dengan kedatangan seorang gadis kecil yang asing baginya. Bajunya kumal dengan beberapa jahitan tak rapi di sekitar lengan. Kancing bajunya juga taksama antara satu dengan lainnya. Jane masih terdiam, memperhatikan si bocah cilik yang kini tengah bercoleteh tentang dirinya yang masih duduk di bangku sekolah dasar dan juga teman-temannya yang sering menjahili dirinya. “Apakah—kau takut ketika teman-t
“Kami mengenalnya dan kebetulan kafe ini miliknya,” ucap seorang wnaita berseragam yang nampak memandang secarik kertas di tangan. Suasa kafe tak terlalu ramai hari ini lantaran gerimis di pagi buta. Suasana masih cukup dingin untuk berkatifitas di luar. Meskipun demikian kafe wajib buka sesuai dengan jamnya, tak ada alasan untuk menunda meskipun sang bos tidak ada di tempat. Pandangan wanita yang tadi datang merambah sekitar. Beberapa orang nampak berlalu lalang di dalam kafe yang terlihat sangat menarik di mata. Di antara bangunan yang berjejer di tepian pantai yang tenang itu, bangunan kafe yang menurutnya memang sangat menarik. Ia tersenyum kecil ketika menyadari siapa yang mungkin mendekorasinya. Sementara itu, si pegawai kafe nampak melirik kecil pada wanita yang masih sibuk dengan pikirannya sendiri, ia kemudian kembali memandang pada sebuah foto yang tentu saja baginya sangat tidak asing. Itu foto Vincent, pria yang tak lain adalah bosnya dan juga pemilik salah stau pengin
Pukul dua siang, mereka sampai di penginapan. Jane melihat sekitar, menghela nafas ketika suasana di ruangan itu tidak banyak berubah. Meskipun di beberapa bagian terdapat debu yang menempel. Lampu gantung di ruang makan, salah satu hal yang menarik perhatiannya lantaran benda itu pernah ia beli untuk hadiah ibu Vincent. Jane juga tidak melewatkan sebuah bunga hidup yang terlihat nampak terawatdi tralis jendela. Bunga-bunga yang kini sayangnya belum berbunga itu adalah tumbuhan kesayangan Maya. Jane masih ingat betul bagaimana perempuan baya itu sangat semangat menjelaskan jenis bunga dan cara menanamnya dengan media air. Pandangan Jane kini tertuju ke luar jendela dapur, di tangan kanannya segelas air putih yang telah berhasil menghalau dahaga sudah di tegak setengah. Grep Jane tersentak namun tak memberikan respon yang berarti. Hanya menyentuh kulit sang pria yang terasa kasar. “Kenapa diam saja, hmm? Ada masalah?” Jane memalingkan wajahnya, menadapati tatapan penasaran dari Vi
Tumpukan barang-barang sudah memenuhi ruang tamu apartemen Jane. Beberapa barang lain yang kemungkinan tidak akan dibawa juga sudah terbungkus lapisan plastik. Tak ada yang tersisa, dipastikan semuanya tetap rapi dan tidak berdebu karena Jane membencinya. Sejujurnya ia tengah memikirkan rencana apa yang akan ia lakukan setelah liburan panjang, kembali bekerja di perusahaan agensi Thomas atau memilih untuk mencari pekerjaan lain yang mungkin sesuai dengan passionnya. Sebagai seseorang yang telah memiliki nama, wanita itu tak terlalu ambil pusing tentang pekerjaan. Menghela nafas pelan setelah selesai dengan acara berkemas, Jane merebahkan tubuhnya di pinggir karpet. Memiringkan tubuh dan menatap dua koper besar yang akan ia bawa yang kini teronggok di ujung ruangan. Tak Pandangan yang tadinya hanya tertuju pada benda mati kini teralihkan pada sosok pria yang selalu menemaninya. Selalu ada untuknya dan kini bahkan rela meminta izin untuk menyelesaikan tugas akhir dari jarak jauh. Se