“Nyonya Lucy?” Adrian menyahut dengan kening berkerut dalam.“Adrian? Ada apa?”“Aku akan bicara dengan Anda segera.”Adrian memutuskan sambungan telepon secara sepihak. Ia segera keluar dari kantor polisi sesaat setelah menandatangani berkas-berkas yang dibutuhkan.Setengah perjalanan, Adrian merasa lelah. Perjalanan masih cukup jauh. Hingga akhirnya ia menepi saat melihat sebuah penginapan.Istirahat dua jam mungkin cukup, Adrian berucap dalam hati. Setelah membilas tubuh, lelaki itu segera berbaring di ranjang. Tak lupa ia memasang alarm sebelum memejamkan mata.Frank cukup khawatir saat ia mencoba menelepon, namun nomer asistennya itu selalu dialihkan. Lelaki tua itu hanya penasaran bagaimana hasil pembicaraan Adrian dengan tersangka yang menabrak Sarah.“Papa, ayo makan dulu.” Sarah membuyarkan lamunan Papa mertuanya yang berdiri sambil memegangi ponsel.“Oh, iya.”Frank berbalik badan. Malam ini ia akan menginap di rumah Marc. Anak lelakinya itu memaksa dan Frank akhirnya setuju
“Marc! Jaga ucapanmu!” Lucy membentak putranya.“Kenapa? Benar kan? Pelacur lelaki yang tadi ... sudah berapa lama ia tinggal di sini?” Marc mendelik sewot.“Jangan kurang ajar kamu!”“Aku hanya mengungkapkan fakta. Kenapa Mama tersinggung?”Lucy terdiam dengan wajah merah. Pernyataan Marc memang benar, tetapi ia masih belum terima dibentak putranya.Dengan nada tinggi ia juga mengungkapkan kekesalannya pada Frank dan Marc. Mengucapkan bahwa ia lebih bahagia saat diperhatikan lelaki muda yang menemaninya.“Bull shit!” Marc mengumpat keras. “Mereka perhatian karena uang Mama!”“Tidak. Mereka benar-benar peka pada kebutuhan Mama.”Marc mendengus kasar. “Kebutuhan apa? Fantasi liar?”“Marc!”“Apa?!”“Keluar dari sini.”Marc berjalan ke pintu. “Aku memang akan keluar. Tidak akan menoleh lagi ke belakang. Tutup dan kunci saja pintu rumah ini.”Tangisan Lucy terdengar saat Marc berjalan ke pintu utama. Matanya mendelik pada lelaki muda yang kini sedang santai menonton televisi.BRAK.Marc m
Lucy menyewa pengacara mahal untuk mendampinginya. Polisi bahkan menyelidiki hubungan Lucy dengan Sarah. Mereka menemukan sejumlah bukti bahwa Lucy memang membenci menantunya.Berkali-kali, Lucy menyangkal. Ia berkata bahwa ponselnya sering dipinjam Marsha dengan alasan ingin menghubungi teman. Namun karena Marsha atau Tinna masih dalam keadaan koma dan tidak bisa dimintai keterangan, Lucy tetap ditahan.Berbagai upaya dilakukan Lucy. Mulai dari meminta menjadi tahanan rumah sampai menyogok petugas. Namun, kepolisian tidak mudah dikelabui.Apalagi setelah tau kasus ini menyangkut keluarga Carrington yang terhormat dan disegani, polisi sudah pasti lebih berpihak pada lawan Lucy.“Marc.”“Hem.”“Irwan bilang kamu mencarinya. Kenapa?”“Karena teleponmu tidak dapat dihubungi, toko kue juga.”“Oh. Waktu kejadian itu, ya?”Sarah bercerita bahwa Irwan menghubunginya dengan panik malam hari. Hingga akhirnya, Sarah menceritakan musibah yang menimpa dirinya.“Kenapa cerita-cerita pada Irwan?” P
Marc menepi di pinggir jalan. Ia menelepon Sarah dan berkata ia akan kembali menjemput untuk bersama-sama ke rumah sakit.“Kamu langsung ke rumah sakit saja. Irwan mau mengantarku sekalian ia pergi ke bandara.”Tentu saja Marc menolak. Apa-apaan istrinya itu? Kenapa malah meminta lelaki lain mengantarnya?“Aku jemput!” Marc berkata tegas lalu melempar ponselnya ke kursi di sampingnya.Meetingnya batal. Biar lah. Ia harus memprioritaskan kasus Sarah lebih dulu.Sarah sudah menunggu di lobi. Marc mendengus pelan saat melihat Irwan bediri di samping istrinya. Mereka bahkan berpamitan sebelum Sarah masuk ke dalam mobil.Selama di perjalanan, tidak ada perbincangan yang berarti. Sarah lebih banyak mengamati jalan dan mengelus perutnya.Sarah tersentak kaget saat tangan Marc ikut mengelus perutnya.“Apa perutmu sakit?”“Em ... tidak. Hanya kencang saja rasanya.”“Nanti sekalian kita tanya dokter.”Hanya anggukan kepala yang diberikan Sarah sebagai respon pernyataan Marc. Ia tidak bisa berka
Pengacara Lucy berusaha keras. Namun tetap saja tidak ada bukti bahwa Marsha meminjam ponsel Lucy. Apalagi selama ini ia memang membenci Sarah.Sampai mereka menemukan bukti baru, Lucy tetap di penjara.Setelah dirawat sekaligus didakwa atas percobaan pembunuhan, Tinna akhirnya dijebloskan ke penjara.Sarah benar-benar dilarang Marc keluar dari rumah. Lama kelamaan ia bosan juga.“Kamu ke kantor?” tanya Sarah yang melihat Marc bersiap-siap.“Iya, hanya sebentar.”Selesai bersiap, tangan Sarah digandeng menuju sofa. Ia tau Marc pasti akan mengganti perbannya.“Kalau kamu buru-buru, aku bisa menggantinya sendiri kok.”Lagi-lagi, Marc hanya menggeleng. Perlahan ia membuka perban dan mengamati luka Sarah. Ia bahkan memfoto lalu terlihat mengetik entah pada siapa.“Dokter bilang luka ini sudah kering. Tidak perlu ditutup lagi.”Setelah berkata dua kalimat, Marc membersihkan luka dan mengoleskan salep. Kalau saja bicaranya tidak irit, Sarah pasti akan lebih menyukai Marc.“Sudah. Aku berang
Sepanjang perjalanan, Frank dan Sarah bernostalgia tentang Thomas, Ayah Sarah. Namun kali ini, mereka membicarakan hal yang lucu dan menyenangkan. Thomas tidak ingin menantunya mengenang hal-hal sedih tentang Ayahnya.“Kalau keadaan sudah membaik, Papa mau mengajakmu berziarah ke makam Thomas, ya.”Sarah mengangguk. “Iya, Pa. Sarah mau.”“Kapan terakhir kali kamu ke makam?”“Saat tau Sarah hamil.”Frank mengangguk. “Thomas dan Adara pasti bahagia sekali melihatmu sekarang.”“Memang benar ya, Pa. Orang tua yang sudah meninggal bisa melihat kita?”Kekehan kecil keluar dari tenggorokan Frank. “Papa tidak tau, sih. Tapi, mari kita anggap saja begitu, sehingga dalam setiap langkah, kita bisa tidak terlalu sedih mengenang mereka.”Benar juga. Sarah mengangguk setuju. Mulai sekarang, ia akan menganggap orang tuanya selalu melihatnya dan ingin ia berbahagia.Mobil mereka memasuki gedung apartemen mewah. Di dalam lift, Sarah menceritakan apa saja yang ia lakukan jika sedang berada di apartemen
“Apa? Wow ... ini benar-benar kejutan!” Sarah membelalakkan matanya.Namun melihat wajah sendu Frank, antusias Sarah berkurang. Mereka menatap Ibu Irma yang telah berjalan kembali dengan baki di tangannya.Bahkan, Sarah dapat melihat tangan Ibu Irma yang gemetar saat meletakkan cangkir teh dan piring kue di depan Frank.“Silahkan diminum dan dimakan.” Ibu Irma tersenyum pada Frank dan Sarah.Frank tidak pernah menolak kue tersebut. Ia segera mengambil dan memakannya. Wajahnya tampak menikmati sekali.“Keahlianmu sejak dulu belum berubah. Jago masak.” Frank memuji Ibu Irma. “Dan apa kamu ingat, aku selalu menjadi yang pertama kali mencicipi masakanmu.”“Kamu menilai dengan tidak jujur. Masa semua kamu bilang enak.” Ibu Irma terkekeh mengenang saat itu.Kepala Frank menggeleng keras. “Aku jujur. Memang semuanya enak. Buktinya aku tidak tau kue ini buatanmu dan aku menyukainya. Padahal kamu tau aku tidak terlalu menyukai kue.”Ibu Irma terkekeh. “Aku heran saat Sarah bilang kamu menyukai
“Aku titip Sarah di sini, Irma. Jangan biarkan ia keluar dari apartemen.” Frank berdiri sambil memperhatikan ponselnya.Dengan sigap Irma mengangguk menyanggupi permintaan Frank.“Papa pergi sendiri?” Sarah bertanya dengab nada khawatir.“Tidak. Adrian akan menjemput. Sebentar lagi ia sampai.”Sarah mengangguk. Perutnya seketika kencang kembali. Ia tau ia selalu stress saat mendengar kabar tentang Ibu dan Kakak tirinya.Bagaimana tidak? Ia baru tau betapa bencinya mereka pada dirinya sampai-sampai ibu dan kakak tirinya sangat ingin melenyapkannya dari bumi.“Hati-hati ya, Pa. Sarah akan tunggu di sini.”Frank tersenyum tipis. Pintu apartemen diketuk seseorang. Frank tau itu pasti sang asisten pribadi yang datang menjemput.Ibu Irma membukakan pintu untuk Adrian. Sementara Frank menghampiri Sarah dan mencium dahinya sebelum pergi.Spontan, Sarah memeluk Frank. Hingga akhirnya kedua lengan lelaki setengah baya itu pun melingkari pinggang Sarah.“Maaf, Sarah merepotkan Papa, ya.” Sarah m
Tiga tahun berlalu dengan cepat. Keluarga Carrington sedang berlibur di sebuah perkemahan mewah. Mereka juga mengajak keluarga Ibu Irma.Irwan dan Vania telah menikah dan memiliki satu orang anak perempuan yang dinamai Nirvana."Kenapa Kak Arzan jagain Vana terus?" Vivi memberengut kesal saat ia minta Arzan menemaninya main tetapi anak lelaki itu sedang sibuk menjaga adiknya."Vana masih kecil, Vivi. Sini, kita main sama-sama." Arzan menepuk sisinya yang kosong. Namun, Vivi malah melengos dan memilih bergelayut manja di kaki Papanya."Aku panggil Irwan dulu biar ia menjaga Vana." Vania yang sedang memasak dapur merasa tak enak hati mendengar pembicaraan Arzan dan Vivi."Sudah, biarkan saja. Gak papa, kok." Sarah yang sedang hamil besar menenangkan Vania."Aku gak enak, Sarah. Sepertinya Vivi cemburu karena Arzan menjaga Vana terus.""Lihat itu." Sarah mengendik pada Vivi yang kini asyik bermain bersama Marc. "Dia kesal cuma sebentar, kok."Vania tersenyum simpul dan mengangguk. Apalagi
Ulang tahun pertama Vivi sangat meriah. Meski anak perempuan itu belum memiliki banyak teman, tetapi tamu-tamu undangan mulai dari balita hingga kakek nenek banyak yang hadir.Marc menyulap taman belakang menjadi taman bermain yang nyaman dengan tenda dan AC portable di mana-mana. Berbagai makanan sehat tersebar di penjuru taman.Sebagian tamu adalah teman-teman Arzan yang membawa adik-adik mereka. Vivi jadi memiliki teman sebaya."Sepertinya, prediksi Arzan tepat. Akhir-akhir ini mereka jadi dekat, bukan?" Sarah melirik pada Irwan dan Vania yang tampak asyik berbincang dengan ibu Irma.Tanpa melihat objek pembicaraan mereka, Marc mengangguk. Lelaki itu melingkari tangan di pinggang sang istri dan membawanya ke meja makan."Masih lapar?" Sarah mengamati suaminya yang mengambil makanan cukup banyak."Apa kamu tidak lihat? Aku tadi lari-larian mengikuti Vivi?" Marc memotong steak ayam lalu menyuapi dirinya. "Lagipula, steak ini lezat sekali."Bahkan Sarah akhirnya ikut makan karena Mrac
Sesuai rencana, berita tentang Marc dan Vania menghilang. Tentu saja itu tidak lepas dari tim yang dibuat Adrian untuk menghapus semua postingan tersebut.“Sayang.” Marc menyapa istrinya yang sedang menyusui Vivi.“Ya?”“Jam berapa Arzan datang?”“Vania bilang, mereka sudah dalam perjalanan.”“Hmm ... aku ada rapat. Sengaja kubuat online. Tapi kalau Arzan datang dan aku belum selesai, minta ia ke ruang kerjaku saja, ya.”“Oke. Selamat rapat.”Marc mengangguk. Lalu, membungkuk sedikit untuk mencium pipi istri dan putrinya. Setelah itu, ia keluar dari ruang bayi.Setelah Marc keluar, seorang pelayan masuk membawa paket untuk Sarah.“Tolong dibuka,” pinta Sarah pada pelayan yang langsung mengangguk.Sarah tau isi paket itu adalah buku-buku Vania yang ia pesan secara online. Pelayan memberikan buku -buku yang masih berplastik itu pada Sarah lalu keluar.Vivi melepas puncak dada Mamanya karena tertarik dengan buku yang dipegang Sarah. Ia merebut buku tersebut lalu ikut membolak-balik halam
“Maafkan aku. Aku mengaku salah.” Khanza menunduk dalam-dalam.Adrian dan pengacara mendatangi kantor penerbit buku Vania. Mereka memberikan data bahwa Khanza membuat berita kebohongan agar publik tertarik pada cerita Vania dan membeli buku terbarunya.Direktur penerbitan menggeleng samar melihat data-data tersebut. Ia tidak menyangka Khanza berbuat seperti itu.“Aku melakukannya untuk Vania.” Khanza berkilah, membela diri.“Aku yakin Vania pun tak setuju kamu membantu dengan cara ini.” Adrian mengecam.“Vania sedang tidak fokus. Banyak pikiran. Jadi, aku pikir, aku perlu membantunya sedikit.”Direktur menggeleng. Ia juga tampak tidak setuju. Apalagi sampai ada pengacara yang menuntut mereka.“Masalahnya, Nona.” Pengacara menatap wajah Khanza dengan pandangan tajam. “Yang anda cemarkan adalah keluarga Carrington, terutama Tuan Marc.”“Lelaki yang selama ini terkenal dingin dan tidak bersosialisasi dengan media.” Adrian menambahkan.Direktur menengahi. Mereka akan membuat pengumuman pe
Pagi di bumi perkemahan cukup cerah setelah semalaman hujan. Pengelola bahkan tidak mengizinkan peserta kemping untuk melakukan trekking.“Terus kita ngapain, Om?” Arzan mengguncang-guncang tangan Irwan.“Masih ada pilihan untuk memancing. Kamu mau?”“Om bisa memancing?”“Bisa, dong.”“Mauuu.” Arzan menjerit senang.Vania menatap kebersamaan Irwan dan Arzan. Seandainya Bryan masih hidup, mungkin yang berdiri di depannya sekarang ada sosok Bryan dan Arzan. Vania menggeleng membuyarkan lamunannya.Telah lima tahun berlalu, tetapi rasanya masih sama. Kehilangan dan kedukaan itu masih sangat jelas di mata Vania.“Ibu, ayo ikut memancing,” ajak Arzan.Vania tau, Arzan pasti disuruh Irwan. Ia sebenarnya tidak tau apa-apa tentang memancing, tetapi demi menemani Arzan, Vania mengangguk.Perahu disiapkan pengelola perkemahan. Vania melihat Irwan berbincang dengan penjaga Arzan. Seperti setiap kegiatan Arzan, harus dilaporkan pada keluarga Carrington.Akhirnya mereka bertiga di atas perahu. Mer
Irwan menunggu. Vania mungkin sedang mengumpulkan kekuatan untuk memceritakan kisah kelamnya pada seseorang. Apalagi ia adalah orang baru yang pertama kali ditemui."Aku dan Bryan, ayah Arzan menikah tanpa restu. Kami lari dari keluarga karena memilih mempertahankan cinta."Vania mengembuskan napas kasar. Ia menyandarkan punggung pada dinding. Jari-jari tangannya saling bertautan."Di perkemahan seperti ini lah kami berbulan madu. Tiga bulan kemudian, aku hamil. Kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, beberapa bulan berikutnya, Bryan didiagnosis menderita kanker usus."Isakan Vania membuat Irwan memeluk erat Arzan. Ia tak ingin Arzan terbangun. Vania lalu sadar untuk segera menguasai diri.Sembari mengatur napas, Vania mengusap air matanya. Kini ia duduk sambil memeluk kaki-kakinya yang ditekuk.Dalam keadaan hamil, Vania merawat Bryan. Bryan cukup tegar dan berusaha menjalani pengobatan didampingi Vania.Pilihan itu datang saat Vania melahirkan. Kondisi Bryan bertambah lemah. Keuanga
Alrzan langsung bersembunyi di balik tubuh Vania. Wanita itu menyorotkan lampu senter pada lelaki yang berdiri di kegelapan. Arzan mengintip lalu bersorak.“Om Irwan.” Arzan langsung berlari menghampiri dan memeluk Irwan. “Lampu kabin kami mati, Om.”Irwan mengusap kepala Arzan. “Iya, kabin Om juga. Tadinya Om mau mencari bantuan tapi mendengar teriakan. Kebetulan sekali kita ada di sini, ya."“Aku bersama Ibu Vania. Cuma berdua.” Arzan menunjuk Vania yang terpaku di tempat melihat kedekatan putranya dengan lelaki yang dipanggil Om Irwan tersebut.Irwan mengangguk. Setelah berada pada jarak cukup dekat, Irwan menjulurkan tangan. Vania menyambutnya dan tersenyum penuh kelegaan.“Irwan. Aku putra Ibu Irma.”Sejenak setelah balas menyebut namanya, Vania mengamati Irwan. Rasanya ia pernah bertemu dengan lelaki ini. Tetapi, ia tidak ingat meskipun ia sering berada di kafe.“Kita memang belum pernah bertemu sebelum ini.” Irwan menjawab pengamatan Vania pada dirinya. “Oh, mungkin sekali. Saa
“Jadi Khanza, editor Vania yang menjadi otak gosip antara kamu dan Vania?” Sarah mengangkat alisnya. Tak menyangka bahwa ternyata orang terdekat Vania lah yang membuat kebohongan tersebut.“Iya. Itu dilakukan untuk mendongkrak penjualan buku Vania. Kamu ingat? Gosip itu beredar tak lama novel baru Vania terbit di pasaran.”Sarah mengangguk mengerti. “Vania tau?”“Itu sedang diselidiki Om Adrian.”“Perasaanku mengatakan Vania tidak ada sangkut pautnya dengan ini semua.”Pernyataan Sarah dikuatkan oleh dugaan bahwa Vania tidak mungkin mempertaruhkan nama baiknya. Jika ia memang terlibat dan keluarga Carrington tau, ia pasti tidak akan bertemu lagi dengan Arzan. Bahkan Sarah sendiri pun akan melarangnya.Marc mengangguk setuju. Ia berharap hari ini juga sudah mendapat kabar dari orang-orang Adrian yang bekerja untuk mengusut kasus pencemaran nama baik ini.“Jika Arzan sudah pulang, kemungkinan ia menemukan berita tersebut akan besar. Aku tidak ingin itu terjadi.”“Aku tau.” Sarah mencebi
Dua hari kemudian, Vania menjemput Arzan. Selama akhir minggu, ia akhirnya memperoleh izin membawa Arzan hanya berdua saja. Vania menjemput Arzan di rumah keluarga Carrington.Sarah menyambut Vania sambil menggandeng Arzan. Ia menyerahkan tangan Arzan pada Vania dan hanya berpesan untuk bersenang-senang.“Ingat pesan Mama ya, Sayang.” Sarah mengelus kepala Arzan sebelum putra angkatnya itu masuk ke dalam mobil.Arzan mengangguk lalu memeluk Sarah erat-erat. Ia juga mencium pipi Sarah dan berkata akan menurut pada pesan sang Mama. Vania memperhatikan inetraksi tersebut dengan rasa haru.Selalu saja ada rasa iri di hati Vania. Tapi, ia merasa itu hal yang wajar. Ia bertanya dalam hati kapan Arzan akan sehangat itu pada dirinya.Dalam perjalanan, Arzan lebih banyak mengamati jalanan. Sesekali ia menengok ke belakang. Sebuah mobil van mengikuti kendaraan Vania.“Ada mobil penjagamu, ya?” Vania tersenyum pada Arzan.Anak lelaki itu hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan ibu kandu