“Ooh, tidak. Tentu saja kita harus bercerai.” Sarah menggeleng keras.Marc mengerutkan kening tak suka. Saat banyak wanita ingin menjadi istrinya, kini wanita yang telah sah mendampingi hidupnya malah mendesak untuk berpisah? Sungguh ia merasa sakit hati.“Sepertinya kamu antusias sekali kita akan bercerai? Apa sudah memiliki kekasih lain? Bos mu itu mungkin?” Marc mengendik pada layar laptop Sarah dengan wajah dingin.Tiba-tiba saja terlintas pertemuan antara Sarah dengan Bos-nya di restoran makanan sehat di otak Marc. Lelaki yang cukup tampan dan ramah itu yang bersenda gurau dengan istrinya.“Sembarangan saja kalau bicara. Bagaimana denganmu? Apa saja yang sudah kamu lakukan bersama Marsha?” Sarah balas menyahut dengan nada tinggi.“Kamu menuduhku yang tidak-tidak.”“Kamu yang lebih dulu menuduhku yang tidak-tidak.”Gila. Baru satu hari berduaan, rasanya kepala Sarah sudah mau pecah. Perceraian memang jalan terbaik, batin Sarah mendesah.Sarah menutup laptopnya. Ia berjalan ke ranj
“Duduk!”Sarah tersentak mendengar Marc membentaknya. Sedikit gentar, ia duduk di sofa dengan jari-jari saling bertautan.“Aku tidak mau dengar kata-kata itu lagi.” Entah kenapa semakin Sarah menginginkan perceraian, Marc semakin tertantang untuk mempertahankannya.“Kita tidak bisa bersama, Marc.”“Siapa bilang?”“Ini ... demi Papa.” Sarah menundukkan pandangan.“Justru Papa menginginkan kita bersama.”Sarah menggeleng. Ingin sekali ia membeberkan rahasia ini. Sebisa mungkin ia tahan, karena respons Marc mungkin akan membuat semuanya bertambah runyam.“Kalau kita bersama akan lebih berbahaya.”“Aku tidak mengerti Sarah. Sepertinya terlalu banyak misteri ketika kamu kembali.” Marc mendesah.“Misteri?” Sarah menatap wajah Marc dengan kedua alis terangkat sedikit.“Kamu banyak berubah. Penampilan, pola hidup, selera makan, sikap dan gerik-gerikmu pun berbeda.”Haruskah Sarah senang karena ternyata Marc memperhatikannya? Tidak, jangan ge-er, Sarah. Wanita itu mengingatkan dirinya sendiri.
Marc dan Sarah berjalan-jalan di sekitar area pantai. Banyak pertokoan yang menjual aksesoris dan cidera mata.“Mau membeli oleh-oleh?” Marc menawarkan saat melihat Sarah menatap lama etalase toko.Sarah menoleh menatap Marc. “Boleh?”Tanpa kata, Marc menggandeng tangan Sarah memasuki toko. Sarah tercenung dan menatap sekilas tangannya yang dipegang Marc.“Pilih dan beli apa pun yang kamu suka.” Marc berkata saat mereka telah berada di dalam toko.Sesungguhnya, Sarah tidak tau apa yang harus ia beli. Ia tidak memiliki keluarga ataupun teman dekat. Akhirnya, ia hanya membeli beberapa kain pantai dan hiasan rumah untuk Ibu Irma.Sarah tidak menemukan benda yang bisa ia berikan pada keluarga Carrington. Ia menunjukkan barang belanjaannya pada Marc.“Itu saja?” Marc melihat sekilas keranjang belanjaan istrinya.Kepala Sarah mengangguk. “Iya, ini saja.”Marc mengambil alih keranjang lalu memberikannya pada kasir. Ia juga membayar tagihan belanja dan membawakan paperbag.“Biar aku saja yang
Semua mata menatap Frank. Adrian yang sejak tadi berdiri tak jauh dari bosnya ikut menahan napas mendengar nada suara Frank yang tampak curiga.“Benarkan?” Frank menatap Marsha. “Jika kamu menikah dengan Marc dalam waktu dekat, kalian belum bisa langsung memiliki anak karena .... ““Iya, tentu saja.” Tinna langsung memotong kalimat Frank. “Tadi, kami hanya berkhayal karena sangat antusias dengan pernikahan Marc dan Marsha kelak.”Alasan Tinna tidak membuat Frank percaya begitu saja. Melalui sudut matanya, ia mengamati Marsha yang sedang mengesap teh hangat dengan sikap elegan.Bukan sekali ini saja, Frank memergoki Marsha. Gaya hidup dan pola makannya hanya berubah saat wanita itu bersama keluarga Carrington.Frank pernah juga mendapat laporan dari beberapa orang, termasuk Larry tentang kebiasaan-kebiasaan Marsha yang jauh dari hidup sehat. Ia sempat berkilah itu semua karena Marsha masih muda dan tentunya lebih sehat.Namun di saat lain, Marsha terlihat rapuh. Sering mengeluh luka sa
Malam itu Sarah cukup bahagia. Ternyata pemilik resort juga mengenal Ayah dan Ibunya. Mereka bernostalgia bersama.“Siapa yang tidak mengenal Ayahmu? Di mana ada Frank, di situ ada Thomas.” Om Hansel berucap.“Dan kamu sangat mirip dengan Ibumu, Sarah.” Tante Audi menimpali.Setelah beberapa saat berbincang tentang orang tua Sarah, Om Hansel menatap Marc.“Om baru mendengar tentang kabar Papamu. Ia baik-baik saja sekarang, ‘kan?”“Baik, Om. Terima kasih atas perhatiannya. Maaf, kami memang tidak sempat mengabari Om dan Tante tentang keadaan Papa.”“Tak apa, kami mengerti. Yang penting Frank sekarang sudah sehat.”“Keluarga kalian beruntung ada yang mendonasikan ginjalnya untuk Frank. Kakakku hingga saat ini masih menunggu donor.” Tante Audi menggeleng sedih.Mereka kini berbincang tentang keadaan Frank setelah dioperasi. Sarah hanya mendengarkan dengan senyum tipis. Ikut senang mendengar perkembangan kesehatan Papa mertuanya.“Itu artinya kalian mendapat ginjal yang bagus.”“Betul. Te
Sarah bercerita bahwa bukan keinginannya untuk pergi, meski ia memang harus menyendiri. Marc mendengarkan dengan kening berkerut dalam.“Penjelasanmu membuatku bingung. Apa susahnya menjawab bahwa liburan itu tidak menyenangkan?” Marc mendengus pelan dan menggeleng.Embusan napas panjang terdengar dari hidung Sarah. Ia memutuskan untuk memberikan Marc petunjuk sedikit demi sedikit.“Iya, liburannya tidak menyenangkan. Aku teringat keluargaku terus.”Marc menoleh menatap Sarah. “Kenapa tidak kembali lebih cepat?”“Mmm ... lucunya, aku kehabisan uang saat itu.” Sarah menjawab dengan nada bercanda. “Dan yaa ... aku mencari kerja dulu untuk ongkos pulang.”Marc membelalakkan mata. Ia jadi teringat cerita Sarah yang berusaha menghubunginya namun pesan itu tidak pernah tersampaikan.“Jadi, kamu menghubungiku karena kehabisan uang?”Spontan, Sarah menggeleng dan meralat pertanyaan Marc. “Eh, bukan. Jangan salah paham. Aku berusaha menghubungimu, Ibu Tinna dan Marsha untuk mencari tau keadaan
Di sebuah klub malam khusus wanita, Tinna dan Lucy duduk di kursi paling depan panggung. Mereka telah membuka mantel panjang dan kini hanya mengenakan gaun terusan tanpa lengan dengan panjang hanya setengah paha.“Marsha tidak curiga kita pergi berdua, ‘kan?”“Tentu saja tidak. Aku mengatakan padanya bahwa kita akan bertemu dengan teman-teman sebaya.”Lucy mengangguk. Matanya tak lepas dari pertunjukan di panggung. Ini bukan pertama kalinya, tetapi kali ini ia benar-benar tertarik mengamati apa yang tersaji di depannya.“Aku benar-benar kesal pada Frank.” Lucy menggerutu dengan mata fokus pada satu titik.“Akhir-akhir ini Frank memang menyebalkan, ya. Mungkin sekali-kali kamu harus membalasnya.” Tinna memberi saran pada Lucy.“Kamu ada usul?”“Bersenang-senang lah. Tunjukkan pada Frank bahwa kamu masih bisa mempesona lelaki lain dan ia akan menyesal karena mengacuhkanmu.”Kedua pasang mata wanita setengah baya itu mengamati pemandangan di depan mereka. Beberapa lelaki yang hanya menge
Sarah mengangguk dan mendongak ke atas di mana ada peserta senam yang sudah mulai lagi melakukan kegiatan tersebut.“Bagus. Karena mulai saat ini aku akan menuruti semua keinginanmu.” Marc berkata lagi.Mendengar pernyataan Marc, Sarah menatap lelaki tampan di depannya. “Aku minta kita bercerai.”“Kecuali itu.” Marc berjalan melewati Sarah.Tampak sekali wajah datar suaminya menegang saat Sarah mengucapkan kalimat cerai itu. Sarah juga bingung kenapa Marc jadi mau mempertahankan pernikahan ini. Bukannya mereka tidak saling mencintai?“Kamu marah?” Sarah membuntuti Marc.“Aku hanya tidak suka kamu terus-menerus mengucapkan kata cerai.”“Aku hanya meminta apa yang telah kita sepakati.”“Aku sudah meralatnya.”Sarah membuang kasar napasnya. Selain datar, irit kata kecuali sedang mode banyak tanya dan marah, Marc ini juga menyebalkan. Rasanya ketampanan dan tubuh bagusnya tertutupi sikapnya itu.Dan Marc memang benar-benar kesal. Semalam mereka sudah mulai dapat berbincang lama. Tadi saat