Yang mau getok kepala Marc, antri, ya. Thor juga mau soalnya. Hahahaha.
Sarah terbangun pukul dua dini hari. Perlahan ia turun dari ranjang dan menyelinap keluar kamar. Sarah masuk ke kamar bayi dan mengamati putrinya.Vivi tidur lelap. Hatinya miris melihat perlengkapan susu formula dan botol berjejer di samping ranjang putrinya. Namun ia lega, Vivi bisa tidur yang artinya ia sudah kenyang meski tidak minum ASI.Sambil merapatkan kimononya, Sarah kembali ke kamar. Ia tidur miring menghadap Marc. Suami tampannya terlihat tidur dengan kening berkerut. Entah jam berapa Sarah tertidur kembali. Ia menggeliat saat merasa lehernya diciumi. Matanya memicing pada sosok di depannya.“Selamat pagi, Sayang.” Marc tersenyum sambil mengelus kepala Sarah.“Mmm .... “ Sarah bergumam pelan. “Jam berapa?”“Sudah jam tujuh pagi.”Seketika mata Sarah membulat. Ia kesiangan karena biasanya selalu bangun jam lima saat Vivi mau menyusu.“Vivi sedang berjemur. Setelah ini kamu bisa menyusui.” Marc menenangkan istrinya yang kaget.Sarah mengangguk lega. Ia duduk dan menatap sua
“Kenapa Papa tidak mengantarku sekolah?” Arzan bertanya saat mereka sarapan bersama.“Adik Vivi kan sedang demam. Papa ikut jaga Adik dulu, ya.” Marc mengusap sayang kepala Arzan.Arzan mengangguk. “Sebenarnya, aku juga mau jaga Adik Vivi.”“Nanti pulang sekolah kamu bisa jaga Adik. Oke?” Sarah menimpali.Sarah dan Marc mengantar Arzan hingga putra mereka naik ke mobil jemputan. Keduanya mengamati kendaraan sekolah hingga keluar dari pagar rumah. Lalu, Marc menggandeng Sarah masuk kembali ke dalam.“Kamu mau ke kamar Vivi?”“Iya. Sebentar lagi, Vivi mau mandi.”Sarah dan Marc berbincang sebentar dengan Frank dan Lucy yang menginap karena khawatir dengan keadaan cucu mereka. Frank yang saat sarapan telah rapi dengan pakaian kerja sekalian berpamitan untuk ke kantor.Sebelum berangkat, Frank mengajak Lucy dan Marc mengobrol di ruang kerja. Sarah mengerti ada pembicaraan antar keluarga Carrington. Dengan beralasan bahwa ia ingin melihat Vivi, Sarah segera pergi ke kamar bayi.Marc lalu m
“Marsha hamil, Tuan Marc.”Marc mengembuskan napas berat lalu menggeleng pelan mendengar pernyataan dokter jiwa. Akhirnya apa yang Marsha imaginasikan terwujud. Meski ia hamil akibat pemerk*s**n.“Apa hubungannya denganku?” Marc bertanya dengan sikap masa bodoh.“Marsha tidak memiliki siapa pun sekarang. Ayahnya masih di penjara. Beliau yang meminta kami menghubungi Anda, Tuan.”“Maaf, aku tidak lagi dalam kapasitas membantu Marsha.”“Bukan itu maksudnya.”Sekali lagi, Marc mengembuskan napas berat. Kesabarannya menipis mendapat teka-teki dalam dokter Marsha yang berdiri di depannya ini.“Sekali lagi aku tegaskan, aku tidak akan membantu Marsha. Lagipula, Marsha sudah menjadi tanggung jawab rumah sakit, bukan?”Dokter terdiam. Ia seperti ragu mengungkapkan sesuatu. Tentu saja itu semakin membuat Marc kesal.“Aku tidak ada waktu lagi untuk ini.” Marc berdiri dan berjalan ke arah pintu.“Tuan, tunggu!” Dokter memanggil Marc. “Saya tau Tuan tidak lagi ada hubungannya dengan Marsha. Tetapi
“Kamu yakin ini bisa membuat Marsha dan Benny menjauh dari kehidupan keluarga Carrington?” Marc bertanya ragu pada pengacara pribadinya.Marc dan pengacara memegang berkas perjanjian yang akan diajukan kepada Benny. Tertulis bahwa Marc akan mencabut tuntutan pada Benny hingga lelaki itu bisa bebas bersyarat. Setelah bebas, Benny harus membawa Marsha ke rumah sakit jiwa di luar kota dan mengurusnya.“Salah satu pasal menyebutkan bahwa mereka tidak diperbolehkan mendekati keluarga Carrington secara langsung atau dengan bantuan orang lain.” Pengacara membaca salah satu butir perjanjian.Kembali Marc meneliti kata demi kata. Pengacara pribadinya ini memang bukan pengacara sembarangan. Prestasinya memenangkan berbagai kasus sudah tidak terhitung.Selain itu Frank merekomendasikan pengacara ini karena ia juga sangat dermawan. Beberapa kasus ia bantu tanpa memungut biaya sepeser pun. Terutama pada kaum tertindas.Untuk itu, sejujurnya Marc percaya pada rencana sang pengacara. Apalagi pengaca
Lucy tersenyum pada anak-anak panti yang menyapanya santun. Anak-anak itu sungguh manis. Lucy jadi berpikir kenapa dulu ia dan Frank tidak mengadopsi anak saja saat ia tak kunjung hamil lagi?Kepalanya menggeleng untuk membuyarkan lamunan tentang kehidupannya dulu dengan Frank. Mantan suaminya itu sudah dengan tegas berkata bahwa ia tidak bisa memberikan kesempatan kedua jika masalahnya adalah dengan kesetiaan.“Lydia.” Lucy menyapa temannya.Pemilik yayasan yang sedang duduk di kursi kerjanya sambil membaca kertas, mengangkat kepala. Lydia tersenyum dan berdiri. Ia balas menyapa dan mempersilahkan Lucy untuk duduk.“Apa kabar, Lucy? Bagaimana cucumu?”“Baik sekali. Vivi sudah mulai rewel jika ditinggal Sarah. Ia juga semakin cantik.” Dengan bangga Lucy menceritakan cucunya.Bahkan setelahnya Lucy memperlihatkan layar ponsel yang menampakkan beberapa foto dan video Vivi. Lydia langsung memuji kelucuan cucu temannya tersebut.“Lalu, Arzan? Bagaimana kabarnya anak itu?”Bibir Lucy kemba
“Alergi susu sapi.” Dokter anak mengamati kulit Vivi yang merah di beberapa bagian tubuh termasuk wajah.Sarah dan Marc saling berpandangan. Sarah berkata pada dokter bahwa Vivi sudah minum susu sapi hampir satu minggu.“Kenapa alerginya baru muncul sekarang? Bukankah seharusnya langsung terdeteksi?” Sarah bertanya dengan nada bingung pada dokter.“Karena Vivi masih minum ASI. Ia mendapat imun dari sana. Tetapi karena terus-menerus diberi susu sapi, akhirnya alerginya muncul juga.” Dokter menjelaskan seraya menuliskan resep untuk Vivi.“Jadi, Vivi tidak boleh minum susu formula lagi?” Marc kini yang bertanya pada dokter.“Boleh, Tuan. Hanya saja bagi bayi yang alergi susu sapi, susunya diganti dengan susu soya.”Marc memandang putrinya yang tampak gelisah. Pasti merasa gatal di wajah dan tubuh. Tangannya terjulur dan mengambil alih Vivi dari gendongan Sarah.Saat Sarah berbincang dengan dokter, Marc menenangkan putrinya. Jarinya mengusap lembut pipi Sarah yang merah.“Setelah minum ob
Lydia mengintip ruangannya. Menurut salah satu pekerja sosial, ada wanita yang ingin bertemu. Lydia menduga wanita ini yang menanyakan Arzan.Sebelum masuk, Lydia mengirim pesan singkat pada Lucy. Ia juga mengirimkan foto wanita di dalam ruangannya. Setelah itu, Lydia memasukkan kembali ponselnya ke saku.“Selamat pagi.” Lydia menyapa wanita yang tampak gelisah itu.Spontan, wanita itu berdiri. Mereka bersalaman. Wanita itu memperkenalkan dirinya bernama Vania.“Silahkan duduk, Nona Vania.” Lydia berkata santun. “Ada yang bisa saya bantu?”“Aku bertemu Vano kemarin sore di toko buku.” Tanpa basa-basi, Vania berucap cepat.Lydia mengerutkan kening. “Vano?”“Putraku yang kutinggalkan hampir sepuluh tahun lalu di sini.”Mata Lydia menatap lekat wanita di depannya. Memang ada kemiripan antara Vania dan Arzan. Sama-sama berkulit coklat, bibir penuh dan berambut sedikit ikal.“Anda yakin? Sudah hampir sepuluh tahun dan saya pikir ada banyak sekali anak dengan kemiripan yang sama.” Lydia men
Sejak kejadian di toko buku, gerak Arzan dipersempit. Ia selalu ditemani satu suster dan dua pengawal saat sekolah dan les. Setelah tidak ada kegiatan, Arzan dilarang bepergian.Untungnya, Arzan anak yang penurut. Ia tidak keberatan harus pulang tepat waktu dan tidak keluar rumah.Agar putranya tidak bosan, Marc menyiapkan banyak kegiatan di rumah. Olahraga, kesenian bahkan permainan disediakan Marc di rumah mereka. Arzan menikmati semua fasilitas tersebut.“Minggu depan, Arzan ulang tahun. Bagaimana pestanya? Kita tidak mungkin menggunakan rencana awal dengan membuat perayaan di hotel, bukan?” Sarah bertanya pada Marc.“Itu juga yang sedang aku pikirkan.”“Padahal, kita sudah janji pada Arzan untuk merayakan ulang tahunnya.”“Aku akan diskusi dengan event organizer saja.”Sarah mengangguk setuju. Wanita itu mendengar suaminya bicara di telepon dengan salah satu kenalannya yang biasa menyelenggarakan pesta.Malam harinya, Marc berbaring di samping Sarah. Ia melewati hari yang berat. D
Irwan menunggu. Vania mungkin sedang mengumpulkan kekuatan untuk memceritakan kisah kelamnya pada seseorang. Apalagi ia adalah orang baru yang pertama kali ditemui."Aku dan Bryan, ayah Arzan menikah tanpa restu. Kami lari dari keluarga karena memilih mempertahankan cinta."Vania mengembuskan napas kasar. Ia menyandarkan punggung pada dinding. Jari-jari tangannya saling bertautan."Di perkemahan seperti ini lah kami berbulan madu. Tiga bulan kemudian, aku hamil. Kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, beberapa bulan berikutnya, Bryan didiagnosis menderita kanker usus."Isakan Vania membuat Irwan memeluk erat Arzan. Ia tak ingin Arzan terbangun. Vania lalu sadar untuk segera menguasai diri.Sembari mengatur napas, Vania mengusap air matanya. Kini ia duduk sambil memeluk kaki-kakinya yang ditekuk.Dalam keadaan hamil, Vania merawat Bryan. Bryan cukup tegar dan berusaha menjalani pengobatan didampingi Vania.Pilihan itu datang saat Vania melahirkan. Kondisi Bryan bertambah lemah. Keuanga
Alrzan langsung bersembunyi di balik tubuh Vania. Wanita itu menyorotkan lampu senter pada lelaki yang berdiri di kegelapan. Arzan mengintip lalu bersorak.“Om Irwan.” Arzan langsung berlari menghampiri dan memeluk Irwan. “Lampu kabin kami mati, Om.”Irwan mengusap kepala Arzan. “Iya, kabin Om juga. Tadinya Om mau mencari bantuan tapi mendengar teriakan. Kebetulan sekali kita ada di sini, ya."“Aku bersama Ibu Vania. Cuma berdua.” Arzan menunjuk Vania yang terpaku di tempat melihat kedekatan putranya dengan lelaki yang dipanggil Om Irwan tersebut.Irwan mengangguk. Setelah berada pada jarak cukup dekat, Irwan menjulurkan tangan. Vania menyambutnya dan tersenyum penuh kelegaan.“Irwan. Aku putra Ibu Irma.”Sejenak setelah balas menyebut namanya, Vania mengamati Irwan. Rasanya ia pernah bertemu dengan lelaki ini. Tetapi, ia tidak ingat meskipun ia sering berada di kafe.“Kita memang belum pernah bertemu sebelum ini.” Irwan menjawab pengamatan Vania pada dirinya. “Oh, mungkin sekali. Saa
“Jadi Khanza, editor Vania yang menjadi otak gosip antara kamu dan Vania?” Sarah mengangkat alisnya. Tak menyangka bahwa ternyata orang terdekat Vania lah yang membuat kebohongan tersebut.“Iya. Itu dilakukan untuk mendongkrak penjualan buku Vania. Kamu ingat? Gosip itu beredar tak lama novel baru Vania terbit di pasaran.”Sarah mengangguk mengerti. “Vania tau?”“Itu sedang diselidiki Om Adrian.”“Perasaanku mengatakan Vania tidak ada sangkut pautnya dengan ini semua.”Pernyataan Sarah dikuatkan oleh dugaan bahwa Vania tidak mungkin mempertaruhkan nama baiknya. Jika ia memang terlibat dan keluarga Carrington tau, ia pasti tidak akan bertemu lagi dengan Arzan. Bahkan Sarah sendiri pun akan melarangnya.Marc mengangguk setuju. Ia berharap hari ini juga sudah mendapat kabar dari orang-orang Adrian yang bekerja untuk mengusut kasus pencemaran nama baik ini.“Jika Arzan sudah pulang, kemungkinan ia menemukan berita tersebut akan besar. Aku tidak ingin itu terjadi.”“Aku tau.” Sarah mencebi
Dua hari kemudian, Vania menjemput Arzan. Selama akhir minggu, ia akhirnya memperoleh izin membawa Arzan hanya berdua saja. Vania menjemput Arzan di rumah keluarga Carrington.Sarah menyambut Vania sambil menggandeng Arzan. Ia menyerahkan tangan Arzan pada Vania dan hanya berpesan untuk bersenang-senang.“Ingat pesan Mama ya, Sayang.” Sarah mengelus kepala Arzan sebelum putra angkatnya itu masuk ke dalam mobil.Arzan mengangguk lalu memeluk Sarah erat-erat. Ia juga mencium pipi Sarah dan berkata akan menurut pada pesan sang Mama. Vania memperhatikan inetraksi tersebut dengan rasa haru.Selalu saja ada rasa iri di hati Vania. Tapi, ia merasa itu hal yang wajar. Ia bertanya dalam hati kapan Arzan akan sehangat itu pada dirinya.Dalam perjalanan, Arzan lebih banyak mengamati jalanan. Sesekali ia menengok ke belakang. Sebuah mobil van mengikuti kendaraan Vania.“Ada mobil penjagamu, ya?” Vania tersenyum pada Arzan.Anak lelaki itu hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan ibu kandu
"Mana? Aku mau lihat." Sarah mencondongkan tubuhnya ke arah ponsel Marc.Pasangan suami istri itu sama-sama memperhatikan layar kecil ponsel Marc. Dengan kesal, Marc menyerahkan ponselnya pada sang istri. Ia malas membaca lanjutan berita tersebut."Pasti sebentar lagi Papa atau Mama akan menelepon dan marah-marah padaku." Marc kemudian bersungut. "Tadi saat kamu bilang tidak bisa ikut, aku sudah memiliki perasaan tak enak.""Nanti kalau Mama atau Papa menelepon, biar aku saja yang bicara pada mereka." Sarah menenangkan suaminya.Namun kali ini Marc tidak dapat mentoleransi berita tersebut. Portal gosip itu mengatakan ia mengadakan pertemuan rahasia dengan Vania untuk membahas putra mereka."Kamu jangan mencegahku lagi. Aku akan meminta pengacara menuntut pasal pencemaran nama baik."Tidak ada balasan dari Sarah. Ia sedang sibuk mengamati berita tersebut."Memangnya kamu sempat ngobrol berduaan dengan Vania, ya?""Tadinya aku sudah cerita ia minta maaf atas beredarnya gosip dan mengaku
Vania merasa bertambah senang karena setelah beberapa kali bertemu, akhirnya Arzan mulai banyak terbuka padanya. Meski anak itu masih kaku jika bersentuhan, Vania tetap memberikan perhatian melalui kontak fisik seperti mengelus, mengusap, memeluk dan mencium putranya.“Ok, nanti jangan lupa tanyakan pada Mama dan Papa kapan kita bisa kemping berdua, ya.” Vania berkata dengan penuh harap pada Arzan.Arzan mengangguk. Pada pertemuan itu, Arzan juga menunjukkan hasil tulisannya. Dengan bersemangat, Vania membaca dan mengangguk-angguk.“Sepertinya kamu memang berbakat.”“Apa aku bisa menjual buku dan mendapatkan uang seperti Ibu?”Kekehan kecil terdengar dari hidung Vania. “Tentu saja bisa. Tetapi, masih banyak yang mesti kamu pelajari karena menulis bukan hanya tentang menceritakan apa yang ada di kepalamu.”Vania berpesan bahwa Arzan harus banyak belajar tentang teori kepenulisan. Menurutnya, cerita Arzan menarik namun dari segi alur masih perlu diperbaiki. Arzan tampak serius melihat b
“Semua gagal.” Irwan berkata datar saat Marc bertanya tentang kencannya.Pagi ini, kantor Irwan kedatangan Marc. Lelaki itu mendapat laporan bahwa Irwan telah beberapa kali melakukan kencan buta dengan bantuan aplikasi jodoh.“Memang berapa kali sih kamu berkencan?”“Tiga kali.”“Artinya aplikasi itu tidak bagus. Mungkin kamu bisa coba cara konvesional saja.”“Maksudmu, amati sekeliling, jika ada yang menarik langsung ajak kencan?”“Iya seperti itu.”Dengan cepat, kepala Irwan menggeleng. Menurutnya kehidupannya sekarang hanya kantor dan rumah. Sementara ia tidak ingin berkencan dengan teman atau pegawai kantor.Marc menawarkan bantuan. Ia berkata Larry mungkin memiliki teman wanita yang juga sedang mencari jodoh. Mereka sama-sama tau, Larry memiliki pergaulan yang luas.Pasrah, Irwan mengangguk. Mereka melanjutkan membahas pekerjaan. Hingga akhirnya diskusi itu selesai.“Sepertinya hari ini kamu dan timmu harus lembut.” Marc berkata seraya bersiap akn pergi.“Iya. Aku juga berpikiran
“Jadi, kamu tidak berfoto sama Vania?” Sarah mengulangi pernyataan Marc yang menyangkal ia berada satu frane bersama Arzan dan Vania.“Tidak.” Marc menggeleng tegas. “Aku lebih dulu yang berfoto berdua dengan Arzan. Setelah itu Vania dan Arzan.”Tetapi, Marc berkata saat itu memang banyak kamera yang mengarah pada mereka. Marc tidak menaruh curiga karena mereka sedang berada di sekolah.“Jadi, kamu jangan berprasangka buruk padaku.”“Siapa yang berprasangka buruk?”“Aku takut kamu cemburu.”Sarah mencebik. “Tidak. Lagipula kalau kamu mau sama Vania, ya silahkan saja.”Marc terperanjat mendengar pernyataan istrinya. “Kok gitu?”“Yaa ... kamu suka nggak sama Vania?”“Enggak lah. Pertanyaanmu aneh sekali, Sayang.”“Ya, sudah. Kalau begitu, aku tidak curiga, cemburu, kesal atau marah padamu.”Marc mengembuskan napas lega. Meski ia jadi merasa aneh karena Sarah seperti cuek saja. Rasanya ia lebih suka Sarah cemburu.Bukankah cemburu tanda cinta? Tanda bahwa seorang istri tidak ingin suamin
Berita peluncuran buku Vania diiringi pemberitaan yang cukup menghebohkan. Beredar gosip bahwa Marc adalah ayah kandung dari anak Vania. Berita mengguncang itu dilengkapi foto Arzan saat kemping di mana anak itu berdiri di antara Marc dan Vania.Mereka tampak seperti keluarga kecil yang bahagia.“Kenapa kamu tidak ikut berfoto, Sarah?” Frank terlihat protes pada menantunya.“Saat akan foto, Vivi rewel, Pa. Jadi aku membawa Vivi ke suster dulu.” Sarah mengembuskan napas berat mendapat berita tersebut. Ia juga tidak tau ternyata Marc berfoto bertiga dengan Arzan dan Vania.“Mama akan marahi suster. Sudah tau Vivi sakit, kenapa ia tidak siaga di dekatmu.” Lucy dengan kesal juga ikut protes.“Aku yang suruh suster menunggu di luar, Ma. Itu kan area khusus pengantar anak-anak yang kemping.”“Lalu, kenapa Vania ikut-ikutan?” Lucy masih tidak terima.Sarah mengaku bahwa ia mengizinkan Vania ikut. Bahkan ia sendiri yang meminta izin pada sekolah agar ibu kandung Arzan itu bisa mengikuti upaca