Lucy tersenyum pada anak-anak panti yang menyapanya santun. Anak-anak itu sungguh manis. Lucy jadi berpikir kenapa dulu ia dan Frank tidak mengadopsi anak saja saat ia tak kunjung hamil lagi?Kepalanya menggeleng untuk membuyarkan lamunan tentang kehidupannya dulu dengan Frank. Mantan suaminya itu sudah dengan tegas berkata bahwa ia tidak bisa memberikan kesempatan kedua jika masalahnya adalah dengan kesetiaan.“Lydia.” Lucy menyapa temannya.Pemilik yayasan yang sedang duduk di kursi kerjanya sambil membaca kertas, mengangkat kepala. Lydia tersenyum dan berdiri. Ia balas menyapa dan mempersilahkan Lucy untuk duduk.“Apa kabar, Lucy? Bagaimana cucumu?”“Baik sekali. Vivi sudah mulai rewel jika ditinggal Sarah. Ia juga semakin cantik.” Dengan bangga Lucy menceritakan cucunya.Bahkan setelahnya Lucy memperlihatkan layar ponsel yang menampakkan beberapa foto dan video Vivi. Lydia langsung memuji kelucuan cucu temannya tersebut.“Lalu, Arzan? Bagaimana kabarnya anak itu?”Bibir Lucy kemba
“Alergi susu sapi.” Dokter anak mengamati kulit Vivi yang merah di beberapa bagian tubuh termasuk wajah.Sarah dan Marc saling berpandangan. Sarah berkata pada dokter bahwa Vivi sudah minum susu sapi hampir satu minggu.“Kenapa alerginya baru muncul sekarang? Bukankah seharusnya langsung terdeteksi?” Sarah bertanya dengan nada bingung pada dokter.“Karena Vivi masih minum ASI. Ia mendapat imun dari sana. Tetapi karena terus-menerus diberi susu sapi, akhirnya alerginya muncul juga.” Dokter menjelaskan seraya menuliskan resep untuk Vivi.“Jadi, Vivi tidak boleh minum susu formula lagi?” Marc kini yang bertanya pada dokter.“Boleh, Tuan. Hanya saja bagi bayi yang alergi susu sapi, susunya diganti dengan susu soya.”Marc memandang putrinya yang tampak gelisah. Pasti merasa gatal di wajah dan tubuh. Tangannya terjulur dan mengambil alih Vivi dari gendongan Sarah.Saat Sarah berbincang dengan dokter, Marc menenangkan putrinya. Jarinya mengusap lembut pipi Sarah yang merah.“Setelah minum ob
Lydia mengintip ruangannya. Menurut salah satu pekerja sosial, ada wanita yang ingin bertemu. Lydia menduga wanita ini yang menanyakan Arzan.Sebelum masuk, Lydia mengirim pesan singkat pada Lucy. Ia juga mengirimkan foto wanita di dalam ruangannya. Setelah itu, Lydia memasukkan kembali ponselnya ke saku.“Selamat pagi.” Lydia menyapa wanita yang tampak gelisah itu.Spontan, wanita itu berdiri. Mereka bersalaman. Wanita itu memperkenalkan dirinya bernama Vania.“Silahkan duduk, Nona Vania.” Lydia berkata santun. “Ada yang bisa saya bantu?”“Aku bertemu Vano kemarin sore di toko buku.” Tanpa basa-basi, Vania berucap cepat.Lydia mengerutkan kening. “Vano?”“Putraku yang kutinggalkan hampir sepuluh tahun lalu di sini.”Mata Lydia menatap lekat wanita di depannya. Memang ada kemiripan antara Vania dan Arzan. Sama-sama berkulit coklat, bibir penuh dan berambut sedikit ikal.“Anda yakin? Sudah hampir sepuluh tahun dan saya pikir ada banyak sekali anak dengan kemiripan yang sama.” Lydia men
Sejak kejadian di toko buku, gerak Arzan dipersempit. Ia selalu ditemani satu suster dan dua pengawal saat sekolah dan les. Setelah tidak ada kegiatan, Arzan dilarang bepergian.Untungnya, Arzan anak yang penurut. Ia tidak keberatan harus pulang tepat waktu dan tidak keluar rumah.Agar putranya tidak bosan, Marc menyiapkan banyak kegiatan di rumah. Olahraga, kesenian bahkan permainan disediakan Marc di rumah mereka. Arzan menikmati semua fasilitas tersebut.“Minggu depan, Arzan ulang tahun. Bagaimana pestanya? Kita tidak mungkin menggunakan rencana awal dengan membuat perayaan di hotel, bukan?” Sarah bertanya pada Marc.“Itu juga yang sedang aku pikirkan.”“Padahal, kita sudah janji pada Arzan untuk merayakan ulang tahunnya.”“Aku akan diskusi dengan event organizer saja.”Sarah mengangguk setuju. Wanita itu mendengar suaminya bicara di telepon dengan salah satu kenalannya yang biasa menyelenggarakan pesta.Malam harinya, Marc berbaring di samping Sarah. Ia melewati hari yang berat. D
“Maksudnya? Om Adrian kenal Vania? Wanita yang mengaku ibu kandung Arzan?” Marc bertanya seraya mengerutkan kening.Mereka langsung berkumpul di ruang keluarga sesaat setelah pesta Arzan selesai. Arzan telah tertidur karena kelelahan. Padahal setelah mandi, anak lelaki itu mengatakan ingin membuka hadiah-hadiah ulang tahunnya.“Wajah wanita yang diberikan Lydia memang kurang jelas karena temanku itu memfotonya secara diam-diam. Tetapi, di berita ini memang terlihat kemiripannya dengan Arzan.” Frank mengamati video rekaman yang diperlihatkan Adrian. “Siapa dia, Adrian?”Adrian mengotak-atik tabletnya. Kemudian, layar tablet itu balik menghadap Sarah, Marc, Frank dan juga Lucy. Keempat pasang mata menatap serius pada layar tersebut.“Penulis? Vania seorang penulis novel?” Sarah yang lebih dulu berkomentar.“Betul. Nama penanya Ainav, kebalikan dari nama aslinya. Salah satu bukunya yang berjudul ‘Anak yang Diinginkan namun Tidak Didambakan’. Istriku membaca buku menyedihkan tersebut.”Me
Sarah dan Marc menghela napas panjang. Tak menyangka bahwa Arzan ternyata ingat ia pernah bertemu dengan seseorang yang mengenalinya.“Siapa?” Sarah berpura-pura bertanya.“Tidak tau, Ma. Tiba-tiba ia membalik tubuhnya lalu menatapku dari wakah hingga kaki. Terus dia panggil aku Vano.”“Lalu?” Marc ikut bertanya sekaligus mengkonfirmasi apa yang diceritakan pengawal Arzan.“Om Awan bilang dia salah orang terus kami pergi.”“Kamu masih ingat wajahnya?”Kepala Arzan mengangguk pelan. “Wajahnya sepertinya mirip denganku.”Tidak ada komentar lagi dari Sarah maupun Marc. Mereka memilih mengalihkan perhatian pada apa yang dilakukan Vivi. Hingga akhirnya Arzan pun ikut bermain bersama adiknya.Saat Vivi mulai rewel karena lapar, mereka berjalan ke ruang makan. Marc menggendong Vivi dan menciumi pipi putrinya. Arzan bermain-main dengan kaki Vivi hingga bayi perempuan itu menendang-nendang dan tertawa.Suster ternyata sudah menyiapkan makanan Vivi. Kali ini bayi perempuan itu akan makan biskui
Adrian menunggu seseorang di restoran. Ia melirik jam tangan dan mendesah kesal saat melihat janji temu ini telah terlambat lima menit. Sebagai seorang profesional, Adrian terbiasa bekerja tepat waktu.Matanya lalu menatap seorang wanita yang baru saja datang. Seorang pelayan mengarahkan ke mejanya.“Pak Adrian?” Wanita itu – Vania menyapa.“Ya. Silahkan duduk, Nona Vania. Atau saya panggil Nyonya Vania?” Pertanyaan itu seolah menyindir status Vania yang tidak jelas.“Vania saja, boleh.”Adrian tersenyum sedikit. “Nyonya Vania lebih cocok. Anda telah memiliki putra berumur sepuluh tahun.”Mata Vania terbelalak. Tubuhnya condong ke depan dan dengan wajah berbinar menatap Adrian.“Jadi, anda mau bertemu saya karena mengetahui informasi tentang putra saya?”“Iya.” Adrian mengangguk. “Saya tau persis putra anda berada di mana?”“Di mana?” Vania bertanya antusias.“Ada syaratnya.”Wanita di depan Adrian menghela napas berat. Ia mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Adrian melihat Vania membu
Sontak, Sarah dan Marc menatap putra mereka. Tidak menyangka Arzan sangat ketus pada Vania. Mereka tidak mengajari Arzan bersikap begitu."Arzan, Ibumu hanya ingin bicara saja." Sarah dengan lembut berkata."Ya, bicara saja di sini." Arzan melipat kedua tangannya di perut seolah tak perduli.Sungguh, Sarah melihat cerminan Marc pada sikap Arzan. Apa Arzan sudah mulai terpengaruh gaya Matc yang datar, terutama pada orang yang tidak disukai?"Ya sudah, tak apa kalau kamu tidak mau bicara berdua Ibumu." Marc kemudian menatap sekilas pada Vania. "Mungkin Arzan masih shock bertemu denganmu."Vania menghela napas berat. Ia mengamati lekat-lekat putra kandungnya. Anak lelaki itu terlihat sangat terawat."Kamu sekolah di mana, Vano?""Aku maunya dipanggil Arzan." Anak lelaki itu bersungut kesal."Baiklah." Vania mengalah. "Kamu sekolah di mana, Arzan?""Sekolah Spring Internasional. Kelas empat."Sekolah internasional. Berarti, orang tua angkat Arzan sangat kaya. Vania berucap dalam hati."Ap
Irwan menunggu. Vania mungkin sedang mengumpulkan kekuatan untuk memceritakan kisah kelamnya pada seseorang. Apalagi ia adalah orang baru yang pertama kali ditemui."Aku dan Bryan, ayah Arzan menikah tanpa restu. Kami lari dari keluarga karena memilih mempertahankan cinta."Vania mengembuskan napas kasar. Ia menyandarkan punggung pada dinding. Jari-jari tangannya saling bertautan."Di perkemahan seperti ini lah kami berbulan madu. Tiga bulan kemudian, aku hamil. Kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, beberapa bulan berikutnya, Bryan didiagnosis menderita kanker usus."Isakan Vania membuat Irwan memeluk erat Arzan. Ia tak ingin Arzan terbangun. Vania lalu sadar untuk segera menguasai diri.Sembari mengatur napas, Vania mengusap air matanya. Kini ia duduk sambil memeluk kaki-kakinya yang ditekuk.Dalam keadaan hamil, Vania merawat Bryan. Bryan cukup tegar dan berusaha menjalani pengobatan didampingi Vania.Pilihan itu datang saat Vania melahirkan. Kondisi Bryan bertambah lemah. Keuanga
Alrzan langsung bersembunyi di balik tubuh Vania. Wanita itu menyorotkan lampu senter pada lelaki yang berdiri di kegelapan. Arzan mengintip lalu bersorak.“Om Irwan.” Arzan langsung berlari menghampiri dan memeluk Irwan. “Lampu kabin kami mati, Om.”Irwan mengusap kepala Arzan. “Iya, kabin Om juga. Tadinya Om mau mencari bantuan tapi mendengar teriakan. Kebetulan sekali kita ada di sini, ya."“Aku bersama Ibu Vania. Cuma berdua.” Arzan menunjuk Vania yang terpaku di tempat melihat kedekatan putranya dengan lelaki yang dipanggil Om Irwan tersebut.Irwan mengangguk. Setelah berada pada jarak cukup dekat, Irwan menjulurkan tangan. Vania menyambutnya dan tersenyum penuh kelegaan.“Irwan. Aku putra Ibu Irma.”Sejenak setelah balas menyebut namanya, Vania mengamati Irwan. Rasanya ia pernah bertemu dengan lelaki ini. Tetapi, ia tidak ingat meskipun ia sering berada di kafe.“Kita memang belum pernah bertemu sebelum ini.” Irwan menjawab pengamatan Vania pada dirinya. “Oh, mungkin sekali. Saa
“Jadi Khanza, editor Vania yang menjadi otak gosip antara kamu dan Vania?” Sarah mengangkat alisnya. Tak menyangka bahwa ternyata orang terdekat Vania lah yang membuat kebohongan tersebut.“Iya. Itu dilakukan untuk mendongkrak penjualan buku Vania. Kamu ingat? Gosip itu beredar tak lama novel baru Vania terbit di pasaran.”Sarah mengangguk mengerti. “Vania tau?”“Itu sedang diselidiki Om Adrian.”“Perasaanku mengatakan Vania tidak ada sangkut pautnya dengan ini semua.”Pernyataan Sarah dikuatkan oleh dugaan bahwa Vania tidak mungkin mempertaruhkan nama baiknya. Jika ia memang terlibat dan keluarga Carrington tau, ia pasti tidak akan bertemu lagi dengan Arzan. Bahkan Sarah sendiri pun akan melarangnya.Marc mengangguk setuju. Ia berharap hari ini juga sudah mendapat kabar dari orang-orang Adrian yang bekerja untuk mengusut kasus pencemaran nama baik ini.“Jika Arzan sudah pulang, kemungkinan ia menemukan berita tersebut akan besar. Aku tidak ingin itu terjadi.”“Aku tau.” Sarah mencebi
Dua hari kemudian, Vania menjemput Arzan. Selama akhir minggu, ia akhirnya memperoleh izin membawa Arzan hanya berdua saja. Vania menjemput Arzan di rumah keluarga Carrington.Sarah menyambut Vania sambil menggandeng Arzan. Ia menyerahkan tangan Arzan pada Vania dan hanya berpesan untuk bersenang-senang.“Ingat pesan Mama ya, Sayang.” Sarah mengelus kepala Arzan sebelum putra angkatnya itu masuk ke dalam mobil.Arzan mengangguk lalu memeluk Sarah erat-erat. Ia juga mencium pipi Sarah dan berkata akan menurut pada pesan sang Mama. Vania memperhatikan inetraksi tersebut dengan rasa haru.Selalu saja ada rasa iri di hati Vania. Tapi, ia merasa itu hal yang wajar. Ia bertanya dalam hati kapan Arzan akan sehangat itu pada dirinya.Dalam perjalanan, Arzan lebih banyak mengamati jalanan. Sesekali ia menengok ke belakang. Sebuah mobil van mengikuti kendaraan Vania.“Ada mobil penjagamu, ya?” Vania tersenyum pada Arzan.Anak lelaki itu hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan ibu kandu
"Mana? Aku mau lihat." Sarah mencondongkan tubuhnya ke arah ponsel Marc.Pasangan suami istri itu sama-sama memperhatikan layar kecil ponsel Marc. Dengan kesal, Marc menyerahkan ponselnya pada sang istri. Ia malas membaca lanjutan berita tersebut."Pasti sebentar lagi Papa atau Mama akan menelepon dan marah-marah padaku." Marc kemudian bersungut. "Tadi saat kamu bilang tidak bisa ikut, aku sudah memiliki perasaan tak enak.""Nanti kalau Mama atau Papa menelepon, biar aku saja yang bicara pada mereka." Sarah menenangkan suaminya.Namun kali ini Marc tidak dapat mentoleransi berita tersebut. Portal gosip itu mengatakan ia mengadakan pertemuan rahasia dengan Vania untuk membahas putra mereka."Kamu jangan mencegahku lagi. Aku akan meminta pengacara menuntut pasal pencemaran nama baik."Tidak ada balasan dari Sarah. Ia sedang sibuk mengamati berita tersebut."Memangnya kamu sempat ngobrol berduaan dengan Vania, ya?""Tadinya aku sudah cerita ia minta maaf atas beredarnya gosip dan mengaku
Vania merasa bertambah senang karena setelah beberapa kali bertemu, akhirnya Arzan mulai banyak terbuka padanya. Meski anak itu masih kaku jika bersentuhan, Vania tetap memberikan perhatian melalui kontak fisik seperti mengelus, mengusap, memeluk dan mencium putranya.“Ok, nanti jangan lupa tanyakan pada Mama dan Papa kapan kita bisa kemping berdua, ya.” Vania berkata dengan penuh harap pada Arzan.Arzan mengangguk. Pada pertemuan itu, Arzan juga menunjukkan hasil tulisannya. Dengan bersemangat, Vania membaca dan mengangguk-angguk.“Sepertinya kamu memang berbakat.”“Apa aku bisa menjual buku dan mendapatkan uang seperti Ibu?”Kekehan kecil terdengar dari hidung Vania. “Tentu saja bisa. Tetapi, masih banyak yang mesti kamu pelajari karena menulis bukan hanya tentang menceritakan apa yang ada di kepalamu.”Vania berpesan bahwa Arzan harus banyak belajar tentang teori kepenulisan. Menurutnya, cerita Arzan menarik namun dari segi alur masih perlu diperbaiki. Arzan tampak serius melihat b
“Semua gagal.” Irwan berkata datar saat Marc bertanya tentang kencannya.Pagi ini, kantor Irwan kedatangan Marc. Lelaki itu mendapat laporan bahwa Irwan telah beberapa kali melakukan kencan buta dengan bantuan aplikasi jodoh.“Memang berapa kali sih kamu berkencan?”“Tiga kali.”“Artinya aplikasi itu tidak bagus. Mungkin kamu bisa coba cara konvesional saja.”“Maksudmu, amati sekeliling, jika ada yang menarik langsung ajak kencan?”“Iya seperti itu.”Dengan cepat, kepala Irwan menggeleng. Menurutnya kehidupannya sekarang hanya kantor dan rumah. Sementara ia tidak ingin berkencan dengan teman atau pegawai kantor.Marc menawarkan bantuan. Ia berkata Larry mungkin memiliki teman wanita yang juga sedang mencari jodoh. Mereka sama-sama tau, Larry memiliki pergaulan yang luas.Pasrah, Irwan mengangguk. Mereka melanjutkan membahas pekerjaan. Hingga akhirnya diskusi itu selesai.“Sepertinya hari ini kamu dan timmu harus lembut.” Marc berkata seraya bersiap akn pergi.“Iya. Aku juga berpikiran
“Jadi, kamu tidak berfoto sama Vania?” Sarah mengulangi pernyataan Marc yang menyangkal ia berada satu frane bersama Arzan dan Vania.“Tidak.” Marc menggeleng tegas. “Aku lebih dulu yang berfoto berdua dengan Arzan. Setelah itu Vania dan Arzan.”Tetapi, Marc berkata saat itu memang banyak kamera yang mengarah pada mereka. Marc tidak menaruh curiga karena mereka sedang berada di sekolah.“Jadi, kamu jangan berprasangka buruk padaku.”“Siapa yang berprasangka buruk?”“Aku takut kamu cemburu.”Sarah mencebik. “Tidak. Lagipula kalau kamu mau sama Vania, ya silahkan saja.”Marc terperanjat mendengar pernyataan istrinya. “Kok gitu?”“Yaa ... kamu suka nggak sama Vania?”“Enggak lah. Pertanyaanmu aneh sekali, Sayang.”“Ya, sudah. Kalau begitu, aku tidak curiga, cemburu, kesal atau marah padamu.”Marc mengembuskan napas lega. Meski ia jadi merasa aneh karena Sarah seperti cuek saja. Rasanya ia lebih suka Sarah cemburu.Bukankah cemburu tanda cinta? Tanda bahwa seorang istri tidak ingin suamin
Berita peluncuran buku Vania diiringi pemberitaan yang cukup menghebohkan. Beredar gosip bahwa Marc adalah ayah kandung dari anak Vania. Berita mengguncang itu dilengkapi foto Arzan saat kemping di mana anak itu berdiri di antara Marc dan Vania.Mereka tampak seperti keluarga kecil yang bahagia.“Kenapa kamu tidak ikut berfoto, Sarah?” Frank terlihat protes pada menantunya.“Saat akan foto, Vivi rewel, Pa. Jadi aku membawa Vivi ke suster dulu.” Sarah mengembuskan napas berat mendapat berita tersebut. Ia juga tidak tau ternyata Marc berfoto bertiga dengan Arzan dan Vania.“Mama akan marahi suster. Sudah tau Vivi sakit, kenapa ia tidak siaga di dekatmu.” Lucy dengan kesal juga ikut protes.“Aku yang suruh suster menunggu di luar, Ma. Itu kan area khusus pengantar anak-anak yang kemping.”“Lalu, kenapa Vania ikut-ikutan?” Lucy masih tidak terima.Sarah mengaku bahwa ia mengizinkan Vania ikut. Bahkan ia sendiri yang meminta izin pada sekolah agar ibu kandung Arzan itu bisa mengikuti upaca