Semua kepala menoleh ke belakang. Mereka terkejut karena ternyata Arzan berdiri di sana dengan wajah kesal. Marc segera menghampiri putranya.“Arzan. Papa pikir kamu tidur.” Marc menggandeng tangan Arzan dan membawanya ke sofa.“Tidak. Aku tadi baca buku lalu ingin ambil minuman.“Oh. Ya, sudah. Sebentar.”Marc memanggil pelayan untuk menyiapkan makanan dan minuman. Setelah pelayan pergi, lelaki itu menatap putranya dengan senyum penuh arti.“Mama pasti tidak suka kamu berprilaku tidak sopan pada orang lain, terutama ibu kandungmu.”Arzan menghela napas berat.”Memangnya dia betul-betul ibuku, Pa?”“Kenapa kamu tidak yakin? Ia memberikan banyak bukti yang mirip denganmu.”“Kata temanku, lebih baik tes DNA saja.”Sarah yang lebih dulu berhasil mengatasi rasa terkejutnya. Sementara yang lain saling memandang dengan dahi berkerut. Tak menyangka, Arzan mengerti tentang tes DNA.“Temanmu? Pasti Mario, yang sering kamu sebut-sebut itu.”Arzan mengangguk. “Tadi pagi aku cerita kalau aku akan
“Arzan sendiri yang meminta tes DNA?” Vania berkata bingung pada Adrian.“Iya.”“Kenapa?”“Karena ia tidak percaya ada ibu yang tega meninggalkan bayinya di depan pintu yayasan, kemudian ibunya itu tiba-tiba muncul sekarang.” Dengan nada datar Adrian menjawab.Vania terdiam. Pagi ini ia ditelepon Adrian yang memintanya datang ke rumah sakit. Pikiran buruknya mengatakan Arzan mungkin mengalami suatu kecelakaan.Tak lama kemudian, Sarah, Marc dan Arzan datang. Tanpa berbasa-basi, mereka ke sebuah ruangan tertutup. Dokter kenalan Frank sudah menunggu.“Apa kamu sudah pernah diambil darah.” Dokter bertanya saat melihat Arzan tegang.“Belum.” Anak lelaki itu menjawab.“Biar aku pegangi Arzan agar tidak takut.” Vania berjalan mendekat.Cepat, Arzan menggeleng. Ia langsung menghampiri Marc yang berada paling dekat dengannya. Marc segera memeluk kemudian memangku putranya.“Sudah. Duduk sama Papa saja.”Kemudian, Arzan tampak tenang. Bahkan ketika jarum suntik masuk ke pembuluh darahnya, ia h
“Ini wanita yang mengaku sebagai ibu kandung Arzan?” Irma mengamati foto yang diberikan Irwan melalui layar ponsel.Irwan mengangguk. “Iya. Kalau dilihat-lihat memang mirip. Ia juga tau detail bagaimana ciri bayi yang ia tinggalkan di panti asuhan dan tanda lahir Arzan.”“Ya ampun. Ini sih ibu kenal.” Irma menggeleng-geleng tak percaya. “Orangnya baik sekali.”Irwan mengerutkan kening dalam. “Bagaimana? Ibu kenal di mana? Salah orang kali.”Irma kembali mengamati foto Vania. Ia bahkan memperbesar foto tersebut lalu mengangguk-angguk. Kemudian, tangannya melambai memanggil salah satu pegawai kafe.Irwan mendengar ibunya bertanya pegawai kafe. Wanita bercelemek itu menatap layar ponsel Irwan dan mengangguk. Irwan mengerti, pasti Vania pernah datang ke kafe ini.“Costumer ya, Bu?” Irwan menyimpulkan.“Pelanggan setia tepatnya. Vania selalu datang menjelang malam hingga kafe tutup. Ia selalu duduk di kursi yang sama, di pojok ruangan.” Irma menunjuk pada meja di ujung.“Maksud Ibu, dia da
"Pesanan Anda, Nona. Lemon cake dan teh camomile."Vania tersenyum dan mengangguk. Wanita itu menggeser laptop ke samping agar mudah meletakkan makanan dan minumannya. Saat mendongak untuk mengucapkan terima kasih, Vania terkejut."Lho, Ibu yang antar makanan? Apa ada pegawai yang tidak masuk?" Vania membantu Ibu Irma meletakkan pesanannya."Iya, kebetulan salah satu pegawai izin untuk mengantar orang tuanya ke rumah sakit.""Ya ampun. Baik. Terima kasih, Bu.""Irma. Namaku, Irma.""Salam kenal, Ibu. Aku suka kafe ini. Sangat nyaman.""Terima kasih juga karena telah menjadi salah satu pelanggan setia."Vania terkekeh. Wanita berwajah manis itu berkata, untuk bekerja, ia memerlukan suasana yang tenang. Dan ia menemukannya di tempat ini."Ibu Irma pemilik kafe ini, bukan? Nama kafenya sama dengan nama Ibu.""Sebenarnya kami berdua. Saya juga investasi di kafe ini." Irma menatap sekeliling dengan senyum."Oh begitu. Silahkan duduk, Ibu. Kalau tidak keberatan, kita bisa mengobrol sebentar
“Jadi, selama tiga hari ini Ibu sendirian di rumah? Pulangnya bagaimana?” Sarah mencecar pertanyaan saat Ibu Irma bercerita bahwa Irwan sedang pelatihan di luar kota.“Dulu juga Ibu sering sendirian kok. Tidak apa-apa. Biasanya pulang naik taksi.” Ibu Irma menjawab sambil terkekeh melihat kekhawatiran Sarah.“Dulu, kan, Ibu tinggal di kota kecil yang sebagian besar warganya mengenal Ibu. Di sini, Ibu belum kenal siapa-siapa. Bahaya!” Sarah mengomel sendiri sambil membaca berkas laporan dari manager keuangan kafe.“Ya, terus Ibu harus bagaimana?”“Kenapa tidak kasih tau aku? Aku bisa meminta supir menjemput Ibu.”Segera, Irma menolak. Menurutnya, Sarah berlebihan. Ia juga ingin memiliki waktu sendiri dan mandiri di kota besar.Dengan menghela napas panjang, Sarah akhirnya mengangguk. Ia menutup berkas lalu memberikannya pada manager yang duduk di depannya. Lelaki yang mengurus keuangan kafe itu segera pamit dari ruang kerja Sarah setelah mendiskusikan beberapa keperluan kafe.“Sepertin
"Oh, tidak. Aku tidak mau jodoh-jodohin orang." Marc menggeleng tegas mendengar permintaan Sarah untuk mengenalkan Irwan dengan salah satu pegawai kantor."Lho, kamu aja dijodohin kok." Sarah balas meledek.Marc menyeringai. "Yaa ... itu sih takdir namanya. Lagipula mak comblangnya orang tua. Kalau gak dituruti kualat."Sarah tergelak mendengar ucapan suaminya. Mereka sedang bekerja di ruang kerja pribadi Marc di rumah. Sejak Sarah selesai dengan proyek di kantor lama, ia memang kerap membantu memeriksa keuangan perusahaan Marc.Sambil menatap layar laptop, Sarah bercerita ketika ia bertemu Vania. Juga bagaimana Ibu Irma berbincang dengan wanita yang mengaku sebagai ibu kandung Arzan."Sebenarnya aku penasaran. Vania terlihat sayang pada Arzan. Kenapa dulu ditinggalkan, ya?""Tak perlu ungkit masa lalu jika menyakitkan." Marc mengingatkan Sarah karena mereka pun memiliki masa lalu yang kompleks.Mendengar nasehat Marc, Sarah jadi terdiam. Namun begitu, dalam hati ia ingin suatu saat V
“Ayo, Sarah. Sebentar lagi, wawancaranya mulai.” Lucy memberitahu menantunya yang masih berada di meja makan.“Iya, Ma. Sebentar, Sarah minum vitamin dulu.” Sarah segera menenggak dua butir vitamin dengan segelas air.Dengan langkah cepat, Sarah berjalan ke ruang keluarga. Layar televisi sudah menampilkan latar belakang tema wawancara mereka. Lucy duduk sambil memangku Vivi.Melihat Sarah, Vivi langsung berpindah tempat. Ia mengambil posisi menyusui dan menatap Sarah.“Mau susu?” Sarah mencium Vivi dan membuka kancing atas blusnya. Sambil menyusui, Sarah menatap layar. “Kok iklannya banyak sekali, Ma.”“Itu tandanya acara ini banyak peminat, hingga banyak produk yang membayar agar iklan mereka ditampilkan.”Sarah mengangguk-angguk mendengar penjelasan Lucy. Tangannya tak henti mengusap sayang rambut bergelombang Vivi.Acara di televisi di buka oleh seorang MC cantik. Lucy mendengus pelan membuat Sarah menoleh menatap Mama mertuanya.“Kenapa, Ma?”Lucy mengendik ke layar televisi. “Man
"Mama bilang kamu tidak nonton wawancaraku di televisi. Apa Vivi rewel?" Marc bertanya seraya membuka pakaiannya.Setelah acara di televisi, Marc meminta izin melalui pesan untuk makan-makan bersama kru media. Hingga kemudian, ia baru pulang menjelang malam."Gitu, deh." Sarah menjawab datar."Ya, sudah. Aku mandi dulu." Marc lalu masuk ke kamar mandi tanpa melihat wajah Sarah yang mencebik kesal padanya.Begini rasanya kalau menikah tanpa pacaran. Mereka sama-sama mesti mempelajari karakter masing-masing dan harus banyak pengertian.Rasa kesal tidak membuat Sarah meninggalkan rutinitasnya menyiapkan kebutuhan Marc. Satu set piyama diletakkan di sisi ranjang. Ia lalu duduk di sofa sambil membaca buku.Marc berjalan mendekati Sarah sambil mengancing piyamanya. Rambut lelaki itu masih basah dan ia tidak repot-repot mengeringkannya. Marc duduk di samping sang istri.“Aku bertemu teman lama di stasiun televisi tadi. Jadi, setelah interview, kami makan-makan bersama.” Marc bercerita santai
Irwan menunggu. Vania mungkin sedang mengumpulkan kekuatan untuk memceritakan kisah kelamnya pada seseorang. Apalagi ia adalah orang baru yang pertama kali ditemui."Aku dan Bryan, ayah Arzan menikah tanpa restu. Kami lari dari keluarga karena memilih mempertahankan cinta."Vania mengembuskan napas kasar. Ia menyandarkan punggung pada dinding. Jari-jari tangannya saling bertautan."Di perkemahan seperti ini lah kami berbulan madu. Tiga bulan kemudian, aku hamil. Kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, beberapa bulan berikutnya, Bryan didiagnosis menderita kanker usus."Isakan Vania membuat Irwan memeluk erat Arzan. Ia tak ingin Arzan terbangun. Vania lalu sadar untuk segera menguasai diri.Sembari mengatur napas, Vania mengusap air matanya. Kini ia duduk sambil memeluk kaki-kakinya yang ditekuk.Dalam keadaan hamil, Vania merawat Bryan. Bryan cukup tegar dan berusaha menjalani pengobatan didampingi Vania.Pilihan itu datang saat Vania melahirkan. Kondisi Bryan bertambah lemah. Keuanga
Alrzan langsung bersembunyi di balik tubuh Vania. Wanita itu menyorotkan lampu senter pada lelaki yang berdiri di kegelapan. Arzan mengintip lalu bersorak.“Om Irwan.” Arzan langsung berlari menghampiri dan memeluk Irwan. “Lampu kabin kami mati, Om.”Irwan mengusap kepala Arzan. “Iya, kabin Om juga. Tadinya Om mau mencari bantuan tapi mendengar teriakan. Kebetulan sekali kita ada di sini, ya."“Aku bersama Ibu Vania. Cuma berdua.” Arzan menunjuk Vania yang terpaku di tempat melihat kedekatan putranya dengan lelaki yang dipanggil Om Irwan tersebut.Irwan mengangguk. Setelah berada pada jarak cukup dekat, Irwan menjulurkan tangan. Vania menyambutnya dan tersenyum penuh kelegaan.“Irwan. Aku putra Ibu Irma.”Sejenak setelah balas menyebut namanya, Vania mengamati Irwan. Rasanya ia pernah bertemu dengan lelaki ini. Tetapi, ia tidak ingat meskipun ia sering berada di kafe.“Kita memang belum pernah bertemu sebelum ini.” Irwan menjawab pengamatan Vania pada dirinya. “Oh, mungkin sekali. Saa
“Jadi Khanza, editor Vania yang menjadi otak gosip antara kamu dan Vania?” Sarah mengangkat alisnya. Tak menyangka bahwa ternyata orang terdekat Vania lah yang membuat kebohongan tersebut.“Iya. Itu dilakukan untuk mendongkrak penjualan buku Vania. Kamu ingat? Gosip itu beredar tak lama novel baru Vania terbit di pasaran.”Sarah mengangguk mengerti. “Vania tau?”“Itu sedang diselidiki Om Adrian.”“Perasaanku mengatakan Vania tidak ada sangkut pautnya dengan ini semua.”Pernyataan Sarah dikuatkan oleh dugaan bahwa Vania tidak mungkin mempertaruhkan nama baiknya. Jika ia memang terlibat dan keluarga Carrington tau, ia pasti tidak akan bertemu lagi dengan Arzan. Bahkan Sarah sendiri pun akan melarangnya.Marc mengangguk setuju. Ia berharap hari ini juga sudah mendapat kabar dari orang-orang Adrian yang bekerja untuk mengusut kasus pencemaran nama baik ini.“Jika Arzan sudah pulang, kemungkinan ia menemukan berita tersebut akan besar. Aku tidak ingin itu terjadi.”“Aku tau.” Sarah mencebi
Dua hari kemudian, Vania menjemput Arzan. Selama akhir minggu, ia akhirnya memperoleh izin membawa Arzan hanya berdua saja. Vania menjemput Arzan di rumah keluarga Carrington.Sarah menyambut Vania sambil menggandeng Arzan. Ia menyerahkan tangan Arzan pada Vania dan hanya berpesan untuk bersenang-senang.“Ingat pesan Mama ya, Sayang.” Sarah mengelus kepala Arzan sebelum putra angkatnya itu masuk ke dalam mobil.Arzan mengangguk lalu memeluk Sarah erat-erat. Ia juga mencium pipi Sarah dan berkata akan menurut pada pesan sang Mama. Vania memperhatikan inetraksi tersebut dengan rasa haru.Selalu saja ada rasa iri di hati Vania. Tapi, ia merasa itu hal yang wajar. Ia bertanya dalam hati kapan Arzan akan sehangat itu pada dirinya.Dalam perjalanan, Arzan lebih banyak mengamati jalanan. Sesekali ia menengok ke belakang. Sebuah mobil van mengikuti kendaraan Vania.“Ada mobil penjagamu, ya?” Vania tersenyum pada Arzan.Anak lelaki itu hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan ibu kandu
"Mana? Aku mau lihat." Sarah mencondongkan tubuhnya ke arah ponsel Marc.Pasangan suami istri itu sama-sama memperhatikan layar kecil ponsel Marc. Dengan kesal, Marc menyerahkan ponselnya pada sang istri. Ia malas membaca lanjutan berita tersebut."Pasti sebentar lagi Papa atau Mama akan menelepon dan marah-marah padaku." Marc kemudian bersungut. "Tadi saat kamu bilang tidak bisa ikut, aku sudah memiliki perasaan tak enak.""Nanti kalau Mama atau Papa menelepon, biar aku saja yang bicara pada mereka." Sarah menenangkan suaminya.Namun kali ini Marc tidak dapat mentoleransi berita tersebut. Portal gosip itu mengatakan ia mengadakan pertemuan rahasia dengan Vania untuk membahas putra mereka."Kamu jangan mencegahku lagi. Aku akan meminta pengacara menuntut pasal pencemaran nama baik."Tidak ada balasan dari Sarah. Ia sedang sibuk mengamati berita tersebut."Memangnya kamu sempat ngobrol berduaan dengan Vania, ya?""Tadinya aku sudah cerita ia minta maaf atas beredarnya gosip dan mengaku
Vania merasa bertambah senang karena setelah beberapa kali bertemu, akhirnya Arzan mulai banyak terbuka padanya. Meski anak itu masih kaku jika bersentuhan, Vania tetap memberikan perhatian melalui kontak fisik seperti mengelus, mengusap, memeluk dan mencium putranya.“Ok, nanti jangan lupa tanyakan pada Mama dan Papa kapan kita bisa kemping berdua, ya.” Vania berkata dengan penuh harap pada Arzan.Arzan mengangguk. Pada pertemuan itu, Arzan juga menunjukkan hasil tulisannya. Dengan bersemangat, Vania membaca dan mengangguk-angguk.“Sepertinya kamu memang berbakat.”“Apa aku bisa menjual buku dan mendapatkan uang seperti Ibu?”Kekehan kecil terdengar dari hidung Vania. “Tentu saja bisa. Tetapi, masih banyak yang mesti kamu pelajari karena menulis bukan hanya tentang menceritakan apa yang ada di kepalamu.”Vania berpesan bahwa Arzan harus banyak belajar tentang teori kepenulisan. Menurutnya, cerita Arzan menarik namun dari segi alur masih perlu diperbaiki. Arzan tampak serius melihat b
“Semua gagal.” Irwan berkata datar saat Marc bertanya tentang kencannya.Pagi ini, kantor Irwan kedatangan Marc. Lelaki itu mendapat laporan bahwa Irwan telah beberapa kali melakukan kencan buta dengan bantuan aplikasi jodoh.“Memang berapa kali sih kamu berkencan?”“Tiga kali.”“Artinya aplikasi itu tidak bagus. Mungkin kamu bisa coba cara konvesional saja.”“Maksudmu, amati sekeliling, jika ada yang menarik langsung ajak kencan?”“Iya seperti itu.”Dengan cepat, kepala Irwan menggeleng. Menurutnya kehidupannya sekarang hanya kantor dan rumah. Sementara ia tidak ingin berkencan dengan teman atau pegawai kantor.Marc menawarkan bantuan. Ia berkata Larry mungkin memiliki teman wanita yang juga sedang mencari jodoh. Mereka sama-sama tau, Larry memiliki pergaulan yang luas.Pasrah, Irwan mengangguk. Mereka melanjutkan membahas pekerjaan. Hingga akhirnya diskusi itu selesai.“Sepertinya hari ini kamu dan timmu harus lembut.” Marc berkata seraya bersiap akn pergi.“Iya. Aku juga berpikiran
“Jadi, kamu tidak berfoto sama Vania?” Sarah mengulangi pernyataan Marc yang menyangkal ia berada satu frane bersama Arzan dan Vania.“Tidak.” Marc menggeleng tegas. “Aku lebih dulu yang berfoto berdua dengan Arzan. Setelah itu Vania dan Arzan.”Tetapi, Marc berkata saat itu memang banyak kamera yang mengarah pada mereka. Marc tidak menaruh curiga karena mereka sedang berada di sekolah.“Jadi, kamu jangan berprasangka buruk padaku.”“Siapa yang berprasangka buruk?”“Aku takut kamu cemburu.”Sarah mencebik. “Tidak. Lagipula kalau kamu mau sama Vania, ya silahkan saja.”Marc terperanjat mendengar pernyataan istrinya. “Kok gitu?”“Yaa ... kamu suka nggak sama Vania?”“Enggak lah. Pertanyaanmu aneh sekali, Sayang.”“Ya, sudah. Kalau begitu, aku tidak curiga, cemburu, kesal atau marah padamu.”Marc mengembuskan napas lega. Meski ia jadi merasa aneh karena Sarah seperti cuek saja. Rasanya ia lebih suka Sarah cemburu.Bukankah cemburu tanda cinta? Tanda bahwa seorang istri tidak ingin suamin
Berita peluncuran buku Vania diiringi pemberitaan yang cukup menghebohkan. Beredar gosip bahwa Marc adalah ayah kandung dari anak Vania. Berita mengguncang itu dilengkapi foto Arzan saat kemping di mana anak itu berdiri di antara Marc dan Vania.Mereka tampak seperti keluarga kecil yang bahagia.“Kenapa kamu tidak ikut berfoto, Sarah?” Frank terlihat protes pada menantunya.“Saat akan foto, Vivi rewel, Pa. Jadi aku membawa Vivi ke suster dulu.” Sarah mengembuskan napas berat mendapat berita tersebut. Ia juga tidak tau ternyata Marc berfoto bertiga dengan Arzan dan Vania.“Mama akan marahi suster. Sudah tau Vivi sakit, kenapa ia tidak siaga di dekatmu.” Lucy dengan kesal juga ikut protes.“Aku yang suruh suster menunggu di luar, Ma. Itu kan area khusus pengantar anak-anak yang kemping.”“Lalu, kenapa Vania ikut-ikutan?” Lucy masih tidak terima.Sarah mengaku bahwa ia mengizinkan Vania ikut. Bahkan ia sendiri yang meminta izin pada sekolah agar ibu kandung Arzan itu bisa mengikuti upaca