“Katanya seorang dokter ahli gizi. Boleh Ibu berikan nomer ponsel Sarah padanya?”Marc keberatan. Ia tidak ingin Sarah menerima telepon dari orang tidak dikenal. Marc akhirnya memberikan nomer telepon kantornya dan email pribadinya.“Ibu mengerti. Oh ya, nanti sore Ibu jadi ikut menemani Sarah memeriksa bayi, ya.”“Ok.” Marc menjawab singkat lalu menutup ponselnya.Sampai di rumah, Marc segera masuk ke dalam kamar. Ruangan itu bahkan lebih dingin dari biasanya. Sepertinya Sarah mengatur suhu pendingin ruangan lebih dingin.Marc menghampiri ranjang dan berdiri di sisinya. Perlahan mengelus kepala sang istri yang masih tertidur.Lelaki itu menghitung jam tidur istrinya. Sepertinya sudah hampir dua jam Sarah tidur. Apa ia bangunkan saja?Sebelum membangunkan istrinya, Marc menelepon pelayan. Ia bertanya apa Sarah sudah minum vitamin? Saat pelayan berkata belum, Marc menggeleng dan menepuk perlahan pipi Sarah.“Sarah, bangun.”Sarah memicingkan mata. Ia mengguman tak jelas lalu terlihat b
Suami mana yang tidak kesal mendengar istrinya nyaman dengan lelaki lain. Rasanya Marc ingin sekali marah tapi sebisa mungkin ia tahan.Sarah juga bingung kenapa dari pertanyaan matematika, Marc bisa nyambung ke perbincangan tentang Irwan. Apalagi setelahnya ia yang sewot sendiri.Untung saja ada saat yang dinanti mereka. Sore ini pemeriksaan bayi. Saat yang mereka selalu nantikan.Marc dan Sarah berjalan bersisian menuju ruang konsultasi. Dari jauh mereka sudah melihat Lucy berdiri dan bicara dengan suster.“Mama.” Marc menyapa Lucy.Wanita itu menoleh dan langsung tersenyum memamerkan barisan gigi rata dan putihnya. Lucy memeluk dan mencium pipi Marc. Ia juga melakukan hal yang sama pada Sarah.“Apa kita langsung masuk? Kata Suster, dokternya sudah datang.” Lucy bertanya pada Marc dan Sarah.“Umm ... belum, Ma. Sarah diperiksa berat badan dan tekanan darahnya dulu oleh suster.”Sarah mengangguk. Ia tau Marc akan mencoba mengulur waktu karena Papa Frank dan Ibu Irma belum datang.Mer
“Pacar baru Frank cantik juga, ya.”Spontan, Marc menoleh ke samping menatap Mamanya yang sedang memandang mobil di samping mereka.“Emm ... Mereka hanya berteman, Ma. Kebetulan Ibu Irma adalah teman SMA Papa. Anak Ibu Irma juga merupakan bos Sarah.” Marc menjelaskan.“Oh ya? Wah kebetulan sekali.”Akhirnya Marc bercerita tentang kisah Sarah yang dibuang Ibu Tinna dan Marsha hingga bertemu dengan Ibu Irma. Tidak ada yang menyangka bahwa Irwan ternyata adalah anak satu-satunya Ibu Irma.“Suaminya Irma ke mana? Sudah bercerai juga?”Marc menggeleng. “Tidak. Suami Ibu Irma sudah meninggal. Ibu Irma sudah menjanda selama sepuluh tahun.”Kembali Lucy meminta maaf pada Sarah. Ia prihatin mendengar Sarah tidak mendapat pengobatan yang sesuai.Sarah hanya mengangguk pelan.“Oh ya, Ma. Barang-barang Mama yang dicuri Maxim sudah terkumpul semua. Pengacara akan mengembalikan besok.” Tiba-tiba, Marc teringat.“Mama harus wajib lapor ke kantor polisi besok. Kamu saja yang terima barang-barang itu.
Tinna mengerjap-ngerjap. Ia meringis merasakan sakit di sekujur tubuh dan wajahnya. Netranya menatap ke sekeliling.“Apa yang terjadi? Di mana ini?”Seorang wanita muda berpakaian putih-putih masuk dan terlihat memeriksa sesuatu. Tinna ingin memanggil, tetapi tidak ada suara yang keluar dari mulutnya.Tenggorokannya terasa kering. Ia menoleh ke samping dan melihat gelas berisi air mineral. Namun saat ingin meraih gelas tersebut, ia sama sekali tidak bisa menggerakkan tangan bahkan jari-jarinya.“Pasien belum bangun?” Tiba-tiba ia mendengar sebuah suara di balik tirai.“Belum.”Setelah itu ia mendengar suara pintu ditutup. Sial. Aku sudah bangun. Tinna menjerit dalam hati.“Jadi, aku belum mati?” Tinna bicara pada dirinya sendiri.Padahal, ia sengaja mencelakakan dirinya. Sengaja membuat masalah hingga dipukuli. Berharap mati karena sudah tak sanggup lagi.Ia tau akan divonis penjara dalam waktu yang lama. Putrinya gila. Tidak ada yang bisa membuatnya ingin menjalani hidup.Air mata me
Mengagumkannya, setelah dirawat selama satu bulan, Ibu Tinna dapat sembuh. Walaupun kakinya pincang sebelah dan hidungnya patah membuat penampilannya cukup memprihatinkan.Sarah bersikeras meringankan hukuman ibu tirinya. Tinna akhirnya mendapat vonis seumur hidup bekerja pada layanan sosial. Lagi-lagi, Sarah menggunakan kekuatannya sebagai menantu keluarga Carrington.“Bisa kan Ibu Tinna mendapat hukuman bekerja sebagai pekerja sosial di rumah sakit jiwa? Jadi ia juga bisa sekalian merawat Marsha.”Frank, Marc dan pengacara saling berpandangan. Jika tidak dituruti, Sarah akan memberengut dan mengatakan bahwa ia sedang hamil hingga keinginannya harus dipenuhi. Tahta tertinggi keluarga Carrington kini berada di tangan Sarah.“Saya akan mengajukan surat permohonan ke pengadilan dan seterusnya adalah keputusan hakim.” Pengacara mengakhiri pertemuan mereka.“Sekalian buatkan surat perjanjian bahwa Tinna dan Marsha tidak bisa lagi bertemu dengan seluruh keluarga Carrington.” Frank berkata
Sambil makan malam, Sarah menceritakan tentang perbincangannya dengan Irwan. Menurut Irwan, Ibu Irma dan Frank memang semakin dekat. Namun Ibu Irma tetap mengelak jika ditanya apakah keduanya berpacaran.“Kita hanya harus siap jika suatu hari, Papa mengajak kita bicara dan ternyata menyatakan mereka akan menikah.”Marc termenung mendengar penuturan Sarah. Mungkin mudah bagi Irwan menerima kenyataan tersebut. Tetapi, baginya akan sangat risih karena ibu kandungnya masih hidup.“Menurutmu juga begitu?” Marc menatap Sarah meminta pendapat sang istri.Sarah balas menatap Marc. Mereka saling memandang beberapa saat hingga Sarah lebih dulu yang mengalihkan perhatiannya.“Aku mengerti kamu pasti masih tidak nyaman dengan keadaan itu. Tetapi, menurutku, daripada muncul pemberitaan yang tidak mengenakkan tentang hubungan Papa dan Ibu Irma, bukankah lebih baik secepatnya diresmikan?”Hanya embusan napas panjang yang diberikan Marc sebagai jawaban. Mereka melanjutkan makan dalam diam. Ponsel Mar
Ucapan Marc hanya terdengar seperti gumaman pelan. Sarah menatap Marc dan menajamkan pendengarannya.“Kamu bilang apa?”Tepat saat itu hujan turun. Sarah menatap langit lalu merasakan tangannya di genggam Marc.“Ayo, masuk. Hujannya langsung deras.”Mereka tidak bisa berjalan cepat. Marc takut Sarah terpeleset hingga sampai di dalam rumah, pakaian mereka basah semua.“Langsung ganti baju saja. Jangan sampai kamu sakit karena kehujanan.”Sarah mengangguk. Sampai di kamar, ia memutuskan untuk membilas sebentar tubuhnya. Marc mengikuti dan melakukan hal yang sama.Setelah memakai piyama panjang, Sarah dan Marc menikmati teh peppermint hangat yang disiapkan pelayan. Sarah menatap keluar jendela balkon. Hujan semakin deras.Petir menyambar membuat Marc berdiri dan menutup korden. Lelaki itu lalu mengambil vitamin dan menyerahkannya pada Sarah bersama segelas air mineral.“Terima kasih.” Sarah menelan vitamin-vitaminnya.“Mau nonton atau tidur saja?”Sarah berdiri dan berjalan ke ranjang. “
Marc benar-benar tak perduli ia menjadi tontonan di kantor Sarah. Semua orang menatapnya heran. Sementara Sarah hanya tersenyum kala melihat teman—teman sekantornya memandang dengan tatapan tanya.Ruang kerja Sarah kecil. Hampir semua dindingnya terbuat dari kaca tembus pandang. Hanya ada dua kursi di depan mejanya. Marc melirik sekeliling dan memilih duduk di salah satu kursi di sana.“Jadi, kamu tidak bekerja hari ini?” Sarah mengamati Marc yang dengan santai membuka laptopnya.“Aku bisa bekerja dari mana saja.”Sarah mengangguk pelan. Rasanya udara di ruang kecil ini menjadi hangat dengan adanya Marc. Wanita itu membuka jas dan melampirkannya di punggung kursi.Kepala Marc mendongak menatap istrinya. Kini, Sarah hanya menggunakan babydol tanpa lengan. Pandangannya lalu beralih ke luar jendela di mana banyak pegawai yang bisa melihat penampakan sang istri.“Sarah.” Marc berdiri dan menghampiri sang istri.“Ya?” Sarah yang sedang sibuk melakukan kalkulasi menoleh.Wanita itu bingung
Alrzan langsung bersembunyi di balik tubuh Vania. Wanita itu menyorotkan lampu senter pada lelaki yang berdiri di kegelapan. Arzan mengintip lalu bersorak.“Om Irwan.” Arzan langsung berlari menghampiri dan memeluk Irwan. “Lampu kabin kami mati, Om.”Irwan mengusap kepala Arzan. “Iya, kabin Om juga. Tadinya Om mau mencari bantuan tapi mendengar teriakan. Kebetulan sekali kita ada di sini, ya."“Aku bersama Ibu Vania. Cuma berdua.” Arzan menunjuk Vania yang terpaku di tempat melihat kedekatan putranya dengan lelaki yang dipanggil Om Irwan tersebut.Irwan mengangguk. Setelah berada pada jarak cukup dekat, Irwan menjulurkan tangan. Vania menyambutnya dan tersenyum penuh kelegaan.“Irwan. Aku putra Ibu Irma.”Sejenak setelah balas menyebut namanya, Vania mengamati Irwan. Rasanya ia pernah bertemu dengan lelaki ini. Tetapi, ia tidak ingat meskipun ia sering berada di kafe.“Kita memang belum pernah bertemu sebelum ini.” Irwan menjawab pengamatan Vania pada dirinya. “Oh, mungkin sekali. Saa
“Jadi Khanza, editor Vania yang menjadi otak gosip antara kamu dan Vania?” Sarah mengangkat alisnya. Tak menyangka bahwa ternyata orang terdekat Vania lah yang membuat kebohongan tersebut.“Iya. Itu dilakukan untuk mendongkrak penjualan buku Vania. Kamu ingat? Gosip itu beredar tak lama novel baru Vania terbit di pasaran.”Sarah mengangguk mengerti. “Vania tau?”“Itu sedang diselidiki Om Adrian.”“Perasaanku mengatakan Vania tidak ada sangkut pautnya dengan ini semua.”Pernyataan Sarah dikuatkan oleh dugaan bahwa Vania tidak mungkin mempertaruhkan nama baiknya. Jika ia memang terlibat dan keluarga Carrington tau, ia pasti tidak akan bertemu lagi dengan Arzan. Bahkan Sarah sendiri pun akan melarangnya.Marc mengangguk setuju. Ia berharap hari ini juga sudah mendapat kabar dari orang-orang Adrian yang bekerja untuk mengusut kasus pencemaran nama baik ini.“Jika Arzan sudah pulang, kemungkinan ia menemukan berita tersebut akan besar. Aku tidak ingin itu terjadi.”“Aku tau.” Sarah mencebi
Dua hari kemudian, Vania menjemput Arzan. Selama akhir minggu, ia akhirnya memperoleh izin membawa Arzan hanya berdua saja. Vania menjemput Arzan di rumah keluarga Carrington.Sarah menyambut Vania sambil menggandeng Arzan. Ia menyerahkan tangan Arzan pada Vania dan hanya berpesan untuk bersenang-senang.“Ingat pesan Mama ya, Sayang.” Sarah mengelus kepala Arzan sebelum putra angkatnya itu masuk ke dalam mobil.Arzan mengangguk lalu memeluk Sarah erat-erat. Ia juga mencium pipi Sarah dan berkata akan menurut pada pesan sang Mama. Vania memperhatikan inetraksi tersebut dengan rasa haru.Selalu saja ada rasa iri di hati Vania. Tapi, ia merasa itu hal yang wajar. Ia bertanya dalam hati kapan Arzan akan sehangat itu pada dirinya.Dalam perjalanan, Arzan lebih banyak mengamati jalanan. Sesekali ia menengok ke belakang. Sebuah mobil van mengikuti kendaraan Vania.“Ada mobil penjagamu, ya?” Vania tersenyum pada Arzan.Anak lelaki itu hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan ibu kandu
"Mana? Aku mau lihat." Sarah mencondongkan tubuhnya ke arah ponsel Marc.Pasangan suami istri itu sama-sama memperhatikan layar kecil ponsel Marc. Dengan kesal, Marc menyerahkan ponselnya pada sang istri. Ia malas membaca lanjutan berita tersebut."Pasti sebentar lagi Papa atau Mama akan menelepon dan marah-marah padaku." Marc kemudian bersungut. "Tadi saat kamu bilang tidak bisa ikut, aku sudah memiliki perasaan tak enak.""Nanti kalau Mama atau Papa menelepon, biar aku saja yang bicara pada mereka." Sarah menenangkan suaminya.Namun kali ini Marc tidak dapat mentoleransi berita tersebut. Portal gosip itu mengatakan ia mengadakan pertemuan rahasia dengan Vania untuk membahas putra mereka."Kamu jangan mencegahku lagi. Aku akan meminta pengacara menuntut pasal pencemaran nama baik."Tidak ada balasan dari Sarah. Ia sedang sibuk mengamati berita tersebut."Memangnya kamu sempat ngobrol berduaan dengan Vania, ya?""Tadinya aku sudah cerita ia minta maaf atas beredarnya gosip dan mengaku
Vania merasa bertambah senang karena setelah beberapa kali bertemu, akhirnya Arzan mulai banyak terbuka padanya. Meski anak itu masih kaku jika bersentuhan, Vania tetap memberikan perhatian melalui kontak fisik seperti mengelus, mengusap, memeluk dan mencium putranya.“Ok, nanti jangan lupa tanyakan pada Mama dan Papa kapan kita bisa kemping berdua, ya.” Vania berkata dengan penuh harap pada Arzan.Arzan mengangguk. Pada pertemuan itu, Arzan juga menunjukkan hasil tulisannya. Dengan bersemangat, Vania membaca dan mengangguk-angguk.“Sepertinya kamu memang berbakat.”“Apa aku bisa menjual buku dan mendapatkan uang seperti Ibu?”Kekehan kecil terdengar dari hidung Vania. “Tentu saja bisa. Tetapi, masih banyak yang mesti kamu pelajari karena menulis bukan hanya tentang menceritakan apa yang ada di kepalamu.”Vania berpesan bahwa Arzan harus banyak belajar tentang teori kepenulisan. Menurutnya, cerita Arzan menarik namun dari segi alur masih perlu diperbaiki. Arzan tampak serius melihat b
“Semua gagal.” Irwan berkata datar saat Marc bertanya tentang kencannya.Pagi ini, kantor Irwan kedatangan Marc. Lelaki itu mendapat laporan bahwa Irwan telah beberapa kali melakukan kencan buta dengan bantuan aplikasi jodoh.“Memang berapa kali sih kamu berkencan?”“Tiga kali.”“Artinya aplikasi itu tidak bagus. Mungkin kamu bisa coba cara konvesional saja.”“Maksudmu, amati sekeliling, jika ada yang menarik langsung ajak kencan?”“Iya seperti itu.”Dengan cepat, kepala Irwan menggeleng. Menurutnya kehidupannya sekarang hanya kantor dan rumah. Sementara ia tidak ingin berkencan dengan teman atau pegawai kantor.Marc menawarkan bantuan. Ia berkata Larry mungkin memiliki teman wanita yang juga sedang mencari jodoh. Mereka sama-sama tau, Larry memiliki pergaulan yang luas.Pasrah, Irwan mengangguk. Mereka melanjutkan membahas pekerjaan. Hingga akhirnya diskusi itu selesai.“Sepertinya hari ini kamu dan timmu harus lembut.” Marc berkata seraya bersiap akn pergi.“Iya. Aku juga berpikiran
“Jadi, kamu tidak berfoto sama Vania?” Sarah mengulangi pernyataan Marc yang menyangkal ia berada satu frane bersama Arzan dan Vania.“Tidak.” Marc menggeleng tegas. “Aku lebih dulu yang berfoto berdua dengan Arzan. Setelah itu Vania dan Arzan.”Tetapi, Marc berkata saat itu memang banyak kamera yang mengarah pada mereka. Marc tidak menaruh curiga karena mereka sedang berada di sekolah.“Jadi, kamu jangan berprasangka buruk padaku.”“Siapa yang berprasangka buruk?”“Aku takut kamu cemburu.”Sarah mencebik. “Tidak. Lagipula kalau kamu mau sama Vania, ya silahkan saja.”Marc terperanjat mendengar pernyataan istrinya. “Kok gitu?”“Yaa ... kamu suka nggak sama Vania?”“Enggak lah. Pertanyaanmu aneh sekali, Sayang.”“Ya, sudah. Kalau begitu, aku tidak curiga, cemburu, kesal atau marah padamu.”Marc mengembuskan napas lega. Meski ia jadi merasa aneh karena Sarah seperti cuek saja. Rasanya ia lebih suka Sarah cemburu.Bukankah cemburu tanda cinta? Tanda bahwa seorang istri tidak ingin suamin
Berita peluncuran buku Vania diiringi pemberitaan yang cukup menghebohkan. Beredar gosip bahwa Marc adalah ayah kandung dari anak Vania. Berita mengguncang itu dilengkapi foto Arzan saat kemping di mana anak itu berdiri di antara Marc dan Vania.Mereka tampak seperti keluarga kecil yang bahagia.“Kenapa kamu tidak ikut berfoto, Sarah?” Frank terlihat protes pada menantunya.“Saat akan foto, Vivi rewel, Pa. Jadi aku membawa Vivi ke suster dulu.” Sarah mengembuskan napas berat mendapat berita tersebut. Ia juga tidak tau ternyata Marc berfoto bertiga dengan Arzan dan Vania.“Mama akan marahi suster. Sudah tau Vivi sakit, kenapa ia tidak siaga di dekatmu.” Lucy dengan kesal juga ikut protes.“Aku yang suruh suster menunggu di luar, Ma. Itu kan area khusus pengantar anak-anak yang kemping.”“Lalu, kenapa Vania ikut-ikutan?” Lucy masih tidak terima.Sarah mengaku bahwa ia mengizinkan Vania ikut. Bahkan ia sendiri yang meminta izin pada sekolah agar ibu kandung Arzan itu bisa mengikuti upaca
“Wah sepertinya acara peluncuran buku Vania cukup besar, ya. Itu ada bannernya di depan mall.” Ibu Irma menunjuk promosi yang ia maksud.“Semua event di mall pasti akan diletakkan di depan, Bu. Agar banyak orang yang tertarik.” Irwan menanggapi.Siang ini, Irwan mengantar Ibu Irma ke mall. Vania mengundangnya dalam peluncuran novel terbaru di toko buku terbesar di kota mereka yang berada di lantai dasar mall tersebut.Setelah memarkir kendaraannya, Irwan berjalan di sisi sang Ibu. Tangan Irma memegang undangan dari Vania serta membaca lokasi acara. Seorang sekuriti menunjuk bagian tengah mall yang terlihat ramai.“Kamu yakin tidak mau ikut?” Irma bertanya pada putranya.“Aku kan bukan penggemar novel, Bu. Males, ah.”“Sayang, lho. Undangan ini harusnya untuk dua orang. Sarah juga diundang, tetapi kebetulan Vivi sedang sakit jadi Sarah batal datang.”“Vivi sakit? Sakit apa?”“Badannya anget karena mau tumbuh gigi. Kata Sarah, Vivi jadi rewel banget.”“Oh, kasihan.”Ibu Irma lalu masuk