Mengagumkannya, setelah dirawat selama satu bulan, Ibu Tinna dapat sembuh. Walaupun kakinya pincang sebelah dan hidungnya patah membuat penampilannya cukup memprihatinkan.Sarah bersikeras meringankan hukuman ibu tirinya. Tinna akhirnya mendapat vonis seumur hidup bekerja pada layanan sosial. Lagi-lagi, Sarah menggunakan kekuatannya sebagai menantu keluarga Carrington.“Bisa kan Ibu Tinna mendapat hukuman bekerja sebagai pekerja sosial di rumah sakit jiwa? Jadi ia juga bisa sekalian merawat Marsha.”Frank, Marc dan pengacara saling berpandangan. Jika tidak dituruti, Sarah akan memberengut dan mengatakan bahwa ia sedang hamil hingga keinginannya harus dipenuhi. Tahta tertinggi keluarga Carrington kini berada di tangan Sarah.“Saya akan mengajukan surat permohonan ke pengadilan dan seterusnya adalah keputusan hakim.” Pengacara mengakhiri pertemuan mereka.“Sekalian buatkan surat perjanjian bahwa Tinna dan Marsha tidak bisa lagi bertemu dengan seluruh keluarga Carrington.” Frank berkata
Sambil makan malam, Sarah menceritakan tentang perbincangannya dengan Irwan. Menurut Irwan, Ibu Irma dan Frank memang semakin dekat. Namun Ibu Irma tetap mengelak jika ditanya apakah keduanya berpacaran.“Kita hanya harus siap jika suatu hari, Papa mengajak kita bicara dan ternyata menyatakan mereka akan menikah.”Marc termenung mendengar penuturan Sarah. Mungkin mudah bagi Irwan menerima kenyataan tersebut. Tetapi, baginya akan sangat risih karena ibu kandungnya masih hidup.“Menurutmu juga begitu?” Marc menatap Sarah meminta pendapat sang istri.Sarah balas menatap Marc. Mereka saling memandang beberapa saat hingga Sarah lebih dulu yang mengalihkan perhatiannya.“Aku mengerti kamu pasti masih tidak nyaman dengan keadaan itu. Tetapi, menurutku, daripada muncul pemberitaan yang tidak mengenakkan tentang hubungan Papa dan Ibu Irma, bukankah lebih baik secepatnya diresmikan?”Hanya embusan napas panjang yang diberikan Marc sebagai jawaban. Mereka melanjutkan makan dalam diam. Ponsel Mar
Ucapan Marc hanya terdengar seperti gumaman pelan. Sarah menatap Marc dan menajamkan pendengarannya.“Kamu bilang apa?”Tepat saat itu hujan turun. Sarah menatap langit lalu merasakan tangannya di genggam Marc.“Ayo, masuk. Hujannya langsung deras.”Mereka tidak bisa berjalan cepat. Marc takut Sarah terpeleset hingga sampai di dalam rumah, pakaian mereka basah semua.“Langsung ganti baju saja. Jangan sampai kamu sakit karena kehujanan.”Sarah mengangguk. Sampai di kamar, ia memutuskan untuk membilas sebentar tubuhnya. Marc mengikuti dan melakukan hal yang sama.Setelah memakai piyama panjang, Sarah dan Marc menikmati teh peppermint hangat yang disiapkan pelayan. Sarah menatap keluar jendela balkon. Hujan semakin deras.Petir menyambar membuat Marc berdiri dan menutup korden. Lelaki itu lalu mengambil vitamin dan menyerahkannya pada Sarah bersama segelas air mineral.“Terima kasih.” Sarah menelan vitamin-vitaminnya.“Mau nonton atau tidur saja?”Sarah berdiri dan berjalan ke ranjang. “
Marc benar-benar tak perduli ia menjadi tontonan di kantor Sarah. Semua orang menatapnya heran. Sementara Sarah hanya tersenyum kala melihat teman—teman sekantornya memandang dengan tatapan tanya.Ruang kerja Sarah kecil. Hampir semua dindingnya terbuat dari kaca tembus pandang. Hanya ada dua kursi di depan mejanya. Marc melirik sekeliling dan memilih duduk di salah satu kursi di sana.“Jadi, kamu tidak bekerja hari ini?” Sarah mengamati Marc yang dengan santai membuka laptopnya.“Aku bisa bekerja dari mana saja.”Sarah mengangguk pelan. Rasanya udara di ruang kecil ini menjadi hangat dengan adanya Marc. Wanita itu membuka jas dan melampirkannya di punggung kursi.Kepala Marc mendongak menatap istrinya. Kini, Sarah hanya menggunakan babydol tanpa lengan. Pandangannya lalu beralih ke luar jendela di mana banyak pegawai yang bisa melihat penampakan sang istri.“Sarah.” Marc berdiri dan menghampiri sang istri.“Ya?” Sarah yang sedang sibuk melakukan kalkulasi menoleh.Wanita itu bingung
“Bersiap sebentar lagi akan menjadi kakakmu.”Bukan saja Marc, Sarah pun menatap Irwan. Ucapannya itu seolah memastikan hubungan Ibu Irma dan Papa Frank.“Tidak perlu. Aku anak tunggal Mama dan Papaku.” Marc menjawab dan menggeleng berbarengan.Terdengar kekehan. Irwan berdiri, merapikan kursi lalu berpamitan. Sarah dan Marc kembali melanjutkan pekerjaan.“Dokter Ming sudah mengirim daftar pertanyaan untuk interview kamu dan Ibu Irma lusa. Aku kirimkan ke emailmu, ya.”Sarah mengangguk. Begitu mendengar suara notifikasi email, langsung ia buka. Sarah membaca sekilas lalu merengut.“Kenapa? Ada pertanyaan yang tidak berkenan?”“Pertanyaan nomer lima. Aku harus jawab apa?”Marc membaca pertanyaan yang dimaksud. Ternyata tentang dukungan suami atau keluarga. Sepertinya selain ahli gizi, Dokter Ming juga penasaran dengan kehidupan pribadi Sarah.Bagaimana tidak? Dokter Ming sempat terkejut saat mengetahui Sarah adalah istri Marc Carrington. Namun tentu saja, Marc hanya membenarkan tanpa m
Pagi itu, Sarah diantar Marc ke apartemen. Istrinya akan bekerja dari sana sekalian mengontrol toko juga berkordinasi tentang interview dengan Ibu Irma.“Kamu tidak akan pergi ke mana-mana, kan?”Sarah menggeleng. “Tidak. Hari ini ada meeting online saja selanjutnya hanya menemani Ibu Irma masak.”“Ok. Kabari aku jika butuh sesuatu.”Sarah mengantar Marc ke depan pintu. Lelaki itu mencium pipi dan bibir Sarah sebelum pergi. Kemesraan itu diperhatikan Ibu Irma. Ia senang Sarah dan Marc terlihat semakin mesra dari hari ke hari.“Meeting jam berapa?” Ibu Irma bertanya saat Sarah duduk di kursi dapur.“Dua jam lagi.”“Dengan Irwan?”“Siapa lagi? Bos aku kan anak ibu itu.”Ibu Irma terkekeh. “Sebenarnya sebagai bos, Irwan itu bagaimana, sih?”“Baik banget. Sabar dan tidak pernah marah-marah.”“Masa?”Dengan tegas, Sarah membenarkan pernyataannya. Meski begitu, Irwan sangat profesional. Jika ada karyawan yang terus-menerus melanggar etiket bekerja, ia juga tidak ragu untuk memecat karyawan
“Kita mau ke mall?” Sarah memasang sabuk pengaman setelah duduk di kursi mobil.Marc mengangguk. Dalam perjalanan ke apartemen untuk menjemput Sarah, ia memang menulis pesan agar Sarah bersiap di lobi. Ia juga menulis bahwa ingin mengajak Sarah ke mall.“Kamu kan butuh pakaian dan sepatu baru. Kebetulan Mama bilang, butik teman Mama baru buka di mall.”“Oh. Mama juga ada di sana?”“Tidak. Mama mengaku masih merasa rendah diri karena teman-temannya tau Mama pernah menjadi narapidana kasus percobaan pembunuhan.”“Semoga setelah keputusan pengadilan keluar dan nama Mama dipulihkan, Mama bisa kembali bersosialisasi, ya.”Hanya senyuman yang diberikan Marc sebagai jawaban. Ia lalu menatap perut Sarah dan mengelusnya.“Bagaimana bayinya hari ini?”“Seperti biasa saja.”Masih dalam perjalanan, Sarah mendapat pesan dari Irwan. Lelaki itu baru sampai di apartemen dan berkata ia penasaran dengan cincin bermata ruby Ibunya.Sarah hanya membalas singkat lalu kembali memasukkan ponsel ke tas. Mere
Saat akan berjalan ke toko lain, ponsel Marc berdering. “Sebentar, Sarah. Aku angkat telepon dulu.”Sarah menunggu Marc mengangkat ponselnya. Mereka berhenti di depan etalase toko perhiasan. Sarah memilih melihat-melihat di sana.“Papa?” Marc membalas telepon yang ternyata dari Frank.“Bagaimana Sarah? Kamu bilang tadi khawatir karena suara Sarah seperti sengau saat kamu telepon?”“Oh. Maaf, aku lupa mengabari lagi. Saat aku telepon, Sarah sedang tidur jadi suaranya seperti itu, Pa.”“Syukurlah. Kalian di mana sekarang? Irma bilang kalian langsung pergi?”“Ini sedang mengantar Sarah berbelanja di mall.” Marc melirik Sarah yang terlihat menatap sedang menatap perhiasan.Frank terdengar senang mengetahui putra dan menantunya sedang berbelanja bersama. Ia membicarakan apa yang ingin disampaikan. Marc mengembuskan napas panjang dan mengangguk.Setelah Frank memutuskan sambungan telepon mereka, Marc menatap layar ponsel dengan dahi berkerut. Lelaki itu memasukkan benda komunikasi itu kemba
Alrzan langsung bersembunyi di balik tubuh Vania. Wanita itu menyorotkan lampu senter pada lelaki yang berdiri di kegelapan. Arzan mengintip lalu bersorak.“Om Irwan.” Arzan langsung berlari menghampiri dan memeluk Irwan. “Lampu kabin kami mati, Om.”Irwan mengusap kepala Arzan. “Iya, kabin Om juga. Tadinya Om mau mencari bantuan tapi mendengar teriakan. Kebetulan sekali kita ada di sini, ya."“Aku bersama Ibu Vania. Cuma berdua.” Arzan menunjuk Vania yang terpaku di tempat melihat kedekatan putranya dengan lelaki yang dipanggil Om Irwan tersebut.Irwan mengangguk. Setelah berada pada jarak cukup dekat, Irwan menjulurkan tangan. Vania menyambutnya dan tersenyum penuh kelegaan.“Irwan. Aku putra Ibu Irma.”Sejenak setelah balas menyebut namanya, Vania mengamati Irwan. Rasanya ia pernah bertemu dengan lelaki ini. Tetapi, ia tidak ingat meskipun ia sering berada di kafe.“Kita memang belum pernah bertemu sebelum ini.” Irwan menjawab pengamatan Vania pada dirinya. “Oh, mungkin sekali. Saa
“Jadi Khanza, editor Vania yang menjadi otak gosip antara kamu dan Vania?” Sarah mengangkat alisnya. Tak menyangka bahwa ternyata orang terdekat Vania lah yang membuat kebohongan tersebut.“Iya. Itu dilakukan untuk mendongkrak penjualan buku Vania. Kamu ingat? Gosip itu beredar tak lama novel baru Vania terbit di pasaran.”Sarah mengangguk mengerti. “Vania tau?”“Itu sedang diselidiki Om Adrian.”“Perasaanku mengatakan Vania tidak ada sangkut pautnya dengan ini semua.”Pernyataan Sarah dikuatkan oleh dugaan bahwa Vania tidak mungkin mempertaruhkan nama baiknya. Jika ia memang terlibat dan keluarga Carrington tau, ia pasti tidak akan bertemu lagi dengan Arzan. Bahkan Sarah sendiri pun akan melarangnya.Marc mengangguk setuju. Ia berharap hari ini juga sudah mendapat kabar dari orang-orang Adrian yang bekerja untuk mengusut kasus pencemaran nama baik ini.“Jika Arzan sudah pulang, kemungkinan ia menemukan berita tersebut akan besar. Aku tidak ingin itu terjadi.”“Aku tau.” Sarah mencebi
Dua hari kemudian, Vania menjemput Arzan. Selama akhir minggu, ia akhirnya memperoleh izin membawa Arzan hanya berdua saja. Vania menjemput Arzan di rumah keluarga Carrington.Sarah menyambut Vania sambil menggandeng Arzan. Ia menyerahkan tangan Arzan pada Vania dan hanya berpesan untuk bersenang-senang.“Ingat pesan Mama ya, Sayang.” Sarah mengelus kepala Arzan sebelum putra angkatnya itu masuk ke dalam mobil.Arzan mengangguk lalu memeluk Sarah erat-erat. Ia juga mencium pipi Sarah dan berkata akan menurut pada pesan sang Mama. Vania memperhatikan inetraksi tersebut dengan rasa haru.Selalu saja ada rasa iri di hati Vania. Tapi, ia merasa itu hal yang wajar. Ia bertanya dalam hati kapan Arzan akan sehangat itu pada dirinya.Dalam perjalanan, Arzan lebih banyak mengamati jalanan. Sesekali ia menengok ke belakang. Sebuah mobil van mengikuti kendaraan Vania.“Ada mobil penjagamu, ya?” Vania tersenyum pada Arzan.Anak lelaki itu hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan ibu kandu
"Mana? Aku mau lihat." Sarah mencondongkan tubuhnya ke arah ponsel Marc.Pasangan suami istri itu sama-sama memperhatikan layar kecil ponsel Marc. Dengan kesal, Marc menyerahkan ponselnya pada sang istri. Ia malas membaca lanjutan berita tersebut."Pasti sebentar lagi Papa atau Mama akan menelepon dan marah-marah padaku." Marc kemudian bersungut. "Tadi saat kamu bilang tidak bisa ikut, aku sudah memiliki perasaan tak enak.""Nanti kalau Mama atau Papa menelepon, biar aku saja yang bicara pada mereka." Sarah menenangkan suaminya.Namun kali ini Marc tidak dapat mentoleransi berita tersebut. Portal gosip itu mengatakan ia mengadakan pertemuan rahasia dengan Vania untuk membahas putra mereka."Kamu jangan mencegahku lagi. Aku akan meminta pengacara menuntut pasal pencemaran nama baik."Tidak ada balasan dari Sarah. Ia sedang sibuk mengamati berita tersebut."Memangnya kamu sempat ngobrol berduaan dengan Vania, ya?""Tadinya aku sudah cerita ia minta maaf atas beredarnya gosip dan mengaku
Vania merasa bertambah senang karena setelah beberapa kali bertemu, akhirnya Arzan mulai banyak terbuka padanya. Meski anak itu masih kaku jika bersentuhan, Vania tetap memberikan perhatian melalui kontak fisik seperti mengelus, mengusap, memeluk dan mencium putranya.“Ok, nanti jangan lupa tanyakan pada Mama dan Papa kapan kita bisa kemping berdua, ya.” Vania berkata dengan penuh harap pada Arzan.Arzan mengangguk. Pada pertemuan itu, Arzan juga menunjukkan hasil tulisannya. Dengan bersemangat, Vania membaca dan mengangguk-angguk.“Sepertinya kamu memang berbakat.”“Apa aku bisa menjual buku dan mendapatkan uang seperti Ibu?”Kekehan kecil terdengar dari hidung Vania. “Tentu saja bisa. Tetapi, masih banyak yang mesti kamu pelajari karena menulis bukan hanya tentang menceritakan apa yang ada di kepalamu.”Vania berpesan bahwa Arzan harus banyak belajar tentang teori kepenulisan. Menurutnya, cerita Arzan menarik namun dari segi alur masih perlu diperbaiki. Arzan tampak serius melihat b
“Semua gagal.” Irwan berkata datar saat Marc bertanya tentang kencannya.Pagi ini, kantor Irwan kedatangan Marc. Lelaki itu mendapat laporan bahwa Irwan telah beberapa kali melakukan kencan buta dengan bantuan aplikasi jodoh.“Memang berapa kali sih kamu berkencan?”“Tiga kali.”“Artinya aplikasi itu tidak bagus. Mungkin kamu bisa coba cara konvesional saja.”“Maksudmu, amati sekeliling, jika ada yang menarik langsung ajak kencan?”“Iya seperti itu.”Dengan cepat, kepala Irwan menggeleng. Menurutnya kehidupannya sekarang hanya kantor dan rumah. Sementara ia tidak ingin berkencan dengan teman atau pegawai kantor.Marc menawarkan bantuan. Ia berkata Larry mungkin memiliki teman wanita yang juga sedang mencari jodoh. Mereka sama-sama tau, Larry memiliki pergaulan yang luas.Pasrah, Irwan mengangguk. Mereka melanjutkan membahas pekerjaan. Hingga akhirnya diskusi itu selesai.“Sepertinya hari ini kamu dan timmu harus lembut.” Marc berkata seraya bersiap akn pergi.“Iya. Aku juga berpikiran
“Jadi, kamu tidak berfoto sama Vania?” Sarah mengulangi pernyataan Marc yang menyangkal ia berada satu frane bersama Arzan dan Vania.“Tidak.” Marc menggeleng tegas. “Aku lebih dulu yang berfoto berdua dengan Arzan. Setelah itu Vania dan Arzan.”Tetapi, Marc berkata saat itu memang banyak kamera yang mengarah pada mereka. Marc tidak menaruh curiga karena mereka sedang berada di sekolah.“Jadi, kamu jangan berprasangka buruk padaku.”“Siapa yang berprasangka buruk?”“Aku takut kamu cemburu.”Sarah mencebik. “Tidak. Lagipula kalau kamu mau sama Vania, ya silahkan saja.”Marc terperanjat mendengar pernyataan istrinya. “Kok gitu?”“Yaa ... kamu suka nggak sama Vania?”“Enggak lah. Pertanyaanmu aneh sekali, Sayang.”“Ya, sudah. Kalau begitu, aku tidak curiga, cemburu, kesal atau marah padamu.”Marc mengembuskan napas lega. Meski ia jadi merasa aneh karena Sarah seperti cuek saja. Rasanya ia lebih suka Sarah cemburu.Bukankah cemburu tanda cinta? Tanda bahwa seorang istri tidak ingin suamin
Berita peluncuran buku Vania diiringi pemberitaan yang cukup menghebohkan. Beredar gosip bahwa Marc adalah ayah kandung dari anak Vania. Berita mengguncang itu dilengkapi foto Arzan saat kemping di mana anak itu berdiri di antara Marc dan Vania.Mereka tampak seperti keluarga kecil yang bahagia.“Kenapa kamu tidak ikut berfoto, Sarah?” Frank terlihat protes pada menantunya.“Saat akan foto, Vivi rewel, Pa. Jadi aku membawa Vivi ke suster dulu.” Sarah mengembuskan napas berat mendapat berita tersebut. Ia juga tidak tau ternyata Marc berfoto bertiga dengan Arzan dan Vania.“Mama akan marahi suster. Sudah tau Vivi sakit, kenapa ia tidak siaga di dekatmu.” Lucy dengan kesal juga ikut protes.“Aku yang suruh suster menunggu di luar, Ma. Itu kan area khusus pengantar anak-anak yang kemping.”“Lalu, kenapa Vania ikut-ikutan?” Lucy masih tidak terima.Sarah mengaku bahwa ia mengizinkan Vania ikut. Bahkan ia sendiri yang meminta izin pada sekolah agar ibu kandung Arzan itu bisa mengikuti upaca
“Wah sepertinya acara peluncuran buku Vania cukup besar, ya. Itu ada bannernya di depan mall.” Ibu Irma menunjuk promosi yang ia maksud.“Semua event di mall pasti akan diletakkan di depan, Bu. Agar banyak orang yang tertarik.” Irwan menanggapi.Siang ini, Irwan mengantar Ibu Irma ke mall. Vania mengundangnya dalam peluncuran novel terbaru di toko buku terbesar di kota mereka yang berada di lantai dasar mall tersebut.Setelah memarkir kendaraannya, Irwan berjalan di sisi sang Ibu. Tangan Irma memegang undangan dari Vania serta membaca lokasi acara. Seorang sekuriti menunjuk bagian tengah mall yang terlihat ramai.“Kamu yakin tidak mau ikut?” Irma bertanya pada putranya.“Aku kan bukan penggemar novel, Bu. Males, ah.”“Sayang, lho. Undangan ini harusnya untuk dua orang. Sarah juga diundang, tetapi kebetulan Vivi sedang sakit jadi Sarah batal datang.”“Vivi sakit? Sakit apa?”“Badannya anget karena mau tumbuh gigi. Kata Sarah, Vivi jadi rewel banget.”“Oh, kasihan.”Ibu Irma lalu masuk