Suami mana yang tidak kesal mendengar istrinya nyaman dengan lelaki lain. Rasanya Marc ingin sekali marah tapi sebisa mungkin ia tahan.Sarah juga bingung kenapa dari pertanyaan matematika, Marc bisa nyambung ke perbincangan tentang Irwan. Apalagi setelahnya ia yang sewot sendiri.Untung saja ada saat yang dinanti mereka. Sore ini pemeriksaan bayi. Saat yang mereka selalu nantikan.Marc dan Sarah berjalan bersisian menuju ruang konsultasi. Dari jauh mereka sudah melihat Lucy berdiri dan bicara dengan suster.“Mama.” Marc menyapa Lucy.Wanita itu menoleh dan langsung tersenyum memamerkan barisan gigi rata dan putihnya. Lucy memeluk dan mencium pipi Marc. Ia juga melakukan hal yang sama pada Sarah.“Apa kita langsung masuk? Kata Suster, dokternya sudah datang.” Lucy bertanya pada Marc dan Sarah.“Umm ... belum, Ma. Sarah diperiksa berat badan dan tekanan darahnya dulu oleh suster.”Sarah mengangguk. Ia tau Marc akan mencoba mengulur waktu karena Papa Frank dan Ibu Irma belum datang.Mer
“Pacar baru Frank cantik juga, ya.”Spontan, Marc menoleh ke samping menatap Mamanya yang sedang memandang mobil di samping mereka.“Emm ... Mereka hanya berteman, Ma. Kebetulan Ibu Irma adalah teman SMA Papa. Anak Ibu Irma juga merupakan bos Sarah.” Marc menjelaskan.“Oh ya? Wah kebetulan sekali.”Akhirnya Marc bercerita tentang kisah Sarah yang dibuang Ibu Tinna dan Marsha hingga bertemu dengan Ibu Irma. Tidak ada yang menyangka bahwa Irwan ternyata adalah anak satu-satunya Ibu Irma.“Suaminya Irma ke mana? Sudah bercerai juga?”Marc menggeleng. “Tidak. Suami Ibu Irma sudah meninggal. Ibu Irma sudah menjanda selama sepuluh tahun.”Kembali Lucy meminta maaf pada Sarah. Ia prihatin mendengar Sarah tidak mendapat pengobatan yang sesuai.Sarah hanya mengangguk pelan.“Oh ya, Ma. Barang-barang Mama yang dicuri Maxim sudah terkumpul semua. Pengacara akan mengembalikan besok.” Tiba-tiba, Marc teringat.“Mama harus wajib lapor ke kantor polisi besok. Kamu saja yang terima barang-barang itu.
Tinna mengerjap-ngerjap. Ia meringis merasakan sakit di sekujur tubuh dan wajahnya. Netranya menatap ke sekeliling.“Apa yang terjadi? Di mana ini?”Seorang wanita muda berpakaian putih-putih masuk dan terlihat memeriksa sesuatu. Tinna ingin memanggil, tetapi tidak ada suara yang keluar dari mulutnya.Tenggorokannya terasa kering. Ia menoleh ke samping dan melihat gelas berisi air mineral. Namun saat ingin meraih gelas tersebut, ia sama sekali tidak bisa menggerakkan tangan bahkan jari-jarinya.“Pasien belum bangun?” Tiba-tiba ia mendengar sebuah suara di balik tirai.“Belum.”Setelah itu ia mendengar suara pintu ditutup. Sial. Aku sudah bangun. Tinna menjerit dalam hati.“Jadi, aku belum mati?” Tinna bicara pada dirinya sendiri.Padahal, ia sengaja mencelakakan dirinya. Sengaja membuat masalah hingga dipukuli. Berharap mati karena sudah tak sanggup lagi.Ia tau akan divonis penjara dalam waktu yang lama. Putrinya gila. Tidak ada yang bisa membuatnya ingin menjalani hidup.Air mata me
Mengagumkannya, setelah dirawat selama satu bulan, Ibu Tinna dapat sembuh. Walaupun kakinya pincang sebelah dan hidungnya patah membuat penampilannya cukup memprihatinkan.Sarah bersikeras meringankan hukuman ibu tirinya. Tinna akhirnya mendapat vonis seumur hidup bekerja pada layanan sosial. Lagi-lagi, Sarah menggunakan kekuatannya sebagai menantu keluarga Carrington.“Bisa kan Ibu Tinna mendapat hukuman bekerja sebagai pekerja sosial di rumah sakit jiwa? Jadi ia juga bisa sekalian merawat Marsha.”Frank, Marc dan pengacara saling berpandangan. Jika tidak dituruti, Sarah akan memberengut dan mengatakan bahwa ia sedang hamil hingga keinginannya harus dipenuhi. Tahta tertinggi keluarga Carrington kini berada di tangan Sarah.“Saya akan mengajukan surat permohonan ke pengadilan dan seterusnya adalah keputusan hakim.” Pengacara mengakhiri pertemuan mereka.“Sekalian buatkan surat perjanjian bahwa Tinna dan Marsha tidak bisa lagi bertemu dengan seluruh keluarga Carrington.” Frank berkata
Sambil makan malam, Sarah menceritakan tentang perbincangannya dengan Irwan. Menurut Irwan, Ibu Irma dan Frank memang semakin dekat. Namun Ibu Irma tetap mengelak jika ditanya apakah keduanya berpacaran.“Kita hanya harus siap jika suatu hari, Papa mengajak kita bicara dan ternyata menyatakan mereka akan menikah.”Marc termenung mendengar penuturan Sarah. Mungkin mudah bagi Irwan menerima kenyataan tersebut. Tetapi, baginya akan sangat risih karena ibu kandungnya masih hidup.“Menurutmu juga begitu?” Marc menatap Sarah meminta pendapat sang istri.Sarah balas menatap Marc. Mereka saling memandang beberapa saat hingga Sarah lebih dulu yang mengalihkan perhatiannya.“Aku mengerti kamu pasti masih tidak nyaman dengan keadaan itu. Tetapi, menurutku, daripada muncul pemberitaan yang tidak mengenakkan tentang hubungan Papa dan Ibu Irma, bukankah lebih baik secepatnya diresmikan?”Hanya embusan napas panjang yang diberikan Marc sebagai jawaban. Mereka melanjutkan makan dalam diam. Ponsel Mar
Ucapan Marc hanya terdengar seperti gumaman pelan. Sarah menatap Marc dan menajamkan pendengarannya.“Kamu bilang apa?”Tepat saat itu hujan turun. Sarah menatap langit lalu merasakan tangannya di genggam Marc.“Ayo, masuk. Hujannya langsung deras.”Mereka tidak bisa berjalan cepat. Marc takut Sarah terpeleset hingga sampai di dalam rumah, pakaian mereka basah semua.“Langsung ganti baju saja. Jangan sampai kamu sakit karena kehujanan.”Sarah mengangguk. Sampai di kamar, ia memutuskan untuk membilas sebentar tubuhnya. Marc mengikuti dan melakukan hal yang sama.Setelah memakai piyama panjang, Sarah dan Marc menikmati teh peppermint hangat yang disiapkan pelayan. Sarah menatap keluar jendela balkon. Hujan semakin deras.Petir menyambar membuat Marc berdiri dan menutup korden. Lelaki itu lalu mengambil vitamin dan menyerahkannya pada Sarah bersama segelas air mineral.“Terima kasih.” Sarah menelan vitamin-vitaminnya.“Mau nonton atau tidur saja?”Sarah berdiri dan berjalan ke ranjang. “
Marc benar-benar tak perduli ia menjadi tontonan di kantor Sarah. Semua orang menatapnya heran. Sementara Sarah hanya tersenyum kala melihat teman—teman sekantornya memandang dengan tatapan tanya.Ruang kerja Sarah kecil. Hampir semua dindingnya terbuat dari kaca tembus pandang. Hanya ada dua kursi di depan mejanya. Marc melirik sekeliling dan memilih duduk di salah satu kursi di sana.“Jadi, kamu tidak bekerja hari ini?” Sarah mengamati Marc yang dengan santai membuka laptopnya.“Aku bisa bekerja dari mana saja.”Sarah mengangguk pelan. Rasanya udara di ruang kecil ini menjadi hangat dengan adanya Marc. Wanita itu membuka jas dan melampirkannya di punggung kursi.Kepala Marc mendongak menatap istrinya. Kini, Sarah hanya menggunakan babydol tanpa lengan. Pandangannya lalu beralih ke luar jendela di mana banyak pegawai yang bisa melihat penampakan sang istri.“Sarah.” Marc berdiri dan menghampiri sang istri.“Ya?” Sarah yang sedang sibuk melakukan kalkulasi menoleh.Wanita itu bingung
“Bersiap sebentar lagi akan menjadi kakakmu.”Bukan saja Marc, Sarah pun menatap Irwan. Ucapannya itu seolah memastikan hubungan Ibu Irma dan Papa Frank.“Tidak perlu. Aku anak tunggal Mama dan Papaku.” Marc menjawab dan menggeleng berbarengan.Terdengar kekehan. Irwan berdiri, merapikan kursi lalu berpamitan. Sarah dan Marc kembali melanjutkan pekerjaan.“Dokter Ming sudah mengirim daftar pertanyaan untuk interview kamu dan Ibu Irma lusa. Aku kirimkan ke emailmu, ya.”Sarah mengangguk. Begitu mendengar suara notifikasi email, langsung ia buka. Sarah membaca sekilas lalu merengut.“Kenapa? Ada pertanyaan yang tidak berkenan?”“Pertanyaan nomer lima. Aku harus jawab apa?”Marc membaca pertanyaan yang dimaksud. Ternyata tentang dukungan suami atau keluarga. Sepertinya selain ahli gizi, Dokter Ming juga penasaran dengan kehidupan pribadi Sarah.Bagaimana tidak? Dokter Ming sempat terkejut saat mengetahui Sarah adalah istri Marc Carrington. Namun tentu saja, Marc hanya membenarkan tanpa m
Tiga tahun berlalu dengan cepat. Keluarga Carrington sedang berlibur di sebuah perkemahan mewah. Mereka juga mengajak keluarga Ibu Irma.Irwan dan Vania telah menikah dan memiliki satu orang anak perempuan yang dinamai Nirvana."Kenapa Kak Arzan jagain Vana terus?" Vivi memberengut kesal saat ia minta Arzan menemaninya main tetapi anak lelaki itu sedang sibuk menjaga adiknya."Vana masih kecil, Vivi. Sini, kita main sama-sama." Arzan menepuk sisinya yang kosong. Namun, Vivi malah melengos dan memilih bergelayut manja di kaki Papanya."Aku panggil Irwan dulu biar ia menjaga Vana." Vania yang sedang memasak dapur merasa tak enak hati mendengar pembicaraan Arzan dan Vivi."Sudah, biarkan saja. Gak papa, kok." Sarah yang sedang hamil besar menenangkan Vania."Aku gak enak, Sarah. Sepertinya Vivi cemburu karena Arzan menjaga Vana terus.""Lihat itu." Sarah mengendik pada Vivi yang kini asyik bermain bersama Marc. "Dia kesal cuma sebentar, kok."Vania tersenyum simpul dan mengangguk. Apalagi
Ulang tahun pertama Vivi sangat meriah. Meski anak perempuan itu belum memiliki banyak teman, tetapi tamu-tamu undangan mulai dari balita hingga kakek nenek banyak yang hadir.Marc menyulap taman belakang menjadi taman bermain yang nyaman dengan tenda dan AC portable di mana-mana. Berbagai makanan sehat tersebar di penjuru taman.Sebagian tamu adalah teman-teman Arzan yang membawa adik-adik mereka. Vivi jadi memiliki teman sebaya."Sepertinya, prediksi Arzan tepat. Akhir-akhir ini mereka jadi dekat, bukan?" Sarah melirik pada Irwan dan Vania yang tampak asyik berbincang dengan ibu Irma.Tanpa melihat objek pembicaraan mereka, Marc mengangguk. Lelaki itu melingkari tangan di pinggang sang istri dan membawanya ke meja makan."Masih lapar?" Sarah mengamati suaminya yang mengambil makanan cukup banyak."Apa kamu tidak lihat? Aku tadi lari-larian mengikuti Vivi?" Marc memotong steak ayam lalu menyuapi dirinya. "Lagipula, steak ini lezat sekali."Bahkan Sarah akhirnya ikut makan karena Mrac
Sesuai rencana, berita tentang Marc dan Vania menghilang. Tentu saja itu tidak lepas dari tim yang dibuat Adrian untuk menghapus semua postingan tersebut.“Sayang.” Marc menyapa istrinya yang sedang menyusui Vivi.“Ya?”“Jam berapa Arzan datang?”“Vania bilang, mereka sudah dalam perjalanan.”“Hmm ... aku ada rapat. Sengaja kubuat online. Tapi kalau Arzan datang dan aku belum selesai, minta ia ke ruang kerjaku saja, ya.”“Oke. Selamat rapat.”Marc mengangguk. Lalu, membungkuk sedikit untuk mencium pipi istri dan putrinya. Setelah itu, ia keluar dari ruang bayi.Setelah Marc keluar, seorang pelayan masuk membawa paket untuk Sarah.“Tolong dibuka,” pinta Sarah pada pelayan yang langsung mengangguk.Sarah tau isi paket itu adalah buku-buku Vania yang ia pesan secara online. Pelayan memberikan buku -buku yang masih berplastik itu pada Sarah lalu keluar.Vivi melepas puncak dada Mamanya karena tertarik dengan buku yang dipegang Sarah. Ia merebut buku tersebut lalu ikut membolak-balik halam
“Maafkan aku. Aku mengaku salah.” Khanza menunduk dalam-dalam.Adrian dan pengacara mendatangi kantor penerbit buku Vania. Mereka memberikan data bahwa Khanza membuat berita kebohongan agar publik tertarik pada cerita Vania dan membeli buku terbarunya.Direktur penerbitan menggeleng samar melihat data-data tersebut. Ia tidak menyangka Khanza berbuat seperti itu.“Aku melakukannya untuk Vania.” Khanza berkilah, membela diri.“Aku yakin Vania pun tak setuju kamu membantu dengan cara ini.” Adrian mengecam.“Vania sedang tidak fokus. Banyak pikiran. Jadi, aku pikir, aku perlu membantunya sedikit.”Direktur menggeleng. Ia juga tampak tidak setuju. Apalagi sampai ada pengacara yang menuntut mereka.“Masalahnya, Nona.” Pengacara menatap wajah Khanza dengan pandangan tajam. “Yang anda cemarkan adalah keluarga Carrington, terutama Tuan Marc.”“Lelaki yang selama ini terkenal dingin dan tidak bersosialisasi dengan media.” Adrian menambahkan.Direktur menengahi. Mereka akan membuat pengumuman pe
Pagi di bumi perkemahan cukup cerah setelah semalaman hujan. Pengelola bahkan tidak mengizinkan peserta kemping untuk melakukan trekking.“Terus kita ngapain, Om?” Arzan mengguncang-guncang tangan Irwan.“Masih ada pilihan untuk memancing. Kamu mau?”“Om bisa memancing?”“Bisa, dong.”“Mauuu.” Arzan menjerit senang.Vania menatap kebersamaan Irwan dan Arzan. Seandainya Bryan masih hidup, mungkin yang berdiri di depannya sekarang ada sosok Bryan dan Arzan. Vania menggeleng membuyarkan lamunannya.Telah lima tahun berlalu, tetapi rasanya masih sama. Kehilangan dan kedukaan itu masih sangat jelas di mata Vania.“Ibu, ayo ikut memancing,” ajak Arzan.Vania tau, Arzan pasti disuruh Irwan. Ia sebenarnya tidak tau apa-apa tentang memancing, tetapi demi menemani Arzan, Vania mengangguk.Perahu disiapkan pengelola perkemahan. Vania melihat Irwan berbincang dengan penjaga Arzan. Seperti setiap kegiatan Arzan, harus dilaporkan pada keluarga Carrington.Akhirnya mereka bertiga di atas perahu. Mer
Irwan menunggu. Vania mungkin sedang mengumpulkan kekuatan untuk memceritakan kisah kelamnya pada seseorang. Apalagi ia adalah orang baru yang pertama kali ditemui."Aku dan Bryan, ayah Arzan menikah tanpa restu. Kami lari dari keluarga karena memilih mempertahankan cinta."Vania mengembuskan napas kasar. Ia menyandarkan punggung pada dinding. Jari-jari tangannya saling bertautan."Di perkemahan seperti ini lah kami berbulan madu. Tiga bulan kemudian, aku hamil. Kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, beberapa bulan berikutnya, Bryan didiagnosis menderita kanker usus."Isakan Vania membuat Irwan memeluk erat Arzan. Ia tak ingin Arzan terbangun. Vania lalu sadar untuk segera menguasai diri.Sembari mengatur napas, Vania mengusap air matanya. Kini ia duduk sambil memeluk kaki-kakinya yang ditekuk.Dalam keadaan hamil, Vania merawat Bryan. Bryan cukup tegar dan berusaha menjalani pengobatan didampingi Vania.Pilihan itu datang saat Vania melahirkan. Kondisi Bryan bertambah lemah. Keuanga
Alrzan langsung bersembunyi di balik tubuh Vania. Wanita itu menyorotkan lampu senter pada lelaki yang berdiri di kegelapan. Arzan mengintip lalu bersorak.“Om Irwan.” Arzan langsung berlari menghampiri dan memeluk Irwan. “Lampu kabin kami mati, Om.”Irwan mengusap kepala Arzan. “Iya, kabin Om juga. Tadinya Om mau mencari bantuan tapi mendengar teriakan. Kebetulan sekali kita ada di sini, ya."“Aku bersama Ibu Vania. Cuma berdua.” Arzan menunjuk Vania yang terpaku di tempat melihat kedekatan putranya dengan lelaki yang dipanggil Om Irwan tersebut.Irwan mengangguk. Setelah berada pada jarak cukup dekat, Irwan menjulurkan tangan. Vania menyambutnya dan tersenyum penuh kelegaan.“Irwan. Aku putra Ibu Irma.”Sejenak setelah balas menyebut namanya, Vania mengamati Irwan. Rasanya ia pernah bertemu dengan lelaki ini. Tetapi, ia tidak ingat meskipun ia sering berada di kafe.“Kita memang belum pernah bertemu sebelum ini.” Irwan menjawab pengamatan Vania pada dirinya. “Oh, mungkin sekali. Saa
“Jadi Khanza, editor Vania yang menjadi otak gosip antara kamu dan Vania?” Sarah mengangkat alisnya. Tak menyangka bahwa ternyata orang terdekat Vania lah yang membuat kebohongan tersebut.“Iya. Itu dilakukan untuk mendongkrak penjualan buku Vania. Kamu ingat? Gosip itu beredar tak lama novel baru Vania terbit di pasaran.”Sarah mengangguk mengerti. “Vania tau?”“Itu sedang diselidiki Om Adrian.”“Perasaanku mengatakan Vania tidak ada sangkut pautnya dengan ini semua.”Pernyataan Sarah dikuatkan oleh dugaan bahwa Vania tidak mungkin mempertaruhkan nama baiknya. Jika ia memang terlibat dan keluarga Carrington tau, ia pasti tidak akan bertemu lagi dengan Arzan. Bahkan Sarah sendiri pun akan melarangnya.Marc mengangguk setuju. Ia berharap hari ini juga sudah mendapat kabar dari orang-orang Adrian yang bekerja untuk mengusut kasus pencemaran nama baik ini.“Jika Arzan sudah pulang, kemungkinan ia menemukan berita tersebut akan besar. Aku tidak ingin itu terjadi.”“Aku tau.” Sarah mencebi
Dua hari kemudian, Vania menjemput Arzan. Selama akhir minggu, ia akhirnya memperoleh izin membawa Arzan hanya berdua saja. Vania menjemput Arzan di rumah keluarga Carrington.Sarah menyambut Vania sambil menggandeng Arzan. Ia menyerahkan tangan Arzan pada Vania dan hanya berpesan untuk bersenang-senang.“Ingat pesan Mama ya, Sayang.” Sarah mengelus kepala Arzan sebelum putra angkatnya itu masuk ke dalam mobil.Arzan mengangguk lalu memeluk Sarah erat-erat. Ia juga mencium pipi Sarah dan berkata akan menurut pada pesan sang Mama. Vania memperhatikan inetraksi tersebut dengan rasa haru.Selalu saja ada rasa iri di hati Vania. Tapi, ia merasa itu hal yang wajar. Ia bertanya dalam hati kapan Arzan akan sehangat itu pada dirinya.Dalam perjalanan, Arzan lebih banyak mengamati jalanan. Sesekali ia menengok ke belakang. Sebuah mobil van mengikuti kendaraan Vania.“Ada mobil penjagamu, ya?” Vania tersenyum pada Arzan.Anak lelaki itu hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan ibu kandu